Telah diuji pada : Tanggal 30 Agustus 2010
____________________________________________________________________ PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
2. Notaris. Syahril Sofyan, SH, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, Mhum
4. Notaris. Chairani Bustami, SH, SPn, MKn
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama :
Syarifah M
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama :
Islam TempatTanggal Lahir
: Pekanbaru 19-Mei-1985 Alamat
: Jl. Dr. Mansyur Gg. Berkat No.6 Medan
PENDIDIKAN : 1991-1997
: SDN 033 KAMPUNG MELAYU SUKAJADI, PEKANBARU 1997-2000
: MTs DARUL HIKMAH, PEKANBARU 2000-2003
: MAN 2 MODEL, PEKANBARU 2003-2008 : FAKULTAS
HUKUM UNIVERSITAS
ISLAM RIAU,
PEKANBARU 2008-2010 : PROGRAM
STUDI MAGISTER
KENOTARIATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA, MEDAN
Universitas Sumatera Utara
A B S T R A K
Masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis merupakan masyarakat hukum adat yang masih memiliki wilayah tanah ulayat. Akan tetapi dalam
kenyataannya luas wilayah tanah ulayat tersebut mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Pengambilalihan tersebut
menimbulkan masalah ekonomi bagi masyarakat Sakai karena tidak dapat lagi memanfaatkan tanah dan hutan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang-Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Disamping itu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah juga
memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk mengurus kepentingan masyarakat hukum adatnya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan memahami eksistensi hak ulayat atas tanah serta untuk mengetahui bagaimana penyerahan hak ulayat atas tanah pada masyarakat Suku
Sakai.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dan informasi diperoleh dari penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, dengan menggunakan teknik penelitian studi kepustakaan dan wawancara. Kemudian data dianalisa dengan metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat Suku Sakai cenderung melemah, oleh karena itu
pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan eksistensi masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya, dengan mewujudkannya dalam sebuah
Peraturan Daerah, hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Begitu pun dalam pelepasan dan penyerahan tanah
ulayat kepada pihak luar diperbolehkan akan tetapi harus dengan izin kepala suku, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5
Tahun1999, bahwa pelepasan atau penyerahan tanah ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Kata Kunci : Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Suku Sakai
i
Universitas Sumatera Utara
A B S T R A C T
Society Tribe of Sakai in Sub-Province of Bengkalis represent customary law society which still have customary right for land of ground region. However in wide
of in reality of the customary right for land ground region experience of degradation because and domination of taking over by the other party. The act of take over
generate the problem of economics to society of Sakai because cannot again exploit their forest and land ground to fulfill requirement of everyday life. This situation
oppose against Section of 3 UUPA expressing that State expressly confess existence of customary right for land rights and is similar rights from customary law society, as
long as according to in reality there is still. The code supported by Regulation of Minister of Agraria lead BPN Number 5 Year 1999 About Guidance Of Solution Of
Problem Rights Customary Right For Land Society Customary Law. Beside that CodeNumber 32 Year 2004 About Local Government also give full outhority to a
local government to manage importance of its customary law society. Therefore this research aim to know and comprehend customary right for land rights existance of
land ground and also to know how delivery of customary right for land rights of land ground at Tribe society of Sakai.
This research have the character of analytical descriptive by using approach of normatic juridict. Data collecting and information obtained from research of
bibliography and research of field, by using technique research of bibliography study and interview. And then data analysed with method qualitative.
The Result of research showing that the customary right for land rights existence of land ground in autonomous era of area at Tribe society of Sakai tend
toweaken, therefore local government have big role in stipulating of customary law society existence and also its customary right for land ground, by realizing hit in a By
Law, this matter in harmony with Code Number 32 Year 2004 About Local Government. So even also in release and delivery of customary right for land ground
to outside party enabled however having to with permit lead tribe, this matter pursuant to in Regulation of Minister of Agraria lead BPN Number 5 Tahun1999,
that release or delivery of customary law society customary right for land land;ground have to pursuant to and customary law procedures going into effect.
Key note : Community land, society tribe of Sakai
ii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT yang dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis
ini dengan judul “EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU SAKAI DI
KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU”. Penulisan tesis ini
merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan M.Kn. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan
bantuan serta dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima
kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang
terhormat Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN, Bapak Dr. Runtung, SH, Mhum, Bapak Notaris Syahril Sofyan SH, MKn selaku
Komisi Pembimbing yang dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan
arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Dan juga, semua pihak yang
telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam
penulisan tesis ini sehingga tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
iii
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas
yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan M.Kn. Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. 2.
Bapak Prof. Dr. M. Yamin, S.H., M.S., CN., selaku Ketua Program Pascasarjana Magister Kenotariatan M.Kn. dan Ibu Dr. Keizerina Devi
A., S.H., CN., M.Hum. beserta seluruh staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program
Pascasarjana Magister Kenotariatan M.Kn. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. 4.
Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan M.Kn. Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada orang-orang
yang penulis sayangi :
iv
Universitas Sumatera Utara
1. Ayahanda Said Husin dan Ibunda Yulizar yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, juga buat Saudara-saudaraku
tercinta Said Muhammad Kamal, Syarifah Nurlia, Syarifah Fadlun, Syarifah Yansri Fiani sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada
Program Pascasarjana Magister Kenotariatan M.Kn. Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Yang tercinta Ardian S Kurnia terima kasih buat kesabaran, perhatian, dukungan, bantuan dan motivasinya sehingga kita bisa sama-sama
menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Magister Kenotariatan MKn.
3. Terima Kasih yang mendalam kepada Sahabat-sahabat terbaikku kak Eka, Icha, Echi, Junita, Adis, Fitri, kak Tina, Kak Meri, Kak Yuna, Kak Reni,
Ali, Yola, Azmi, kita akan gapai bintang tertinggi kita. 4. Rekan-rekan Mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan MKn
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
v
Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua
pihak. Medan, Agustus 2010
Penulis,
Syarifah M
vi
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK …………………………………………………………………….. i
ABSTRACT …………………………………………………………………… ii KATA PENGANTAR ………………………………………………………… iii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. vii BAB I : PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Penelitian ……………………………………….... 1
B. Permasalahan ……………………………………………………… 14
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………… 14
D. Manfaat Penelitian ……………………………………………….. 14
E. Keaslian Penelitian ……………………………………………….. 15
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ………………..…………………… 16
G. Metode Penelitian ………………………………………………… 28
BAB II : EKSISTENSI HAK ULAYAT ATAS TANAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH PADA MASYARAKAT SUKU
SAKAI DI KABUPATEN BENGKALIS PROPINSI RIAU............................................................................... 33
A. Pengakuan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat………………… 33
1. Dasar Pengaturan Hak Ulayat………………………………… 33 2. Kriteria dan Penentuan Adanya Hak Ulayat………...………... 41
vii
Universitas Sumatera Utara
B. Otonomi Daerah Dan Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah…………. 52 C. Masyarakat Suku Sakai Kabupaten Bengkalis……………………. 63
1. Deskripsi Masyarakat Suku Sakai……………………………. 63 2. Pola Kehidupan Masyarakat Suku Sakai……………………… 71
3. Hak-Hak Atas Tanah Pada Masyarakat Suku Sakai………….. 79 D. Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Pada Masyarakat Suku
Sakai Di Kabupaten Bengkalis………………………………….… 89
BAB III : PENYERAHAN HAK ULAYAT ATAS TANAH OLEH MASYARAKAT SUKU SAKAI KEPADA PIHAK
LAIN DIKAITKAN DENGAN PERATURAN MENTERI AGRARIA KEPALA BADAN
PERTANAHAN NOMOR 5 TAHUN 1999……………….... 116 A.
Perkembangan Hak Ulayat Sebelum dan Sesudah lahirnya Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5
Tahun1999..…………………………………………………….. 116
B. Permasalahan-permasalahan Hukum Pada Waktu Penyerahan
Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Sakai Kepada
Pihak Ketiga……..……………………………………………… 121
C. Solusi Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah…………………….. 129
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN………………………………… 135 A.
Kesimpulan……………………………………………………… 135
B. Saran…………………………………………………………….. 136
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………...…….. xi
viii
Universitas Sumatera Utara
A B S T R A K
Masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis merupakan masyarakat hukum adat yang masih memiliki wilayah tanah ulayat. Akan tetapi dalam
kenyataannya luas wilayah tanah ulayat tersebut mengalami penurunan karena penguasaan dan pengambilalihan oleh pihak lain. Pengambilalihan tersebut
menimbulkan masalah ekonomi bagi masyarakat Sakai karena tidak dapat lagi memanfaatkan tanah dan hutan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Keadaan ini bertentangan dengan Pasal 3 UUPA yang menyatakan bahwa Negara secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat
hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Undang-Undang tersebut didukung oleh Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Disamping itu Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah juga
memberikan kewenangan sepenuhnya kepada pemerintah daerah untuk mengurus kepentingan masyarakat hukum adatnya. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui dan memahami eksistensi hak ulayat atas tanah serta untuk mengetahui bagaimana penyerahan hak ulayat atas tanah pada masyarakat Suku
Sakai.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dan informasi diperoleh dari penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, dengan menggunakan teknik penelitian studi kepustakaan dan wawancara. Kemudian data dianalisa dengan metode kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat Suku Sakai cenderung melemah, oleh karena itu
pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan eksistensi masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya, dengan mewujudkannya dalam sebuah
Peraturan Daerah, hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Begitu pun dalam pelepasan dan penyerahan tanah
ulayat kepada pihak luar diperbolehkan akan tetapi harus dengan izin kepala suku, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri AgrariaKepala BPN Nomor 5
Tahun1999, bahwa pelepasan atau penyerahan tanah ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.
Kata Kunci : Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Suku Sakai
i
Universitas Sumatera Utara
A B S T R A C T
Society Tribe of Sakai in Sub-Province of Bengkalis represent customary law society which still have customary right for land of ground region. However in wide
of in reality of the customary right for land ground region experience of degradation because and domination of taking over by the other party. The act of take over
generate the problem of economics to society of Sakai because cannot again exploit their forest and land ground to fulfill requirement of everyday life. This situation
oppose against Section of 3 UUPA expressing that State expressly confess existence of customary right for land rights and is similar rights from customary law society, as
long as according to in reality there is still. The code supported by Regulation of Minister of Agraria lead BPN Number 5 Year 1999 About Guidance Of Solution Of
Problem Rights Customary Right For Land Society Customary Law. Beside that CodeNumber 32 Year 2004 About Local Government also give full outhority to a
local government to manage importance of its customary law society. Therefore this research aim to know and comprehend customary right for land rights existance of
land ground and also to know how delivery of customary right for land rights of land ground at Tribe society of Sakai.
This research have the character of analytical descriptive by using approach of normatic juridict. Data collecting and information obtained from research of
bibliography and research of field, by using technique research of bibliography study and interview. And then data analysed with method qualitative.
The Result of research showing that the customary right for land rights existence of land ground in autonomous era of area at Tribe society of Sakai tend
toweaken, therefore local government have big role in stipulating of customary law society existence and also its customary right for land ground, by realizing hit in a By
Law, this matter in harmony with Code Number 32 Year 2004 About Local Government. So even also in release and delivery of customary right for land ground
to outside party enabled however having to with permit lead tribe, this matter pursuant to in Regulation of Minister of Agraria lead BPN Number 5 Tahun1999,
that release or delivery of customary law society customary right for land land;ground have to pursuant to and customary law procedures going into effect.
Key note : Community land, society tribe of Sakai
ii
Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap orang maupun badan hukum membutuhkan tanah. Karena tidak ada satupun aktivitas orang badan hukum dalam kegiatan pembangunan
yang tidak membutuhkan tanah. Tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa. Ketersediaan tanah sebagai sebagai sumber daya alam relatif tidak berubah dan
statis, sedangkan pertumbuhan penduduk atau populasi manusia diatas permukaan bumi ini terus berkembang atau semakin bertambah banyak. Tanah merupakan
kebutuhan pokok manusia, manusia bertindak secara sedikit demi sedikit untuk memanfaatkan sumber-sumber kekayaan alam pada tanah untuk memenuhi tututan
hidupnya yang utama, yaitu pangan, sandang dan papan kebutuhan primer, sehingga tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia begitu pula sebaliknya. Begitu
pula bagi masyarakat hukum adat, sumber rezeki terbesar mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dominannya bersumber diatas tanah.
Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia sehingga perlu adanya suatu peraturan yang mengatur tentang pertanahan, Baik itu tentang penggunaan,
peruntukan, penguasaan dan kepemilikan dari tanah tersebut. Oleh karena itu dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yang merupakan
suatu pencerahan dalam sistem pertanahan di Indonesia, selain itu adanya dualisme dalam bidang hukum pertanahan yaitu berlakunya hukum adat disamping hukum
1
Universitas Sumatera Utara
agraria yang didasarkan atas hukum barat. Oleh karena itulah dirasakan perlunya Hukum Agraria yang seragam dan bersifat nasional dalam hal ini UUPA.
Pengertian tanah yang berkembang di tengah masyarakat tidak sama sebagaimana yang ditetapkan di dalam undang-undang. Tanah menurut UUPA adalah
permukaan bumi. Bumi itu sendiri terdiri dari 3 tiga unsur yaitu permukaan bumi, tubuh bumi, dan yang berada di bawah air. Dari ketiga unsur itu yang dimaksudkan
dengan tanah hanyalah permukaan bumi saja. Sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA sebagai berikut: “Atas
dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama- sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
Masalah pertanahan mendapat perhatian serius dari negara, perhatian tersebut tertuang dalam ketentuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menentukan bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Ketentuan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, atau disingkat dengan UUPA. Dalam pasal tersebut arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara
Universitas Sumatera Utara
Indonesia, melainkan menguasai dalam arti mengatur dan mengawasi sedemikian rupa dalam tiap-tiap pendayagunaan tanah-tanah tersebut agar para pemilik tanah atau
pemegang hak-hak lainnya hak pakai, hak guna usaha, penyewa dan lain sebagainya :
a. Tidak melakukan kerusakan-kerusakan atas tanah.
b. Tidak menelantarkan tanah;
c. Tidak melakukan pemerasan-pemerasan atas tanah atau pendayagunaan
exploitation yang melebihi batas; d.
Tidak menjadikan tanah sebagai alat untuk pemerasan keringat dan pemerasan lainnya terhadap orang lain exploitation des I’Homme par L.Homme.
1
Hukum Agraria di Indonesia sejak zaman penjajahan bersifat “dualisme” hal ini terjadi dengan tujuan bangsa asing untuk menjajah ke Indonesia adalah untuk
memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya dari bumi Indonesia.
2
Keadaan seperti ini tidak lepas dari campur tangan Pemerintahan Hindia Belanda yang lebih
mengutamakan penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak individu serta lebih berfikir rasional yang dipengaruhi oleh perkembangan negara tersebut.
Setelah Indonesia merdeka ketentuan-ketentuan agraria Hindia Belanda secara berangsur-angsur dihapuskan karena dirasakan tidak sesuai lagi, maka dilakukanlah
1
Kartasapoetra G dkk, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1985, Hal.9.
2
Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah, Yayasan Pencerahan Mandailing, Medan, 2008, Hal.4
Universitas Sumatera Utara
perombakan atas hukum agraria. Karena perombakan hukum secara total tidak memungkinkan, maka perombakan hukum agraria di Indonesia dilakukan secara
sporadis yang berarti secara berangsur-angsur satu demi satu peraturan yang bertentangan dengan alam nasional Indonesia dihapuskan dan diganti dengan
peraturan agraria yang baru yang berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Di Indonesia penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum yang masih berpegang teguh pada hukum adat dan masih menghargai adat itu sendiri.
Didalam masyarakat, hukum yang berlaku adalah hukum adat, sebab hukum adat dapat disebut juga hukum kebiasaan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat terdapat tingkah laku manusia yang sudah ada dari zaman nenek moyang, karena masih begitu kuatnya adat istiadat peninggalan nenek moyang yang dianggap
masih harus terus dipertahankan walaupun kehidupan manusia terus berkembang sesuai perkembangan zaman .
Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat yang majemuk. Hal ini dapat dilihat pada penamaan masyarakat-masyarakat tersebut dengan nama “DESA”
yang berasal dari daerah-daerah tertentu di Indonesia. Desa merupakan spesies sebagai halnya dengan kuria, marga, nagari dan seterusnya. Demikian juga halnya
dengan pemerintah desa, serta pengangkatan kepala desa yang didasarkan kepada pemilihan. Banyak masyarakat hukum adat di Indonesia ini yang sekaligus
Universitas Sumatera Utara
mempunyai dasar genealogis dan teritorial, apakah kenyataan tersebut akan dihapuskan atau lebih baik dikembangkan.
Mengenai masyarakat hukum adat, telah terjadi penguasaan dan pengambilalihan terhadap tanah hak masyarakat adat. Pada awalnya kasus-kasus
pelanggaran terhadap hak atas tanah ulayat memang hanya dalam skala kecil, seperti bentuk pelanggaran hak ekonomi dan sosial, namun dalam skala lebih besar
terkadang malah terjadi pelanggaran hak-hak sipil dan politik yang terkadang disertai dengan kekerasan hingga sampai memakan korban jiwa dan harta benda yang apabila
tidak dapat ditangani dengan baik akan meluas dan berkembang menjadi pelanggaran terhadap hak azasi manusia.
Hal seperti inilah yang menyebabkan masyarakat berada dalam kondisi yang tidak berdaya untuk melindungi kepentingan sendiri, yang pada akhirnya masyarakat
selalu melakukan pengorbanan-pengorbanan baik perasaan sedih maupun kecewa karena harus melepaskan tanah peninggalan leluhur nenek moyang mereka, yang
menjadi sumber penghidupan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari
suatu masyarakat hukum tertentu.Hak atas tanah ulayat ialah bersifat kolektif, dan bukan merupakan hak yang bersifat individual sebagaimana hak atas tanah yang
dikenal dalam sistem hukum barat, dimana adanya suatu hubungan struktural yang erat antara masyarakat yang bersangkutan dengan lingkungan tempat
Universitas Sumatera Utara
menggantungkan hidupnya, yang memiliki implikasi bahwa hak atas tanah ulayat tidak dapat ditangani dan dipahami terpisah dari masyarakat hukum adat itu sendiri.
Dalam ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria UUPA. UUPA di undangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, sedangkan
penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043. Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara. Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan
atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah,
karena berdasarkan Pasal 33 ayat 3 tersebut terkandung makna adanya hubungan penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan
kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada
negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan
perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas
tanah.
3
Kewenangan negara untuk mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah termasuk juga masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya, serta
pengakuan dan perlindungan hak-hak yang timbul dari hubungan-hubungan hukum tersebut, sehingga dalam hal ini hukum yang mengatur pengakuan dan perlindungan
tersebut sangat diperlukan untuk memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum kepada masyarakat agar hak-hak ulayatnya tidak dilanggar oleh siapapun, sehingga
hubungan negara dengan tanah tersebut tidak terlepas dari hubungan masyarakat adat dengan tanah ulayatnya.
Maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. 2008 tentang
3
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007, Hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan Daerah dan dikaitkan dengan Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun 1999, kewenangan mengatur tanah dan hak
ulayat itu berada pada Pemerintahan KabupatenKota. Meskipun demikian sangat kecil kemungkinan keluarnya Perda oleh Pemda tanpa adanya permohonan hak atas
tanah ulayat. Permohonan hak ulayat tersebut juga harus dimulai dari pembuktian apakah masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan masih ada atau tidak.
Undang-Undang Otonomi Daerah 2004 jo. 2008 memberikan tanda-tanda yang membingungkan pada masyarakat adat. Tingkat otonomi yang masih bisa
diperdebatkan diberikan kepada masyarakat adat di tingkat desa. Disini, penggunaan kata-kata yang kurang jelas bisa membuat salah pengertian. Misalnya, dalam hukum
yang dibuat untuk mengubah pemerintahan tingkat desa, desa didefinisikan kesatuan hukum masyarakat yang secara hukum diakui dan mempunyai otoritas untuk
mengendalikan dan memperhatikan kebutuhan masyarakat setempat sesuai dengan asal muasal dan kebudayaannya. Hal ini membesarkan hati jika punya implikasi
pembentukan ulang sistim pemerintahanan desa yang beragam, yang dulu pernah ada sebelum penyeragaman yang sangat merugikan pada tahun 1979. Walaupun demikian
perbedaan makna yang diberikan kepada definisi hukum desa sebagai bagian dari sistim pemerintahan nasional telah menimbulkan perdebatan mengenai sejauh mana
Universitas Sumatera Utara
masyarakat desa dapat menikmati otonomi dalam menyelesaikan permasalahan mereka.
4
Tanpa terbukti adanya masyarakat adat, jangan diharapkan tanah ulayat masih ‘’exist ‘’, karena tanah tersebut dikuasai oleh negara. Negaralah yang berwenang
menentukan ada tidaknya tanah hak ulayat yang bersangkutan. Tanah ulayat berawal dari adanya subyeknya, yaitu masyarakat hukum adat di daerah yang bersangkutan,
apabila memang masih ada, tidaklah terlalu sulit untuk menjalankan proses permohonan status tanah ulayat yang diinginkan di daerah yang bersangkutan
Suku Sakai adalah komunitas aslipedalaman yang hidup di daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-
pindah di hutan. Suku Sakai merupakan salah satu suku asli Propinsi Riau yang
memiliki wilayah hak ulayat dan hutan ulayat yang masih alami atau masih sesuai dengan ketentuan hukum adat yang berlaku, yang menempati beberapa daerah di
Propinsi Riau, salah satunya di Kabupaten Bengkalis, yang kian hari kian terdesak saja keberadaannya karena hilangnya hak ulayat yang diantaranya berupa hutan
ulayat yang berada diatas tanah ulayat masyarakat adat akibat pembukaan hutan untuk perkebunan yang telah mendapatkan izin dari pemerintah.
Orang-orang Sakai dulunya adalah penduduk Negeri Pagarruyung yang melakukan migrasi ke kawasan rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut.
4
http Ire-Pemberdayaan Masyarakat Adat, diakses tanggal 9 september 2008.
Universitas Sumatera Utara
Waktu itu Negeri Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus orang
orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan kawasan hutan di sebelah timur Pagarruyung itu sebagai tempat pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan,
rombongan tersebut akhirnya sampai ditepi Sungai Mandau. Karena Sungai Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah tersebut, maka mereka
menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.
Suku Sakai menjadi tersingkir di wilayah sendiri, karena sosial ekonomi mereka tidak dapat bersaing dengan kemajuan zaman, tanah ulayat yang mereka
miliki, yang membentang luas dari Minas hingga Dumai yang didalamnya mengandung cadangan minyak terbesar di nusantara tidak membuat lebih makmur
kehidupan mereka. Berdasarkan peta yang dibuat oleh Moszkowski, seorang antropolog Jerman yang melakukan penelitian tentang Sakai Tahun 1911, wilayah
Suku Sakai meliputi Minas, Belutu, Tingaran, Sinangan, Semunai, Panaso dan Borumban.
5
Akan tetapi wilayah yang masih memiliki tanah ulayat yang masih benar-benar alami dan masih terlihat eksistensinya,dan masih terjaga hutan adatnya
berada di Kecamatan Mandau Desa Kesumbo Ampai.
5
Ahmad Arif dan Agnes Rita, Sayap Patah Para Sakai, Koran Kompas, 24 April 2007, Hal. 14
Universitas Sumatera Utara
Hutan Ulayat berada diatas hak ulayat masyarakat Sakai juga telah berpindah tangan kepada pengusaha-pengusaha pemegang HPH Hak Pengasahaan Hutan dan
HTI Hutan Tanaman Industri yang menyebabkan masyarakat Suku Sakai tidak punya lagi tempat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga hal ini tentu
berdampak pada taraf perekonomian masyarakat Sakai, sehingga dengan terpaksa masyarakat menjual tanah-tanah mereka kepada pihak luar dengan harga yang murah
karena pada dasarnya masyarakat Suku Sakai tidak memiliki sertifikat kepemilikan, serta dengan tingkat pendidikan yang sangat rendah tentu tidak mengetahui harga
pasar tanah. Penjualan tanah dengan harga murah dilakukan karena hasil hutan semakin
berkurang, sedangkan kebutuhan warga semakin bertambah. Padahal ada larangan menjual tanah ulayat, tetapi karena warga terdesak ekonomi sehingga mudah dibujuk.
Fenomena tersebut jelas merupakan masalah pertanahan yang terus berlangsung di Riau khususnya pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis, dimana masih
berlangsungnya peralihan hak penguasaan atas tanah dari masyarakat yang jelas-jelas menggantungkan pemenuhan kebutuhan hidup pada tanah kepada pihak luar yang
bukan anggota komunitas masyarakat Suku Sakai untuk dikelola sendiri maupun kepada pengusaha yang diberikan hak untuk itu. Keadaan seperti ini jelas
memperlihatkan tetap berlangsungnya proses pengalihan hak atas tanah ulayat masyarakat adat yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang.
Universitas Sumatera Utara
Pengambilalihan tanah tersebut yang sebagian dijual sendiri oleh masyarakat Suku Sakai, atau sebagian diambil begitu saja dengan ganti rugi yang sangat rendah
atau bahkan tanpa ganti rugi, padahal untuk mendapatkan kembali tanah yang telah dilepas hampir tidak mungkin karena tingkat kenaikannya harga tanah jelas akan
menyulitkan masyarakat Sakai untuk memperoleh kembali, yang jelas tidak seimbang dengan tingkat penghasilan masyarakat tersebut. Sementara untuk mempertahankan
sendiri haknya masyarakat Sakai tidak mempunyai patokan, karena tanah ulayat tidak memiliki sertifikat tanda bukti tertulis sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 32 ayat
1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sehingga memang mudah menimbulkan konflik pertanahan, dan yang menjadi masalah adalah bagaimana peran
negara dalam hal ini, karena undang-undang sendiri telah mengakui keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya.
Harus disadari bahwa masyarakat hukum adat sering berada dalam posisi yang lemah dalam mempertahankan hak-haknya, ditengah-tengah kekuatan modal dalam
mengeksploitasi lahan dan sumber daya alam. Padahal masyarakat hukum adat telah banyak memberikan kontribusi dalam melindungi dan mengelola sumber daya alam
serta telah mampu mempertahankan kelestarian lingkungan. Sebagaimana telah diketahui bahwa telah sejak zaman dahulu berabad-abad lamanya masyarakat hukum
adat memanfaatkan sumber daya alam tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya menyebabkan bencana seperti sering terjadi sekarang ini. Hal
Universitas Sumatera Utara
tersebut karena masyarakat adat percaya bahwa adanya hubungan antara manusia, alam sekitar serta tuhannya, sehingga keseimbangan itu harus tetap dijaga agar tidak
terjadi murka dari Tuhan. Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun
1999 Tentang Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 4 ayat 1 menjelaskan bahwa penguasaan bidang-bidang tanah ulayat oleh instansi
pemerintah, badan hukum atau perseorangan yang bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dilakukan dengan tata cara hukum adat yang berlaku.
Selanjutnya Pasal 4 ayat 2 menjelaskan pula bahwa pelepasan tanah ulayat masyarakat hukum adat untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang
memerlukan hak guna usaha atau hak pakai, dapat dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu. Begitu pula
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa-sengketa tanah yang melibatkan masyarakat adat juga diatur dalam Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999. Akan tetapi pada kenyataannya pemerintah dinilai tidak memberikan
perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat adat tempat masyarakat menompang kelangsungan hidup serta yang menjaga keseimbangan alam. Sedangkan seperti yang
telah diketahui sejalan dengan apa yang telah disebut dalam Peraturan Menteri AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tersebut, Undang-
Universitas Sumatera Utara
undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok Agraria pada Pasal 3 menyatakan bahwa :
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Dari Pasal 3 tersebut dapat disimpulkan bahwa negara secara tegas mengakui
keberadaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, maksudnya yaitu di daerah-daerah dimana hak
ulayat itu tidak ada lagi maka tidak akan dihidupkan kembali. Demikian juga daerah- daerah yang tidak pernah ada hak ulayat maka tidak akan dihidupkan hak ulayat baru.
Begitu juga pada era otonomi daerah saat ini dimana telah terjadi perubahan paradigma kekuasaan negara yang semula bersifat desentralistis dan demokratis,
demikian pula dalam hal hak menguasai tanah oleh negara pun telah berubah juga menjadi desentralistis, sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintah
daerah, kabupaten serta kota merupakan lini pertama untuk melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya.
Berdasarkan uraian tersebut diatas penulis merasa tertarik untuk mengadakan
suatu penelitian yang penulis beri judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam
Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau?
2. Apakah penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai kepada pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5 Tahun
1999?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan diatas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi pada masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau.
2. Untuk mengetahui penyerahan hak ulayat atas tanah oleh masyarakat Suku Sakai kepada pihak lain sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor. 5
Tahun 1999.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai Hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah ini, maka pembaca dapat semakin mengetahui
tentang perkembangan tanah adat dalam ilmu hukum agraria. 2. Secara
Praktis Secara praktis, pembahasan dalam tesis ini diharapkan dapat memperkaya
bahan pustaka mengenai hukum pertanahan, menjadi masukan bagi kalangan praktisi yang berkepentingan terutama mengenai hak ulayat dalam hukum pertanahan
Indonesia, dan juga diharapkan menjadi bahan bagi mereka yang akan mendalami atau meneliti masalah eksistensi hak ulayat masyarakat hukum adat.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Program Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, dengan judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Pada Kabupaten Bengkalis Propinsi
Riau” belum pernah dilakukan. Sepengetahuan penulis ada tesis yang berjudul : 1.
“Pelaksanaan Hak Ulayat Nagari Untuk Kepentingan Umum Studi Pengadaan Tanah Dari Hak Ulayat Untuk Bandar Udara Internasional
Universitas Sumatera Utara
Minangkabau”. Oleh Yuselina pada tahun 2008, akan tetapi penelitian
tersebut menitikberatkan pada pelaksanaan pengadaan tanah hak ulayat untuk Bandar Udara Internasional Minangkabau.
2. “Beberapa Kendala Yuridis Dan Sosilogis Dalam Pelaksanaan Pendaftaran
Tanah Ulayat Masyarakat Minangkabau Di Kabupaten Tanah Datar”. Oleh Ririn Agustin pada tahun 2005, yang lebih menitikberatkan pada pendaftaran
tanah ulayat masyarakat Minangkabau di Kabupaten Tanah Datar. Sedangkan penelitian penulis lebih menitikberatkan pada eksistensi hak ulayat
masyarakat Suku Sakai di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau dalam era otonomi daerah. Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan
secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka
Teori
“Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau
pegangan teoritis dalam penelitian”.
6
6
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, Cetakan Ke I, 1994, Hal. 80.
Universitas Sumatera Utara
“Suatu kerangka teori bertujuan untuk menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasian dan mengimplementasikan hasil-hasil penelitian dan
menghubungkannya dengan hasil-hasil terdahulu”.
7
Adapun teori yang dipakai dalam pembuatan tesis ini adalah teori pembaharuan hukum. Istilah “ pembaharuan hukum” sebenarnya mengandung makna
yang luas, mencangkup sistem hukum. Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum structure, substansi materi hukum substance. Dan budaya hukum
legal culture.
8
Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksud adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi
struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Roscoe pound mengatakan bahwa hukum itu sebagai suatu unsur dalam hidup
masyarakat harus memajukan kepentingan umum.
9
Artinya hukum harus dilahirkan dari konstruksi hukum masyarakat yang dilegalisasi oleh penguasa. Ia harus berasal
dari konkretisasi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Dari pandangan Pound dapat disimpulkan bahwa unsur normatif ratio dan empiris pengalaman dalam
suatu peraturan hukum harus ada. Artinya, hukum yang pada dasarnya berasal dari gejala-gejala atau nilai-nilai dalam masyarakat sebagai suatu pengalaman, kemudian
7
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, Cetakan Ke II, 2003, Hal.23.
8
Lawrence M.Freidman, American Law, New York : W.W.Norton Company, 1930, pg.5-6 Dalam Mulhadi : Relevansi Teori Sociological Jurisprudence Dalam Upaya Pembaharuan
Hukum Di Indonesia, 2005, USU, Responsitory 2006.
9
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Kanisuius, Yogyakarta, 2001, Hal.180.
Universitas Sumatera Utara
dikonkretarisasi menjadi norma-norma hukum melalui tangan-tangan para ahli sebagai hasil kerjanya ratio, yang seterusnya dilegalisasi atau diberlakukan sebagai
hukum oleh negara. Dari teori dan pandangan tersebut dapat dipahami bahwa pembaharuan hukum
di Indonesia utamanya di tujukan untuk mewujudkan tatanan sosial yang adil dan sejahtera, tentram dan damai serta membawa perubahan-perubahan yang baik pada
struktur kehidupan. Tanpa harus merugikan pihak lain tetapi memberikan suatu pemecahan atas suatu permasalahan.
Sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 33 ayat 3 yang merupakan payung hukum tertinggi terhadap pengakuan hak-hak masyarakat dalam
mempergunakan berbagai sumber kekayaan yang ada di bumi, seperti hutan dan tanah atau lahan yang tujuannya sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 menyebutkan hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang
tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan lainnya segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.
Pasal ini memberikan kejelasan kepada kita bahwa hukum adat yang berlaku di dalam ketentuan ini bukanlah merupakan hukum adat yang murni akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang telah beradaptasi dengan situasi dan keadaan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat, sehingga tidak
dimungkinkan dikembangkan hukum adat yang murni. Dalam lingkungan hukum adat, tanah memiliki fungsi yang sangat
fundamental, tidak semata-mata sebagai benda mati yang dapat dibentuk sedemikian rupa melainkan juga sebagai tempat untuk mempertahankan hidup atau modal
esensial yang mengikat masyarakat dan anggota-anggotanya. Oleh karena itu, selalu terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara hak-hak seseorang sebagai
anggota masyarakat dengan hak-hak masyarakat secara umum atas tanah yang ditempati.
Satu hal yang menarik dan perlu mendapat perhatian serius bahwa hukum tanah sekarang telah mengalami unifikasi melalui UUPA. Undang-undang ini disebut
sebagai peraturan yang bersandarkan pada hukum adat.
10
Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa pengertian hukum adat dalam UUPA adalah identik dengan hukum yang asli, yang diartikan secara sempit dan tradisional
sehingga kedudukan dan peranannya dikembalikan pada masa-masa sebelum kemerdekaan Indonesia.
11
Berbeda dengan Soerjono Soekanto, Otje Salman Soemadiningrat cenderung untuk mengatakan bahwa undang-undang ini telah
10
Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, PT. Alumni, Bandung, 2002, Hal. 160.
11
Abdurrahman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, Jakarta, 1984, Hal.44
Universitas Sumatera Utara
merombak hukum tanah adat dengan hanya memberlakukan hal-hal tertentu saja dari padanya. Pereduksian hukum tanah adat dapat dilihat dalam kaitannya dengan
kekuasaan negara atas tanah-tanah yang berada di wilayah Indonesia dan timbulnya hak milik yang diatur pemerintah.
12
Hukum tanah adat pada pokoknya tidak terlepas dari tata susunan hukum- keluarga-adat serta hukum-tatanegara-adat, terutama apa yang dikatakan
“rechtsgemeenschappen” “persekutuan hukum”.
13
Masyarakat hukum adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dulu sampai saat ini.
Sedangkan pengakuan terhadap hukum adat oleh UUD 1945 terdapat dalam pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Negara menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia”.
Hal ini senada dengan apa yang tercantum dalam pasal 2 ayat 9 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Pemerintah Daerah. Sehingga demikian keberadaan masyarakat hukum adat memang tidak boleh dipungkiri dan harus diakui, sebagaimana Undang-Undang Nomor 4
12
Otje Salman Soemadiningrat, Op Cit, Hal. 161.
13
Fauzie Ridwan, Hukum Tanah Adat Multi Disiplin Pemberdayaan Pancasila Bagian Pertama, Dewaruci Press, Jakarta, 1982, Hal.25
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengakuinya, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
ideologi, ekonomi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri.
14
Masyarakat hukum adat atau yang dikenal dengan istilah lain seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau indigenious people yaitu suatu
komunitas antropologi yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa
lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar berasal dari satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin
mereka pelihara dan lestarikan, serta tidak punya posisi yang dominan dalam struktur dan posisi politik yang ada.
Menurut Hazairin sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto memberikan uraian mengenai masyarakat hukum adat sebagai berikut :
Masyarakat-masyarakat seperti hukum adat Desa di Jawa , Marga di Sumatera Selatan, Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli, Wanua di Sulawesi
Selatan, adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai
kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Bentuk
hukum kekeluargaannya patrilineal, matrilineal atau bilateral mempengaruhi
14
Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat.
Universitas Sumatera Utara
sistem pemerintahannya terutama berlandaskan atas pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil hutan dan hasil air, ditambah sedikit dengan
pemburuan binatang liar, pertanbangan dan kerajinan tangan. Semua anggotanya sama hak dan kewajibannya. Penghidupan mereka berciri
komunal, dimana gotong royong, tolong menolong, serasi dan selalu punya peranan yang besar.
15
Pada hukum adat yang berlaku dimasing-masing daerah di Indonesia dikenal
hak ulayat atau dengan nama lain yang berbeda sesuai dengan sebutan di daerahnya, yaitu hak bersama masyarakat hukum adat atas tanah hutan belukar yang ada di
sekitar desanya untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya seperti mengambil hasil hutan, berburu, menangkap ikan bahkan membuka tanah untuk melakukan pertanian
baik yang berpindah maupun yang menetap. Berdasarkan pendapat pakar hukum adat tersebut maka dapat dirumuskan
kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut : 1. Terdapat masyarakat yang teratur.
2. Menempati suatu tempat tertentu. 3. Ada kelembagaan.
4. Memiliki kekayaan bersama. 5. Susunan masyarakat berdasarkan pertalian suatu keturunan atau berdasarkan
lingkungan daerah; 6. Hidup secara komunal dan gotong royong.
15
Soejono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.93.
Universitas Sumatera Utara
Pada masyarakat hukum adat, untuk mewujudkan kesejahteraan itu maka dalam masyarakat hukum tersebut harus memiliki struktur pemerintahan atau
kepemimpinan. Dalam hal ini dipimpin oleh seorang pimpinan ketua adat. Masyarakat hukum ini mempunyai kedaulatan penuh soverign atas wilayah
kekuasaannya tanah ulayat dan melalui ketua adat juga mempunyai kewenangan authority penuh untuk mengelola, mengatur dan menata hubungan-hubungan antara
warga dengan alam sekitar, hal ini tentunya bertujuan untuk mencari keseimbangan hubungan sehingga kedamaian dan kesejahteraan yang menjadi tujuan tersebut
terwujud. Hak ulayat merupakan asal dan akhir dari hak perseorangan dalam
persekutuan hukum. Hak perseorangan berada dibawah naungan hak ulayat. Semakin intensif hubungan seseorangan dengan tanah di lingkungan hak ulayat, semakin kuat
hak yang dipunyainya, dan semakin lemah pembatasan hak ulayat terhadapnya. Sebaliknya semakin lemah hubungan hukum seseorang dengan tanah itu, semakin
lemah haknya dan semakin kuatlah hak ulayat, inilah yang disebut oleh Ter Haar dengan “menguncupmengempis mengembang” bertimbal balik tiada hentinya.
16
16
Ramli Zein dalam Tunas Effendi dkk, Hutan Tanah Ulayat dan Permasalahannya, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan, Pekanbaru, 2005, Hal. 12
Universitas Sumatera Utara
Menurut Budi Harsono, Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang- wewenang dan kewajiban-kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
17
Menurut Ramli Zein, secara objektif subtansi masalah pertanahan berpangkal pada ketidakserasian pandangan terhadap dua faktor yaitu, faktor manusia dan faktor
tanah. Hukum adat sebagai hukum asli telah menata hubungan manusia dengan tanah dengan suasana tradisional berdasarkan pandangan itu. Akan tetapi kemudian bangsa
kita hampir gagal mengoperasikan pada masa pasca tradisional.
18
UUPA pada dasarnya juga memberikan pengakuan terhadap hak ulayat tersebut sepanjang memang menurut kenyataannya masih ada, dan dalam hal ini pun
pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi Penjelasan Umum II angka 3 UUPA.
Selanjutnya pada Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa : “Hak ulayat dan hak- hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dapat dilaksanakan oleh
masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada”.
Pengertian lain tentang Hak Ulayat ialah Kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu, atas wilayah tertentu yang
17
Kumpulan-Kumpulan Seminar Tanah Adat, Atma Jaya B.P.N di Puncak, September, 1996.
18
Ibid, Hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidup dan
kehidupannya yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah, turun-temurun, dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang
bersangkutan.
19
Adapun kriteria hak ulayat adalah : 1.
Harus ada lingkungan daripada masyarakat hukum adat itu sendiri. 2.
Adanya orang tang diangkat sebagai pengetua adat. 3.
Masih didapati adanya tatanan hukum adat itu sendiri yang mengenal adanya suatu lingkungan hidup dan yang berada dalam persekutuan hukum adat.
20
Wujud hak ulayat tersebut berciri sebagai berikut : a. Masyarakat hukum adat dan para anggota-anggotanya berhak untuk dapat
mempergunakan tanah hutan belukar di dalam lingkungan wilayah dengan bebas yaitu bebas untuk membuka tanah, memungut hasil, berburu, mengambil ikan,
mengembala ternak dan lain sebagainya. b. Bagi yang bukan anggota masyarakat hukum adat tersebut dapat pula
mempergunakan hak-hak itu hanya saja harus mendapatkan izin lebih dahulu dari kepala masyarakat hukum adat dan membayar uang pengakuan atau recognitie
diakui setelah memenuhi kewajibannya.
19
Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, USU Press, Medan, 2006, Hal. 23
20
Ibid, Hal. 23
Universitas Sumatera Utara
c. Masyarakat hukum adat bertangung jawab atas kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkungan wilayahnya apabila pelakunya tidak dapat dikenal.
d. Masyarakat hukum adat tidak dapat menjual atau mengalihkan hak ulayat itu untuk selama-lamanya kepada siapa saja.
e. Masyarakat hukum adat mempunyai hak campur tangan terhadap tanah-tanah yang digarap dan dimiliki oleh para anggota-anggotanya seperti dalam hal jual beli dan
lain sebagainya.
21
Dalam hak ulayat mengandung dua unsur aspek, yaitu aspek hukum perdata dan aspek hukum publik. Aspek hukum perdata yaitu merupakan hak kepunyaan
bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas tanah ulayat, sedangkan aspek hukum publik yaitu sebagai kewenangan mengelola dan mengatur
peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah ulayat tersebut baik dalam hubungan intern dengan para warganya sendiri maupun ekstern dengan orang yang bukan warga
atau orang luar.
2. Kerangka Konsepsi
Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.
22
Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang kongkrit.
21
Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Multi Grafik Medan, Medan, 2005, Hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
Agar tidak terjadi perbedaan pengertian tentang konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian
konsep yang dipakai, yaitu sebagai berikut : Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan
dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dengan nama yang berbeda- beda. Merupakan penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat, yang
meliputi semua tanah yang termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu, yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.
23
Tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia yang telah dikaruniakan tuhan kepada bangsa Indonesia harus dapat dikelola dan didayagunakan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat dan dipergunakan secara seimbang antara hak dan kewajiban terhadap tanah tersebut.
24
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 tentang Pemerintahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 defenisi Otonomi Daerah sebagai
berikut : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan Perundang-undangan.”
22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Nornatif Suatu Tinjauan Singkat, Edisi 1,Cetakan 7, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal.7.
23
Rosdinar Sembiring, Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Masyarakat Adat Simalungun, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2008, Hal. 70
24
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit, Hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 6 juga mendefenisikan daerah otonom sebagai berikut : “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Di era sekarang ini, otonomi daerah sudah dianggap sebagai obat mujarab segala penyakit pemerintahan Di Indonesia, otonomi hampir dimitoskan sebagai
dewa kemajuan pemerintahan. Otonomi daerah seakan harus merupakan bagian dari reformasi pemerintahan dan bagian tak terpisahkan dari upaya demokrasi Dengan
kata lain tak ada reformasi tanpa ada otonomi dan tak akan ada demokrasi tanpa otonomi daerah.
25
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata S-ungai, K- ampung, A-nak, I-kan. Hal tersebut mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di
kampung, ditepi-tepi hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup airnya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian besar
orang melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang Sakai dianggap jauh dari kemajuan.
26
25
M.Mas’ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, UMM Press, Malang, 2008, Hal.2.
26
“Pemberdayaan Masyarakat Suku Sakai”, Artikel, Didownload dari http:www.katcenter.info, diakses tanggal 2 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian
Kata Metode berasal dari bahasa Yunani “methods” tang berarti cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode ini menyangkut masalah cara
kerja yaitu cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.
27
1. Sifat Penelitian