BAB III PENYERAHAN HAK ULAYAT PADA MASYARAKAT SUKU SAKAI
SESUAI DENGAN PERATURAN MENTERI AGRARIA KEPALA BADAN PERTANAHAN NOMOR 5 TAHUN 1999
A. Perkembangan Hak Ulayat Sebelum dan Sesudah Lahirnya PMABPN Nomor 5 Tahun 1999
Pada mulanya tanah adat dijumpai hampir pada seluruh wilayah Indonesia. Tetapi dengan bertambah kuatnya hak penguasaan pribadi atas bagian-bagian tanah
ulayat oleh para warga masyarakat hukum adatnya, juga karena faktor-faktor diluar masyarakat hukum adat yang bersangkutan sendiri, secara alamiah kekuatan hak
ulayatnya tambah lama makin tambah melemah, hingga akhirnya menjadi tidak tampak lagi keberadaannya karena pada kenyataannya keadaan dan perkembangan
hak ulayat saat ini sangat beragam, tidak mungkin dikatakan secara umum, bahwa di suatu daerah hak ulayat masyarakat hukum adatnya masih ada atau sudah ada lagi
atau tidak pernah ada sama sekali. Tanah ulayat merupakan tanah milik bersama dari masyarakat hukum adat,
tanah ulayat merupakan bagian dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat. Masyarakat diluar komunitas
masyarakat hukum adat, yang bermaksud mengambil hasil hutan, berburu atau
124
Universitas Sumatera Utara
membuka tanah, dilarang masuk lingkungan tanah wilayah suatu masyarakat hukum adat, tanpa izin penguasa adat. Dengan izin penguasa adat itu maka seseorang dapat
membuka tanah untuk berladang atau untuk dijadikan kebun tanaman muda, yaitu kebun yang ditanami dengan tanaman yang tidak memerlukan waktu lama untuk
dipungut hasilnya. Sebab orang asing hanya boleh menguasai atau mengerjakan tanaman yang dibukanya itu selama satu panen saja. Tanah yang dibuka itu
dikuasainya dengan hak pakai. Orang asing tidak boleh tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik.
99
Pasal 5 ayat 1 menyatakan, bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan mengikut sertakan pakar-pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi
yang mengelola sumber daya alam. Di dalam perkembangannya hak ulayat itu, walaupun diakui oleh undang-
undang, namun eksistensi masyarakat hukum adat itu semakin kabur, dalam arti kenyataannya masyarakat semakin menjauhi hukum adat itu, khususnya untuk hal-hal
tertentu antara lain mengenai pertanahan menurut adat istiadat hukum adat. Sebelum UUPA dikeluarkan terdapat sifat dualisme mengenai pertanahan,
disebabkan berlakunya dua jenis hukum mengenai pertanahan yaitu Hukum Adat dan
99
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal.190.
Universitas Sumatera Utara
Hukum Agraria yang didasarkan atas Hukum Barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA.
Pada dasarnya, sebelum lahirnya Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan
tumbuh dan mengakar dari Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa : “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria UUPA.
100
Hukum tanah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 tersebut
mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur
yang berstandar pada hukum agama. Pengakuan yang diberikan oleh UUPA terhadap hak ulayat masyarakat hukum
adat dengan syarat sebatas tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan bangsa, menjadi tolak awal adanya bentuk perlindungan hukum terhadap hak ulayat, hal
tersebut diakomodir dengan dikeluarkannya ketentuan agraria PMAKepala BPN
100
Muhammad Yamin,Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Cetakan I, Bandung, 2008, Hal.19.
Universitas Sumatera Utara
Nomor 5 tahun 1999, yang menjadi pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat.
Dalam Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Pasal 1, berisi tentang pengertian atas hak ulayat, tanah ulayat. Hak ulayat beserta tanah adat
yang merupakan milik dan menjadi kewenangan atas masyarakat adat, haruslah diakui keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat regional maupun nasional
sesuai dengan Pasal 3 UUPA. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari
suatu masyarakat hukum tertentu. Mengenai keberadaan tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan
membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk
keperluan pertanian dan sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk
jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau terlantar, hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan
dihapus. Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum
adat itu masih ada sesuai ketentuan.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 3 UUPA dan munculnya berbagai kasus tentang tanah ulayat yang timbul dalam skala Regional maupun Nasional yang
tidak pernah memperoleh penyelesaian secara tuntas, serta tidak ada kriteria objektif yang dipergunakan sebagai tolak ukur penentu keberadaan Hak Ulayat, maka
pemerintah menetapkan suatu peraturan perundangan melalui Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat masyarakat Hukum Adat. Keberadaan Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 telah memberi
peluang menuju pengakuan dan perlindungan terhadap hak masyarakat adat, sehingga penjabaran dan pelaksanaan ketentuan itu terpulang kepada kita untuk menyambutnya
dengan tetap menjaga persatuan dan kesatuan dalam menikmati hak-hak yang ada diperoleh dan disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku, serta strategi yang
diupayakan untuk melestarikan hak-hak masyarakat adat berkelanjutan. Hal ini merupakan penjabaran dari Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa pelaksanaan
hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.
Pada kenyataannya di daerah Kecamatan Mandau terdapat hak masyarakat adat yang hampir punah dan melemah seiring dengan perkembangan zaman. Suku
Sakai adalah komunitas aslipedalaman yang hidup di daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah di hutan.
Universitas Sumatera Utara
Namun seiring dengan berjalannya waktu, alam asri tempat mereka berlindung mulai punah. Kawasan yang tadinya hutan, berkembang menjadi daerah industri
perminyakan, usaha kehutanan, perkebunan karet dan kelapa sawit, dan sentra ekonomi. Komposisi masyarakatnya pun menjadi lebih heterogen dengan pendatang
baru dan pencari kerja dari berbagai kelompok masyarakat yang ada di Indonesia Jawa, Minang, Batak, dsb. Akibatnya, masyarakat Sakai pun mulai kehilangan
sumber penghidupan, sementara usaha atau kerja di bidang lain belum biasa mereka jalani. Lahan-lahan atas hutan dan tanah yang tadinya berada di tangan masyarakat
berpindah tangan ke pihak pemegang HTI dan HPH. Negara dalam hal ini berusaha memposisikan dirinya menurut Undang-
Undang Pokok Agraria yakni sebagai pemegang “hak menguasai” bukan “eigendom” atau pemilik. Pemilik sesungguhnya adalah masyarakat hukum adat. Pihak HPH dan
HTI adalah pihak yang diberi hak untuk “berusaha” diatas lahan milik masyarakat hukum adat yang dalam terminologi Negara berdaulat dapat dibaca sebagai Hak Guna
Usaha HGU diatas tanah ulayat yang dikuasai oleh Negara. Berdasarkan kerangka itu pemegang HGU harus menjalankan fungsi sosial
HGU tersebut sesuai dengan amanah Pasal 6 UUPA :”Semua hak-hak atas tanah berfungsi sosial” yang selama ini diabaikan oleh pihak pemegang HGU.
Universitas Sumatera Utara
B. Permasalahan Hukum Pada Waktu Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Sakai Kepada Pihak Lain.
Keluarnya Peraturan Menteri Agraria Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 sebagaimana dalam Pasal 4 ayat 1 b, menyebutkan bahwa penguasaan bidang-
bidang tanah yang termasuk tanah ulayat oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak
atas tanah menurut ketentuan UUPA, berdasarkan pemberian hak dari negara setelah tanah tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya dalam hal
ini khususnya masyarakat Suku Sakai, harus sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 4 ayat 2, Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa, penglepasan hak ulayat atas tanah masyarakat
hukum adat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang memerlukan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan
penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu yang setelah jangka waktunya habis, atau setelah tanah tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan
oleh pemegang Hak Guna Usaha tersebut maupun pemegang Hak Pakai tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai yang dimiliki
hapus, maka penggunaan selanjutnya atau perpanjangan harus dilakukan berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut telah membuka kemungkinan
warga diluar masyarakat Suku Sakai untuk mempergunakan tanah ulayat masyarakat Suku Sakai, dengan syarat sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 2 yaitu
terbatas hanya untuk keperluan pertanian dan keperluan lain dengan Hak Guna Usaha dan Hak Pakai dengan jangka waktu tertentu. Ketentuan Pasal 4 ayat 2 Peraturan
Menteri AgrariaKepala PBN Nomor 5 Tahun 1999 tersebut juga menyebutkan pemberian Hak Guna Usaha dan Hak Pakai berikut perpanjangan dan pembaharuan
berlakunya diberikan oleh negara, sehingga disinilah letak hak menguasai negara tersebut tampak kembali, yang dengan demikian secara tidak langsung ketentuan
tersebut akan melemahkan kedudukan hak ulayat masyarakat hukum adat, karena lambat laun tanah ulayat tersebut akan berkurang fungsinya bagi masyarakat hukum
adat tersebut, selain itu juga sejalan dengan perubahan pola kehidupan masyarakat karena dengan begitu lamanya jangka waktu yang diberikan untuk penggunaan tanah
ulayat masyarakat adat tersebut, bisa jadi masyarakat tersebut sudah tidak eksis lagi. Kemudian apabila dikaitkan dengan UUPA jo. Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai Atas Tanah, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah
Universitas Sumatera Utara
negara, begitu juga dengan hak pakai, bahwa tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai adalah juga tanah negara. Dengan demikian dengan ketentuan bahwa tanah
yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah negara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tersebut, maka berarti hak ulayat sebagaimana
yang dimaksud Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 adalah tanah negara, berarti dengan demikian adanya suatu pengingkaran
secara tidak langsung oleh negara terhadap kedudukan hak ulayat, yang oleh undang- undang sendiri telah diakui.
Pasal 12 dan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1999 juga membahas masalah ganti rugi terhadap tanah ulayat yang dibebani dengan dengan
Hak Guna Usaha dan Hak Pakai, yang menyebutkan bahwa Hak Guna Usaha dan Hak Pakai mempunyai kewajiban untuk membayar uang pemasukan kepada negara.
Akan tetapi Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999, telah mengatur pembayaran ganti kerugian kepada masyarakat hukum adat. Hal ini kembali
memperlihatkan bahwa tanah ulayat adalah merupakan tanah negara. Konsep hak menguasai negara merupakan suatu kewenangan yang dimiliki
oleh negara untuk memberikan suatu hak atas tanah atau hak-hak lainya kepada orang lain baik sendiri-sendiri maupun bersama- sama orang lain, serta badan-badan
hukum, dimana negara mempunyai kewenangan-kewenangan berkaitan dengan bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
yang menjadi dasar bagi negara untuk mengatur pemberian, penglepasan atau penyerahan hak atas tanah, termasuk hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat
kepada pihak lain. Bagi masyarakat Suku Sakai, kewenangan negara atas tanah termasuk tanah
ulayat masyarakat hukum adat, justru menyudutkan keberadaan mereka, sehingga pada kenyataannya mereka tidak menghendaki tanah ulayat mereka menjadi bagian
dari tanah negara, karena dengan pemberian kewenangan tersebut tentunya negara akan mempunyai hak sepenuhnya untuk memberikan ataupun melepaskan tanah
ulayat masyarakat Sakai kepada pihak lain dengan alasan pembangunan tanpa memperdulikan kehidupan mereka. Padahal disisi lain masyarakat mengharapkan
perlindungan yang lebih berpihak kepada mereka, karena apabila pemerintah dengan hak yang dipunyai kemudian memberikan hak penguasaan kepada perusahaan HPH
ataupun HTI, yang tidak memberdayakan masyarakat setempat, masyarakat hanya sebagai penonton dari kegiatan perusahaan tersebut, tidak melibatkan masyarakat
Sakai, kalau pun ada masyarakat Sakai yang dilibatkan hanya dijadikan sebagai kuli kasar saja, sehingga dengan demikian mereka menjadi lebih sulit dalam pemenuhan
kebutuhan hidup, karena selama ini tersedia dari alam akan tetapi dengan beralihnya hak atas tanah ulayat mereka kepada pihak lain maka alam tersebut bukan milik
mereka lagi, tidak ada kebebasan bagi mereka lagi untuk masuk hutan apalagi mengambil hasil hutan. Sehingga dapatlah dipahami mengapa masyarakat adat tidak
Universitas Sumatera Utara
menghendaki tanah ulayatnya menjadi bagian dari tanah negara, karena masyarakat merasa lebih memiliki hubungan dengan tanah ulayatnya, dimana hubungan tersebut
demikian kuatnya, karena ditanah tersebut merupakan tempat mereka menggantungkan seluruh hidupnya, sehingga tanah dianggap sebagai tempat mereka
hidup, tempat mencari nafkah dan tempat mereka dimakamkan, bahkan tempat hidup leluhur nenek moyang mereka.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Suku Sakai mereka terpaksa menjual tanah-tanah ulayat mereka karena terdesak ekonomi,
padahal sudah ada larangan menjual tanah ulayat. Pada waktu penyerahan hak atas tanah kepada pihak lain mereka terpaksa menjual tanah ulayat tersebut dengan harga
yang begitu murah karena pada dasarnya masyarakat Suku Sakai tidak memiliki sertifikat kepemilikan atas tanah, serta dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah
tentu tidak mengetahui harga pasar tanah.
101
Tindakan ini dilakukan warga karena hasil hutan semakin berkurang, sedangkan kebutuhan masyarakat terus bertambah.
Disinilah yang menyebabkan lemahnya kedudukan masyarakat Suku Sakai didepan hukum, dikarenakan tanah yang mereka jual tidak memiliki surat sertifikat
kepemilikan,sehingga pihak luar dapat dengan sewenang-wenangnya terhadap tanah ulayat tersebut.
101
Wawancara Penulis dengan Masyarakat Suku Sakai, Tanggal 25 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya M. Yatim mengemukakan, pembukaan hutan yang dilakukan oleh pemilik hak pengusahaan hutan HPH serta pengusaha kelapa sawit, selalu tidak
memeperdulikan hukum adat suku Sakai. Pemerintah sama sekali tak peduli dengan hak ulayat dan hutan ulayat yang ratusan tahun kami jaga. Seenaknya diserobot dan
diberikan kepada pengusaha HPH, dan perkebunan kelapa sawit. Dulu, hampir semua wilayah Duri, Kandis, hingga Dumai semuanya di Provinsi Riau ini adalah tanah
ulayat kami, di dalamnya ada hutan adat, hutan larangan, dan hutan perladangan.
102
Hutan adat hanya boleh diambil hasilnya, tetapi pohonnya tidak boleh ditebang. Hasil hutan yang boleh diambil di antaranya madu lebah di pohon dan
damar. Sedangkan hutan larangan, yang berada di sepanjang sungai, juga tidak boleh ditebang agar ekologi sungai tetap terjaga. Hutan perladangan boleh ditebang untuk
ladang dengan sistem rotasi. Aturan adat kami ada larangan menjual tanah ulayat, tapi warga terdesak
ekonomi sehingga mudah dibujuk. Ini tidak akan terjadi bila aparat setempat seperti kepala desa, camat, hingga Badan Pertanahan Nasional BPN tidak mengeluarkan
sertifikat atas tanah ulayat yang dijual itu.
103
Sejalan dengan itu, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, permasalahan tanah ulayat memang terus berkembang, terutama setelah
tumbuhnya perusahaan-perusahaan perkebunan dibalik penebangan-penebangan
102
Wawancara Penulis dengan M. Yatim, tin Desa Kesumbo Ampai, Tanggal 28 Maret 2010.
103
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hutan oleh pemegang HPH. Sejak masuknya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak dibidang perkebunan maupun industri, banyak tanah ulayat yang berpindah
tangan, tidak lagi dinikmati oleh penduduk setempat tetapi hanya mereka yang mendapat izin HPH tersebut. Meskipun bukan tidak banyak tanah yang diperoleh
pemegang HPH dengan membayar ganti rugi kepada penduduk, namun masih saja timbul persoalan karena adanya rasa tidak puas dari penduduk setempat, baik karena
ganti ruginya yang tidak memuaskan maupun karena perolehan tanah dibalik HPH itu banyak menimbulkan pertanyaan. Penebangan-penebangan hutan itu telah meliputi
seluruh Indonesia terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya.
104
Sebagai contoh ganti rugi yang pernah diberikan oleh perusahaan HPH dan HTI kepada masyarakat Sakai yang tidak memberikan manfaat dalam jangka waktu
yang panjang, yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan hidup mereka yaitu, ganti rugi berupa uang yang diberikan kepada masyarakat Sakai, yang oleh masyarakat
pada waktu itu langsung dibelikan televisi, parabola, sepeda motor, dan barang- barang lainnya, padahal di lingkungan masyarakat Suku Sakai tersebut tinggal belum
tersentuh oleh jaringan listrik PLN hanya diesel, sehingga pada akhirnya barang- barang tersebut tidak dapat dipergunakan oleh mereka, karena untuk kemudian
membayar biaya diesel untuk listrik setelah uang mereka habis tidak dapat mereka
104
A. Bazar Harahap, dkk, Tanah Ulayat Dalam Sistem Pertanahan Nasional, CV.Yani’s, Jakarta, 2005, Hal.1.
Universitas Sumatera Utara
lakukan lagi. Setelah uang ganti rugi itu habis masyarakat mulai kebingungan untuk memenuhi kebutuhan mereka, karena ladang, tanah dan hutan tempat mereka
memenuhi kebutuhan hidup telah beralih, sehingga pada akhirnya mereka malah dalam kondisi yang sangat memprihatinkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu pelepasan dan penyerahan tanah ulayat masyarakat adat dengan pemberian ganti kerugian recognitie haruslah dapat disesuaikan kepada
kebutuhan dasar mereka sebagai masyarakat tradisional, yang masih belum terlalu banyak tersentuh modernisasi.
Menurut ketentuan masyarakat hukum adat uang bukanlah suatu hal yang diutamakan, ada benda-benda yang menurut mereka mempunyai kedudukan yang
lebih tinggi dan bermanfaat untuk mendukung kehidupan masyarakat adat, seperti tanah yang menjadi tempat tinggal dan tempat mencari nafkah. Jika terjadi
penglepasan atas tanah ulayat milik masyarakat hukum adat, pemberian ganti rugi berupa uang tidak banyak memberikan manfaat untuk kelangsungan hidup mereka.
Pemberian ganti rugi akan lebih bermanfaat bagi mereka seperti penggantian tanah kembali yang dapat menunjang kelangsungan hidup mereka atau barang-barang yang
menjadi kebutuhan mereka sehari-hari. Pakar Hukum Pertanahan dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
UGM Maria Soemardjono mengatakan, perlindungan terhadap tanah ulayat bisa dilakukan jika pemerintah kabupaten memiliki niat baik untuk melindungi
Universitas Sumatera Utara
masyarakat asli. Payung hukum untuk melindungi tanah ulayat itu sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999. Jika masyarakat Sakai sudah punya peta tanah ulayat mereka, seharusnya sekarang tinggal dipetakan ulang.
105
Ketentuan pelepasan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak luar hukum adat berdasarkan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5
Tahun 1999 tersebut sebenarnya tidak berarti bahwa tanah ulayat tersebut menjadi hilang atau menjadi hak mutlak pihak lain, akan tetapi hanya penglepasan dan
penyerahan yang bersifat sementara. Oleh karena itu, pada masyarakat Suku Sakai diperbolehkan adanya penglepasan tanah ulayat masyarakat hukum adat Sakai kepada
pihak luar, yang bukan bagian dari masyarakat Suku Sakai, akan tetapi selama pelepasan dan penyerahan hak atas tanah ulayat tersebut sesuai dengan ketentuan adat
yang berlaku pada masyarakat Suku Sakai, yaitu berdasarkan izin dari Batin dan juga Kepala Desa. Para pembeli umumnya langsung mendapatkan sertifikat tanah yang
diperoleh setelah bekerjasama dengan kepala desa atau lurah, serta camat. Sementara, hutan ulayat yang digunakan warga Sakai tidak mempunyai surat tanah.
C. Solusi Dari Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah