Latar Belakang Margaisme dalam Pemilihan Legislatif di Kabupaten Humbang Hasundutan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam masyarakat, dapat dilihat berlangsungnya perubahan-perubahan, pergeseran, dan tantangan.Perubahan itu baik di aspek ekonomi, sosial budaya maupun dalam aspek politik. Perubahan yang cepat biasanya akan menimbulkan permasalahan, karena terjadinya perubahan nilai-nilai dan norma-norma sehingga masyarakat kehilangan pegangan. Termasuk juga perubahan yang dialami oleh negara kita ini pasca reformasi baik dibidang sosial maupun politik. Dalam era ini terjadi perubahan-perubahan yang luar biasa terhadap tatanan yang telah dibangun di era orde baru.Era reformasi ini merupakan puncak dari keruntuhan era orde baru, yaitu Pemerintahan yang sentralistik dan dominan.Dalam era ini terjadi penolakan dan perombakan-perombakan terhadap berbagai kebijakan di era orde baru. Dari berbagai kebijakan di era reformasi ini telah memberi peluang terhadap kebebasan individu maupun kelompok masyarakat, telah memberi peluang terhadap perubahan sosial yang positif dan lebih demokratis.Pada tataran struktur pemerintahan formal nampak adanya tanda-tanda yang mendukung terwujudnya civil society. Namun keterbukaan dan kebebasan tersebut tidak dibarengi oleh tanggungjawab, solidaritas, inklusivitas dan kepatuhan kepada hukum, sehingga perubahan sosial yang terjadi tidak didasarkan pada mekanisme demokrasi yang benar, namun mengarah pada memunculkan suatu dominansi masyarakat tertentu, seperti kelompok borjuis, kapitalis atau kelompok-kelompok yang mendasarkan diri pada ikatan primordial kedaerahan, suku dan agama, contoh kasus: Sambas, Ambon, dan daerah-daerah lainnya. Serta berbagai gerakan yang mengatasnamakan reformasi, namun berakhir pada tindak kekerasan, kerusuhan massal, dan penjarahan. Hal ini disebabkan oleh melemahnya dominasi negara yang diganti oleh dominasi pasar. Oleh karena itu, di era paska reformasi ini perlu adanya koreksi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam membangun masyarakat yang demokratis, melalui penyediaan arena publik dalam bentuk open house, dan berbagai forum serta saluran lainnya sebagai tempat bertemunya negara dengan rakyat. Forum dan saluran tersebut dapat menampung aspirasi rakyat, tempat dan media dimana rakyat secara bebas melakukan pengawasan, berpartisipasi politik dan meminta pertanggungjawaban. Dengan demikian, kebebasan yang ada berdasarkan kesepakatan bersama, bukan kebebasan yang bersifat liberal, namun mempunyai batasan yang tegas, yaitu: batas kepatuhan Kepada hukum dan HAM serta Kepada batas inklusifitas dan solidaritas. Adanya pemilihan umum 2004 yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, pemilihan Presiden RI secara langsung, merupakan saluran-saluran partisipasi rakyat secara bebas, independen, tidak eksklusif bagi agama tertentu, daerah tertentu, suku tertentu, golongan sosial – ekonomi tertentu atau partai tertentu, namun untuk semua golongan. Hal ini merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang bagi rakyat http:koepoe2biroe.blogspot.com201302makalah-perubahan-sosial-budaya-di-era.html diakses Tanggal 16 Desember 2014 pukul 15:30 wib. Pemilihan Umum 2014 merupakan pemilu yang ke-11 dalam dinamika pesta demokrasi di Indonesia untuk pemilihan anggota Legisatif. Sedangkan untuk Pemilihan Presiden, tahun ini adalah yang ketiga kalinya setelah tahun 2004 dan 2009. Selama 11 kali penyelenggaraan Pemilu banyak dinamika yang berkembang baik dari partai politik peserta pemilu maupun nuansa politik pada jaman itu. Berikut sekilas perjalanan pesta demokrasi di tanah air dari masa ke masa. Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun 1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis. Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; beberapa daerah dirundung kekacauan oleh DITII Darul IslamTentara Islam Indonesia khususnya pimpinan Kartosuwiryo. Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Mereka yang bertugas di daerah rawan digilir datang ke tempat pemilihan. Pemilu akhirnya pun berlangsung aman. Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Konstituante berjumlah 520 dua kali lipat kursi DPR ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 1971, tepatnya pada tanggal 5 Juli 1971. Pemilu ini adalah Pemilu pertama setelah orde baru, dan diikuti oleh 10 partai politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan Karya, Nahdlatul Ulama, Parmusi, Partai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Pada tahun 1975, melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, diadakanlah fusi penggabungan partai-partai politik, menjadi hanya dua partai politik yaitu Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya. Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999 dilangsungkan pada tahun 1999 tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional. Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak dengan perolehan suara sekitar 35 persen, yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden. Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR. Pemilihan Umum Indonesia 2004 adalah pemilu pertama yang memungkinkan rakyat untuk memilih presiden secara langsung, dan cara pemilihannya benar-benar berbeda dari Pemilu sebelumnya. Pada pemilu ini, rakyat dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR yang anggota-anggotanya dipilih melalui Presiden. Selain itu, pada Pemilu ini pemilihan presiden dan wakil presiden tidak dilakukan secara terpisah seperti Pemilu 1999 — pada pemilu ini, yang dipilih adalah pasangan calon pasangan calon presiden dan wakil presiden, bukan calon presiden dan calon wakil presiden secara terpisah. Tahun 2009 merupakan tahun Pemilihan Umum pemilu untuk Indonesia. Pada tanggal 9 April, lebih dari 100 juta pemilih telah memberikan suara mereka dalam pemilihan legislatif untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Pada tanggal 8 Juli, masyarakat Indonesia sekali lagi akan memberikan suara mereka untuk memilih presiden dan wakil presiden dalam pemilihan langsung kedua sejak Indonesia bergerak menuju demokrasi di tahun 1998. Jika tidak ada calon yang mendapatkan lebih dari 50 persen suara, maka pemilihan babak kedua akan diadakan pada tanggal 8 September. Hasil pemilihan anggota DPR pada tanggal 9 April terdapat tiga partai yang mendapatkan jumlah suara terbanyak adalah Partai Demokrat PD dengan 20,8 persen perolehan suara, Golkar dengan 14,45 persen perolehan suara, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDIP dengan 14,03 persen perolehan suara. Empat partai Islam – Partai Keadilan Sejahtera PKS, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan PPP, dan Partai Kebangkitan Nasional PKB masing-masing hanya memperoleh 7,88 persen; 6,01 persen; 5,32 persen; dan 4,94 persen suara. Dua partai lainnya Gerindra dan Hanura, yang juga bukan merupakan partai agama, memperoleh 4,46 persen dan 3,77 persen suara. Pemilu tanggal 9 April juga mengurangi jumlah partai yang duduk di DPR. Hanya sembilan partai yang disebutkan di atas yang mendapatkan kursi di DPR. Sementara 29 partai lainnya gagal mencapai ketentuan minimum perolehan suara pemilu sebesar 2,5 persen dan tidak mendapatkan kursi di DPR. Hal ini diharapkan mengurangi jumlah partai politik yang akan bersaing untuk pemilu tahun 2014. Pemilu 2014. diikuti oleh 12 Partai politik nasional dan ditambah dengan 3 partai politik lokal khusus Aceh. Hasil Pemilu Legislatif 2014 yang telah diumumkan KPU menempatkan sepuluh partai yang lolos ambang batas parlemen, yakni Partai NasDem, PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PPP, dan Partai Hanura. Sedangkan dua partai yang tak lolos yaitu PBB dan PKPI. Urutan lima besar partai peraih suara terbanyak yakni : PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat dan PKB. http:www.pusakaindonesia.orgsekilas-pemilu-dari-masa-ke-masa diakses pada 16 Desember 2014 pukul 18:25 Wib. Dinegara-negara demokrasi konsep partisipasi politik bertolak dari paham bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang- orang yang akan memegang tampuk pimpinan, sehingga partisipasi politik erat sekali kaitannya dengan kesadaran politik, karena semakin sadar dirinya diperintah. Anggota masyarakat secara langsung memilih wakil-wakil yang akan duduk dilembaga pemerintahan. Dengan kata lain partisipasi langsung dari masyarakat yang seperti ini merupakan penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat. Keikutsertaan masyarakat dalam berpartisipasi sangatlah penting karena teori demokrasi menyebut bahwa perlunya partisipasi politik masyarakat pada dasarnya disebabkan bahwa masyarakat tersebut sangatlah mengetahui apa yang mereka kehendaki. Masyarakat sebagai kumpulan individu memiliki harapan sekaligus tujuan yang hendak diwujudkan, dan untuk mewujudkan harapan tersebut diperlukan adanya norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur berbagai kegiatan bersama dalam rangka menempatkan dirinya ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa ditegakkan. Upaya menegakkan norma-norma tersebut mengharuskan adanya lembaga pemerintah yang memiliki otoritas tertentu agar norma-norma yang ada ditaati. Dengan demikian kegiatan individu dalam masyarakat terjadi sekurang-kurangnya karena kesempatan, norma-norma serta kekuatan untuk mengatur tertib masyarakat kearah pencapaian tujuan. Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman suku dan etnik, dengan adat serta budaya yang berbeda-beda. Dari Sabang sampai Merauke terdapat sekitar 400 lebih etnis yang memiliki budaya tersendiri. Sebagai masyarakat yang menghargai budaya dan adat istiadat yang ada, maka masyarakat kerap menjalani kehidupan yang berlandaskan budaya yang ada. Proses kehidupan berpolitik pun tidak luput dari pengaruh budaya dari setiap etnis yang ada. Proses pengambilan keputusan di negara ini sering dilakukan berdasarkan pendekatan budaya culture approach. Hal tersebut dilakukan karena banyak para pemikir kita beranggapan bahwa masyarakat lokallah yang mengetahui dengan pasti apa yang mereka butuhkan. Oleh karena itu, kebijakan yang diambil harus berdasarkan pendekatan budaya terhadap masyarakat yang bersangkutan . Untuk lebih mudah bagi pemerintah dalam melaksanakan apa kebutuhan masyarakat setiap etnik maka di berlakukanlah pemerintahan dengan cara desentralisasi melalui otonomi daerah. Lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di Negara ini. Otonomi daerah di Indonesia ditandai semenjak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang kemudian direvisi menjadi UU No. 322004. Dimana provinsi menjadi wakil pemerintah pusat didaerah yang mengkordinir , membina serta mengawasi pelaksanaan otonomi daerah diwilayah provinsi yang bersangkutan. Otonomi daerah yang merupakan anak kandung dari desentralisasi sebenarnya adalah merupakan kas pemberian Negara, yakni pemberian kewenangan mengelola kebijakan dan juga keuangan oleh pengelola Negara di tingkat nasional kepada pengelola Negara di tingkat lokal. Mulai tahun 2000 otonomi daerah berkembang. Dan setelah satu dasawarsa terakhir otonomi daerah berjalan otonomi daerah telah berdampak terhadap wajah politik Indonesia menjadi sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dimana semangat awalnya bermaksud menciptakan pemerintahan yang baik good govermance ditingkat lokal. Otonomi daerah menjanjikan perubahan bagi eksistensi lokal. Ia dipercaya mendekatkan Negara kepada masyarakat lokal, serta memperkuat akuntabilitas lokal. Tetapi dalam praktiknya otonomi daerah justru memunculkan berbagai persoalan baru yang berdampak terhadap perpolitikan Indonesia. Dengan kebebasan otonomi daerah ini sehingga menimbulkan dampak terhadap politik Indonesia. Terdapat dua dampak dari desentralisasi tersebut yaitu dampak negatif dan dampak positif. Dampak positifnya ialah seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi. Sedangkan dampak negatifnya seperti langgengnya politik uang money politics dalam praktik pemilihan kepala daerah dan juga pemilihan legislatif, tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking, meratanya praktik KKN Korupsi, Kolusi dan Nepotisme , booming pemekaran wilayah, eksploitasi sumber daya alam SDA yang tidak terkendali, dan terbentuknya politik identitas. Tentang dampak negatif tersebut dari berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberatif telah menjadi pintu masuk kebangkitan politik identitas EtnikMarga. Politik identitas adalah pemberian garis yang tegas untuk menentukan siapa yang akan disertakan dan siapa yang akan ditolak. Karena garis-garis penentuan tersebut tampak tidak dapat dirubah, maka status sebagai anggota bukan anggota dengan serta merta tampak bersifat permanen. Di arena politik identitas etnik di produksi sebagai pembuat isu “Putra daerah” yang kebanyakan dilakukan oleh elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya. Mengenai hal ini tegas dikatakan bahwa momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan indentitas margaetnik untuk menolak atau tidak memilih kepala daerah maupun calon legeslatif yang berasal dari entikmarga lain. Politik identitas sebagai buah dari dampak negatif otonomi daerah tersebut sudah lama menjadi bahan pembicaraan menarik dikalangan para ahli ilmu-ilmu social. Seperti Clifford Geertz dalam tulisannya tentang “primordial sentiment” yang menyatakan bahwa studi tentang politik identitas ini akan terus berkembang, terutama yang berkaitan dengan identitas keetnisan, gender, masyarakat pribumi, dan masyarakat lokal. Akhir-akhir ini kita melihat banyak ketimpangan pembangunan-pembangunan yang terjadi. Dimana pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah lebih banyak dan dominan di kota. Fasilitas yang canggih dan mewah juga lebih banyak dibangun dikota dibandingkan di desa. Bukan hanya fasilitas dan juga pembangunan, mulai dari sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, pusat ekonomi juga lebih banyak dibangun dikota dibandingkan di desa. Salah satu faktor pendorong dari politik identitas ini adalah akibat dari pembangunan yang tidak merata yang dilakukan oleh pemerintah. Banyak etnis yang mulai menyadari ketimpangan pembangunan yang terjadi saat ini. Misalnya di Indonesia sendiri kita lihat bahwa pembangunan dan juga fasilitas canggih serta pusat eknomi, politik, pendidikan, dan juga kesehatan lebih banyak berpusat di Jakarta dan juga lebih banyak dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di pulau Jawa dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Memang tidak bisa kita pungkiri hal tersebut. Karena hal tersebut juga yang menimbulkan kecemburuan sosial dimasyarakat dan ingin maju agar merasakan pembangunan sehingga mereka maju dan membentuk satu kekuatan politik dalam pemilihan yang dilakukan di Indonesia terlebih dalam pemilihan DPR, kepala daerah dan juga Gubernur. Pemilihan legislatif secara langsung terkait dengan peran serta masyarakatnya dalam memberikan dukungan suara kepada partai politik dan kandidat yang ada. Proses pemilihan legislatif langsung ini akan menghadirkan partisispasi politik masyarakat.Partisipasi merupakan aspek yang penting dari demokrasi, dimana prinsip dasar demokrasi adalah setiap orang dapat ikut serta secara aktif baik dalam kehidupan politik dengan jalan untuk memilih pemimpin secara langsung, dan juga dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Partisipasi dari masyarakat tersebut dengan melalui mereka yang ikut serta dalam mengubah keputusan diatas oleh penguasa yang akan digantikan dengan mempertahan kan kekuasaannya. Dalam hal ini perorangan baik dalam kelompok akan selalu berusaha untuk mempengaruhi pemerintah baik yang akan ditentukan oleh alternatif yang akan digunakan mencapai tujuan mereka sendiri. Dan banyak faktor yang akan mempengaruhi prefensi kandidat dari pemilih tersebut. Salah satu faktor tersebut adalah etnis yang dianggap sebagai faktor paling penting dalam perilaku pemilih Indonesia. Pada pemilihan umum legislatif para calon legislatif melakukan berbagai cara untuk mendapatkan suara dari masyarakat. Baik itu dengan menjual identitas agama, sukuetnik dan juga marga. Kampanye adalah cara yang paling efektif diigunakan oleh para calon legislatif dalam menarik simpati rakyat dan mengucapkan janji-janji yang akan dipenuhi calon legislatif disaat dia terpilih dan menang nantinya. Para calon legislatif juga menggunakan strategi memilih Tim Sukses TS dari setiap daerah yang dianggapnya berpengaruh dan dituakan oleh masyarakat setempat. Para calon legislatif akan menggunakan pendekatan kepada tokoh adat, ketua organisasi dan orang berpengaruh lainnya, dengan tujuan agar orang yang dituakan ini bisa mengajak masyarakat untuk memilih calon legislatif tersebut. Menjual marga saat kampanye adalah cara yang efektif digunakan calon legislatif yang berasal dari keluarga bersuku batak toba karena suku Batak Toba terkenal dengan ciri khasnya yaitu memiliki marga.Dalam kehidupan bermasyarakat, dasar fundamental yang mengatur hubungan sosial orang Batak Toba ialah marga. Sistem hubungan ditentukan oleh kedudukan dalam struktur sosial dalihan na tolu tungku berkaki tiga yang terdiri dari tiga unsur pendukung yaitu saudara dari pihak istri hula-hula, saudara semarga dongan tubu, dan penerima istri boru. Hubungan diperlihatkan dengan memperlihatkan silsilah dan analogy marga yang didasarkan pada relasi kerabat dekat yang lain, baik dalam hubungan internal maupun eksternal. Ada istilah dalam orang Batak Toba mengatakan ”Molo adong do na dihita boasa pola ingkon tu halak?” Kalau ada punya kita kenapa kita harus memilih orang lain?. Dari pernyataan ini bisa jelas kita lihat bahwa faktor kesamaan sukumarga menjadi faktor utama bagi orang Batak Toba dalam memilih pemimpin. Masyarakat Batak Toba juga memiliki prinsip dalam memilih berdasarkan etnik ataupun marga. Dalam pemilihan legislatif ditingkat kabupaten masyarakat Batak Toba lebih mengutamakan memilih calon berdasarkan marga. . Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan, maka peneliti tertarik melihat fenomena pengaruh marga dalam memenangkan calon legislatif pada pemilihan umum di Kabupaten Humbang Hasundutan, dengan melakukan penelitian di Punguan Marga Simamora di Desa Saitnihuta.Dan melihat bagaimana pengaruh tersebut bisa membentuk sebuah politik margaisme identitas dalam masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah