1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan di Suaka Rhino Sumatera, Taman Nasional Way Kambas, Propinsi Lampung dengan tujuan mengetahui jenis-jenis caplak yang
berada di SRS dan derajat infestasinya, serta kaitannya dalam penularan penyakit pada badak sumatera di SRS.
1.3 Manfaat
Dengan adanya data tentang jenis ektoparasit dari famili Ixodidae di Suaka Rhino Sumatera, maka akan bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam
manajemen kesehatan badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera terhadap penyakit-penyakit yang ditularkan oleh caplak khususnya, dan pelestarian badak
sumatera pada umumnya.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ektoparasit Caplak
Saat ini terdapat 867 jenis caplak yang sudah diidentifikasi di dunia. Semuanya merupakan parasit obligat yang bersifat haematophagus atau
penghisap darah dan bersifat kosmopolitan, tersebar di berbagai habitat dan kondisi ekologi yang berbeda Jongejan Uilenberg 2004. Caplak secara umum
tergolong ke dalam tiga famili, yaitu: Argasidae, Nuttalliellidae, dan Ixodidae Wolley 1988, Camicas et al. 1998, Horak et al. 2002, Bowman et al. 2003,
Jongejan Uilenberg 2004.
2.1.1 Famili Ixodidae Caplak Keras
Ixodidae merupakan famili terbesar dari caplak yang mendominasi sebanyak 80 dari keseluruhan fauna caplak di dunia. Berdasar Tickbase
3
, famili ini terdiri dari 19 genus dengan 683 spesies dari 867 spesies caplak yang sudah
diketahui. Beberapa genus yang penting diantaranya Dermacentor, Ixodes, Rhipicephalus, Haemaphysalis, Hyalomma, Boophilus, dan Amblyomma
Woolley 1988, Jongejan Uilenberg 2004. Klasifikasi caplak keras famili Ixodidae menurut Krantz 1978 dan Camicas et al. 1998 sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Arachnida
Subkelas : Acari
Ordo : Parasitiformes Caplak, tick
Famili : Ixodidae
Genus : Haemaphysalis
Amblyomma Boophilus
Rhipicephalus Dermacentor
Ixodes Hyalomma
3
Tickbase adalah Global Species Database yang berisi keseluruhan nama spesies caplak di dunia yang sudah valid dan dapat diakses melalui Species 2000 internet-based catalogue
www.species2000.org [5 Mei 2007]
Walaupun saat ini genus Boophilus yang terdiri lima spesies oleh Horak et al. 2002 digolongkan ke dalam Rhipicephalus karena kedekatan secara
filogenik dan evolusi, perubahan tersebut menjadikan Boophilus menjadi subgenus dari Rhipicephalus Barker Murrell 2002, Horak et al. 2002.
2.1.2 Morfologi Caplak Keras famili Ixodidae
Tubuh caplak keras bentuknya bulat telur dan mempunyai kulit luar integumen yang liat Gambar 1. Secara umum tubuh caplak terbagi atas dua
bagian yaitu gnatosoma kepala dan toraks dan idiosoma abdomen. Pada gnatosoma terdapat kapitulum kepala dan bagian-bagian mulut yang terletak
dalam rongga kamerostom. Bagian mulut caplak terdiri atas sepasang hipostom, kelisera, dan pedipalpus. Hipostom merupakan organ yang berfungsi
memperkokoh pertautan caplak pada tubuh inangnya. Kelisera terdiri atas dua ruas, dimana ujungnya memiliki dua kait yang berfungsi untuk membuat sayatan
pada kulit inang secara horizontal agar hipostom dapat ditusukkan ke dalam kulit inang. Pedipalpus terletak di bagian lateral hipostom yang terdiri atas tiga atau
empat ruas. Organ tersebut berfungsi sebagai alat sensoris sederhana yang membantu proses makan caplak Krantz 1978, Kierans Durden 1998, Hadi
Soviana 2000. Bagian idiosoma merupakan abdomen dimana terdapat kaki. Larva
memiliki tiga pasang kaki, sedangkan nimfa dan caplak dewasa memiliki empat pasang kaki. Peruasan kaki caplak secara berturut-turut dimulai dari koksa yang
tidak bisa digerakkan, trokanter, femur, tibia, tarsus, dan pedikel yang memiliki sepasang kuku tarsus dan pulvilus. Di bagian pasangan kaki pertama terdapat
organ haller yang berfungsi sebagai sensor kelembaban, kimia, olfaktori, dan mekanis. Pada bagian dorsal tubuh caplak terdapat bagian piringan yang keras
sebagai pelindung yang disebut skutum. Pada larva, nimfa, dan caplak dewasa betina bagian tersebut menutupi kira-kira sepertiga bagian dorsal anterior tubuh,
sedangkan pada caplak jantan menutupi hampir seluruh bagian dorsal tubuhnya. Bagian skutum memiliki karakteristik yang khas pada setiap genus. Pada
beberapa caplak, ornata pada skutum dapat dijadikan sebagai patokan identifikasi. Pada batas posterior dorsal terdapat deretan legokan yang disebut
feston Krantz 1978, Kierans Durden 1998, Hadi Soviana 2000.
Gambar 1 Morfologi Umum Caplak Keras famili Ixodidae Stafford 2004 2.1.3 Daur Hidup dan Perilaku Caplak
Menurut Sonenshine 1993, tahap perkembangan caplak dibagi ke dalam empat fase: satu inaktif telur dan tiga aktif larva, nimfa, serta dewasa. Siklus
hidup dari Ixodidae cukup sederhana Gambar 2. Caplak betina menyimpan sejumlah besar telur di tanah. Larva berkaki enam menetas dari telur. Kemudian
larva makan pada inang yang sesuai. Setelah larva penuh dengan darah, mereka melakukan molting dan berubah menjadi nimfa. Nimfa memiliki delapan
kaki dan memiliki bentuk yang hampir sama dengan caplak betina dewasa, walaupun ukurannya lebih kecil dan alat kelaminnya yang belum matang. Nimfa
yang penuh dengan darah akan molting menjadi caplak jantan atau betina dewasa. Baik jantan maupun betina dewasa menghisap darah. Caplak jantan
memiliki integumen yang tidak elastis, maka dari itu tidak membesar secara signifikan setelah menghisap darah. Ukuran caplak betina dapat menjadi lebih
besar lagi dibandingkan caplak jantan. Setelah kopulasi dan kenyang darah, caplak betina siap untuk meletakkan telur-telurnya Whitlock 1960. Siklus hidup
caplak bisa berkembang dengan cepat 2–4 bulan pada iklim yang tropis atau lebih lambat dengan terhentinya perkembangan pada satu fase atau lebih.
Dalam iklim yang dingin, satu siklus hidup bisa membutuhkan waktu 3–5 tahun Gaafar 1985.
Gambar 2 Siklus Hidup Umum Caplak Keras famili Ixodidae Gaafar 1985
Caplak betina yang sudah penuh dengan darah dan kawin akan menjatuhkan diri ke tanah dan meletakkan sekitar beberapa ribu telur di tanah,
kemudian mati. Ixodidae meletakkan telurnya secara acak di tanah. Telur berubah menjadi larva setelah 10–20 hari, atau lebih jika tertunda. Larva yang
baru menetas, nimfa setelah molting, dan dewasa awal memerlukan saat berdiam diri untuk beberapa hari untuk memperkeras tubuhnya dan memakan
cadangan makanan yang dimiliki dari fase sebelumnya. Setelah itu diikuti dengan tahap pencarian inang, menempel dari tanah atau vegetasi dengan tipe dan
ketinggian tertentu, menghisap darah selama 6–10 hari, melepaskan diri dari inang, mencerna darah selama satu minggu atau lebih, selanjutnya berubah ke
fase berikutnya Bowman et al. 2003. Larva, nimfa, dan caplak dewasa betina biasanya menghisap darah
selama 6–10 hari kemudian melepaskan diri. Prosesnya terbagi menjadi dua
fase: a lambat dan bertahap termasuk kawin pada caplak dewasa; diikuti dengan b tahap akhir berupa pemenuhan darah dengan cepat dan membesar
melalui neosomy dengan melebarkan integumen dan pertumbuhan integumen yang baru Gaafar 1985.
Berdasarkan jumlah inang yang diperlukan caplak dalam melengkapi satu siklus hidupnya, caplak digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu caplak
berumah satu, berumah dua, dan berumah tiga.
a
Caplak Berumah Satu. Semua stadiumnya larva, nimfa, dan dewasa
tinggal dalam satu inang yang sama, begitu pula proses pergantian kulit molting dan perkawinan Hadi Soviana 2000. Kelima jenis spesies
Boophilus dan tiga dari spesies Margaroporus, dan dua dari 30 spesies Dermacentor memilki satu induk semang dalam siklus hidupnya
Bowman et al. 2003. Menurut Gaafar 1985 induk semang dari jenis caplak ini biasanya berukuran besar sapi, kuda, dan jerapah atau
ukuran sedang seperti kambing atau domba. Mamalia tersebut biasanya tersebar dalam kelompok-kelompok kecil. Hanya caplak
betina yang sudah kawin dan akan melepaskan telur-telurnya yang jatuh ke tanah tempat dimana mereka akan meletakkan telurnya.
b
Caplak Berumah Dua. Larva dan nimfa tinggal dalam satu inang,
sedangkan dewasa tinggal dalam inang yang lain, jadi dalam melengkapi siklus hidupnya memerlukan dua inang Hadi Soviana
2000. Beberapa jenis dari spesies Hyalomma, Haemaphysalis, dan Rhipicephalus. Biasanya berada di daerah sabana atau stepa dengan
curah hujan rendah dan musim kemarau yang panjang, sehingga caplak beradaptasi memilki dua induk semang. Larva molting menjadi
nimfa pada induk semang tidak di tanah; nimfa yang penuh darah jatuh ke tanah kemudian molting menjadi caplak dewasa, dan mencari
induk semang kedua biasanya ukurannya lebih besar dari induk semang yang pertama. Setelah kenyang darah dan kawin, caplak
betina akan jatuh ke tanah dan meletakkan telur-telurnya Gaafar 1985.
c
Caplak Berumah Tiga. Setiap stadium, yaitu larva, nimfa, dan dewasa
memerlukan inang yang berbeda Hadi Soviana 2000. Sekitar 600 dari 683 spesies Ixodidae merupakan caplak berinduk semang tiga.
Setiap fase aktif menginfeksi hewan yang berbeda, walaupun terkadang
hewan yang sama diinfeksi tiga kali karena hewan tersebut masih berada di daerah yang sama, dan satu-satunya yang bisa diinfeksi oleh
nimfa maupun caplak dewasa yang sedang mencari induk semang. Larva dan nimfa dari beberapa spesies menghisap darah pada mamalia
yang ukurannya kecil atau burung. Beberapa jenis lainnya menghisap darah baik dari mamalia kecil maupun besar, jenis ini lebih adaptif
dibandingkan yang lainnya. Contohnya Amblyomma Gaafar 1985.
Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Purdue University
Gambar 3 Siklus Hidup Caplak Berumah Tiga pada Dermacentor variabilis Stafford 2004
2.1.4 Peranan Caplak sebagai Vektor Parasit
Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus Lampiran 7 yang menyebabkan
penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia Jongejan Uilenberg 2004, Kim et al. 2006. Menurut Kahl et al. 2002 spesies caplak tertentu dapat
dikatakan sebagai vektor sebuah jenis patogen tertentu jika: a menghisap darah pada inang vertebrata yang terinfeksi; b memiliki kemampuan untuk
menularkan patogen saat menghisap darah inang; c dapat mempertahankan
patogen dalam tubuhnya lebih dari satu stadium dari siklus hidupnya; dan d dapat menyebarkan patogen saat menghisap darah lagi pada inang lain.
Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif adalah: a caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan
kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; b kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti anti-
hemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh
darah; c cara makan caplak yang lambat dan berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke dalam tubuh inang; d caplak
tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; e memiliki variasi inang yang luas; f sedikit
musuh alamnya; g caplak dapat menularkan agen penyakit transovarial melalui telur dan transtadial dari larva ke nimfe ke caplak dewasa; h caplak betina
dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil Woolley 1988, Valenzuela 2004.
Ilustrasi oleh: Scott Charlesworth, Purdue University
Gambar 4 Bagian Kepala Kapitulum pada Caplak Keras famili Ixodidae pada genus Ixodes Stafford 2004
Caplak dapat menularkan penyakit melalui dua cara, yaitu secara transtadial dan transovarial. Transtadial artinya setiap stadium caplak, baik larva,
nimfa, maupun dewasa mampu menjadi penular patogen, sedangkan
transovarial artinya caplak dewasa betina yang terinfeksi patogen akan dapat menularkannya pada generasi berikutnya atau sel-sel telurnya Hadi Soviana
2000. Caplak berumah dua dan tiga dapat menularkan organisme patogen secara transtadial. Pada transovarial, organisme patogen hanya dimungkinkan
oleh caplak berumah satu sebagai vektornya, misalnya pada transmisi Babesia bigemina oleh caplak Boophilus yang menurunkan ke keturunannya melalui
ovariumnya Bowman et al. 2003.
2.2 Badak Sumatera
Badak sumatera merupakan badak terkecil dari lima spesies badak yang ada di dunia. Keberadaannya di alam kurang dari 300 ekor, dengan populasinya
yang berkurang dengan cepat akibat kerusakan habitat dan perburuan liarMiller 1999; Macdonald 2001. Statusnya dikategorikan dalam Critically Endangered
CR – A1bcd, C2a dalam the IUCN Red List 2006
4
, dan terdaftar dalam Appendix I CITES
5
. Klasifikasi badak sumatera sebagai berikut: Kingdom
: Animalia Filum
: Chordata Subfilum
: Vertebrata Kelas
: Mamalia Subkelas
: Theria WWF 2002
6
Ordo : Perissodactyla
Subordo : Ceratomorpha
Famili : Rhinoceratidae
Genus : Dicerorhinus
Spesies : Dicerorhinus sumatrensis, Fischer 1814
2.2.1 Morfologi Badak Sumatera
Kulitnya kasar dan keras berwarna abu-abu – coklat, yang bentuknya berlipat-lipat membentuk seperti baju zirah Gambar 5. Salah satu ciri yang
paling unik yang membedakan dari badak lainnya, seluruh tubuhnya ditutupi dengan rambut yang kasar, berwarna coklat kemerahan Schenkel 1990.
Tubuhnya relatif pendek dan gemuk. Dua cula berada di moncongnya baik jantan maupun betina, dengan cula bagian depannya yang lebih panjang dibandingkan
4
http:www.redlist.org [18 Maret 2007]
5
http:www.cites.org [18 Maret 2007]
6
http:panda.orgresourcespublicationsspeciesthreatenedsumatranRhinocerosindex.cfm [11 Maret 2007]
dengan yang bagian belakang. Cula pada badak jantan biasanya lebih besar dibandingkan pada badak betina. Bagian bibir atasnya berbentuk kait dan dapat
mengkait prehensile Wilson Reeder 1993. Panjang tubuhnya diukur dari ujung moncong hidung sampai dengan ujung otot pinggul belakang 207–265 cm,
tinggi badan 97–131 cm. Panjang cula depan 10–23 cm, sedangkan cula belakang 5–12 cm. Berat badan antara 631 - 667 kg SRS, unpublish.
Gambar 5 Dua Ekor Badak Sumatera Dicerorhinus sumatrensis di SRS; Bina kiri, Torgamba kanan SRS 2005
Badak sumatera memiliki masa kebuntingan selama 477 hari berdasar data badak sumatera di Cincinnati Zoo, dengan angka kelahiran sebanyak satu
ekor per partus. Masa menyusui selama 18 bulan. Badak sumatera betina mencapai dewasa kelamin pada usia empat tahun, sedangkan jantan pada usia
tujuh tahun. Badak sumatera captive dapat mencapai usia sampai dengan 35 tahun Foose van Strien 1997.
2.2.2 Perilaku Badak Sumatera
Badak sumatera biasanya hidup soliter. Pada siang hari, mereka menghabiskan waktu dengan berkubang di kolam lumpur. Kubangan lumpur
tersebut biasanya dibuat oleh badak itu sendiri, dengan keadaan dalam radius 10–35 meter relatif bebas gangguan, karena biasanya digunakan untuk tempat
beristirahat Nowak 1991. Aktifitas berkubang berfungsi untuk mempertahankan suhu kulit agar tetap dingin dan melindungi dari kekeringan Macdonald 2001.
Badak sumatera dilaporkan melakukan pergerakan musiman, bergerak ke dataran yang lebih tinggi selama musim hujan, dan bergerak ke lembah-lembah
selama bulan-bulan dengan cuaca lebih cerah. Mereka mampu melakukan pergerakan di tebing-tebing, serta mampu berenang dengan baik Foose van
Strien 1997. Badak sumatera memiliki perilaku menggaram menjilat garam untuk memenuhi kebutuhan mineral esensial, yang juga berhubungan dengan
populasi mereka. Di sekitar satu tempat bergaram, kepadatan populasinya sekitar 13–14 ekor tiap satu kilometer perseginya Schenkel 1990. Wilayah
jelajah home range dari badak sumatera jantan dewasa sekitar 30 kilometer persegi, dengan batasan yang saling bertindih antar individunya overlapping.
Badak sumatera betina memiliki wilayah jelajah yang lebih kecil, dengan rata-rata 10–15 kilometer persegi. Keduanya jantan maupun betina menandai
wilayahnya dengan garukan kaki, kotoran, dan urin Wilson Reeder 1993. Badak sumatera umumnya mencari makan pada saat pagi setelah fajar
dan menjelang malam, serta di malam hari. Jenis makanan yang disukai badak sumatera kebanyakan ditemukan di daerah perbukitan, berupa tumbuhan,
semak, dan pohon-pohonan. Merumput tidak dilakukan kecuali untuk jenis-jenis bambu seperti Melocana bambusoides. Terdapat 102 jenis tanaman dalam 44
famili yang disukai badak sumatera. Sebanyak 82 jenis tanaman dimakan daunnya, 17 jenis dimakan buahnya, 7 jenis dimakan kulit dan batang mudanya,
dan 2 jenis dimakan bunganya Nowak 1991. Rata-rata konsumsi harian badak sumatera di Suaka Rhino Sumatera sebanyak 20–40 kg daun-daunan yang
diberikan pada badak atau hand feeding dan 3–6 kg buah-buahan, ditambah konsumsi di area paddock yang merupakan hutan alami yang belum diketahui
secara pasti Candra 2005.
2.2.3 Habitat dan Distribusi Badak Sumatera
Badak sumatera awalnya tersebar dari Assam dan Burma Myanmar, Thailand, sampai Indocina, serta Sumatera dan Kalimantan Indonesia
Gambar 6. Saat ini terbatas di Selatan Malaya Sumatera, Sarawak di bagian Utara Kalimantan, serta beberapa di Myanmar Foose van Strien 1997.
Berdasarkan Analisa Viabilitas Populasi dan Habitat PHVA badak sumatera tahun 1993, populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara
215–319 ekor atau turun sekitar 50 dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Sebelumnya populasi badak sumatera di Sumatera berkisar antara 400–700
ekor. Sebagian besar di wilayah Gunung Kerinci Seblat 250–500 ekor, Gunung
Leuser 130–250 ekor, dan Bukit Barisan Selatan 25–60 ekor. Sebagian yang lainnya tidak diketahui jumlahnya terdapat di wilayah Gunung Patah, Gunung
Abong-abong, Lesten-Lokop, Torgamba, dan Berbak Foose van Strien 1997. Menurut IUCNSSC–African and Asian Rhino Specialist Group Maret 2001,
jumlah populasi badak sumatera berkisar kurang lebih 300 ekor dan tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Observasi Lapangan tahun 1997-2004, RPU–PKBI
memperkirakan jumlah populasi badak sumatera di TNBBS berkisar antara 60– 85 ekor. Sementara TNWK berkisar antara 15–25 ekor Anonimus 2007
7
.
Gambar 6 Peta Distribusi Badak Sumatera Foose dan van Strien 1997
2.2.4
Beberapa Jenis Caplak pada Badak
Fowler 1993 melaporkan telah ditemukannya beberapa jenis caplak pada badak sumatera secara umum. Ektoparasit tersebut adalah Amblyomma
testudinarium, Hyaloma walkeriaii, Aponoma sp., dan Haemaphysalis sp., yang ditemukan pada badak sumatera yang tesebar di Semenanjung Malaya. Hasil
penelitian di SRS oleh Saraswati 2005 ditemukan jenis-jenis caplak dari genus Amblyomma, Boophillus, dan Haemaphisalis, serta Qodriyah 2006 menemukan
jenis Amblyomma testudinarium dan Haemaphisalis sp. Kocan et al. 1993 melaporkan bahwa Anaplasma marginale ditemukan
pada kelenjar saliva caplak jantan Dermacentor andersoni, pada nimfa maupun dewasanya. Hal tersebut dilakukan dengan mendeteksi keberadaan DNA
Anaplasma marginale pada kelenjar saliva nimfa maupun caplak dewasa D.
7
http:www.badak.or.idShowFaqs.asp?FaqsCode=DISTRIBUSILang=INA [18 Januari 2007]
andersoni yang menginfeksi sapi. Penularan parasit protozoa melalui caplak seperti Theileria dan Babesia, dimulai dengan proses perkembangan di sel
ususnya, kemudian berpindah ke kelenjar saliva. Caplak jantan dapat tetap menempel pada induk semangnya untuk menghisap darah beberapa kali selama
beberapa hari sampai minggu. Maka dari itu, kemungkinan besar dapat menularkan A. marginale ke induk semang yang rentan.
Nijhof et al. 2003 melaporkan bahwa Amblyomma rhinocerotis dan Dermacentor rhinocerinus berperan sebagai vektor Babesia bicornis dan
Theileria bicornis pada badak Hitam dan badak Putih di Zimbabwe, Afrika. Selain itu juga melaporkan kejadian babesiosis sebelumnya yang menyebabkan
kematian pada dua badak Hitam betina Bahati dan Maggie di Ngorongoro, Tanzania, pada tahun 2001 dengan temuan Amblyomma variegatum dan
Rhipicephalus compositus di daerah perianalnya.
2.3 Tinjauan Umum Suaka Rhino Sumatera
Suaka Rhino Sumatera SRS merupakan tempat yang didirikan pada tahun 1998 dengan tujuan sebagai breeding centre untuk badak sumatera yang
ditangkap captive. Selain itu berfungsi juga sebagai objek ecotourism dalam program konservasi badak sumatera di Indonesia, termasuk diantaranya
program RPU Rhino Protection Unit. SRS dikelola oleh yayasan multi-nasional Yayasan Suaka Rhino Sumatera, dengan IRF International Rhino Foundation
sebagai anggota dan sumber pendanaan utamanya
8
. Kompleks SRS memiliki area perkandangan badak seluas 100 ha yang
merupakan hutan alami di kawasan Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Saat ini area perkandangan dibagi ke dalam 10 bagian dengan luasan 10 ha dan
20 ha tiap kandangnya. Keseluruhan kawasan perkandangan dibatasi oleh pagar listrik 6000 volt DC yang dibangun dengan meminimalkan efek negatif terhadap
habitat hutan tropis yang ada. Fasilitas untuk staff, dokter hewan, serta keeper terletak berdekatan dengan area perkandangan
9
. Dengan konsep penangkaran semi-insitu, diharapkan SRS dapat dijadikan tempat pusat program breeding
badak sumatera yang baik. Secara umum terdapat tiga jenis kandang di SRS, yaitu:
8
http:www.rhinos.irf.orgirfprogramsasiaprogramssumatranrhinobreedingcenterswaykambassrsi ndex.htm [27 Juli 2007]
9
http:www.rhinos-irf.orgirfprogramscaptiveprogramsindex.htm [18 Maret 2007]
a Kandang Observasi. Terdapat empat kandang observasi di SRS yang
digunakan sebagai tempat memberi pakan, pemeriksaan kesehatan, serta pengobatan untuk tiap badak. Masing-masing kandang observasi tersebut
memiliki luas 8 x 6 m serta kandang jepit 2.5 m x 1.5 m. Struktur pagar kandang ini terdiri dari pipa besi dengan diameter 0.9 m dengan tinggi 1.6 m. Lantai
kandang memiliki alas beton. Kandang dilengkapi dengan fasilitas berupa sumber air, tempat pakan dan minum, timbangan pakan, perlengkapan
kebersihan, serta kotak perlengkapan berisi H
2
O
2
, ZnSO
4
, SWAT Fly Repellent, KY Jelly, dan Alkohol 70.
b Kandang Lepas Paddock. Keseluruhan area perkandangan dibagi
menjadi 10 bagian kandang lepas paddock, dimana tiap badak akan menempati kandang dengan luasan 10 dan 20 ha. Kawasan ini berupa hutan
alami sesuai dengan habitat asli dari badak sumatera. Sekeliling area perkandangan dan batas antar paddock dibatasi oleh pagar listrik 6000 volt DC
terbuat dari kawat baja setinggi 1.7 m, terdiri dari tiga kawat baja yang diperkuat strukturnya oleh tiang beton tiap jarak 4 m.
c Central Area. Central Area merupakan daerah yang berada tepat di
tengah area perkandangan, dengan kondisi yang sama dengan paddock, yang digunakan sebagai tempat menyatukan badak disaat betina sedang estrus. Area
ini merupakan tempat untuk proses reproduksi badak yang merupakan fungsi utama SRS sebagai breeding centre.
3 MATERI DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat