1
BAB. I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Di beberapa negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia peran bank dalam perekonomian sangatlah penting. Bank sangat penting dalam
hal menopang kekuatan dan kelancaran sistem pembayaran dan efektivitas kebijakan moneter. Lebih dari itu bank juga merupakan lembaga keuangan
yang paling sangat dibutuhkan dalam pembangunan ekonomi. Mandala Manurung dan Prathama Rahardja:2004:134
Pertumbuhan jumlah bank yang cepat yang dimulai dari tahun 1980-an ternyata membawa perekonomian Indonesia kesuatu tahapan baru dalam
perkembangannya. Peran sektor perbankan dalam memobilisasikan dana masyarakat untuk berbagai tujuan telah mengalami peningkatan yang sangat
besar. Sektor perbankan, yang sebelumnya tidak lebih hanya sebagai fasilitator kegiatan pemerintah dan beberapa perusahaan, telah berubah menjadi sektor
yang berpengaruh terhadap perekonomian. Sigit Triandaru dan Totok Budi Santoso:2009:17
Krisis moneter yang melanda Indonesia pada pertengahan 1997 telah memporak-porandakan bisnis perbankan di Indonesia. Ketika itu banyak bank
yang mengandalkan bisnisnya dibidang perkreditan telah hancur luluh sebagai akibat hancurnya bisnis pengusaha, baik pengusaha kecil maupun pengusaha
besar. Dunia usaha yang hancur berdampak pada rendah dan hilangnya kemampuan mengembalikan pinjaman nasabah pada bank sesuai dengan
2
kesepakatan semula, yang akhirnya mengganggu likuiditas bank. Di sini bank dalam kondisi sulit karena tidak mampu memaksa nasabah untuk
mengembalikan pinjaman beserta bunganya. Di sisi lain, perbankan tidak dapat berbuat banyak ketika menghadapi kesulitan likuiditas dalam jumlah yang
besar, terpaksa perbankan menempuh cara dengan mobilisasi dana dengan biaya yang tinggi yang akhirnya berdampak pada bisnis perbankan yang
menderita negative spread dalam pencapaian usahanya. Rivai Veithzal dan Veithzal Andria 2007:10
Bank merupakan lembaga keuangan yang terpenting yang mempengaruhi perekonomian baik secara mikro maupun secara makro. Fungsinya sebagai
perantara keuangan financial intermediary antara pihak-pihak yang surplus dengan pihak-pihak yang membutuhkan dana atau defisit. Dalam menjalankan
usahanya sebagai lembaga keuangan yang menjual kepercayaan dan jasa, setiap bank berusaha sebanyak mungkin menarik nasabah baru, memperbesar
dana-dananya dan juga memperbesar pembarian kredit dan jasa-jasanya Simorangkir, 2004: 10.
Bank umum konvensional di bagi kedalam Bank Umum Milik Pemerintah, Bank swasta, Bank swasta nasional devisa, Bank swasta nasional
nondevisa, Bank pembangunan daerah, Bank campuran, Bank asing. Dalam pembahasan kali ini peneliti mengambil objek penelitian berdasarkan data yang
di peroleh dari bank Indonesia mengenai bank PERSERO milik pemerintah, hal itu dikarenakan bank PERSERO milik pemerintah Bank Mandiri, Bank
Rakyat Indonesia, Bank Tabungan Negara, Bank Nasional Indonesia, dan Bank
3
Mutiara memiliki total asset perbankan yang terbesar kedua setelah bank umum swasta nasional devisa sumber: laporan pengawasan perbankan 2012.
Penyaluran kredit merupakan fokus dan merupakan kegiatan utama perbankan dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Meskipun terjadi krisis
finansial pada semester akhir tahun 2008, jumlah kredit yang disalurkan perbankan Indonesia per 31 Desember 2008 tercatat sebesar Rp. 1,3 triliyun,
mengalami peningkatan sebesar 35.72 dibandingkan dengan jumlah kredit per 31 Desember 2007 yang tercatat sebesar Rp. 971,5 milyar Jurnal
Keuangan dan Perbankan. Sri haryati, 2009 Kredit mampu mendorong dan menkonsilidasi serta memperkuat
kestabilan moneter. Kredit juga mampu meningkatkan pertumbuhan sektor riil dengan kredit investasinya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa, bank
mempunyai peranan dalam kelangsungan pembangunan bangsa. Dengan pemberian kredit, bank umum memberikan sumbangan yang penting terhadap
perputaran roda perekonomian negara. Berbicara tentang kredit, Kredit Pemilikan Rumah KPR merupakan
salah satu jenis kredit yang cukup popular saat ini. Karena kepopulerannya tersebut maka kredit ini memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam
naik turunnya rasio Non-Performing Loan pada suatu bank. Hal ini terbukti pada krisis global yang terjadi pada tahun 2008. Krisis yang awal mulanya
disebabkan oleh penyaluran kredit perumahan yang terlampau tinggi ini mampu mengguncang perokonomian Amerika Serikat dan juga negara-negara
di Eropa. Subprime mortgage merupakan istilah untuk kredit perumahan
4
mortgage yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai
kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat mulai di bawah USD200 miliar pada tahun 2002 hingga
menjadi sekitar USD500 miliar pada 2005.Kesalahan dalam pengelolaannya, menyebabkan subprime mortgage menjadi awal bencana krisis global yang
melanda Amerika Serikat. Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014, Edisi Januari 2009.
Pertumbuhan kredit properti yang sempat terpuruk pada tahun 2009, kembali menunjukkan perbaikan sejak pertengahan tahun 2010. Selama
Semester I-2011 kredit properti tumbuh 10,1 atau 17,8 yoy. Pertumbuhan selama Semester I-2011 tersebut lebih baik dibandingkan dengan dua semester
sebelumnya, terutama didorong oleh kondisi makroekonomi yang stabil. Dengan kebutuhan perumahan penduduk yang masih cukup besar, kredit
properti khususnya untuk rumah tinggal KPR diperkirakan berpeluang untuk tetap tumbuh. Pangsa kredit properti terhadap total kredit perbankan saat ini
masih relatif tidak terlalu besar, yaitu sekitar 13,2 terhadap total kredit www.bi.go.id
5
Gambar 1.1 Pertumbuhan dan Pangsa Kredit Properti
Sumber: bi.go.id
Dari gambar grafik 1.1 dapat dilihat perkembangan kredit properti di Indonesia mulai dari tahun 2006 hingga 2011 sangatlah berfluktuatif. Hal ini
dapat dilihat dari garis Growth Kredit Properti. Dari tahun 2006 terus berkembang cukup pesat hingga akhir tahun 2008. Sedangkan pada awal tahun
2009 pertumbuhan kredit KPR melemah pada titik 10 hingga awal tahun 2010. Penurunan pertumbuhan kredit tersebut di karenakan terjadinya kenaikan
suku bunga kredit KPR sehingga mempuat angka pertumbuhan KPR di Indonesia anjlok hingga mencapai titik 10. Namun pada tahun 2011
perkembangan bisnis KPR kembali meningkat akibat mulai adanya penstabilan suku bunga kredit KPR pada tahun tersebut sehingga mampu menarik
masyarakat untuk mengambil kredit KPR. Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediari yang perlu
diperhatikan bank dalam menyalurkan kredit adalah resiko yang mungkin akan
6
terjadi, salah satunya adalah kegagalan dalam pembayaran kredit default. Setiap bank pasti menghadapi masalah kredit macet. Bank tanpa kredit macet
merupakan hal yang aneh, kecuali bank-bank yang baru tentunya. Membicarakan kredit macet, sesungguhnya membicarakan risiko yang
terkandung dalam setiap pemberian kredit, dengan demikian bank tidak mungkin terhindar dari kredit macet. Kemacetan kredit adalah suatu hal yang
merupakan penyebab kesulitan terhadap bank itu sendiri, yaitu berupa kesulitan terutama yang menyangkut tingkat kesehatan bank, karenanya bank wajib
menghindarkan diri dari kredit macet Djumhana, 2003 :263. Semakin besarnya jumlah kredit yang diberikan, maka akan membawa
konsekuensi semakin besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Non Performing Loan NPL merupakan rasio yang digunakan
untuk mengukur kemampuan bank dalam meng-cover risiko kegagalan pengembalian kredit oleh debitur. NPL mencerminkan risiko kredit, semakin
tinggi tingkat NPL maka semakin besar pula risiko kredit yang ditanggung oleh pihak bank Masyhud, 2004 : 231. Akibat tingginya NPL perbankan harus
menyediakan pencadangan yang lebih besar, sehingga pada akhirnya modal bank ikut terkikis. Padahal besaran modal sangat mempengaruhi besarnya
ekspansi kredit. Besarnya NPL menjadi salah satu penyebab sulitnya perbankan dalam menyalurkan kredit.
7
Gambar 1.2 Grafik NPL Properti Indonesia
sumber: bi.go.id
Dari gambar tersebut risiko penyaluran kredit properti masih dapat dikendalikan dengan baik oleh pihak bank. Pada tahun 2006 terjadi golakan
ekonomi yang menyebabkan krenaikan suku bunga kredit. Akibat naiknya suku bunga kredit tersebut maka rasio kredit bermasalah sektor perumahan
khususnya KPR melonjak hingga menyentuh titik 4. Seiring kembali stabilnya perekonomian Indonesia pada saat itu rasio NPL sektor KPR terus
berkurang seiring dengan di munculkannya kebijakan pemerintah dalam menetapkan sukubunga kredit KPR di Indonesia. Rasio kredit KPR relatif
masih cukup rendah yaitu 2,5 per Juni 2011 sehingga peningkatan jumlah kredit bermasalah tampaknya masih dapat dikelola dengan baik oleh bank
Kajian Stabilitas Keuangan, 2011.
8
Tabel 1.1 Perbandingan Variabel Penelitian LDR, SBI,
Bank Size dan Inflasi terhadap NPL dalam
Tanggal LDR
Persen SBI
Persen Bank
Size Milyaran
Inflasi Persen
NPL Persen
Jan-06 59,73
12,72 566369,7
1,36 0,92
Jun-06 60,58
12,48 561048
0,45 1,04
Des-06 60,03
9,72 574380,9
1,21 0,83
Jan-07 58,98
9,48 625316,7
1,04 0,99
Jun-07 61,88
8,52 625028,8
0,23 1,04
Des-07 62,37
8,04 647888,1
1,1 0,84
Jan-08 64,12
8,04 1940886
1,77 0,9
Jun-08 71,32
8,52 1964717
2,46 0,75
Des-08 70,27
9,24 2066807
-0,04 0,53
Jan-09 71,45
8,76 827942,2
-0,07 0,62
Jun-09 74,79
6,96 838687,2
0,11 0,66
Des-09 69,55
6,48 858420,3
0,33 0,54
Jan-10 70,08
6,48 946019,3
0,84 0,56
Jun-10 75,63
6,48 951480,7
0,97 0,63
Des-10 71,54
6,48 975438,7
0,92 0,53
Jan-11 74,3
6,48 1081932
0,89 0,62
Jun-11 81,79
6,72 1094208
0,55 0,66
Des-11 74,75
6 1153453
0,57 0,47
Jan-12 76,58
6 1264736
0,76 0,32
Jun-12 81,51
5,76 1369620
0,62 0,31
Des-12 79,84
5,76 1535324
1,03 0,3
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia SPI www.bi.go.id data diolah
Dari data tabel 1.1 dari tahun 2006-2012 angaka LDR berada dibawah dari 75 sehingga bank Indonesia merubah kebijakan dalam melakukan
penghitungan LDR pada setiap bank, yaitu dengan memasukkan obligasi korporasi sebagai komponen kredit. Dengan adanya perubahan perhitungan
tersebut maka terbukti mengangkat nilai LDR bank di Indonesia khususnya pada bank PERSERO di Indonesia. sehingga pada Desember 2010 LDR bank
9
PERSERO di Indonesia menembus angka 75,54 sesuai dengan batas minimum LDR yang di keluarkan oleh Bank Indonesia.
Loan to Deposit Ratio, yang untuk selanjutnya disebut LDR, adalah rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam rupiah dan valuta asing, tidak
termasuk kredit kepada Bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam rupiah dan valuta asing, tidak termasuk
dana antar Bank.www.bi.go.id Menurut Mulyono 2001:101, Loan to Deposit Ratio LDR merupakan
rasio perbandingan antara jumlah dana yang disalurkan ke masyarakat kredit dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan. Loans
Ratio ini menggambarkan kemampuan bank membayar kembali penarikan yang dilakukan nasabah deposan dengan mengandalkan kredit yang diberikan
sebagai sumber likuiditasnya. Semakin tinggi Loan to Deposit Ratio memberikan indikasi semakin
rendahnya kemampuan likuiditas bank yang bersangkutan, hal ini disebabkan karena jumlah dana yang diperlukan untuk membiayai kredit menjadi semakin
besar. Sebaliknya, angka Loan to Deposit Ratio yang rendah menunjukkan tingkat ekspansi kredit yang rendah dibandingkan dengan dana yang
diterimanya dan menunjukkan bahwa bank masih jauh dari maksimal dalam menjalankan fungsi intermediasi Syahrial Muchtar, 2001.
Dari data tebel di atas pada tahun 2006, SBI berada di level 12,72 sedikit menurun dibanding posisi pada tahun 2005 sebesar 12,75. Sementara
itu, SBI selama Januari 2006 hingga Desember 2011 sesungguhnya relatif
10
stabil. Dengan kata lain, dengan semakin menurunnya suku bunga SBI hal tersebut diharapkan akan mampu mendorong perbankan secara umum untuk
menurunkan suku bunga kreditnya hingga pembiayaan kepada sektor riil akan meningkat dan pada tahap lebih lanjut mampu memberikan kontribusi yang
lebih besar bagi perkembangan ekonomi secara umum. Menurut Siswanto Sutojo, 2008:86 Suku bunga kredit merupakan sumber pendapatan terbesar
bank, serta mempunyai peranan penting dalam penentuan profitabilitas kegiatan pemberian kredit. Dilain pihak, suku bunga kredit merupakan salah satu sarana
bank untuk memenangkan persaingan di pasar. Oleh karena bunga kredit merupakan bagian terbesar penghasilan bank, jumlah penghasilan bunga harus
dapat menutup biaya yang ditanggung bank termasuk biaya pengadaan dana kredit, serta konstribusi biaya overhead dan biaya tetap yang lain, serta
menyisakan keuntungan. Biaya pengadaan dana kredit dari pasar uang memegang peranan penting dalam penentuan suku bunga kredit. Suku bunga
kredit juga ditentukan oleh perkembangan suku bunga di pasar uang dan pasar modal. Perkembangan suku bunga tidak terbatas pada kredit, melainkan juga
pada sekuritas. Tingkat resiko dan jangka waktu transaksi kredit juga menentukan tingkat suku bunga. Semakin panjang jangka waktu kredit, maka
akan semakin besar pula resiko yang harus ditanggung kreditor. Dari tabel tersebut rasio bank size cukup satabil. Rasio bank size ini
berasal dari hasil logaritma dari total asset yang dimiliki oleh bank PERSERO. Bank PERSERO memiliki total asset rata-rata berada di antara 35 dari
kelompok bank umum di Indonesia. Dengan total asset yang di miliki bank
11
PERSERO tersebut maka bank PERSERO akan memiliki dana yang liquid untuk mengembalikan kewajiban dari para nasabahnya. Semakin besar ukuran
bank maka semakin besar pula sumber dana bank yang likuid dalam menangani kredit yang bermasalah dalam bank tersebut.
Dari tabel di atas rasio perkembangan inflasi di Indonesia cukup berfluktuatif. Hal ini di karenakan terjadinya kebijakan kebijakan pemerintah
dalam menaikan beberapa harga bahan pokok yang menyebabkan menaiknya beberapa barang lain yang secara signifikan mampu menambah jumlah uang
beredar di Indonesia. missal pada tahun 2007 inflasi berada di kisaran 1,04. Menurut Menkeu, tingginya angka inflasi disebabkan oleh faktor harga pangan,
pengaruh pemakaian bahan bakar minyak BBM, serta faktor bencana alam yang akhir tahun lalu terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Dari data tabel di atas data NPL dati tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal ini di karenakan adanya peratuaran penetapan suku bunga
dalam hal kredit konsumtif terutama sektor perumahan. Dengan penetapan suku bunga rendah dalam melakukan pengambilan kredit di sektor perumahan
maka akan memperbaiki nilai non performing loan pada sektor KPR. Penentuan kredit perumahan ini juga membantu pemerintah dalam menangani
masalah kepemilikan perumahan yang layak bagi masyarakat Indonesia. Penelitian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi Non-Performing
Loan pada sektor perbankan telah banyak juga diteliti oleh peneliti-peneliti terdahulu, antara lain :
12
Penelitian yang dilakukan Syeda Zabeen Ahmed 2006 menujukkan hal lain yaitu adanya pengaruh negatif antara Bank Size dengan Non-Performing
Loan. Hal tersebut dikarenakan bahwa langkah-langkah alternatif dari bank size dapat menimbulkan dampak yang berbeda atas kredit non-performing
bank. Misalnya, bank size diukur dalam hal aset, memiliki dampak negatif terhadap NPL, sedangkan ukuran dari bank size dalam hal modal berpengaruh
positif dan signifikan terhadap NPL kotor tetapi efek yang dapat diabaikan pada NPL bersih. Sedangkan penelitian B.M. Misra dan Sarat Dhal 2010
studi ini menemukan bahwa variabel kredit berpengaruh signifikan terhadap kredit bermasalah bank dengan adanya ukuran bank bank size dan guncangan
ekonomi makro. Selain itu, langkah-langkah alternatif dari siklus bisnis dapat menimbulkan dampak yang berbeda pada bank-bamk penyalur kredit.sehingga
dapat disipulkan bahwa adanya pengaruh positif tidak signifikan antara Bank Size dengan Non-Performing Loan.
Penilaian terhadap nilai LDR yang meningkat dapat menaikan NPL atau sebaliknya yang didukung oleh penelitian Misra dan Dhal 2010 dikarenakan
semakin tinggi rasio LDR akan menunjukan ketidaklikuidan suatu bank yang dapat diukur dari nilai NPL yang tinggi. Namun hal tersebut bertolak belakang
dengan penelitian Ranjan dan Dhal 2003 dan Soebagio 2005 dimana nilai LDR menurun dan diikuti dengan nilai NPL yang meningkat atau sebaliknya.
Dikarenakan melambatnya dana pihak ketiga yang berhasil dihimpun oleh sektor perbankan.
13
Somoye, R.O.C. 2010 melakukan penelitian mengenai resiko kredit macet di Nigeria. Variabel dependennya adalah Non Performing Loan NPL
dan variabel independennya adalah tingkat kebijakan moneter, suku bunga, risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar, risiko suku bunga, produktif risiko,
solvabilitas Risiko. Menyimpulkan bahwa koefisien tingkat kebijakan moneter memiliki hubungan positif moderat dengan kredit bermasalah. Sebaliknya,
tingkat risiko suku bunga menunjukkan bahwa ia memiliki hubungan positif yang kuat, sedangkan yang risiko pendapatan yang sangat tinggi menunjukkan
bahwa ia memhiliki hubungan yang kuat sangat positif dengan kredit bermasalah.
Honny K Tanudjaja 2006 dalam penelitiannya yang membahas tentang kredit bermasalah perbankan nasional memiliki hubungan yang signifikan
dengan perubahan tingkat suku bunga, dan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan perubahan
variable-variabel makro ekonomi
yang menyatakan bahwa pengaruh variabel makro ekonomi terhadap kredit
bermasalah perbankan nasional menunjukkan bahwa perubahan tingkat suku bunga memberikan pengaruh yang signifikan, sedangkan variabel-variabel
makro ekonomi lainnya yang diuji tidak memberikan pengaruh yang signifikan.
Penelitian ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan penelitian lainnya mulai dari variabel dan data yang diambil dalam kurun waktu yang
berbeda. Dengan menggunakan data yang terbaru sehingga hasil yang didapat akan lebih menggambarkan situasi perbankan pada saat ini.
14
Disamping itu, Penelitian ini juga memberikan manfaat yang paling berpengaruh terhadap Bank PERSERO, diharapkan dengan hasil yang didapat
dari penenelitian ini manajemen Bank PERSERO mampu menjalankan fungsinya sebagai intermediasi dan mampu mengevaluasi hasil operasi
perusahaan dalam mengambil keputusan sehubungan dengan intermediasi bank.
Berdasarkan fenomena yang terjadi dan penelitian tedahulu yang telah dijelaskan maka penulis termotivasi untuk melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Pengaruh LDR, SBI, Bank Size dan Inflasi terhadap Non Performing Loan Kredit Kepemilikan Rumah Studi Kasus Bank
PERSERO tahun 2006-2012 ”
B. Perumusan Masalah