2. Kriteria dan Penentuan Adanya Hak Ulayat
Hak ulayat merupakan serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam
lingkungan wilayahnya, yang sebagian telah diuraikan diatas merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang bersangkutan sepanjang masa.
Sebagaimana telah kita ketahui wewenang dan kewajiban tersebut ada yang termasuk dalam bidang hukum perdata. Yaitu yang berhubungan dengan hak bersama
kepunyaan atas tanah tersebut. Ada juga yang termasuk dalam hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan,
penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya. Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah
masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dikuasai oleh seseorang maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tanah umumnya batas wilayah
hak ulayat masyarakat hukum adat teritorial tidak dapat ditentukan secara pasti. Masyarakat hukum adatlah sebagai penjelmaan dari seluruh anggotanya yang
mempunyai hak ulayat, bukan orang seorang. Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan keluar. Kedalam berhubungan dengan para warganya,
sedangkan kekuatan berlaku keluar dalam hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya yang disebut “orang asing”.
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban yang utama penguasaan adat yang bersumber pada hak ulayat ialah memelihara kesejahteraan dan kepentingan anggota masyarakat hukumnya, menjaga
jangan sampai timbul perselisihan mengenai penguasaan dan pemakaian tanah dan kalau terjadi sengketa ia wajib menyelesaikannya. Berhubungan dengan
tanggungjawabnya mengenai kesejahteraan masyarakat hukumnya maka pada asasnya penguasa adat tidak diperbolehkan mengasingkan seluruh atau sebagian
tanah wilayahya kepada siapapun.
Menyinggung masalah hak ulayat tidak lepas dari asas-asas yang terkandung dalam UUPA salah satu diantaranya, asas pada tingkatan tertinggi, bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi maksudnya bukan memiliki hak atas
tanah, melainkan hanya sekedar menguasainya saja. Menurut Boedi Harsono,
38
pengertian peguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penggunaan yuridis dilandasi
hak, yang dilindungi oleh hukum dari umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga
penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan menyewa yang
38
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaan, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, 1999, Hal. 145.
Universitas Sumatera Utara
menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya,
berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam hukum tanah kita dikenal juga penguasaan yuridis yang tidak
memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas
tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah.
Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” diatas dipakai dalam aspek perdata. Pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti
yang dirumuskan dalam Pasal 2 UUPA. Pengertian “penguasaan” dipakai dalam arti yuridis, baik penguasaan yang beraspek perdata maupun publik. Pengertian “Hak
Penguasaan Atas Tanah” dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai “ hak penguasaan atas tanah”. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus
ditetapkan tata jenjang nasional kita, yaitu : 1.
Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek pada perdata dan publik.
2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata beraspek
publik.
Universitas Sumatera Utara
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3, beraspek
perdata dan publik. 4.
Hak perorangan individual, semuanya beraspek perdata, terdiri atas : a.
Hak-hak atas Tanah sebagai hak-hak individual yang semuanya secara langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang disebut
dalam Pasal 16 dan 53. b.
Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan Pasal 49. c.
Hak Jaminan atas Tanah yang disebut “Hak Tanggungan” dalam Pasal 25, 33, dan 51.
Hal ini secara jelas dijabarkan dalam Pasal 2 UUPA, bahwa perkataan “dikuasai” disini bukan berarti ‘dimiliki” akan tetapi pengertian yang memberikan
wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat untuk pada tingkatan tertinggi :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan
pemeliharan bumi,air, dan ruang angkasa b.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa.
Universitas Sumatera Utara
Hak menguasai dari negara tersebut diatas ditujukan untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia. Kekuasaan negara tersebut mengenai semua bumi, air, dan ruang angkasa, baik yang sudah dihaki maupun yang tidak. Kekuasaan negara
mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa negara memberi kekuasaan kepada yang mempunyai
untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas kekuasaan negara tersebut. Kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang
atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut, negara dapat memberikan
tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, atau
Hak Pakai, atau memberikannya dalam pengelolaan kepada suatu badan penguasa departemen, jawatan, atau daerah swatantra untuk dipergunakan bagi pelaksanaan
tugasnya masing-masing. Dalam pelaksanaannya, hak menguasai dari negara tersebut dapat dikuasakan
kepada daerah-daerah swatantra dan masyarakat hukum adat sekadar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
Peraturan Pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam kaitannya dengan hak ulayat, diterbitkan Peraturan Menteri Negara AgrariaBPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak
Ulayat Masyarakat Hukum Adat untuk dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak
ulayat masyarakat hukum adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan, dengan penjelasan sebagai berikut :
1 mengenai muatan pokok dan maksud dikeluarkannya peraturan. Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan
terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
a. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” Pasal 1;
b. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari
masyarakat hukum adat Pasal 2 dan Pasal 5; c.
Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya Pasal 3 dan Pasal 4.
Maksud dikeluarkannya peraturan ini adalah untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan
Universitas Sumatera Utara
serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat, dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional.
Pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal diatas diwenangkan kepada daerah menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai dengan maksud
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan dengan demikian akan lebih mampu menyerap aspirasi masyarakat setempat.
2 Mengenai pengertian hak ulayat. Pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria menetapkan bahwa “hak ulayat dan
hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu “menurut
kenyataannya masih ada”. Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
didefinisikan sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan
para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang
Universitas Sumatera Utara
berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu
masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.
Subjek hak ulayat ini adalah masyarakat hukum adat, baik merupakan persekutuan hukum yang didasarkan pada kesamaan tempat tinggal teritorial,
maupun yang didasarkan pada keturunan genealogis, yang dikenal dengan berbagai nama yang khas di daerah yang bersangkutan, misalnya suku, marga, dati, dusun
nagari dan sebagainya. Apabila ada orang yang seakan-akan merupakan subjek hak ulayat, maka orang tersebut adalah ketua atau tertua adat yang memperoleh
pelimpahan kewenangan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adatnya. Ia bukanlah subjek hak ulayat, melainkan petugas
masyarakat hukum adatnya dalam melaksanakan kewenangan yang bersangkutan dengan hak ulayat.
3 Mengenai kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat. Tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat
meliputi 3 unsur, sebagaimana Pasal 2 ayat 2 PMA 51999 yaitu : a.
Unsur masyarakat adat, yaitu terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
Universitas Sumatera Utara
hukum tertentu, yang mengakui dan menetapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
b. Unsur wilayah, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan
hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehar-hari, dan
c. Unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya, yaitu
terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga
persekutuan hukum tersebut. Penelitian mengenai ketiga unsur tersebut dan penentuan masih adanya hak ulayat
dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikut sertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-pihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara
objektif, yaitu antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi yang bertanggung jawab mengenai pengelolaan sumber daya
alam misalnya instansi kehutanan, pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya.
Selanjutnya dalam rangka memastikan masih adanya tanah ulayat tersebut, keberadaannya perlu dinyatakan dalam peta pendaftaran tanah dengan mencantumkan
suatu tanda kartografi yang sesuai, sekiranya pada kenyataannya batas-batas tanah yang bersangkutan dapat ditentukan menurut tata cara penentuan batas dalam
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan pendaftaran tanah, batas tersebut dapat digambarkan pada peta dasar pendaftaran tanahnya dan dicatat pula dalam daftar tanah yang ada. Semua itu perlu
diatur sesuai dengan keadaan masing-masing daerah dalam Peraturan Daerah, yang dimaksud dalam Pasal 6 ketentuan yang demikian sebenarnya tidak cukup, sebab
berdasarkan Pasal 19 UUPA jo. PP No. 24 Tahun 1997 bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah
Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang telah dicabut oleh PP No.24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah hak ulayat mengalami suatu kendala, karena
sebagaimana Pasal 9 PP No.24 Tahun 1997 bahwa objek pendaftaran tanah meliputi : bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna
bangunan dan hak pakai, tanah hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun, hak tanggungan, tanah negara.
4 Mengenai pelaksanaan hak ulayat oleh masyarakat hukum adat. Hak ulayat memberikan kewenangan tertentu kepada masyarakat hukum adat
terhadap tanah ulayatnya yang sumber, dasar pelaksanaan, dan ketentuan tata cara pelaksanaannya adalah hukum adat yang bersangkutan. Kewenangan tersebut
meliputi hak penguasaan tanah oleh para warganya Pasal 4 ayat 1 huruf a dan pelaksanaan tanah untuk keperluan “orang luar” Pasal 4 ayat 1 huruf b. Mengingat
Universitas Sumatera Utara
hukum adat itu bersifat dinamis, maka hak penguasaan tanah yang diperoleh menurut hukum adat oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan apabila
dikehendaki boleh didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut Undang- Undang Pokok Agraria. Dengan demikian tujuan “meletakkan dasar-dasar untuk
mengadakan kesatuan hukum dan kesederhanan dalam hukum pertanahan” sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria akan dapat terwujud
secara alamiah dan bertahap. Dalam pada itu dapat dipastikan bahwa pada waktu dikeluarkannya Peraturan
Daerah yang mengatur hak ulayat nanti akan terdapat bidang-bidang tanah yang sesuai dipunyai perseorangan atau badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah
menurut Undang-undang Pokok Agraria atau sudah diperoleh menurut ketentuan dan tata cara yang berlaku walaupun haknya secara administratif belum diperoleh.
Berdasarkan pemikiran bahwa bidang-bidang tanah ini sudah diperoleh secara sah, yaitu dengan membeli atau membebaskannya dari hak-hak dan kepentingan yang ada
di atasnya, maka pelaksanaan hak ulayat atas bidang-bidang tanah ini dikecualikan Pasal 3 UUPA.
Menurut prinsip Hukum Adat yang diakui eksistensinya oleh undang-undang agraria intensitas hubungan seseorang dengan tanah akan menentukan tebal tipis
haknya atas tanah tersebut. Makin lama dan intensif hubungan seseorang dengan tanah, makin tebal haknya atas tanah tersebut. Djojodiguno teori mulur-mungkret”
Universitas Sumatera Utara
Supomo “individualis-sering proces”. Secara kultural, rakyat Indonesia acapkali disebut sebagai masyarakat “oral cultural”.
39
Dokumen atau catatan tertulis sebagai bukti suatu hak bukanlah sesuatu yang penting. Bukti yang kuat adalah hubungan
kongkret seperti tanaman dan pengetahuan dari anggota masyarakat hukum sekitarnya. Sistem girik bukanlah asli budaya Indonesia. Girik adalah sistem
administrasi Hindia Belanda untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, diterima resepsi sebagai bukti pemilihan atas tanah. Begitu pula pengertian “tanah dikuasai
negara” dalam praktek, negara atau pemerintah diberi wewenang untuk memberikan hak tanah kepada siapapun tanpa menghiraukan hubungan yang telah ada antara
rakyat dengan tanah. Praktek semacam ini sangat kolonialistik dan bertentangan dengan undang-undang dasar. Asas “domein” pada masa kolonial masih ada batas,
yaitu dibedakan antara “vrijlandsdomein” dan “onvrijlandsdomein”. Terhadap “onvrijlandsdo-mein” pemerintah koloniali tidak akan memberikan kepada pihak lain
karena diatas tanah tersebut diakui hak masyarakat atas tanah seperti hak ulayat dan lain-lain. Sebaliknya dimasa merdeka lebih-lebih setelah ada Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960. Dalam kenyataan pengertian hak negara menguasai negara bergeser seperti “domein” pada masa kolonial, bahkan lebih. Pemerintah atas nama negara
berkuasa penuh menyerahkan atau memberikan hak atas sebidang tanah negara tanpa harus menghiraukan hak-hak yang secara sosio-kultural ada pada rakyat. Hukum
39
Ibid, Hal.262.
Universitas Sumatera Utara
menjadi bentuk formal di tangan para penguasa. Satu hal pokok yang di lupakan, begitu pula dari sudut Undang-Undang Dasar. Hak negara menguasai tanah adalah
induk kepentingan rakyat. Sangat tepat ungkapan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 karena itu tidak boleh dipilah atau dipisahkan dikuasai negara itu untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Kalau tanah, sebidang tanah telah dipergunakan rakyat, maka tercapailah salah satu tujuan penguasaan negara atas tanah, yaitu untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat. Jadi, negara atau pemerintah harus mengutamakan hak rakyat atas tanah daripada kepentingan lain yang datang kemudian. Inilah inti paham
tanah dikuasai negara.
B. Otonomi Daerah Dan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah
Setelah Indonesia merdeka, penghapusan terhadap segala kolonialisme menciptakan babak baru penyelenggaraan pemerintah daerah di Indonesia. Para
founding fathers mulai merintis kebijakan baru penyelenggara pemerintah daerah yang merujuk pada kedaulatan rakyat sesuai dengan nilai demokrasi yang tertanam
dalam konstitusi. Konsensus yang dicapai oleh founding fathers kiranya merupakan hal yang tepat, yaitu pembangunan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka
negara kesatuan melalui desentralisasi dan otonomi daerah sebagai instrumen perekatnya. Pemikiran ini merupakan hal yang bijaksana mengingat pada kondisi
geografis Indonesia yang begitu luas dengan segala kemajemukan dan
Universitas Sumatera Utara
kompleksitasnya menyebabkan tuntutan kebutuhan untuk mengakomodasikannya dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Secara teoritis dan faktual,
pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi tidak akan menyebabkan terjadinya disintegrasi nasional, tetapi justru kondusif bagi tercapainya integritas
nasional. Pemberian status otonom kepada kelompok masyarakat lokal merupakan jiwa besar pemerintah sebagai bentuk penghargaan terhadap perbedaan yang ada
sehingga akan mendorong masyarakat lokal berpartisipasi dalam skala daerah maupun nasional.
40
Pergeseran stuktur politik dan pemerintahan dari model sentralisasi menuju kearah desentralisasi merupakan sebuah langkah yang penting dalam rangka
pemberdayaan masyarakat adat. Keluarnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang kemudian dirubah dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
menandai dimulainya otonomi daerah yang didalamnya terdapat harapan pembangunan daerah sesuai dengan kepentingan dan kehendak daerah, serta
merupakan harapan baru bagi pengembangan komunitas lokal. Hal ini dapat dilihat dengan adanya otonomi desa, yang secara eksplesit menegaskan desa dikembalikan
kepada asal usulnya, yakni adat. Adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah
merupakan pedoman guideline dalam pelaksanaan otonom daerah yang diarahkan
40
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 63-64
Universitas Sumatera Utara
untuk memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah DPRD. Pemberian peran yang lebih dominan kepada DPRD pada prinsipnya ditujukan pada pengembangan demokratisasi didaerah
sehingga akuntabilitas penyelenggaraan pemerintah daerah dapat terjamin.
41
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah, yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi
daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat
nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya otonomi daerah harus dipahami sebagai perwujudan pertanggungjawaban
konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan
otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta
41
Ibid, Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
42
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14
yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk kabupatenkota merupakan urusan yang berskala kabupatenkota meliputi poin k
tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga, sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin b, yang menyebutkan bahwa
prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan
diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan demikian daerah memiliki kewenangan membuat arah kebijakan daerah
untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Selanjutnya juga kebijakan nasional di bidang pertanahan saat ini, melalui kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah
kabupatenkota dan provinsi, secara tegas dijelaskan bahwa sebagian kewenangan pemerintah di bidang pertanahan, dilaksanakan oleh pemerintah kabupatenkota,
meliputi :
42
Ibid, Hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
1. Pemberian izin lokasi; 2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3. Penyelesaian sengketa tanah garapan; 4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan satuan tanah untuk penbangunan;
5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee; 6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; 8. Pemberian izin membuka tanah;
9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupatenkota.
43
Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupatenkota serta desa
merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat
luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus
turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah
maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan.
Sebagaimana apa yang dinyatakan Hari Sabarno dalam bukunya bahwa :
43
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU Press, Pekanbaru, 2005, Hal.9.
Universitas Sumatera Utara
Tolak ukur utama keberhasilan otonomi pada suatu daerah tidak lain adalah pada masyarakat daerah itu sendiri. Masyarakat merupakan bagian utama
pemerintahan. Oleh sebab itu, selain tanggungjawab pelaksanaan otonomi di tangan Kepala Daerah, DPRD, dan aparat pelaksananya, masyarakat harus
menjadi pelaksana utama dalam otonomi daerah tersebut.
44
Adapun dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan pengaturannya di bidang pertanahan tersebut, yaitu meliputi
penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan memberikan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun kabupatenkota.
Sedangkan mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA. Adapun pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti
fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan
kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai
tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan
penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan
44
Hari Sabarno, Op.Cit, Hal.44.
Universitas Sumatera Utara
yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.
45
Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA.
Hak ulayat dari unsuraspek hukum publik juga memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,
pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam
hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia. Hak ulayat dari unsuraspek hukum publik berlaku
terbatas hanya pada suatu wilayah masyarakat hukum adat tertentu bersifat lokal, sedangkan hak menguasai tanah oleh negara berlaku untuk semua tanah yang ada di
wilayah Republik Indonesia bersifat nasional.
46
Biarpun bemacam-macam, tetapi semua hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk
berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang atau diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan atas tanah yang diatur
dalam hukum tanah.
45
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23
46
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini didukung oleh adanya beberapa persamaan antara konsep hak ulayat dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara, yaitu :
1. Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara merupakan “induk”
dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas hak atas tanah ulayat dapat muncul hak perorangan atas tanah, demikian pula dengan hak menguasai tanah oleh negara
dapat muncul hak-hak perorangan atas tanah. 2.
Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam yang sama dengan kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai oleh negara atas tanah.
Setelah terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, atas dasar ketentuan yang termuat dalam Pasal 33 ayat 3, hak ulayat yang memberikan wewenang
kepada masyarakat hukum adat untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah kekuasaannya, pada tingkatan tertinggi secara nasional wewenang itu diserahkan
kepada negara. Penyerahan ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Konsep hak menguasai tanah oleh negara semacam hak ulayat yang diangkat
pada tingkatan tertinggi ini, sesuai dengan konsep hak menguasai tanah oleh negara yang termuat dalam Pasal 2 UUPA. Konsep ini dapat diterima sepanjang hak ulayat
yang ditarik pada tingkatan tertiggi itu hak menguasai tanah oleh negara, tidak menghapus hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya benar-
benar masih ada. Hak ulayat itu harus dibiarkan hidup secara bebas tanpa ada gangguan dari siapa pun, dibawah naungan dan lindungan hak menguasai tanah oleh
Universitas Sumatera Utara
negara. Kedua hak itu secara berdampingan walaupun kedudukan hak ulayat lebih rendah dari pada hak menguasai tanah oleh negara, dan hak menguasai tanah oleh
negara tidak boleh menghapus hak ulayat, bahkan sebaliknya ia harus mengayomi dan melindungi hak ulayat.
47
Adapun mengenai pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah dalam UUPA ada yang sebagai lembaga hukum dan ada pula sebagai hubungan-hubungan hukum
kongkrit. Hak penguasaan atas tanah merupakan suatu lembaga hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan orang atau badan hukum tertentu sebagai pemegang
haknya. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 20 sampai 45 UUPA, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak sewa bangunan.
Di dalam penyelenggaraan otonomi daerah, negara dalam hal ini melalui pemerintah merupakan representasi penyelenggaraan negara, sehingga daerah tidak
dapat berbuat sendiri atas kemauan dan kehendaknya, kecuali untuk kewenangan yang telah diserahkan sebelumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. Oleh
karena itulah undang-undang otonomi daerah dikeluarkan dengan tujuan memberikan pengaturan mengenai tugas dan wewenang daerah dalam pemerintahan, agar tidak
terjadi benturan antara kewenangan pusat dan daerah. Pada era reformasi, terjadi tarik ulur antara pemerintah pusat dan daerah
tentang kewenangan di bidang pertanahan. Di samping itu terjadi inkonsistensi
47
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 50.
Universitas Sumatera Utara
peraturan pusat yang dibuat oleh presiden dalam bentuk keputusan presiden keppres, sehingga menghambat pelaksanaanpenerapan otonomi daerah di
kabupatenkota. Tarik ulur dan inkonsistensi tersebut sebagaimana terdapat pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah.
Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, memberikan kesempatan dan
keleluasaan yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan dan menyelenggarakan pemerintahan sendiri Pasal 18 ayat 5 UUD 1945. Ketentuan ini
dijadikan landasan yang kuat bagi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 untuk menganut asas otonomi daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. menurut
pasal tersebut, pemerintah daerah mempunyai kewenangan di bidang pemerintahan, kecuali wewenang yang oleh Undang-undang diberikan kepada pemerintah pusat.
Selanjutnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Yang dalam Pasal 2 ayat 3 nomor 14, merincikan kewenangan pemerintah pusat di bidang
pertanahan yaitu: 1.
Penetapan persyaratan pemberian hak-hak atas tanah. 2.
Penetapan persyaratan landreform. 3.
Penetapan standar administrasi pertanahan.
Universitas Sumatera Utara
4. Penetapan pedoman biaya pelayanan pertanahan.
5. Penetapan kerangka dasar kadastral nasional dan pelaksanaan pengukuran
kerangka dasar kadastral nasional orde I dan II.
48
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, pemerintah pusat hanya diberi wewenang untuk menetapkan standarisasi hal-hal tersebut diatas, sedangkan
kebijakan policy di bidang pertanahan dipegang oleh pemerintah daerah. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh presiden dengan
memberlakukan Keppres Nomor 10 Tahun 2001 Tentang Pelaksanaan Otonomi di bidang pertanahan, yang mencabut kewenangan pemerintah daerah di bidang
pertanahan. Pencabutan ini secara hukum tidak dapat dibenarkan, karena presiden tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut ketentuan-ketentuan yang diatur oleh
Undang-undang terdahulu. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 hanya dapat dicabut dengan ketentuan Undang-undang dan bukan dengan
keputusan presiden.
49
Pencabutan wewenang pemerintah daerah di bidang pertanahan, dipertegas dengan diberlakukannya Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional
di Bidang Pertanahan, Selanjutnya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan demikian mencabut undang-undang sebelumnya yaitu
Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Undang-undang inipun
48
Muhammad Bakri, Op.Cit, Hal. 63-65.
49
Muhammad Bakri, Loc.Cit.
Universitas Sumatera Utara
memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya.
Adapun otonomi yang seluas-luasnya tersebut harus tetap memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 ayat 1 UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk Republik.
Dengan demikian dalam era otonomi daerah ini, paradigma lama di bidang pertanahan yang bersifat sentralistik, sudah sepatutnya diganti dengan paradigma
baru yang bersifat desentralisasi, oleh karena itu sesuai dengan Pasal 18 ayat 5 UUD 1945, kewenangan pemerintah pusat di bidang pertanahan harus diserahkan
kepada pemerintah daerah. Maka dengan adanya otonomi daerah pemerintah daerah bisa memberikan perhatiannya lebih serius terhadap kemajuan dan kemakmuran
daerah-daerah kekuasaannya. Dengan adanya otonomi daerah pemerintah bisa lebih bijak lagi dalam
memberikan perlindungan terhadap keberadaan masyarakat asli yang ada di kabupaten tersebut agar tidak hilang bersama perkembangan zaman serta keberadaan
tanah ulayat masyarakat tersebut Agar tidak hilang eksistensinya akibat pembukaan hutan untuk perkebunan sawit.
C. Masyarakat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis
Universitas Sumatera Utara
1. Deskripsi Masyarakat Suku Sakai