Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap PengawasanPendaftaran Jaminan Fidusia (Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012)

(1)

PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP PENGAWASAN PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA

(Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Nazia Tunisa Alham NIM 1110048000009

KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A 1435 H / 2014 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

KATA PENGANTAR ميحَرلا نَمحَرلا هَللا مسب

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, terrucap dengan tulus dan ikhlas Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini. Shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan khatamul anbiya’I walmursalin Muhammad SAW.

Dengan setulus hati ini penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis. Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang ditemui. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan oleh penulis didalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan waktu. Namun patut disyukuri karena banyak pengalaman yang didapat dalam penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari tanpa dorongan dari pembimbing dan semua pihak yang mendukung penelitian ini hingga selesai, pada kesempatan ini, izinkanlah penulis untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. H. JM. Muslimin, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, serta para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Isalam Negeri syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., MA, Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum.


(6)

vi

3. Dr. H. JM. Muslimin, M.A. dan Amrizal Siagian S.Hum., M.Si dosen yang telah membimbing selama penulisan skripsi.

4. Seluruh Staf Dosen dan pengajar yang ada di dalam lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis yang tak bisa disebutkan namanya tanpa mengurangi rasa hormat.

5. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Adnan Alham dan Ibunda Een Funainah Fu’at

serta Adikku Mutia Najmi Alham yang menjadi motivasi terbesar dalam hidup.

Mendidik, membantu, mendukung dan melimpahkan kasih sayang juga do’a yang

tiada henti kepada penulis.

6. Seluruh keluarga besar Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis 2010, dan perempuan-perempuan cantik Hukum Bisnis, Andi, Zikri, Setyo, Liza, Endah, Nourma, Bang Achonk, dan lainnya yang tak bisa disebutkan, telah memberikan segala dukungan dan hiburan kepada penulis, sehingga penulis selalu optimis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Khusus kepada Fino Filchoir yang memberi dukungan dengan caranya sendiri, Fika sebagai teman seperjuangan, Furqon saudara se ide, Dergamor Ninis, Defi, Ocha, Ajeng, Bibil untuk semua pembicaraan rahasia, dan M. Andriansyah. 8. Teman-teman cantik kosan, Siwi, Ilal Desi, Maria Ulfa, Novi, Winda.

9. Jimly School of Law and Government, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., Dr. Qomaruddin, SH. MH., Drs. Zafrullah Salim, MH., Mba Dwi, Bu Ida, Mas Hamdy, Mas Faqih, Mas Barhan dan Ka Thoink, terima kasih atas dukungan dan ilmu yang bermanfaat.


(7)

vii

10.Asosiasi Auditor Hukum Indoenesia (ASAHI), Alm. H. Sutito, SH., MH., semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT, Hadijanto SH., MH., Mas Irvan, Mba Novi, dan Mas Randy, terima kasih atas dukungan dan ilmu yang bermanfaat. 11.Semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan skripsi ini dan para

Lawyer yang memotivasi.

Akhirnya, atas jasa dan bantuan semua pihak berupa moril dan materil sampai

detik ini penulis panjatkan do’a, semoga Allah memberikan Balasan yang berlipat

dan menjadikannya amal jariyah yang tidak pernah berhenti mengalir hingga yaum al-akhir. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Semoga Allah senantiasa memberikan kemudahan bagi kita semua dalam menjalani hari esok. Amin.

Jakarta, Mei 2014


(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN ... i

LEMBAR PENGESAHANPEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

ABSTRAK ... BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

D.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

E. Tinjauan Kajian Terdahulu (study review) ... 8

F. Kerangka Konseptual ... 10

G.Metode Penelitian ... 11

H.Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN A.Sejarah Otoritas Jasa Keuangan ... 16


(9)

ix

C.Prinsip-prinsip Reformasi Sektor Keuangan ... 26

D.Fungsi dan Tujuan Pengawas Jasa Keuangan ... 29

E. Model Pengawasan Jasa Keuangan ... 30

BAB III OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT JAMINAN FIDUSIA A.Otoritas Jasa Keuangan ... 32

1. Pengertian Otoritas Jasa keuangan ... 32

2. Tujuan dan Asas-Asas Otoritas Jasa Keuangan ... 32

3. Tugas, Fungsi dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan ... 35

4. Struktur Otoritas Jasa Keuangan ... 37

B. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia ... 41

1. Pengertian Fidusia ... 41

2. Objek Jaminan Fidusia ... 43

3. Sifat Tambahan (Asessoir) dalam Jaminan Fidusia ... 44

4. Sifat Mendahului (Droit De Prefrence) dalam Jaminan Fidusia ... 45

5. Eksekusi Jaminan Fidusia ... 47 C.Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan Terkait Jaminan Fidusia . 51


(10)

x

BAB IV PERAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP

PENGAWASAN PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA

(Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012)

A.Analisa Peran Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pendaftaran Jaminan Fidusia ... 54 B. Analisis batasan sukarela pendaftaran jaminan fidusia dalam

Undang-Undang No 42 Tahun 1999 dan PMK No

130/pmk.010/2012 ... 69

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ... 76 B. Saran ... 77


(11)

xi ABSTRAK

NAZIA TUNISA ALHAM, NIM : 1110048000009, Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Jaminan Fidusia (Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012), Strata Satu (S1), Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 1435H/ 2014 M.

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksadana, perusahaan pembiayaan, dana pensiun dan asuransi. Pada dasarnya UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan hanya mengatur mengenai pengorganisasian dan tata pelaksanaan kegiatan keuangan dari lembaga yang memiliki kekuasaan didalam pengaturan dan pengawasan terhadap sektor jasa keuangan.

Hadirnya OJK diharapkan dapat menjaga sistem mekanisme dan koordinasi yang lebih efektif dalam penanganan masalah-masalah sistem keuangan, dengan demikian dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan dan adanya pengaturan dan pengawasan yang lebih terintegrasi.

Peran OJK sebagai pengawas tunggal di Indonesia sangat penting dalam sektor Lembaga Keuangan Non-Bank, dimana pendaftaran jaminan fidusia merupakan salah satu yang diawasi dan diatur oleh OJK. Transaksi jaminan fidusia akan berjalan baik jika aturan yang ada memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak dalam hal ini perusahaan dan konsumen. Hadirnya OJK harus memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Semakin aman transaksi yang dilakukan semakin lancar perekonomian Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, Penelitian yang didasarkan pada suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keungan, Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan No 130/PMK.010/2012.

Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan dan Jaminan Fidusia

Pembimbing : Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A dan Amrizal Siagian S.H M.Hum. Sumber Rujukan dari tahun 2001 sampai 2014.


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam pertumbuhan ekonomi dan teknologi saat ini, masyarkat dituntut cepat dan produktif untuk memenuhi kebutuhan (needs) dan keinginannya (wants) seperti moda transportasi yakni motor dan mobil. Hal ini menjadikan kendaraan sebagai kebutuhan mendasar bagi masyarakat (basic need). Konsep kendaraan sekarang ini telah mengalami pergeseran tidak hanya sebagai kebutuhan dasar saja, namun sebagai alat penunjang kegiatan usaha. Namun saat ini, kendaraan juga telah menjadi gaya hidup (life style), memberikan kemudahan dan menunjukan karakteristik serta kelas sosial. Kelebihan-kelebihan atas sesuatu produk mendorong masyarakat (konsumen) tergiur untuk memilikinya meskipun secara kemampuan dana (financial) untuk membelinya tidak mencukupi. Oleh karena itu dibutuhkan lembaga yang mampu untuk menjamin terhadap selera masyarakat. Kondisi seperti ini yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya lembaga pembiayaan konsumen dalam sektor Lembaga Keuangan Non-Bank, selain lembaga pembiayaan yang termasuk dalam Lembaga Keuangan Non-Bank adalah asuransi, pegadaian, dana pensiun, reksa dana, bursa efek dan lain-lain.

Lembaga pembiayaan dalam sektor Lembaga Keuangan Non-Bank merupakan salah satu alternatif pembiayaan yang dapat diberikan kepada konsumen selain bank sebagai sumber dana masyarakat. Dalam prakteknya


(13)

2

pembiayaan kendaraan bermotor melalui lembaga pembiayaan konsumen didasarkan pada alasan-alasan bahwa proses atau prosedur permohonan untuk mendapatkan pembiayaan sangat mudah serta tidak diperlukan adanya jaminan barang-barang lain selain barang yang bersangkutan dijadikan objek jaminan yang perikatanya dilakukan secara fidusia1.

Pada lembaga pembiayaan, pembiayaan konsumen dengan fidusia, sistem pembayaran fleksibel tidak memerlukan penyerahan barang jaminan atau agunan seperti dalam perum pegadaian menyesuaikan dengan tingkat kebutuhan konsumen, jumlah pembayaran setiap angsuran relatif kecil dan prosedur permohonan yang mudah, sehingga terasa sangat meringankan konsumen2.

Kegiatan pembiayaan kendaraan bermotor pada lembaga pembiayaan di sektor Lembaga Keuangan Non-Bank (yang selanjutnya disebut LKNB) diawasi oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga keuangan dan Menteri Keuangan sebagai pengaturan. Namun sejak lahir Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan pada 22 November 2011 terlah terjadi pergeseran dalam menerapkan model pengawasan terhadap industri keuangan.

1

Fidusia berasal dari kata fieds yang berarti kepercayaan. Kepercayaan mempunyai arti bahwa pemberi jaminan percaya dalam penyerahan hak miliknya tidak dimaksudkan untuk benar-benar menjadikan kreditur pemilik atas benda dalam hal ini kendaraan bermotor dan jika perjanjian pokok fidusia telah selesai, maka benda jaminan akan kembali menjadi milik pemberi jaminan. Sedangkan Jaminan fidusia berbeda dengan fidusia. jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud, benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dalam Undang-undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap ada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan dari pelunasan tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

2


(14)

3

Otoritas Jasa Keuangan (yang selanjutnya disebut OJK) adalah suatu lembaga pemegang otoritas tertinggi dan disebut lembaga extraordinary, dimana lembaga ini mendapatkan pemindahan fungsi pengaturan dan pengawasan pada lembaga-lembaga keuangan, seperti Perbankan, Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Non-Bank (asuransi, dana pensiun dan termasuk di dalamnya lembaga pembiayaan konsumen) seluruh bisnis keuangan di Indonesia berada di bawah pengaturan dan pengawasannya yang bebas dari intervensi pihak manapun. Namun pembentukan lembaga superpower menimbulkan kekhawatiran tentang kewenangan besar yang dimilikinya3.

Dasar pembentukan OJK merupakan amandemen dari Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Menurut penjelasan Pasal 34 OJK bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)4. Tugas dan wewenangnya meliputi microprudential, yaitu pengaturan pengawasan, manajemen risiko dan penindakan (administratif) terhadap kegiatan perbankan, pasar modal dan LNKB5, dengan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, yaitu independensi, terintegrasi, dan menghindari benturan kepentingan.

3

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta:Raih Asa Sukses, 2014), h.78 4

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta:Raih Asa Sukses, 2014), h.38

5

Nova Asmirawati, Catatan Singkat Terhadap Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legisasi Indonesia Vol. 9 No.3, 2012 hal. 139


(15)

4

Terkait pendaftaran jaminan fidusia pada kendaraan bermotor pandangan yang dipahami saat ini yaitu lembaga pembiayaan boleh mendaftarkan secara sukarela jaminan fidusia, artinya lembaga pembiayaan bebas memilih untuk mendaftakan pembebanan jaminan fidusia ke kantor pendaftaran jaminan fidusia atau tidak karena perjanjian fidusia dipisahkan dari perjanjian pokok (kredit)6 dan pandangan lain yang mengatakan bahwa tidak ada klausul yang kewajiban pembebanan jaminan fidusia oleh perusahaan pembiayaan7, sehingga perusahaan pembiayaan tidak berkewajiban untuk mendaftarkan jaminan fidusia.

Otoritas Jasa Keuangan sampai Febuari 2013 tengah menyiapkan aturan pengawasan bagi industri pembiayaan. Aturan pengawasan ini nantinya berlaku bagi semua perusahaan pembiayaan yang ada di Indonesia, baik yang telah mendaftar jaminan fidusia maupun yang belum. Aturan pembiayaan yang dibahas akan mengacu kepada persoalan kehati-hatian (prudential) dalam laporan keuangan industri pembiayaan. Selain itu, pengawasan difokuskan pada perhitungan risiko yang muncul dari perusahaan pembiayaan tersebut. OJK akan menerapkan peraturan sesuai dengan UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Serta tidak akan merevisi PMK No.130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, yang selama ini menjadi acuan dalam pelaksanaan fidusia.

6

Hukum Online, Pendaftaran Fidusia Bersifat Sukarela, diakses 08 Oktober 2013, pukul 8:17 PM http://www.m.hukumonline.com

7

Hukum Online, Wajib Tidaknya Pembebanan Fidusia terhadap Nasabah, diakses diakses 08 Oktober 2013, pukul 8:17 PM http://www.m.hukumonline.com


(16)

5

Berdasarkan hal tersebut di atas penulis mengajukan penelitian lebih

lanjut ke dalam bentuk sebuah skripsi dengan judul “Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Jaminan Fidusia (Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012)”

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana model pengawasan OJK terhadap sektor lembaga keuangan

non-bank sesuai UU No 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan; 2. Apakah pendaftran jaminan fidusia merupakan tugas pengawasan OJK; 3. Bagaimana prosedur pendaftaran jaminan fidusia sesuai UU No 42 Tahun

1999 dan PMK No 130/PMK010/2012;

4. Apakah jaminan fidusia dapat dipisahkan dari perjanjian pokok (kredit); 5. Bagaimana jika pembebanan jaminan fidusia dibebankan kepada nasabah atau

konsumen atau kreditor;

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan pengawasan OJK, penelitian ini mengambil titik fokus peran Otoritas Jasa Keuangan dalam fungsi dan tujuannya sebagai lembaga tertinggi dalam pengaturan dan pengawasan di sektor lembaga keuangan non-bank dalam hal ini lembaga pembiayaan konsumen kendaraan bermotor. Ruang lingkup ini dibatasi hanya pada tugas


(17)

6

Otoritas Jasa Keuangan menggunakan wewenang pengaturan yang memberi kepastian terhadap wajib tidaknya pendaftaran fidusia dalam pembiayaan kendaraan bermotor yang telah diterapkan sebelumnya pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.

Pembatasan pembahasan pendaftaran jaminan fidusia hanya pada lembaga keuangan non-bank dalam lembaga pembiayaan konsumen kendaraan bermotor, sehingga tercapai analisis tinjauan yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia.

2. Rumusan Masalah

Sebelum efektifnya OJK pendaftaran jaminan fidusia adalah wajib yang didasari pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia. Namun OJK terkesan menyatakan bahwa pendaftaran jaminan fidusia sifatnya sukarela, alasannya karena Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dipisahkan dari perjanjian kredit dan tidak bersifat wajib8.

8

Hukumonline.com, Wajib Tidaknya Pembebanan Fidusia Terhadap Nasabah diakses 08 Oktober 2013, pukul 8:17 PM http://www.m.hukumonline.com


(18)

7

Hal ini tentunya akan membingungkan sehingga berdampak menghambat dan mempersulit dalam pembiayaan kendaraan bermotor dengan jaminan fidusia pada perusahaan pembiayaan (multifinance), karena adanya multitafsir terhadap wajib tidaknya pendaftaran jaminan fidusia.

Sesuai dengan latar belakang dan dinamika diatas maka rumusan masalah yang penulis ajukan dalam tulisan ini adalah:

a. Bagaimana peran pengawasan Otoritas Jasa Keuangan sesuai Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan terhadap pendaftaran jaminan fidusia?

b. Bagaimana batasan sukarela pendaftaran jaminan fidusia dalam Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan PMK No 130/pmk.010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Bermotor untuk Kendaraan Bermotor dengan Pembebanan Jaminan Fidusia?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Menemukan akar masalah mengapa Otoritas Jasa Keuangan bertentangan

dengan UU No 42 Tahun 1999 dan Peraturan Menteri Keuangan No 130/PMK. 010/2012 dalam hal pendaftaran jaminan fidusia yang bersifat sukarela.


(19)

8

b. Menemukan hasil analisa wajib tidaknya pendaftaran jaminan fidusia dalam pembiayaan kendaraan bermotor pada lembaga pembiayaan.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Manfaat teoritis

1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh kalangan akademisi bagi perkembangan ilmu hukum terutama hukum jaminan;

2) Bagi penulis, penelitian ini diharapkan menjadi proses dan hasil pengetahuan hukum jaminan yang berguna dan dapat menjadi aset pustaka untuk dilankutkan pada penelitian yang sejenis.

b. Manfaat praktis

1) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan terhadap kepastian mengenai apa yang harus dilakukan lembaga pembiayaan sebagai kreditor dalam mendaftarkan jaminan fidusianya;

2) Dapat memberikan perlindungan kepada konsumen sebagai nasabah dari lembaga pembiayaan.

E. Tinjauan Kajian Terdahulu (Study Review)

Penelitian yang dilakukan terhadap jaminan fidusia dalam skripsi yang

berjudul “HAK DAN POLA EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA PADA


(20)

9

oleh Nadiyatul Millah, mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum jurusan Perbankan Syariah tahun 2010, yang mengambil titik fokus terhadap prosedur eksekusi jaminan fidusia dan hak jaminan kerjasama musyarokah dan mudarabah yang penelitiannya dilakukan di Bank Muamalat. Yang membedakan skripsi tersebut dengan penelitian penulis adalah titik fokus penulis terletak pada peran OJK terhadap wajib tidaknya pendaftaran jaminan fidusia pada lembaga pembiayaan dalam pembiayaan kendaraan bermotor.

Penelitian selanjutnya yang dijadikan review studi terdahulu adalah skripsi

dengan judul “PERLINDUNGAN KONSUMEN PERBANKAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (Studi Komparatif Perlindungan Konsumen Perbankan oleh Bank Indonesia), yang disusun oleh Arief Hananny, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang meneliti perbedaan kewenangan BI dengan OJK dalam perlindungan konsumen perbankan dan peluang apa saja serta tantangan perlindungan konsumen pasca lahirnya Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011. Yang membedakan skripsi tersebut dengan penelitian penulis adalah titik fokus penulis terletak pada peran OJK terhadap wajib tidaknya pendaftaran jaminan fidusia pada lembaga pembiayaan dalam pembiayaan kendaraan bermotor.

Sepanjang penulusuran penulis maka skripsi yang berjudul “Peran Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Jaminan Fidusia (Tinjauan Yuridis Peraturan Menteri Keuangan Nomor


(21)

10

130/PMK.010/2012)” belum pernah diangkat sebelumnya sebagai suatu judul

skripsi.

F. Kerangka Konseptual

Penulisan ini menggunakan beberapa kata yang akan sering digunakan. Dalam ilmu sosial konsep diambil dari teori.9 Dengan demikian kerangka konsep merupakan pengarah atau pendoman yang lebih nyata. Agar tidak terjadi perbedaan dalam mengartikan kata tersebut maka disesuaikan sebagai berikut: 1. Peran

Peran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat

2. Otoritas Jasa Keuangan.10

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

3. Pengawasan

Pengawasan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata awas yang berarti melihat baik-baik; tajam penglihatan. Sedangkan pengawasan berarti penilikan dan penjagaan.

9

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2008) h.127 10


(22)

11

4. Pendaftaran Jaminan Fidusia

Pendaftran jaminan fidusia merupakan proses, cara, perbuatan mendaftar atau mendaftarkan pencatatan nama, alamat dan sebagainya terhadap jaminan fidusia. Sedangkan Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.11

5. Peraturan Menteri Keuangan

Peraturan menteri keuangan adalah peraturan atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan untuk mencapai tujuan menyelenggarakan urusan di bidang keuangan dan kekayaan Negara dalam pemerintahan untuk membantu presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan Negara.

G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah yuridis normatif. Penelitian yang didasarkan pada suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan dalam penelitian hukum normatif dibangun


(23)

12

berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya adalah hukum hukum itu sendiri. Menurut Andras Albertus dan Andi Prajitno mengutip Hans Kelsen dalam bukunya Teori Hukum Murni (2006), ilmu hukum berupaya memahami objeknya secara hukum, yakni dari sudut pandang hukum. Sedangkan memahami sesuatu secara hukum berarti memahami hukum, sebagai norma hukum atau sebagai muatan dari norma hukum, sebagaimana ditetapkan oleh norma hukum.

2. Pendekatan Masalah

Sehubungan dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normative. Dalam studi hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep

(conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan karena penelitian ini memfokuskan pada kajian norma-norma dalam suatu aturan hukum terutama yang berkaitan langsung dengan undang-undang jaminan fidusia dan undang-undang otoritas jasa keuangan dan semua regulasi dan peraturan hukum lainnya yang berhubungan dengan peran OJK serta pendaftaran jaminan fidusia, sehingga dapat ditemukan ratio legis dan

operasional praktis lahirnya Peraturan Menteri Keuangan No 130/PMK. 010/2012 tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia12. Sedangkan pendekatan konsep digunakan untuk memahami

12


(24)

13

pendapat Otoritas Jasa Keuangan mengenai pendaftaran jaminan fidusia yang dapat dilakukan secara sukarela dalam artian tidak wajib, sehingga menyebabkan ketidak pastian hukum.

3. Sumber Data

Sumber bahan hukum penelitian terdiri atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan perincian sebagai berikut:

a. Bahan hukum terdiri atas Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, dan aturan perundang-undangan lain yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti.

b. Bahan hukum sekunder berasar dari literatur-literatur baik mengenai peraturan perndang-undangan, khususnya dibidang jasa keuangan dan buku-buku yang berkaitan dengan Otoritas Jasa Keunagan, fidusia dan pendaftaran jaminan fidusia, sebagai penunjang didapat dari narasumber langsung melalui wawancara, juga bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier berupa wawancara lapangan dengan perusahaan


(25)

Tbk-14

ISUZU Ciputat Branch, serta bahan-bahan yang bersifat menunjang sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus hukum dan website resmi dalam internet.

4. Teknik Pengumpulan Sumber Data

Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan secara library research (studi kepustakaan) berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasikan menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.

5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh bersifat preskriptif memberi petunjuk atau bergantung pada ketentuan yang berlaku, dihubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan sesuai dengan batasan yang telah dibuat. Cara pengolahan bahan hukum dianalisis untuk melihat seberapa besar dan jauhnya peran OJK terhadap pendaftaran jaminan fidusia.

H. Sistematika Penulisan

BAB I : PEDAHULUAN

Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.


(26)

15

BAB II : TINJAUAN UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN

Berisi tentang uraian kerangka teori pengawas jasa keuangan, pendekatan, prinsip reformasi keuangan, fungsi dan tujuan pengawas jasa keuangan dan model jasa keuangan.

BAB III : OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT JAMINAN FIDUSIA Pada bab ini penulis menjelaskan secara rinci dari temuan-temuan data terkait Otoritas Jasa Keuangan menurut Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dan jaminan fidusia sebagai jenis transaksi yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

BAB IV : PERAN OJK TERHADAP PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA ANALISIS YURIDIS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR130/PMK.010/2012

Dalam bab ini akan dibahas secara diagnostik analisis tentang peran OJK terhadap pendaftaran jaminan fidusia ditinjau dari Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2012 tentang tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia BAB V : PENUTUP


(27)

16 BAB II

TINJAUAN UMUM OTORITAS JASA KEUANGAN

A. Sejarah Otoritas Jasa Keuangan

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya keresahan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pembentukan OJK, yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan, dan amanat Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, pasal ini merupakan respon dari krisis Asia yang terjadi pada 1997-1998 yang berdampak pada Indonesia mengakibatkan banyak bank yang mengalami koleps sehingga timbul keresahan terhadap Bank Indonesia dalammengawasi bank-bank di Indonesia. Ide awal pembentukan OJK sebenarnya hasil kompromi untuk menghindarijalan buntu pembahasan undang-undang tentang Bank Indonesia oleh Dewan Perwakilan Rakyat.1 Secara historis gagasan pembentukan otoritas terjadi pasca krisis ekonomi pada tahun 1997 yang melumpuhkan industri perbankan, kondisi ini memperlihatkan lemahnya perlindungan terhadap konsumen perbankan yang menyebabkan Bank Indonesia harus mengeluarkan talangan

liquidity support atau dana bantuan likuditas Bank Indonesia (BLBI) dengan total Rp. 218,3 trilliun.2 Dana yang diberikan tidak hanya kepada bank swasta namun

1

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.36 2

Dewi Gemala, Aspek-aspek Hukum Dalam Perbankan dan Peransuransian Syariah di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 199


(28)

17

kepada Bank Exsim yang sekarang sudah dilebur kedalam Bank Mandiri. Gagasan pembentukan otoritas baru dimasukkan dan menjadi perintah oleh UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia3.

Namun pada tahun 2004 pemerintahan dan DPR tidak juga melahirkan otoritas baru tetapi merevisi UU Bank Indonesia, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang memberikan idependensi kepada bank sentral tujuannya agar Bank Indonesia (yang selanjutnya disebut BI) dengan pengelolaan moneter Negara tidak perlu dipusingkan lagi dengan masalah pengawasan perbankan yang selalu bersifat teknis4.

Pada akhir tahun 2010 UU OJK belum juga selesai perencanaan awal yang akan disahkan pada rapat paripurna 17 Desember 2010 tidak terlaksana. Pemerintah dan DPR tidak sepakat mengenai sturktur dan tata cara pembentukan Dewan Komisioner OJK, pemerintah mengusulkan Dewan Komisioner terdiri dari tujuh anggota dan dua orang diantaranya merupakan ex-officio yang otomatis berasal dari Kementrian Keuangan dan BI5.

Pada tahun 2011 parlemen (DPR) yang diketuai Priyo Budi Santoso menyetujui pengesahan RUU OJK menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR pada Oktober 2011, dengan hasil: (1) fungsi penyelidikan dan

3

Undang- Undang No. 23 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 3 Tahun 2004 jo. Undang- Undang No. 6 Tahun 2009

4

Tito Sulistio, Mencari Ekonomi Pro Pasar.: Catatan Tentang Pasar Modal, Privatisasi Dan Konglomerasi Lokal, (Jakarta: The Investor, 2004), h. 252

5

OJK, Liputan Khusus OJK:Selamat Datang Wasit Baru Industri Keuangan diunduh 13 Oktober 2013, pukul 8:17 PM http://www.lipsus.kontan.co.id


(29)

18

penyidikan OJK disepakati; (2) masa transisi BI yaitu 3 tahun sejak OJK diundangkan atau akhir 2014, untuk Bapepam-LK harus sudah melebur pada akhir 2012; (3) Dewan Komisioner harus sudah dipilih pada Juni 2012 yang mana panitia penyeleksi calon DK dipimpin oleh Menteri Keuangan.

Pada bulan Januari 2012 Presiden telah membentuk Panitia Seleksi pemilihan sembilan calon anggota Dewan Komisioner OJK dan pada Juli 2012 terpilihlah ketua dewan komisioner merangkap anggota dan delapan dewan komisoner merangkap anggota lainnya. OJK memiliki struktur dengan unsur

check and balance terlihat dari pemisahan jelas antara fungsi pengaturan dan fungsi pengawasan bertujuan untuk: (1) menciptakan ketegasan pemisahan antara tanggung jawab regulator (Dewan Komisioner) dengan tanggung jawab supervisor (kepala eksekutif masing-masing pengawas perbankan, pasar modal dan industri keuangan non-bank); (2) menghindar pemusatan kekuasaan yang terlalu besar pada satu pihak agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan; (3) mendorong terjadinya pembagian kerja (division of labor) sehingga tercipta profesionalisme dari spesialisasi di masing-masing fungsi pengaturan dan pengawasan6.

Pengalihan pengawasan perbankan dan non-perbankan akhirnya secara resmi dilimpahkan kepada Otoritas Jasa Keuangan pada 1 Januari 2014, agenda OJK diawal tahunnya mengawasi pasar modal, perbankan, reksa dana dan dana

6

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademin Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), (Jakarta: 2010), h.4


(30)

19

pensiun dengan masalah penarikan dana stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat atau taping off yang mempengaruhi kinerja ekonomi dan pasar modal Indonesia.7

Dalam naskah akademik yang menjadi landasan yuridispembentukan OJK yaitu Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia yang menyatakan bahwa: (1) tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang, (2) pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana yang dimaksud ayat (1), akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010.8Pada hakikatnya Pasal 34 dimaksud memberikan otoritas pengaturan dan pengawasan kepada lembaga pengawasan sektor jasa keuangan terhadap industri perbankan, pasar modal (sekuritas), dan industri keuangan non-bank (asuransi, dana pensiun, modal ventura dan perusahaan pembiayaan serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat).9 Menurut penjelasan Pasal 34 UU No. 3 Tahun 2004, OJK akan bersifat independen dalam menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di luar pemerintah dan berkewajiban

7

Vibiz News OJK Optimis Pasar Modal Indonesia Tetap Terbaik Di Asia, diunduh 20 Januari 2014, pukul 02:57 AM http://vibiznews.com

8

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia, ditetapkan bahwa OJK dibentuk paling lambat akhir 2010. Namun, sebelum diamandemenkan Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 bunyi kententuannya dalah:

”Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan/OJK) paling lambat harus dibentuk pada akhir 2002”.

9

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), (Jakarta: 2010), h.4


(31)

20

menyampaikan laporan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).10

Adapun landasan filosofis pembentukan Otoritas Jasa Keuangan bahwa OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan urusan kenegaraan yang terintegrasi secara baik dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintahan lainnya di dalam mencapai tujuan dan cita-cita kemerdekaan Indonesia yang tercantum dalam konstitusi Republik Indonesia. Dimana pengawasan terhadap perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank perlu dilakukan secara terpisah karena adanya perbedaan karakteristik dari masing-masing industri jasa keuagan tersebut, diharapkan dapat tercapainya spesialisasi dalam pengawasan, pengembangan metode pengawasan yang tepat, serta mengurangi luasnya rentang kendali pengawasan agar proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan atas keputusan tersebut menjadi lebih efisien dan efektif.11

Dengan dibentuknya OJK, fungsi, tugas, dan wewenang pembinaan dan pengawasan atas sektor jasa keuangan beralih ke institusi ini. OJK akan mengambil alih sebagian tugas dan wewenang Bank Indonesia, Ditjen Lembaga Keuangan, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK), dan isntitusi pemerintah lain yang memang mengawasi lembaga pengelola dana masyarakat. OJK menjadi lembaga pengawas perbankan dan lembaga

10

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.38 11

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah AkademinPembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), (Jakarta: 2010), h.5


(32)

21

keuangan non-bank, sebelum OJK terbentuk pengawasan perbankan dilakukan oleh BI dan pengawasan (supervisi) pasar modal dan lembaga keuangan non-bank dilakukan oleh BAPEPAM-LK, yang merupakan perwakilan dari Kementrian Keuangan. Tugas yang tetap dipegang BI adalah pengaturan kegiatan bank yang terkait dengan kewenangan otoritas moneter.12

Sedangkanlandasan sosiologis dari pembentukan OJK adalah peran pengaturan dan pengawasan yang dilakukan OJK harus diarahkan untuk menciptakan efisiensi, persaingan yang sehat, perlindungan konsumen, serta memelihara mekanisme pasar yang sehat. Untuk itu, prinsip kesetaraan pengaturan dan pengawasan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan transaparansi harus ditetapkan sedemikian rupa untuk menciptakan suatu aktifitas dan transaksi ekonomi yang teratur, efisien dan produktif, dan menjamin adanya perlindungan nasabah dan masyarakat.13 Saat ini sektor keuangan di Indonesia didominasi oleh bank umum, banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan yang meliputi tindakan moral hazard14 belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan dan tergantunganya stabilitas sistem keuangan semakin mendorong diperlakukannya pembentukan lembaga pengawasan di sektor jasa keuangan yang teintegrasi.

12

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.39 13

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah AkademinPembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), (Jakarta: 2010), h.5

14

Faktor moral yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan penipuan dalam kegiatan usaha. Misalnya penyelundupan hukum dalam konglomerasi bisnis.


(33)

22

Adapun maksud dari pembentukan OJK menurut para ahli atau pakar perbankan adalah sebagai berikut:

1. Menteri Keuangan, Agus Matroardjo:

Pembentukan OJK diperlukan untuk mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia.

2. Fuad Rahmany

OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab didalam OJK fungsi pengawasan dan peraturan dibuat terpisah.

3. Darmin Nasution

OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab suatu perekonomian yang kuat, stabil dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.

4. Deputi Gubernur BI sekarang sebagai Ketua Dewan Komisioner OJK

Terdapat empat pilar sektor keuangan yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis, persiapan refolusi terhadap lembaga-lemabaga keuangan yang ditengarai berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga.

Dalam Al-Quran telah dijelaskan tentang prinsip kepemimpinan yaitu dalam Surat Ali Imran ayat 118 yang berbunyi:


(34)

23                                               

)

Artinya:

Allah berfirman “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang di luar kalanganmu, karena mereka tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dimulut mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat

(Kami) jika kamu memahaminya”.(Q.S. Ali Imran [3]: 118)

Dengan demikian jelaslah pentingnya pemerintahan dalam hal ini lembaga dengan otoritas tertinggi dalam sektor keuangan, maka dengan adanya tugas pembantuan yang diemban oleh OJK diharapkan kehadirannya harus memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Semakin aman transaksi yang dilakukan semakin lancar perekonomian Indonesia, karena dalam Al-Quran pun pada saat surat Ali Imran ayat 118, Allah memerintahkan ummatNya untuk mengambil dan menjadikan orang-orang yang dipercaya dalam menjalankan roda pemerintahan yaitu orang-orang berasal dari golongannya, karena dianggap lebih dapat dipercaya dan lebih mengetahui kebutuhannya.

B. Pendekatan Pengawas Jasa Keuangan

Untuk melihat sistem mana yang lebih tepat untuk diterapkan dan kapan sebagiknya diterapkan dapat dilihat dari tiga pendekatan, yaitu:

Pertama pendekatan teoritis terdapat dua model dalam pengawasan sektor keuangan. Model pertama mengatakan bahwa pengawasan industri keuangan


(35)

24

sebaiknya dilakukan oleh sebuah institusi. Dipihak lain terdapat model pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa lembaga15. Di Inggris misalnya industri keuangan diawasi oleh satu lembaga yaitu

Financial Services Authority (FSA), sedangkan di Amerika Serikat industri keuangan diawasi oleh beberapa institusi, Security Exchange Commision (SEC) mengawasi perusahaan sekuritas, sedangkan industri perbankan diawasi oleh The Federal Reserve System (The Fed), Office of the Comptoller of the Currency

(OCC), Federal Deposit Insurance Corporation, (FDIC).

Alasan yang melatarbelakangi kedua model tersebut adalah kesesuaian dengan sistem perbankan yang dianut oleh masing-masing Negara, hal ini terjadi karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatunya sehingga sulit untuk menentukan apakah produk keuangan tertentu dihasilkan oleh industri perbankan sehingga harus diawasi oleh bank sentral atau produk dari lembaga keuangan lain, yang munculnya masalah kewenangan regulasi. Dari sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang berlaku yaitu Commercial banking system seperti yang berlaku di Indonesia dan di Amerika Srikat, melarang bank melakukan kegiatan usaha keuangan non-bank seperti asuransi,16 dan Universal banking system yang dianut oleh Negara-negara di Eropa dan Jepang, yang memperbolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non-bank seperti asuransi.

15

Zulkarnain Sitompul. “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan”, Pilars No. 2/Th.VII/12-18, (Januari, 2004) h.2.

16

Zulkarnain Sitompul. “Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan”, Pilars No. 2/Th.VII/12-18, (Januari, 2004) h.2


(36)

25

Belum ada contoh sukses tentang fungsi dan peran Otoritas Jasa Keuangan di berbagai Negara. Efektivitas Otoritas Jasa Keuangan masih dipertanyakan di seluruh dunia. Bahkan, Inggris yang menjadi pionir Otoritas Jasa Keuangan, juga mengalami kegagalan dan justru akan kembali ke sistem lama. Hal ini dipicu oleh kegagalan The Financial Service and Markets Act (FSA)mencegah krisis-krisis bank. Di Australia lembaga pengawas sektor keuangan The Australian Prudential Regulation Authority (APRA) juga mengalami kegagalan karena kesalahan serupa, yakni gagal dalam mencegah krisis-krisis bank.17

Kedua pendekatan empiris, survei yang dilakukan oleh Central Banking Publication tahun 1999 menunjukan bahwa 123 negara yang diteliti, tiga perempatnya memberikan wewenang pengawasan industri perbankan kepada bank sentral, pada Negara berkembang bank sentral dianggap memiliki sumber daya manusia dan dana.

Ketiga pendekatan politik dicabutnya kewenangan pengawasan dari bank sentral sejalan dengan munculnya kecendrungan pemberian independensi kepada bank sentral. Ada kekhawatiran dengan keindependenan bank sentral, jika bank sentral berwenang mengawasi bank maka bank sentral akan memiliki kewenangan yang sedemikian besar. Bank of England misalnya pada tahun 1997 mendapatkan keindependenan dan dua minggu kemudian kewenangan bank diambil alih dari bank sentral tersebut.18

17

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.329 18

Zulkarnain Sitompul. Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan, Pilars No. 2/Th.VII/12-18, (Januari, 2004) h.2


(37)

26

C. Prinsip-prinsip Reformasi Sektor Keuangan

Prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan reformasi dan reorganisasi lembaga-lembaga yang melaksanakan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan di Indonesia yakni Otoritas Jasa Keuangan adalah sebagai berikut:

1. Independensi

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga yang mengawasi kegiatan jasa keuangan dan transaksi keuangan oleh entitas bisnis yang berpotensi benturan kepentingan dan mempengaruhi pihak-pihak tertentu, maka OJK harus bebas dari intervensi termasuk pemerintah. Dalam tataran global, independensi dari lembaga pengatur dan pengawas jasa keuangan telah menjadi prinsip utama yang dikemukakan oleh organisasi-organisasi intrnasional di masing-masing industri keuangan. Pada umumnya organisasi pembuat standar internasional tersebut menyatakan perlunya secara oprasional lembaga pengatur dan pengawas sektor jasa keuangan memiliki independensi. Untuk menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan sehingga tujuan untuk menciptakan suatu kegiatan dan transaksi ekonomi dalam sistem keuangan yang efisien, transparan, dan akutabeldapat tercapai.19

2. Terintegrasi

Semakin pesatnya pertumbuhan kompleksitas kegiatan jasa keuangan sebagai akibat kemajuan yang luar biasa dibidang teknologi informasi dan inoviasi

19

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010.


(38)

27

produk finansial yang canggih (sophisticated) serta kecendrungan yang tidak bisa dihentikan dari entitas bisnis berbentuk konglomerasi dan adanya praktik-praktik arbitrase peratiran (regulatory arbitrage) dari entitas bisnis jasa keuangan adalah merupakan alasan-alasan pokok perlunya dilakukan suatu pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan (yang mencakup perbankan, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank) secara terintegrasi. Penjelasan singkat dari isu tentang konglomerasi dan arbitrase peraturan adalah sebagai berikut:20

a. Konglomerasi

Pertumbuhan dari berbagai entitas bisnis menjadi suatu bentung konglomerasi yang menawarkan berbagai produk dan jasa keuangan di lini bisnis perbankan, pasar modal, asuransi maupun lembaga pembiayaan non-bank lainnya merupakan suatu tantangan kompleksitas di dalam mengatur dan mengawasi kegiatan entitas yang berbentuk konglomerasi. Pengaturan dan pengawasan yang bersifat sub sektoral (oleh masing-masing lembaga pengawas secara tersendiri) dapat mengakibatkan tidak terdekteksinya resiko finansial dari kegiatan yang berada di wilayah abu-abu (grey area) dalam grup konglomerasi tersebut oleh otoritas pengawas sehingga dapat membahayakan tingkat kesehatan sistem keuangan.

20

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010. h.9


(39)

28

b. Arbitrase peraturan

Arbitrase peraturan adalah istilah yang merujuk pada praktik-praktik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga jasa keuangan dengan memilih diantara yuridiksi otoritas yang berbeda untuk memanfaatkan regulasi yang lebih longgar. Oleh karena itu, perlu selalu dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan dibidang jasa keuangan sehingga tercipta suatu kerangka aturan yang memiliki keseragaman di dalam standar pengaturan terhadap produk dan aktivitas jasa keuangan. Hal ini akan lebih efektif dilakukan dengan cara melakukan konsolidasi regulator sektor jasa keuangan ke dalam suatu lembaga pengatur dan pengawas yang terintegrasi guna mencegah praktik-praktik tersebut.

3. Menghindari benturan kepentingan

Benturan kepentingan yang muncul dari adanya penggabungan dua fungsi yang berada di dalam suatu lembaga merupakan suatu kenyataan dan pengalaman yang terjadi di beberapa Negara selama ini, misalnya pengaturan dan pengawasan perbankan yang dilaksanakan oleh bank sentral yang sekaligus berperan sebagai otoritas moneter. Benturan kepentingan dimaksud mengakibatkan berkurangnya efektiftas fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan adanya benturan kepentingan antara bank sentral sebagai otoritas moneter moneter dan bank sentral sebagai pengawas perbankan inilah yang


(40)

29

perlu dihindari dengan cara memisahkan fungsi pengawasan bank dari bank sentral yang fungsi utamanya adalah otoritas moneter.21

D. Fungsi dan Tujuan Pengawas Jasa Keuangan

Pengawasan sektorkeuangan dilaksanakan untuk memastikan pelaksanaan regulasi. Secara umum,fungsi pengawasan sektor keuangan di bagi menjadi tiga yaitu:22

1. Macro prudential Supervision; bertujuan membatasi krisis keuangan yang dapat menghancurkan ekonomi secara riil (berfokus pada konsekuensi atas tindakan institusi sistematis terhadap pasar keuangan), antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan apabila terdapat potensi ketidak seimbangan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangansuatu Negara.

2. Micro prudential Supervision; bertujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu. Regulator menetapkan peraturan yang berlandaskan pada prinsipkehati-hatian dan melakukan pengawasan melalui dua pendekatan yaitu: (i) analisis laporan bank (off-site analysis) dan pemeriksaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga keuangan terhadap peraturan yang berlaku

21

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK” 2010. h.10

22

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010. h.30


(41)

30

3. Conduct of Business Supervision; menekankan pada keselamatan konsumen sebagai klien atas kecurangan dan ketidakadilan yang mungkin terjadi.

E. Model Pengawasan Jasa Keuangan

Model pengawasan industri jasa keuangan diberbagai Negara di dunia sangat beragam yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar yaitu: 1. Multi Supervisory Model

Yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh lebih dari dua otoritas. Masing-masing industry jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnyadiatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda. Model ini diterapkan oleh beberapa Negara seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat Cina.23 2. Twin Peak Supervisory Model

Yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan perusahaan asuransi berada dalam satu juridksi pengaturan dan pengawasan tersendiri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta seluruh produk-produk jasa keuangan berada dalam satu juridiksi pengaturan dan pengawasan tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh Negara-negara seperti Australia dan Kanada.24

23

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010. h.10

24

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010. h.10


(42)

31

3. Unified Supervisory Model

Pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan, oleh otoritas yang terintegrasi di bawah satu lembaga atau badan yang dimiliki oleh otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencakup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Model ini mulai cenderung diterapkan di berbagai Negara sejak tahun 1997, yang pertama kali menerapkan model ini adalah Norwegia di tahun 1986. Sampai saat ini sudah lebih dari 30 negara menerapkan model ini. Model ini diterapkan oleh Negara-negara yang sektor keuangannya cukup besar dan maju seperti antara lain Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Jerman.25

25

Tim Panitia Antar Departemen Rancangan Undang-Undang tentang Otoritas Jasa Keuangan, Naskah Akademik: Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2010. h.11


(43)

32 BAB III

OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT JAMINAN FIDUSIA

A. Otoritas Jasa Keuangan

1. Pengertian Otoritas Jasa Keuangan

Pada 22 November 2011, telah disahkan dan diundangkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253. Menurut pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 21 Tahun 2011, menyebutkan:

“Otoritas Jasa keuangan yang selanjutnya disingkat OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang memiliki tugas, fungsi dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini”.

Independen dapat terkecuali apabila diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang OJK.

2. Tujuan dan Asas-Asas Otoritas Jasa Keuangan

Otoritas Jasa Keuangan adalah sebuah lembaga pengawasan jasa keuangan seperti industri perbankan, pasar modal, reksa dana, asuransi, dana pensiun dan perusahaan pembiayaan. Secara normatif ada empat tujuan pendirian OJK (1) meningkatkan dan memelihara kepercayaan publik di bidang jasa keuangan, (2) menegakkan peraturan perundang-undangan di


(44)

33

bidang jasa keuangan, (3) meningkatkan pemahaman publik mengenai bidang jasa keuangan, dan (4) melindungi kepentingan konsumen jasa keuangan.1

Menurut Pasal 4 UU OJK, Otoritas Jasa Keuangan dibentuk dengan tujuan agar keseluruhan kegiatan jasa keuangan di sektor jasa keuangan: (a) terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel; (b) serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; (c) Dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.

Dengan tujuan ini, OJK diharapkan dapat mendukung kepentingan sektor jasa keuangan nasional sehingga mampu meningkatkan daya saing nasional. Selain itu, OJK harus mampu menjaga kepentingan nasional antara lain sumber daya manusia, pengelolaan, pengendalian, dan kepemilikan disektor jasa keuangan, dengan tetap mempertimbangkan aspek globalisasi.2

Otiritas Jasa Keuangan dibentuk dan dilandasi atas prinsip-prinsip tata kelola yang baik yang meliputi independensi, akuntablitas, pertanggungjawaban, transparansi dan kewajaran. Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagai berikut:3

1

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.42 2

TIM Kerja Sama Pantia FEB-UGM dan FE-UI. Alternatif Stuktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik h.29

3

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.113


(45)

34

a. Asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Asas kepastian hukum, yakni asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasasn peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

c. Asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

d. Asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

e. Asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. Asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;

g. Asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.


(46)

35

3. Tugas, Fungsi dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

Agar tujuan di atas dapat tercapai, OJK memiliki fungsi menurut Pasal

5 UU OJK, “... menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan”.

Pengaturan dan pengawasan yang dilakukan OJK tercantum secara jelas batasannya dalam Pasal 6, yaitu dilakukan terhadap: (a) Kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan; (b) Kegiatan jasa keuangan disektor pasar modal; dan (c) Kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Selanjutnya dalam Pasal 8 disebutkan untuk melaksanakan tugas dan pengaturan dalam menjalankan perannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. Menetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini;

b. Menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; c. Menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

d. Menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; e. Menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK

f. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu;

g. Menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statute

pada lembaga lembaga jasa keuangan;

h. Menetapkan stuktur organisasi dan infrastuktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan


(47)

36

i. Mentapkan peraturan mengenai pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Ditambahkan pada Pasal 9 untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dalam pasal 6, OJK mempunyai wewenang:

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas dan pengawasan yang dilaksanakan oleh kepala eksekutif;

c. Melakukan pengawasan pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tidakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelola statute; f. Menetapkan penunjukan pengelola statute;

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut; 1) Izin usaha


(48)

37

3) Efektifnya pernyataan pendaftaran 4) Surat tanda daftar

5) Persetujuan melakukan kegiatan usaha 6) Pengesahan

7) Persetujuan atau penetapan pembubaran dan 8) Penetapan lain

Sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan lain.

4. Struktur Otoritas Jasa Keuangan

Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, OJK harus memiliki stuktur dengan prinsip check and balances. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisioner melalui pembagian tugas yang jelas demi pencapaian tujuan OJK. Tugas Dewan Komisioner meliputi bidang tugas terkait kode etik, pengawasan internal melalui mekanisme dewan audit, edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas dan wewenang pengawasan.4

Stuktur OJK diatur pada BAB IV pasal 10 sampai 25 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Stuktur OJK disini lebih dikenal dengan nama Dewan Komisioner. Dewan Komisioner ini

4

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.114


(49)

38

beranggotakan sembilan orang anggota yang ditetapkan dengan keputusan Presiden. Susunan Dewan Komisioner ini terdiri atas:

a. Seorang ketua merangkap anggota;

b. Seorang wakil ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota; c. Seorang kepala eksklusif Pengawas Pebrbankan merangkap anggota; d. Seorang kepala eksklusif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun,

Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan lainnya merangkap anggota;

e. Seorang ketua dewan audit merangkap anggota;

f. Seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan konsumen; g. Sorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

h. Seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I KementerianKeuangan.

Tabel 1.1

Struktur Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan5

Nama Jabatan

Muliaman Dharmansyah Hadad, Phd

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan

Dr. Rahmat Waluyanto, MBA Wakil Ketua Ketua Dewan

Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Ketua Komite Etik

Nelson Tampubolon, SE, MSM Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan Merangkap

Kepala Eksekutif Pengawas

Perbankan

5

Struktur Otoritas Jasa Keuangan pada awal pembentukaan. Di unduh tanggal 28 Febuari 2014. Pukul 12:00


(50)

39

Ir. Nurhaida, MBA Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal

Dr. Firdaus Djaelani, MA Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan Merangkap Kepala Pengawas Industri Keuangan Non-Bank

Dr. Kusumaningtuti

Sandriharmy Soetiono, SH, LLM

Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan yang

Membidangi Edukasi dan

Perlindungan Konsumen Prof. Dr. Ilya Avianti, SE, MSi,

AK, CPA

Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan merangkap Ketua Dewan Audit

Dr. Ir. Anny Ratnawati, MSc Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan Ex-officio

Kementrian Keuangan, Wakil

Menteri Keuangan Republik

Indonesia Dr. Halim Alamsyah, SH, SE,

MA

Anggota Dewan Komisioner

Otoritas Jasa Keuangan Ex-officio

Bank Indonesia, Deputi Gubernur Bank Indonesia

Secara kelembagaan OJK berada di luar pemerintahan dimaknai terlepas dan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur kekuasaan pemerintah, karena haikatnya OJK di sektor jasa keuangan yang memiliki relasi yang berkaitan dengan otoritas lain, seperti dalam hal fiskal dan moneter. Oleh karena itu lembaga ini mewakilkan unsur-unsur dari otoirtas lain secara ex-officio.6 Keberadaan ex-officio bertujuan dalam koordinasi, kerjasama, harmonisasi

6

Ex-officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.


(51)

40

dalam fiskal moneter dan sektor jasa keuangan. Keberadaan ex-offico juga diperlukan dalam menjaga kestabilitasan nasional dalam persaingan global dan kesepakatan internasional, kebutuhan koordinasi, pertukaran informasi demi memelihara stabilitas sistem keuangan. OJK harus merupakan bagian dari sistem penyelenggara urusan pemerintah yang berinteraksi dengan lembaga-lembaga Negara lainnya.7

Tugas pengaturan sebagai mana dimaksud dalam pasal 6 dilaksanakan oleh Dewan Komisioner. Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pasal 6, Dewan Komisioner menetapkan Peraturan OJK, Peraturan Dewan Komisioner, dan/atau Keputusan Dewan Komisioner. Berdasarkan Undang-undang OJK, selaku pimpinan OJK, anggota Dewan Komisioner memiliki tugas:8

a. Menetapkan stuktur organisasi, tugas pokok dan fungsi, rancang bangun infrastuktur dan teknologi informasi, sistem sumber daya manusia, dan standar prosedur operasional;

b. Menetapkan rencana kerja dan anggaran OJK tahun anggaran 2013; c. Mengangkat pejabat dan pegawai OJK;

d. Mengangkat pejabat dan pegawai organ pendukung Dewan Komisioner; dan

7

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan, (Jakarta: Raih Asa sukses, 2014), h.112 8

Subarjo Joyosumarto, Pemenuhan Kompetensi Dewan Komisioner dan Rekrutmen Pegawai OJK, (makalah dipresentasikan dalam seminar OJK) Jakarta 13 Febuari 2012, h.3


(52)

41

e. Menetapkan hal lain yang diperlukan dalam rangka pengalihan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan, dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.

B. Tinjauan Umum Jaminan Fidusia 1. Pengertian Fidusia

Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan, dalam terminologi Belanda disebut juga dengan istilah fiduciare eigendom overdracht. Fidusia berasal dari kata fieds yang berarti kepercayaan. Kepercayaan mempunyai arti bahwa pemberi jaminan percaya dalam penyerahan hak miliknya tidak dimaksudkan untuk benar-benar menjadikan kreditur pemilik atas benda dan jika perjanjian pokok fidusia dilunasi, maka benda jaminan akan kembali menjadi milik pemberi jaminan.9 Fidusia diatur oleh Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Perjanjian fidusia merupakan perjanjian yang tidak disebut secara khusus dalam KUH Perdata. Karena itu, perjanjian ini tergolong perjanjian tidak bernama (onbenoemde oveernkomst) namun tetap saja perjanjian fidusia harus tetap tunduk pada ketentuan bagian umum dari perikatan yang terdapat pada KUH Perdata (Oey Hoey Tiong, 1985: 32).10

9

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h.182

10


(53)

42

Pada prinsipnya jaminan fidusia11 adalah suatu jaminan utang yang bersifat kebendaan baik utang yang telah ada, yang akan ada, dan utang yang dapat ditentukan jumlahnya pada saat eksekusi berdasarkan suatu perjanjiaan pokok yang menimbulkan kewajiban untuk dipenuhi.12 Benda yang merupakan objek jaminan fidusia, merupakan barang bergerak dan barang-barang tidak bergerak dengan memberikan perluasan dan penikmatan atas benda objek jaminan utang tersebut kepada debitor dengan cara pengalihan hak milik atas benda objek jaminan tersebut kepada kreditor, kemudian pihak kreditor menyerahkan kembali penguasaan dan penikmatan atas benda tersebut kepada debitornya secara kepercayaan (fiduciary).

Dalam teori kepemilikan (title theory) apabila utang yang dijamin dengan jaminan fidusia sudah dibayar sesuai yang diperjanjikan, maka title

kepemilikan atas benda tersebut diserahkan kembali oleh kreditor kepada debitor. Sebaliknya apabila utang tidak dibayar lunas sesuai yang perjanjikan, maka benda objek fidusia tersebut harus dijual, dan dari hasil penjualan itu akan diambil untuk dan sebesar pelunasan utang sesuai perjanjian, sedangkan kelebihannya (jika ada) harus dikembalikan kepada debitor, dan apabila dari hasil penjualan benda objek jaminan fidusia ternyata tidak menutupi utang

11

Jaminan fidusia berbeda dengan fidusia. jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud, benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dalam Undang-undang No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap ada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan dari pelunasan tertentu, yang memberi kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

12


(54)

43

yang ada, maka debitor masih berkewajiban membayar sisa utang yang belum terbayarkan tersebut.

2. Objek Jaminan Fidusia

Dalam hukum Islam diatur mengenai benda yang menjadi objek jaminan, tertulis dalam firman Allah yang berbunyi:

                .... ) )

Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…”. (An-Nisa ayat 5).

Ayat di atas mengatur mengenai kejelasan benda yang menjadi objek perjanjian jaminan, sedangkan objek jaminan fidusia diatur lebih rinci dalam UU Jaminan Fidusia Pasal 1 ayat 4, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 20 Undang-Undang No 42 Tahun 1999. Benda-benda yang menjadi objek jaminan fidusia adalah:13

a. Benda yang harus dapat dimiliki dan dialihkan secara hukum,

b. Benda berwujud dan benda tidak berwujud, termasuk di dalamnya berupa piutang,

c. Benda bergerak dan benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan dan hipotek,

d. Benda yang sudah ada, maupun benda yang akan diperoleh kemudian. Dalam konteks benda yang akan diperoleh kemudian, tidak diperlukan suatu akta pembebanan fidusia tersendiri,

13Munir Fuady, “Jaminan Fidusia”


(55)

44

e. Satu satuan atau jenis benda dan lebih dari satu satuan atau jenis benda, f. Hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia,

g. Hasil klaim asuransi dari benda yang telah menjadi obejek jaminan fidusia,

h. Pesawat terbang dan helikopter yang telah terdaftar di Indonesia,14 i. Termasuk hasil dari benda yang telah menjadi objek fidusia,

j. Termasuk juga hasil klaim asuransi dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia

k. Benda persediaan (inventori, stok perdagangan).15

3. Sifat Tambahan (Asessoir) dalam Jaminan Fidusia

Dalam pembiayaan kendaraan bermotor, jaminan fidusia merupakan perjanjian tambahan (assesoir) yang mengandung arti bahwa keberadaan jaminan fidusia ditentukan oleh perjanjian lain (tidak dapat berdiri sendiri) yaitu perjanjian utama atau perjanjian pokok,16 hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-undang No 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, dan dalam

14

Menurut Pasal 9 Undang-Undang No 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pesawas sipil atau militer yang beroperasi di Indonesia wajib didaftarkan. Selanjutnya, Pasal 12 UU tersebut mengatur bahwa pesawat terbang dan helicopter yang telah terdaftar diikat dengan hipotek, kemudian hipotek itu harus didaftarkan.akan tetapi Undang-Undang No 15 Tahun 1992 telah dicabut dengan UU Penerbangan No 1Tahun 2009 yang tidak menebut-nyebut tentang hipotek atas pesawat dan helicopter. Jadi, hipotek hanya dapat kembali dilakukan pada kapal laut, sedangkan pesawat terbang dan helicopter hanya dapat diikat dengan jaminan fidusia.

15

Disebut floating atau mengambang karena jumlah benda yang menjadi objek jaminannya sering berubah-ubah, sesuai dengan persediaan stok yang mengikuti irama pembelian dan penjualan benda terebut. Sifat mengambang dari floating charge ini berubah menjadi spesifik (specific charge) ketika terjadi suatu tindakan yang disebut dengan kristalisasi yang muncul apabila terjadi keadaan-keaadaan: (1) Pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan. (2) Wanprestasi atas surat berharga yang dijamin dengan floating charge. (3) Pengangkatan curator oleh pengadilan.

16


(56)

45

fidusia yang merupakan perjanjian pokok adalah perjanjian utang-piutang, pada perusahaan pembiayaan konsumen lazim menggunakan perjanjian kredit17 yang kemudian menimbulkan sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokoknya, serta sifat mendahului (droit de prefence), yaitu hak didahulukan penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia dari kreditur-kreditur lain, dan sifat mengikuti benda yang menjadi jaminan (droit de suite). Jaminan kendaraan bermotor dengan penyerahan jaminan secara fidusia ditafsirkan banyak

kreditor sebagai “milik”, sehingga banyak kreditor menggunakan sita tarik

(revindicatori beslag) atas barang “miliknya sendiri” guna mengambil jalan

keluar bagi penyelesaian utang atau kredit bermasalah.18 Jika perjanjian pokok dalam hal ini perjanjian kredit tidak sah atau karena salah satu sebab hilang berlakunya maka, dinyatakan tidak berlaku. atau batal secara hukum.

4. Sifat Mendahului (Droit De Prefrence) dalam Jaminan Fidusia

Ketentuan Pasal 1133 KUH Perdata (hak istimewa untuk didahulukan pembayarannya) hanya memberikan hak preferensi kepada kreditur pemegang : (a) Hipotik (untuk kapal laut dan pesawat udara), (b) Gadai, (c) Hak Tanggungan (hak jaminan atas tanah), (d) Fidusia.

17

Perjanjian kredit bukan merupakan hak jaminan yang lahir berdasarkan undang-undang, melainkan lahir karena harus diperjanjikan terlebih dahulu antara kreditor (penerima fidusia) dan debitor (pemberi fidusia). Oleh karena itu secara yuridis pengikatan jaminan fidusia lebih bersifat khusus.

18Andreas Albertus Andi Prajitno, “


(1)

w w w . h u k u m o n lin e . co m

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 130/PMK.010/2012

TENTANG

PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN YANG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN

FIDUSIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka pembiayaan konsumen kendaraan bermotor oleh perusahaan pembiayaan, konsumen menyerahkan hak milik atas kendaraan bermotor secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan;

b. bahwa untuk memberikan kepastian hukum bagi perusahaan pembiayaan dan konsumen sehubungan dengan penyerahan hak milik atas kendaraan bermotor dari konsumen secara kepercayaan (fidusia) kepada perusahaan pembiayaan, perlu dilakukan pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Pembiayaan Yang Melakukan Pembiayaan Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889);

2. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan;

3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA BAGI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN YANG MELAKUKAN PEMBIAYAAN KONSUMEN UNTUK KENDARAAN BERMOTOR DENGAN PEMBEBANAN JAMINAN FIDUSIA.

Pasal 1

(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur mengenai jaminan fidusia.


(2)

w w w . h u k u m o n lin e . co m

(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:

a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah; dan/atau

b. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).

Pasal 2

Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian pembiayaan konsumen.

Pasal 3

Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.

Pasal 4

Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh Perusahaan Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor.

Pasal 5

(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi administratif secara bertahap berupa: a. peringatan;

b. pembekuan kegiatan usaha; atau c. pencabutan izin usaha.

(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing 60 (enam puluh) hari kalender.

(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi peringatan.

(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir dan

Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.

(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan.

(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.

(7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada


(3)

w w w . h u k u m o n lin e . co m

ayat (5) Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.

(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang bersangkutan.

Pasal 6

Perusahaan Pembiayaan yang telah melakukan perjanjian pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dapat melakukan pendaftaran jaminan fidusia sesuai kesepakatan dalam perjanjian pembiayaan konsumen antara Perusahaan Pembiayaan dengan konsumen.

Pasal 7

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan Di Jakarta Pada Tanggal 7 Agustus 2012

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Ttd.

AGUS D.W. MARTOWARDOJO

Diundangkan Di Jakarta Pada Tanggal 7 Agustus 2012

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, Ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 786


(4)

(5)

(6)

ASTRA CREDIT COMPANIES

SURAT KETERANGAN

NO:

/2014

Yang bertanda tangan di bawah ini;

Nama

: Ni Luh Setianingsih

Jabatan

:

Junior finance

Astra Credit Companies

Sesuai dengan Surat Dekan Fakultas Syariah dan HUkum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah No.Un.01/F4/KM.00

02/2988/2014 tanggal 5 Mei 2014 dengan ini menerangkan

bahwa;

Nama

: Nazia Tunisa Alham

NIM

: 1110048000009

Tempat tgl lahir

: Jakarta, 3 Febuari 1993

Semester

: VIII (delapan)

Jurusan/Konsentrasi

: Ilmu Hukum/Hukum Bisnis

Telah nyata melaksanakan wawancara serta memperoleh data

guna penulisan skripsi dengan judul “

Peran Otoritas Jasa

Keuangan Terhadap Pengawasan Pendaftaran Jaminan Fidusia

(Tinjauan

Yuridis

Peraturan

Menteri

Keuangan

No

130/PMK010/2012)”

pada PT Astra Internasional Tbk-Isuzu

Cioutat Branch.

Demikian surat keterangan ini dibuat, untuk dipergunakan

sebagaimana mestinya.

Jakarta, 19 Mei 2014