masyarakat asli. Payung hukum untuk melindungi tanah ulayat itu sudah ada, yaitu Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5
Tahun 1999. Jika masyarakat Sakai sudah punya peta tanah ulayat mereka, seharusnya sekarang tinggal dipetakan ulang.
105
Ketentuan pelepasan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak luar hukum adat berdasarkan Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5
Tahun 1999 tersebut sebenarnya tidak berarti bahwa tanah ulayat tersebut menjadi hilang atau menjadi hak mutlak pihak lain, akan tetapi hanya penglepasan dan
penyerahan yang bersifat sementara. Oleh karena itu, pada masyarakat Suku Sakai diperbolehkan adanya penglepasan tanah ulayat masyarakat hukum adat Sakai kepada
pihak luar, yang bukan bagian dari masyarakat Suku Sakai, akan tetapi selama pelepasan dan penyerahan hak atas tanah ulayat tersebut sesuai dengan ketentuan adat
yang berlaku pada masyarakat Suku Sakai, yaitu berdasarkan izin dari Batin dan juga Kepala Desa. Para pembeli umumnya langsung mendapatkan sertifikat tanah yang
diperoleh setelah bekerjasama dengan kepala desa atau lurah, serta camat. Sementara, hutan ulayat yang digunakan warga Sakai tidak mempunyai surat tanah.
C. Solusi Dari Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah
105
Maria Soemardjono, Diabaikan, Hak Ulayat Sakai Payung Hukum Sebenarnya Ada, Tergantung Niat Baik Pemda, Kompas 26- Maret-2007.
Universitas Sumatera Utara
Tanah adat tanah ulayat adalah tanah yang berada dalam penguasaan suatu masyarakat hukum adat MHA. UUPA dan PP 241997 tidak memerintahkan
pendaftaran hak Ulayat, juga tidak dimasukkan ke dalam golongan objek pendaftaran tanah. Berbeda dengan prosedur mendapatkan tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan
lain-lain, untuk mendapatkan tanah Ulayat, pihak tersebut mengadakan musyawarah dahulu dengan wakil dari masyarakat hukum adat untuk mencapai kesepakatan
pelepasan hak. Jika tercapai kesepakatan, maka dibuatkan suatu aktasurat pelepasan hak yang berisi:
1.pernyataan pelepasan hak; 2. pemberian ganti rugi.
Setelah pelepasan hak terjadi, maka status tanah adat tersebut berubah menjadi Tanah Negara, maka pihak yang membutuhkan harus melakukan prosedur permohonan hak
terhadap tanah negara.
106
Pengambilalihan tanah-tanah rakyat yang kemudian diklaim sebagai tanah negara memang menimbulkan dampak berganda yang berakhir dengan ketiadaan
pilihan bagi masyarakat untuk berontak. Pengaplingan lahan hutan menjadi konsesi- konsesi pengusahaan bukan saja mempersempit ruang hidup masyarakat namun juga
memutus akses mereka terhadap sumber daya hutan. Ini hanya bisa terjadi disebuah negara yang menempatkan pemerintah sebagai sebuah kekuatan yang memiliki
106
Wawancara dengan pihak BPN Kabupaten Bengkalis, tanggal 20 Agustus 2010.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan yang sangat besar terhadap sumber daya publik. Pemerintah memang mengakui keberadaan masyarakat beserta sistem
penguasaan lahannya. Semua diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5
Tahun 1967 yang kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Kehutanan No.41 Tahun 1999. Namun lagi, tegas pula dinyatakan bahwa meskipun ada pengakuan
namun kesempatan untuk menuntut hak pemanfaatan hasil hutan maupun hak ulayat atas tanah tidak diperkenankan melebihi kepentingan nasional. Artinya lagi bila
negara telah memberikan hak kepada pengusaha kehutanan untuk mengambil manfaat diatas hutan tersebut maka rakyat harus merelakan mensubsidi pengusaha tersebut.
Karena dalam anggapan pemerintah, keberadaan industri ditempat tersebut akan
memberikan tetesan keuntungan bagi masyarakat sekitar.
Pada masyarakat Suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai saat ini, perusahaan HTI yang beroperasi di wilayah tanah adat mereka, memberikan ganti rugi berupa
lahan perkebunan karet yang diberikan kepada masyarakat Suku Sakai sebagai ganti dari hutan mereka yang dijadikan hutan tanaman industri. Hal ini jelas lebih
bermanfaat dari pada uang yang dahulu pernah diberikan sebagai bentuk ganti rugi, yang lebih cepat habis karena masyarakat sendiri tidak dapat mengolah uang tersebut
dalam jangka waktu yang panjang. Adapun pemberian ganti rugi tersebut dilakukan setelah mendapat izin dari kepala adat, yang telah terlebih dahulu melakukan
Universitas Sumatera Utara
musyawarah dengan seluruh anggota persekutuan tersebut, dalam hal ini masyarakat Suku Sakai.
Menurut Kudin jika terjadi suatu permasalahan dalam penyelesaian sengketa masalah penyerahan hak atas tanah mereka akan langsung menyerahkan pemecahan
masalah tersebut kepada Batin.
107
Jika Batin juga tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut maka pemerintah terlibat langsung dalam penyelesaian
masalah tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kantor Badan Pertanahan
Kabupaten Bengkalis, apabila terjadinya persengketaan antara masyarakat Sakai dengan pihak ketiga, jika tanah yang bersengketa tersebut tidak bersertifikat, maka
BPN hanya dapat memberikan mediasi dari kedua belah pihak.
108
Disilah tidak nampaknya ketegasan dari pemerintah untuk melindungi tanah adat masyarakat. Walaupun hanya sebagai pihak mediasi tapi tetap saja pemerintah
lebih memegang kepada norma hukum yang berlaku, yaitu lebih berpihak kepada pihak pembeli yang pada umumnya langsung mendapatkan sertifikat tanah yang
diperoleh setelah bekerjasama dengan kepala desa atau lurah, serta camat. Sedangkan hutan ulayat yang digunakan warga Sakai tidak mempunyai surat tanah.
107
Wawancara Penulis dengan Kudin, Masyarakat Suku Sakai, Tanggal 25 Maret 2010.
108
Wawancara Penulis dengan Budi, Kepala Bagian Badan Pertanahan Kabupaten Bengkalis di Bengkalis, Tanggal 20 Maret 2010.
Universitas Sumatera Utara
Pembangunan memang sangat memerlukan tanah sebagai sarana utamanya, akan tetapi dipihak lain sebagian besar dari masyarakat juga memerlukan tanah
tersebut sebagai tempat pemukiman, terutama bagi masyarakat hukum adat, tanah merupakan tempat hidup mereka sampai mati, selain tempat mereka tinggal, tempat
mereka mencari makan, sampai tempat mereka di makamkan. Oleh karena itu bila tanah tersebut diambil begitu saja maka jelas mengorbankan hak azasi masyarakat,
khususnya masyarakat Suku Sakai, yang seharusnya tidak terjadi dalam Negara yang menganut prinsip “rule of law” karena secara jelas dalam Pasal 6 ayat 1 dan 2
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, telah ditegaskan bahwa hak adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam
lingkungan masyarakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak azasi manusia dalam masyarakat yang bersangkutan
dengan memperhatikan hukum dan Perundang-undangan, serta dalam rangka penegakan hak azasi manusia tersebut, identitas budaya nasional masyarakat hukum
adat, hak-hak adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan
asas-asas hukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat ini harus diperhatikan dan
dilindungi oleh hukum, masyarakat dan pemerintah dalam rangka pembinaan dan perkembangan hukum itu sendiri.
Universitas Sumatera Utara
Sehingga apa yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-
kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang sehingga
tercapai ketertiban dan kepastian sebagai prasarana yang harus ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa, sekaligus berfungsi sebagai arena
penunjang perkembangan modernisasi dan perkembangan yang menyeluruh.
109
Penyelesaian masalah hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Sakai dengan pihak lain berdasarkan PMABPN Nomor 5 Tahun 1999 dapat ditempuh dengan dua
cara yaitu : melalui jalur pengadilan dan luar pengadilan, jika dilakukan melalui jalur pengadilan biasanya pihak yang menang adalah pihak yang ekonominya kuat,
pengadilan biasanya tidak berpihak kepada masyarakat adat. Dalam penelitian yang dilakukan pada masyarakat suku Sakai jika terdapat masalah atau sengketa terhadap
tanah ulayat dengan pihak lain biasanya dilakukan dengan cara luar pengadilan, yaitu mediasi ataupun cara musyawarah antara kedua pihak yang bersengketa, biasanya
masyarakat sakai diberikan ganti rugi oleh pihak lain sehingga terselesaikannya sengketa diantara kedua belah pihak tersebut.
Oleh karena itu sudah saatnya pemerintah memikirkan keberadaan nasib masyarakat adat secara sungguh-sungguh. Bukan dimaksudkan untuk meninggikan
109
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2006, Hal. 112.
Universitas Sumatera Utara
kelompok masyarakat hukum adat ini dari masyarakat lainnya, akan tetapi karena kekerabatan dalam masyarakat ini juga memiliki kearifan dalam menjaga lingkungan.
Penyeragaman pengelolaan sumber daya alam selama ini, baik di sektor pertambangan, kehutanan maupun perkebunan, malah terbukti menghancurkan
sumber daya alam tersebut, yang pada akhirnya juga akan menghancurkan masa depan generasi penerus bangsa ini, karena akan kehilangan sumber penghidupan,
sementara bencana karena kerusakan hutan akan terus terjadi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN