Keterangan: A: Kepala, B: Leher Bahu, C: Punggung Ekor, D: Ventral Tubuh Kaki
Gambar 18 Pembagian Regio pada Tubuh Badak Sumatera untuk Pengamatan Predileksi Caplak Dewasa Model: Bina
Faktor yang mempengaruhi predileksi ini belum diketahui secara pasti. Menurut Fielden dan Rechav 1994 caplak memerlukan bagian kulit yang tipis
dan area terlindung pada inang untuk memudahkan dalam proses menghisap darah. Caplak dewasa betina biasanya memilih menempel dan menghisap darah
di area posterior regio leher dan kaki depan agar terhindar dari gangguan mekanis, dan caplak dewasa jantan biasanya memilih daerah sekitarnya dimana
signal feromon masih bisa dideteksi. Ketchum et al. 2005 melaporkan keberadaan caplak Amblyomma maculatum yang lebih memilih tempat yang
banyak memiliki rambut pada sapi gembala di Amerika Utara dikarenakan aman dari gangguan mekanik dan predator.
Menurut Hadi dan Soviana 2000 caplak memiliki organ sensoris yang disebut organ haller. Alat tersebut berfungsi sebagai reseptor kelembaban, kimia,
olfaktori, dan mekanis. Organ haller digunakan caplak untuk mendeteksi adanya inang yang cocok serta menterjemahkan feromon yang dikeluarkan caplak lain.
Bisa dimungkinkan fungsi sensoris kimia dan mekanis yang juga dimiliki oleh organ haller tersebut berperan dalam predileksi caplak di tubuh inangnya. Fungsi
sensoris kimia bisa berfungsi dalam melacak kimia darah yang menjadi makanan caplak, sehingga ditemukan tempat yang tepat, seperti pembuluh darah yang
lebih superfisial dijadikan tempat yang disukai caplak untuk berinfestasi; dan fungsi mekanis bisa berperan dalam mencari tempat berlindung kondusif di inang
yang aman dari gangguan luar mekanis.
4.4 Kaitan Caplak dalam Penularan Penyakit terhadap Badak Sumatera di Suaka Rhino Sumatera
Caplak merupakan ektoparasit yang penting dalam kedokteran hewan. Semua caplak merupakan parasit pada vertebrata darat setidaknya pada satu
tahap dalam siklus hidupnya. Caplak diketahui merupakan vektor mekanik dari berbagai jenis protozoa, rickettsia, bakteri, spirochaeta, dan virus yang
menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan di seluruh dunia Noble Noble 1982, Jongejan Uilenberg 2004, Kim et al. 2006.
Menurut Cheng 1964, efek yang ditimbulkan akibat gigitan caplak secara
umum bisa dikategorikan menjadi lima, yaitu: a Anemia. Faktor penyebabnya
masih belum jelas, walaupun banyak dugaan gejala klinis ini disebabkan oleh
parasit darah yang ditularkan oleh caplak; b Paralisis. Kejadian paralisis
biasanya terjadi setelah caplak betina menghisap darah, penyebabnya merupakan neurotoxin. Walaupun tidak semua jenis caplak betina bisa
mengeluarkan neurotoxin. Pemulihannya bisa dilakukan dengan dilepaskannya caplak dari tubuh induk semang. Beberapa jenis caplak yang diketahui
menyebabkan paralisis diantaranya adalah: Ixodes holocylus menyebabkan paralisis pada anjing dan manusia Australia, Dermacentor andersoni dan
Dermacentor variabilis menyebabkan paralisis pada manusia, sapi, domba, dan bison di Amerika dan Inggris, Ixodes pilosus Afrika Selatan dan Eropa,
Amblyoma americanum menyebabkan paralisis pada berbagai mamalia
Amerika; c Kerusakan Mekanis. Gigitan caplak menyebabkan kerusakan
akut pada integumen induk semang dan jaringan di bawahnya. Selanjutnya, bekas gigitan tersebut dapat menyebabkan infeksi bakteri dan fungi, serta
sebagai jalan masuk bagi larva insekta pada kejadian miasis; d Toksin dan Venom. Gigitan dari beberapa jenis Ixodidae seperti Dermacentor occidentalis,
Dermacentor variabilis, dan Ixodes ricinus, dapat menyebabkan gangguan sistemik aklibat sekresi yang dikeluarkan caplak setelah melakukan gigitan. Pada
Argasidae, Ornithodorus moubata di Afrika menyebabkan pembengkakan akut dan iritasi. Asal toksin belum diketahui, walaupun Ixodes ricinus diketahui
mengeluarkan antikoagulan sewaktu menghisap darah untuk mencegah pembekuan darah di tempat gigitan serta koagulasi darah di traktus alimentarius
caplak tersebut. Diduga kebanyakan caplak mengeluarkan sekreta serupa
dimana terkandung pula toksin di dalamnya; e Vektor Mikroorganisme.
Caplak merupakan vektor untuk protozoa, bakteri, rickettsia, dan spirochaeta. Beberapa faktor yang menyebabkan caplak sebagai vektor yang efektif
adalah: a caplak dapat melekat kuat pada inangnya dengan menggunakan kelisera dan hipostom, beberapa caplak menggunakan gnatosoma kapitulum; b
kelenjar saliva caplak menghasilkan dan mengeluarkan berbagai zat seperti anti- hemostatik, enzim, anti-inflamatori, immunomodulatory, dan zat kimia lainnya
yang melancarkan penghisapan darah dari inang ke tubuh caplak hingga jenuh
darah; c cara makan caplak yang lambat dan bertahap gradual dapat berlangsung beberapa hari memungkinkan masuknya agen-agen patogen ke
dalam tubuh inang; d caplak tahan terhadap perubahan lingkungan dan dapat hidup dalam jangka waktu yang lama tanpa menghisap darah; e memiliki
variasi inang yang luas; f sedikit musuh alamnya; g caplak dapat menularkan agen penyakit secara transovarial melalui telur dan transtadial dari larva ke
nimfe ke caplak dewasa; h caplak betina dewasa memiliki potensi reproduksi yang besar dan telur yang dihasilkan hampir seluruhnya fertil Woolley 1988,
Sonenshine 1991, Labuda Nuttal 2004, Valenzuela 2004.
Untuk genus Haemaphysalis telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Uchida et al. 1995 menemukan
antigen gen sekuen Rickettsia rickettsii pada jenis Haemaphysalis longicornis. Parola et al. 2003 melaporkan jenis Haemaphysalis hystris yang ditemukan
pada babi hutan di Vietnam menjadi vektor Ehrlichia sp. strain Ebm52 yang mirip Ehrlichia chaffee, jenis ini juga merupakan satu diantara penyakit zoonosis yang
penting. Dilaporkan juga bahwa tiga kejadian ehrlichiosis pada manusia sejak tahun 1991 dari jenis ini Dumler et al. 2001. Sementara itu Kim et al. 2006
menemukan bahwa Haemaphysalis sp. berperan sebagai vektor Anaplasma phagocytophilum, Anaplasma platys, Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii,
Ehrlichia canis, dan Rickettsia rickettsii dengan menggunakan PCR. Thekisoe et al. 2007 menemukan Trypanosoma sp. dengan PCR yang diisolasi dari kelenjar
air liur Haemaphysalis hystricis yang diambil di Osumi Peninsula, Jepang. Khan et al. 2004 melaporkan kematian lima badak sumatera yang ada di Sumatran
Rhino Conservation Center di Sungai Dusun, Malaysia, pada Oktober sampai dengan November 2003 disebabkan oleh Trypanosoma evansi. Hal tersebut
didasarkan pada temuan parasit tersebut melalui ulas darah pada dua badak. Dengan demikian resiko badak sumatera di SRS untuk terinfeksi Trypanosoma
sp. dengan adanya H. hystricis yang merupakan vektor alami dari Trypanosoma sp. harus diwaspadai agar tidak terulang kasus yang sama.
Untuk genus Amblyomma telah dilaporkan beberapa penelitian yang berkaitan dengan peranannya sebagai vektor. Yano et al. 2000 melaporkan
bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia japonica penyebab Japanese spotted fever. Cao et al. 2000
melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Cina Selatan berperan sebagai vektor Ehrlichia chaffensis dengan menggunakan PCR yang dicocokkan
dengan DNA sequencing. Parola et al. 2003 melaporkan bahwa jenis Amblyomma javanense yang dikoleksi dari Myanmar berperan sebagai vektor
Anaplasma sp. strain AnAj360. Swai et al. 2006 melaporkan bahwa jenis Amblyomma variegatum berperan sebagai vektor Theileria parva pada ternak
sapi di Tanga, Tanzania. Fournier et al. 2006 melaporkan bahwa jenis Amblyomma testudinarium di Jepang berperan sebagai vektor Rickettsia
tamurae sp.nov.
Gambar 19 Siklus Hidup Babesia bigemina Farmer 1980
Menurut Saraswati 2005 jenis parasit darah Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp. yang ada pada badak sumatera di SRS diakibatkan oleh
adanya caplak sebagai vektor mekaniknya Gambar 19, yaitu Amblyomma sp., Haemaphysalis sp., dan Boophilus sp. Hal tersebut diperkuat dengan hasil
penelitian Stokes-Greene 2006 di SRS, dimana ditemukan insidensi parasitemia berbagai protozoa darah pada badak sumatera di SRS yaitu:
Anaplasma marginale ≥ 27 tiap individu; Anaplasma centrale ≥ 10 tiap individu; serta Theileria sp. ≥ 15 tiap individu. Menurut Homer et al. 2000
semua jenis Babesia sp., yang merupakan protozoa darah, ditransmisikan oleh caplak Ixodidae ke inang vertebratanya, sehingga jenis-jenis caplak yang
ditemukan di SRS diduga berperan sebagai vektor protozoa darah. Namun demikian pemeriksaan spesifik pada caplak untuk tick-borne pathogens
menggunakan pemeriksaan molekuler seperti PCR Polymerase Chain Reaction yang biasanya digunakan untuk mengetahui anti-antibodi dari agen yang dibawa
oleh caplak.
4.5 Beberapa Alternatif Pengendalian