Habitat dan Distribusi Badak Sumatera

Badak sumatera dilaporkan melakukan pergerakan musiman, bergerak ke dataran yang lebih tinggi selama musim hujan, dan bergerak ke lembah-lembah selama bulan-bulan dengan cuaca lebih cerah. Mereka mampu melakukan pergerakan di tebing-tebing, serta mampu berenang dengan baik Foose van Strien 1997. Badak sumatera memiliki perilaku menggaram menjilat garam untuk memenuhi kebutuhan mineral esensial, yang juga berhubungan dengan populasi mereka. Di sekitar satu tempat bergaram, kepadatan populasinya sekitar 13–14 ekor tiap satu kilometer perseginya Schenkel 1990. Wilayah jelajah home range dari badak sumatera jantan dewasa sekitar 30 kilometer persegi, dengan batasan yang saling bertindih antar individunya overlapping. Badak sumatera betina memiliki wilayah jelajah yang lebih kecil, dengan rata-rata 10–15 kilometer persegi. Keduanya jantan maupun betina menandai wilayahnya dengan garukan kaki, kotoran, dan urin Wilson Reeder 1993. Badak sumatera umumnya mencari makan pada saat pagi setelah fajar dan menjelang malam, serta di malam hari. Jenis makanan yang disukai badak sumatera kebanyakan ditemukan di daerah perbukitan, berupa tumbuhan, semak, dan pohon-pohonan. Merumput tidak dilakukan kecuali untuk jenis-jenis bambu seperti Melocana bambusoides. Terdapat 102 jenis tanaman dalam 44 famili yang disukai badak sumatera. Sebanyak 82 jenis tanaman dimakan daunnya, 17 jenis dimakan buahnya, 7 jenis dimakan kulit dan batang mudanya, dan 2 jenis dimakan bunganya Nowak 1991. Rata-rata konsumsi harian badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera sebanyak 20–40 kg daun-daunan yang diberikan pada badak atau hand feeding dan 3–6 kg buah-buahan, ditambah konsumsi di area paddock yang merupakan hutan alami yang belum diketahui secara pasti Candra 2005.

2.2.3 Habitat dan Distribusi Badak Sumatera

Badak sumatera awalnya tersebar dari Assam dan Burma Myanmar, Thailand, sampai Indocina, serta Sumatera dan Kalimantan Indonesia Gambar 6. Saat ini terbatas di Selatan Malaya Sumatera, Sarawak di bagian Utara Kalimantan, serta beberapa di Myanmar Foose van Strien 1997. Berdasarkan Analisa Viabilitas Populasi dan Habitat PHVA badak sumatera tahun 1993, populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara 215–319 ekor atau turun sekitar 50 dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sebelumnya populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara 400–700 ekor. Sebagian besar di wilayah Gunung Kerinci Seblat 250–500 ekor, Gunung Leuser 130–250 ekor, dan Bukit Barisan Selatan 25–60 ekor. Sebagian yang lainnya tidak diketahui jumlahnya terdapat di wilayah Gunung Patah, Gunung Abong-abong, Lesten-Lokop, Torgamba, dan Berbak Foose van Strien 1997. Menurut IUCNSSC–African and Asian Rhino Specialist Group Maret 2001, jumlah populasi badak sumatera berkisar kurang lebih 300 ekor dan tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Observasi Lapangan tahun 1997-2004, RPU–PKBI memperkirakan jumlah populasi badak sumatera di TNBBS berkisar antara 60– 85 ekor. Sementara TNWK berkisar antara 15–25 ekor Anonimus 2007 7 . Gambar 6 Peta Distribusi Badak Sumatera Foose dan van Strien 1997 2.2.4 Beberapa Jenis Caplak pada Badak Fowler 1993 melaporkan telah ditemukannya beberapa jenis caplak pada badak sumatera secara umum. Ektoparasit tersebut adalah Amblyomma testudinarium, Hyaloma walkeriaii, Aponoma sp., dan Haemaphysalis sp., yang ditemukan pada badak sumatera yang tesebar di Semenanjung Malaya. Hasil penelitian di SRS oleh Saraswati 2005 ditemukan jenis-jenis caplak dari genus Amblyomma, Boophillus, dan Haemaphisalis, serta Qodriyah 2006 menemukan jenis Amblyomma testudinarium dan Haemaphisalis sp. Kocan et al. 1993 melaporkan bahwa Anaplasma marginale ditemukan pada kelenjar saliva caplak jantan Dermacentor andersoni, pada nimfa maupun dewasanya. Hal tersebut dilakukan dengan mendeteksi keberadaan DNA Anaplasma marginale pada kelenjar saliva nimfa maupun caplak dewasa D. 7 http:www.badak.or.idShowFaqs.asp?FaqsCode=DISTRIBUSILang=INA [18 Januari 2007] andersoni yang menginfeksi sapi. Penularan parasit protozoa melalui caplak seperti Theileria dan Babesia, dimulai dengan proses perkembangan di sel ususnya, kemudian berpindah ke kelenjar saliva. Caplak jantan dapat tetap menempel pada induk semangnya untuk menghisap darah beberapa kali selama beberapa hari sampai minggu. Maka dari itu, kemungkinan besar dapat menularkan A. marginale ke induk semang yang rentan. Nijhof et al. 2003 melaporkan bahwa Amblyomma rhinocerotis dan Dermacentor rhinocerinus berperan sebagai vektor Babesia bicornis dan Theileria bicornis pada badak Hitam dan badak Putih di Zimbabwe, Afrika. Selain itu juga melaporkan kejadian babesiosis sebelumnya yang menyebabkan kematian pada dua badak Hitam betina Bahati dan Maggie di Ngorongoro, Tanzania, pada tahun 2001 dengan temuan Amblyomma variegatum dan Rhipicephalus compositus di daerah perianalnya.

2.3 Tinjauan Umum Suaka Rhino Sumatera