Pengaruh Monosodium Glutamat terhadap Perkembangan Folikel dan Siklus Estrus Mencit Betina

(1)

PENGARUH MONOSODIUM GLUTAMAT TERHADAP

PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN SIKLUS ESTRUS

MENCIT BETINA

TESIS

Oleh

YETTY MACHRINA

067008011/BM

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(2)

PENGARUH MONOSODIUM GLUTAMAT TERHADAP

PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN SIKLUS ESTRUS

MENCIT BETINA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Ilmu Biomedik

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

YETTY MACHRINA

067008011/BM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 9


(3)

Judul Tesis : PENGARUH MONOSODIUM GLUTAMAT TERHADAP PERKEMBANGAN FOLIKEL DAN SIKLUS ESTRUS MENCIT BETINA

Nama Mahasiswa : Yetty Machrina

Nomor Pokok : 067008011

Program Studi : Biomedik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Herbert Sipahutar, M.Sc) Ketua

(Dr. H. Soekimin, SpPA) Anggota

Ketua Program Studi

(dr. Yahwardiah S, Ph.D)

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 19 Februari 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Herbert Sipahutar, M.Sc

Anggota : 1. dr. H. Soekimin, SpPA

2. dr. Dedi Ardinara, M.Kes, AIFM


(5)

ABSTRAK

Monosodium glutamat sejak dahulu telah digunakan masyarakat sebagai bahan penyedap makanan. Kontroversi mengenai efek penggunaan glutamat sampai sekarang masih menjadi bahan diskusi para peneliti. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh monosodium glutamat terhadap fungsi reproduksi mencit betina yaitu untuk melihat pengaruhnya terhadap perkembangan folikel dan siklus estrus.

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit (Mus Musculus L) strain DD Webster sebanyak 32 ekor. Litter F1 betina umur 10 hari sebanyak 16 ekor, disuntikkan MSG 4mg/gbb yang terlarutkan dalam 0,1cc NaCl 0,9% secara intraperitoneum, selama 5 kali (umur 10 hari, 12, 14, 16, dan 18) sedangkan 16 ekor lainnya dijadikan sebagai kontrol. Dilakukan apusan vagina untuk menentukan waktu estrus. Sampel dieksekusi pada saat estrus untuk kemudian diakukan pemeriksaan hormon dan pengamatan histologi ovarium.

Estrus pertama kelompok perlakuan terjadi pada hari ke 26-28, sedangkan kelompok kontrol hari ke 236, panjang siklus estrus kelompok perlakuan adalah 5-8 hari, dan kelompok kontrol 6-7 hari. Tidak ada perbedaan secara statistik untuk kejadian estrus pertama dan panjang estrus pada kedua kelompok. Ditemukan folikel primer, sekunder, folikel de graff, korpus luteum dan folikel atretik pada pengamatan histologi kedua kelompok, di mana dijumpai jumlah folikel atretik dan folikel de graff lebih banyak pada kelompok perlakuan. Kadar estradiol ditemukan lebih rendah pada kelompok perlakuan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian 4mg/gbb MSG tidak mempengaruh siklus estrus dan tahapan perkembangan folikel. Namun secara fungsi, pemberian 4mg/gbb MSG mempengaruhi sekresi hormon estradiol.


(6)

ABSTRACT

People has used monosodium glutamat as food additive for years. Controversion about the effect of glutamat still being discussed by researchers. This experimental study purposed to know whether monosodium glutamat influence female mice reproduction especially it’s follicular development and oestrus cycle.

This study took 32 Litter F1 female mice (Mus Musculus L) from strain DD Webster, 16 female mice day 10 from first generation were injected with monosodium glutamat 4mg/gbb in NaCl 0,9% 0,1 cc intraperitoneal, each for five times every two days (day 10, 12, 14, 16, and 18) and the other 16 as control. Vaginal smear was done to determine oestrus phase. Sample was executed at oestrus phase, then checked hormone and ovarium histological examination.

First oestrus on treated MSG mice found on day 26 -28 for 5-8 days oestrus cycle, and control on day 25-36 for 6-7 days oestrus cycle. Statistically, there is no different between treated MSG mice with control.

Primary follicles, secondary follicles, follicle de graff, corpus luteum and atretic follicles were found both treated MSG mice and control. Atretic follicles and follicle de graff on treated MSG mice more than control. Estradiol treated MSG mice lower than control.

Conclusion: This study shows that MSG 4 mg/gbb did not influence oestrus cycle and follicular development, but MSG 4 mg/gbb reduce estradiol secretion.


(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur Penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya, akhirnya Penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Monosodium Glutamat terhadap Perkembangan Folikel dan Siklus Estrus Mencit Betina”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dilaksanakan Penulis untuk meraih gelar Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pertama-tama, Penulis menghaturkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Chairuddin P. Lubis, DTN&H., Sp.A(K), Dekan Fakultas Kedokteran USU Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, Ketua Departemen Fisiologi dr. Nuraiza Meutia, M.Biomed, Direktur Pascasarjana USU Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B, M.Sc, dan dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D selaku Ketua Program Studi Ilmu Biomedik SPs USU yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana USU.

Dalam proses penyelesaian tesis ini, Penulis banyak dibimbing dan dibantu oleh dosen pembimbing Prof. Dr. Herbert Sipahutar, M.Sc dan dr. H. Soekimin, Sp.PA sejak dari penyusunan proposal sampai penyusunan laporan tesis. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Serta tak lupa pula Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Dedi Ardinata, M.Kes, AIFM dan dr. Christoffel L Tobing, SpOG yang telah banyak memberikan kritikan dan saran demi kesempurnaan tesis ini. Demikian pula kepada Prof. dr. Yasmeini Yazir selaku Ketua


(8)

Jurusan Fisiologi Program Studi Ilmu Biomedik SPs USU sekaligus sesepuh pada Departemen Fisiologi FK USU tempat di mana Penulis bertugas, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas nasehat dan motivasi yang telah beliau berikan kepada Penulis sehingga Penulis termotivasi untuk segera menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih yang tidak terhingga terutama Penulis haturkan kepada Muktar Rahmad Sedayu Harahap, SST sebagai suami dan teman diskusi yang telah dengan setia mendampingi dan mendukung Penulis menyelesaikan tesis ini. Kedua buah hati, Muhammad Alif Akbar Harahap dan Muhammad Baihas Sedayu Harahap yang dengan penuh pengertiannya mendukung Penulis hingga tesis ini selesai.

Tesis ini merupakan hadiah yang Penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Sudirman Tanjung dan Ibunda Hj. Martini. M yang senantiasa mendoakan, membimbing dan mendukung segala hal positif yang Penulis lakukan agar apa yang dicita-citakan dapat terkabul.

Ucapan terima kasih tidak lupa pula Penulis haturkan kepada teman-teman yang telah banyak membantu terselesaikannya tesis ini. Fitra, Melva Syari, dr. Novita Sari Harahap, M.Kes, Evi Irianti, M. Kes, David Siagian, M.Kes, dr. Dedi Syahrizal, M.Kes, dr. Runggu Retno, M.Kes, Nelma, M.Kes, Dr. Nyoman EL, M.Kes, Dr. Almaycano Ginting, M.Kes dan Amril Purba, Amk.

Tesis ini dapat terselesaikan berkat adanya kerjasama yang baik dengan laboratorium klinik Pramita Medan dan laboratorium Patologi Anatomi FK USU yang telah memberi kesempatan kepada peneliti untuk melakukan pemeriksaan


(9)

estradiol dan pengamatan histologi ovarium mencit. Untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pimpinan dan segenap karyawan Laboratorium Klinik Pramita Medan. Demikian pula Ketua Departemen Patologi Anatomi FK USU beserta laboran yang sudah banyak membimbing Penulis dalam hal pembuatan dan pengamatan preparat hisologi ovarium mencit.

Akhirnya Penulis berharap agar nantinya penleitian ini bermanfaat bagi peneliti khususnya dan pembaca umumnya dalam menambah wawasan dan wacana berfikir tentang penggunaan monosodium glutamat dalam kehidupan sehari-hari.

Medan, Februari 2009 Penulis


(10)

RIWAYAT HIDUP

1. Nama : Yetty Machrina

2. Tempat/Tanggal Lahir : P. Berandan, 24 Maret 1979

3. Agama : Islam

4. Status : Menikah

5. Alamat : Jl. Bunga Melur Gg. Keluarga No. 16 Pasar III Tanjung Sari Medan

6. Telp/HP : 061-8215296/08153053230 7. Pendidikan :

SD No. 1 YPDP P. Berandan : 1985 – 1991 SMP YKPP P. Berandan : 1991 – 1994 SMU Negeri P. Berandan : 1994 – 1997 Sarjana (S1) Fakultas Kedokteran USU : 1997 – 2001 Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran USU : 2001 – 2003 Sekolah Pascasarjana, Program Biomedik, USU : 2006 – 2009 8. Riwayat Pekerjaan

Staff Pengajar Tetap di Departemen Fisiologi FK – USU : 2003 – sekarang


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ……… i

ABSTRACT ………... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 4

1.3. Kerangka Teori ... 4

1.4. Tujuan Penelitian... 5

1.4.1. Tujuan Umum ... 5

1.4.2. Tujuan Khusus... 5

1.5. Hipotesis ... 6

1.6. Manfaat Tesis... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Monosodium Glutamat (MSG)... 8

2.2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik MSG... 9

2.2.1. Makanan yang Mengandung Glutamat... 9

2.2.2. Efek Negatif dari MSG... 10

2.3. Fungsi Reproduksi Mamalia ... 11

2.3.1. Fungsi Hormonal Hipothalamus ... 11

2.3.2. Gonadotropin Hormone ... 12

2.3.3. Luteinizing Hormone (LH) ... 12

2.3.4. Follicle Stimulating Hormone (FSH) ... 13

2.3.5. Tahapan Perkembangan Folikel di Ovarium... 13

2.3.6. Siklus Menstruasi ... 18

2.4. Pengaruh MSG terhadap Reproduksi... 20

2.5. Biologi Reproduksi Mencit... 20

2.5.1. Ciri Reproduksi Umum... 20

2.5.2. Kopulasi (Matting) ... 21

2.5.3. Siklus Estrus Mencit... 22


(12)

2.6. Leptin ... 25

2.6.1. Peran Leptin terhadap Fungsi Reproduksi... 25

2.6.2. Leptin dan Pengaturan Neuroendocrine Axis... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ………. 28

3.1. Desain Penelitian... 28

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian... 28

3.3. Populasi Penelitian ... 29

3.4. Variabel Penelitian ……... 29

3.5. Bahan ... 29

3.6. Alat ... 30

3.7. Pelaksanaan Penelitian ... 31

3.7.1. Pemeliharaan Hewan Coba... 31

3.7.2. Pemberian Perlakuan ... 32

3.8. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis...……… ………… 35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……… 37

4.1. Hasil ……… 37

4.1.1 Berat Badan Mencit... 37

4.1.2. Siklus Estrus... 39

4.1.3. Kadar Estradiol... 40

4.1.4. Pengamatan Ovarium ... 42

4.1.5. Hubungan antara Berat Badan dengan Estradiol... 44

4.2. Pembahasan ... 45

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………. 51

5 .1. Kesimpulan ... 51

5.2. Saran... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor

Judul

Halaman

1. Ciri Reproduksi Terpenting Mencit Betina... 21 2. Ciri Histologi Apusan Vagina, Tampakan Uterus dan Vagina dan

Rentang Waktu untuk Setiap Tahap Utama Siklus Estrus Mencit... 24 3. Kejadian Estrus Pertama Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan . 39 4. Panjang Siklus Estrus Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan... 39 5. Rata-Rata Kadar Estradiol Mencit Kontrol dan Mencit Perlakuan pada


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Pengaturan (Regulasi) Hormonal Fungsi Sumbu Hipothalamus - Gonad pada Mencit dan Kemugkinan Pengaruh yang Ditimbulkan Oleh MSG. Tanda (?) Menunjukkan Endpoints yang akan ditelaah

dalam Tesis ini... 7 2. Mencit Betina Bunting dan Litter 1 Betina Umur 10 Hari... 31 3. Rata-Rata Berat Badan Kelompok Kontrol dan Kelompok

Perlakuan Selama Pemberian Perlakuan Padan Hari Ke-10, Hari

Ke-12, Hari Ke-14, Hari Ke-16, Hari Ke-18... 37 4. Rata-Rata Kenaikan Berat Badan Mencit Kontrol dan Perlakuan

Selama Diberi Perlakuan... 38 5. Perbandingan Rata-Rata Berat Badan Kelompok Kontrol dan

Perlakuan pada Estrus 1x, Estrus 2x, Estrus 3x dan Estrus 4x... 38 6. Rata-Rata Panjang Siklus Estrus Kelompok Kontrol dan Kelompok

Perlakuan Pada Estrus 2x, 3x, dan 4x... 40 7. Rata-Rata Kadar Estradiol pada Kelompok Kontrol dan Kelompok

Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus... 41 8. Rata-Rata Jumlah Korpus Luteum Kelompok Kontrol dan

Kelompok Perlakuan yang Diamati Secara Makroskopis... 42 9. Rata-Rata Jumlah Folikel Tumbuh Kelompok Kontrol dan

Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus... 42 10. Rata-Rata Jumlah Folikel De Graff Kelompok Kontrol dan

Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus... 43 11. Rata-Rata Jumlah Corpus Luteum Kelompok Kontrol dan

Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus... 43 12. Rata-Rata Jumlah Folikel Atretik Kelompok Kontrol dan Kelompok

Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus... 44 13. Rata-Rata Kadar Estradiol Bila Dilihat dari Berat Badan Mencit


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Lembar Persetujuan Komisi Etik (Ethical Clearance)... 57 2. Hasil Uji T-Independent Berat Badan Selama Perlakuan... 58 3. Hasil Uji T-Independent Berat Badan pada Setiap Siklus Estrus... 63 4. Hasil Uji T-Independent Kadar Estradiol pada Setiap Siklus Estrus... 67 5. Hasil Uji Statistik Mann-Whitney untuk Panjang Siklus Estrus... 72 6. Gambar Penelitian... 75


(16)

ABSTRAK

Monosodium glutamat sejak dahulu telah digunakan masyarakat sebagai bahan penyedap makanan. Kontroversi mengenai efek penggunaan glutamat sampai sekarang masih menjadi bahan diskusi para peneliti. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh monosodium glutamat terhadap fungsi reproduksi mencit betina yaitu untuk melihat pengaruhnya terhadap perkembangan folikel dan siklus estrus.

Penelitian ini menggunakan hewan coba mencit (Mus Musculus L) strain DD Webster sebanyak 32 ekor. Litter F1 betina umur 10 hari sebanyak 16 ekor, disuntikkan MSG 4mg/gbb yang terlarutkan dalam 0,1cc NaCl 0,9% secara intraperitoneum, selama 5 kali (umur 10 hari, 12, 14, 16, dan 18) sedangkan 16 ekor lainnya dijadikan sebagai kontrol. Dilakukan apusan vagina untuk menentukan waktu estrus. Sampel dieksekusi pada saat estrus untuk kemudian diakukan pemeriksaan hormon dan pengamatan histologi ovarium.

Estrus pertama kelompok perlakuan terjadi pada hari ke 26-28, sedangkan kelompok kontrol hari ke 236, panjang siklus estrus kelompok perlakuan adalah 5-8 hari, dan kelompok kontrol 6-7 hari. Tidak ada perbedaan secara statistik untuk kejadian estrus pertama dan panjang estrus pada kedua kelompok. Ditemukan folikel primer, sekunder, folikel de graff, korpus luteum dan folikel atretik pada pengamatan histologi kedua kelompok, di mana dijumpai jumlah folikel atretik dan folikel de graff lebih banyak pada kelompok perlakuan. Kadar estradiol ditemukan lebih rendah pada kelompok perlakuan.

Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian 4mg/gbb MSG tidak mempengaruh siklus estrus dan tahapan perkembangan folikel. Namun secara fungsi, pemberian 4mg/gbb MSG mempengaruhi sekresi hormon estradiol.


(17)

ABSTRACT

People has used monosodium glutamat as food additive for years. Controversion about the effect of glutamat still being discussed by researchers. This experimental study purposed to know whether monosodium glutamat influence female mice reproduction especially it’s follicular development and oestrus cycle.

This study took 32 Litter F1 female mice (Mus Musculus L) from strain DD Webster, 16 female mice day 10 from first generation were injected with monosodium glutamat 4mg/gbb in NaCl 0,9% 0,1 cc intraperitoneal, each for five times every two days (day 10, 12, 14, 16, and 18) and the other 16 as control. Vaginal smear was done to determine oestrus phase. Sample was executed at oestrus phase, then checked hormone and ovarium histological examination.

First oestrus on treated MSG mice found on day 26 -28 for 5-8 days oestrus cycle, and control on day 25-36 for 6-7 days oestrus cycle. Statistically, there is no different between treated MSG mice with control.

Primary follicles, secondary follicles, follicle de graff, corpus luteum and atretic follicles were found both treated MSG mice and control. Atretic follicles and follicle de graff on treated MSG mice more than control. Estradiol treated MSG mice lower than control.

Conclusion: This study shows that MSG 4 mg/gbb did not influence oestrus cycle and follicular development, but MSG 4 mg/gbb reduce estradiol secretion.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Monosodium glutamat (MSG) yang lebih dikenal dengan merk dagang “Ajinomoto” telah lama digunakan sebagai tambahan penyedap masakan. Penggunanya bukan hanya ibu-ibu rumah tangga tetapi juga industri makanan. Sebab dengan menambahkan sedikit MSG ke dalam masakan, akan memberikan kelezatan yang setara dengan ekstrak daging sapi. Food and Drug Administration (FDA) kemudian menetapkan MSG sebagai “food additive atau food enhancer” (Sand, 2005), akan tetapi setelah bertahun-tahun digunakan, muncul efek tidak menyenangkan dari MSG. Efek tidak menyenangkan ini pertama sekali diketahui pada tahun 1968 ketika Robert Ho Man Kwok seorang doctor China - Amerika mengirimkan pengalamannya setelah mencicipi hidangan china ke the New England Journal of Medicine. Pengalaman yang tidak menyenangkan tersebut berupa rasa kebas dan jantung berdebar-debar, mual, sakit kepala yang kemudian dikenal dengan “Chinese restaurant syndrome”(Sand, 2005).

Tesis terhadap efek MSG mulai dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan. Dr. John Olney (1969) menemukan adanya kerusakan otak pada tikus yang disuntikkan MSG. Atas alasan ini pimpinan White House Conference on Food, Nutirion and Health memerintahkan untuk menarik MSG dari makanan bayi. Di akhir tahun 2001 ilmuwan dari Universitas Hirosaki Jepang melaporkan


(19)

temuannya pada mencit yang diberi makanan mengandung MSG berlebihan, memiliki retina yang tipis, memicu terjadinya kebutaan (Sand, 2005).

MSG bersifat neurotoksik, Legradi et.al (1998) menemukan bahwa MSG menyebabkan ablasi sumbu arcuate nucleus hipothalamus sehingga dapat mengganggu fungsi hipothalamus – pituitary – organ target axis.

Hipothalamus mensekresi gonadotropin releasing hormon yang merangsang pengeluaran hormon gonadotropin (LH dan FSH) dari hipofisis anterior. Kedua hormon ini diperlukan untuk perkembangan gonad pria maupun wanita serta penting keberadaannya untuk proses spermatogenesis dan oogenesis. Terganggunya fungsi hipothalamus mengakibatkan gangguan pada fungsi endokrin, termasuk hormon reproduksi sehingga turut mempengaruhi fungsi gonad (Camihort, 2004).

Mencit jantan berumur 2 hari yang dipaparkan 4 mg/gbb MSG (setara dengan 30-240 mg/kgbb pada manusia) menunjukkan berat badan, jumlah sel Sertoli dan sel Leydig per testis yang lebih rendah pada saat puber (Franca, 2005). Penurunan berat vesikula seminalis dan epididymis, tetapi tidak disertai dengan perubahan struktur histologi testis mencit pasca pemberian MSG juga telah dilaporkan oleh Giovambattista (2003). Penurunan jumlah sel Leydig ini, menyebabkan produksi testosteron juga berkurang. Hipogonadisme yang terjadi diduga disebabkan oleh penurunan kadar LH dan FSH dan FT4 darah yang berperan dalam perkembangan organ reproduksi dan fungsi reproduksi (Franca, 2005).

Giovambattista (2003) juga mencatat terjadi hiperplasia sel adiposa pasca pemberian MSG, sehingga kadar hormon leptin meningkat 3 kali lebih tinggi


(20)

dibandingkan mencit yang tidak terpapar (Camihort, 2004). Leptin berperan dalam pengaturan reproduksi yaitu meningkatkan sekresi GnRH dari hipothalamus dan LH-FSH dari hipofisis anterior. Namun hyperleptinemia justru menghambat aktivitas sel Leydig, mempengaruhi proses steroidogenesis, sekresi dan stimulasi testosterone. Pemberian MSG pada mencit jantan secara signifikan menunjukkan penurunan kadar testoterone basal dan HCg (Giovambattista, 2003).

Tesis imunohistokimia morfometrik terhadap sel-sel hypofisis anterior mencit betina yang dipaparkan dengan MSG, menunjukkan adanya hyperplasia gonadotrof LH dan penurunan ukuran sel. Sedangkan pada gonadotrof FSH terjadi juga penurunan densitas sel dan pertambahan ukuran sel, walaupun secara statistik tidak bermakna (Camihort, 2004).

Hamster betina umur 8 hari yang diberikan MSG 8mg/gbb dalam 0,1 cc NaCl 0,9% secara subkutan menunjukkan hambatan dalam perkembangan folikel ovarium. Folikel ovarium yang terbentuk kecil, tahapannya hanya sampai Folikel sekunder. Tidak ditemukan copus luteum, terjadi keterlambatan estrus pertama, membesarnya sel intertitiumyang disertai peningkatan kadar progesteron dalam darah (Lamberti, 1979).

Sebaliknya beberapa peneliti tidak berhasil memperlihatkan adanya pengaruh buruk MSG terhadap hewan coba (Internastional Food Information Council Foundation), sehingga FDA menyatakan bahwa MSG dalam jumlah tertentu masih aman untuk dikonsumsi. Namun pemerhati anak, tetap saja mengkhawatirkan keberadaan MSG dalam jajanan anak-anak. Terutama karena perusahaan makanan


(21)

tidak pernah mencantumkan berapa kandungan MSG yang dalam produknya. Pengamat anak mengkhawatirkan jika anak mengkonsumsi MSG melebihi dosis aman (anak-anak 1 gr/hr, dewasa 3 gr/hr) dapat memberikan dampak di kemudian hari.

Di tengah kontroversi pengaruh buruk MSG, masyarakat luas dan industri makanan masih tetap menjadikan MSG sebagai pilihan utama sebagai bahan penyedap makanan.

Mengingat tesis terdahulu menunjukkan bahwa MSG dapat menurunkan kadar FSH dan LH pada mencit (Camihort, 2004; Giovambattista, 2003; Franca, 2005), maka tesis ini didisain sedemikian rupa untuk mempelajari apakah penuruna FSH dan LH pasca pemberian MSG ini cukup signifikan untuk menginduksi kelainan dalam perkembangan folikel dan siklus estrus mencit betina.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana pengaruh MSG terhadap perkembangan folikel ovarium dan perubahan siklus estrus mencit betina

1.3. Kerangka Teori

MSG menyebabkan terjadinya ablasi nukleus arcuate dan ventromedial hipothalamus yang merupakan pusat pengaturan pelepasan hormon reproduksi. Kerusakan daerah ini mengakibatkan penurunan sekresi GnRH sehingga sekresi hormon-hormon gonadotropin (FSH dan LH) juga menurun.


(22)

Pada mencit betina FSH dan LH beFSH dan LH bekerja merangsang perkembangan, pematangan dan ovulasi dalam ovarium. Penurunan FSH dan LH darah tentu saja akan merangsang proses perkembangan dan pematangan folikel tersebut. Tesis terdahulu menunjukkan adanya penurunan jumlah sel Sertoli dan sel Leydig pada testis tikus jantan yang diberikan perlakuan dengan MSG (Franca, 2005; Giovambattista, 2003).

Di lain pihak, MSG menyebabkan hiperplasia sel adiposa sehingga terjadi hiperleptinemia. Leptin dalam batas normal merangsang pelepasan GnRH dan hormon-hormon gonadotropin. Tetapi hasil tesis menunjukkan hiperleptinemia justru menekan sekresi kedua hormon tersebut (Giovambattista, 2003).

Selanjutnya, gangguan pada perkembangan folikel akan mempengaruhi keseimbangan estrogen-progesteron darah. Karena estrogen dan progesteron adalah hormon utama pengatur siklus estrus, maka perubahan keseimbangan karena hormon tersebut akan berimplikasi pada terganggunya siklus estrus (Gambar 1).

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana pengaruh MSG terhadap perkembangan folikel dan perubahan siklus estrus mencit betina.

1.4.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh MSG terhadap perkembangan folikel mencit betina.


(23)

2. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh MSG terhadap perubahan siklus estrus mencit betina.

3. Untuk mengetahui bagaimana mekanisme aksi MSG mempengaruhi fungsi ovarium dan siklus.

1.5. Hipotesis

Ho : MSG tidak mempunyai pengaruh terhadap perkembangan folikel ovarium mencit betina.

Ha : MSG mempunyai pengaruh terhadap perkembangan folikel ovarium mencit betina.

Ho : MSG tidak mempunyai pengaruh terhadap siklus estrus mencit betina. Ha : MSG mempunyai pengaruh terhadap siklus estrus mencit betina.

1.6. Manfaat Tesis

1. Bila dari hasil tesis ditemukan pengaruh MSG terhadap perkembangan folikel dan perubahan siklus estrus mencit betina, maka hasil tesis ini dapat dijadikan bahan pertimbangan kepada masyarakat dan pemerintah untuk memperhatikan penggunaan MSG dalam kehidupan sehari-hari.

2. Bisa dijadikan bahan pertimbangan sebagai salah satu penyebab terjadinya infertilitas.


(24)

Hipothalamus

- Nucleus arcuate/obRB gen

- Nucleus ventromedial

Hipofisis anterior

LH/FSH gonadotrofs

ovarium Testis

GnRH↓

FSH ↓, LH ↓

- Perkembangan

folikel (?)

- Estrogen

- Ovulasi /corpus

luteum

- Progesterone

- Siklus estrus (?)

- Sel Sertoli ↓

- Sel Leydig ↓

- Testosterone

- Spermatogenesis

ablasi

Hiperleptinemia Hiperplasia sel adiposa

MSG

Gambar 1. Pengaturan (Regulasi) Hormonal Fungsi Sumbu

Hipothalamus-Gonad pada Mencit dan Kemungkinan Pengaruh yang Ditimbulkan Oleh MSG. Tanda (?) Menunjukkan Endpoints yang Akan Ditelaah dalam Tesis Ini


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Monosodium Glutamat (MSG)

MSG adalah bentuk garam dari asam glutamat, di mana asam glutamat sendiri merupakan asam amino non-essensial yang menjadi bahan baku sintesis asam amino lain dan sebagai substrat bila sintesis gluthation (Freeman, 2006).

MSG pertama sekali ditemukan oleh seorang ahli kimia Jepang, Ikeda Kikunae, pada tahun 1908. Ikeda menamakan rasa lezat dari MSG tersebut dengan sebutan “umami” yang dalam bahasa Jepang berarti enak, gurih atau lezat. Temuan Ikeda ini kemudian dipasarkan oleh Suzuki Chemical Company dengan merk dagang Ajinomoto. Karena rasa lezat yang ditimbulkannya pada makanan tidak dapat diciptakan oleh makanan lain maka MSG mendapat julukan The sixth flavor (Freeman, 2006) dan menjadi sangat cepat populer di Jepang, Asia dan bahkan di Amerika dan Eropa (Sand, 2005).

Dewasa ini di pasaran MSG dikenal dengan berbagai macam sebutan seperti ajinomoto atau vetsin accent, sasa, masako, roico dan sebagainya.

MSG berbentuk tepung kristal putih yang bila dilarutkan ke dalam air atau saliva akan cepat berdissosiasi menjadi garam bebas dan glutamat (bentuk anion dari asam glutamat). Ion glutamat akan membuka gerbang Ca2+ pada kuncup perasa (taste bud) sehingga menimbulkan depolarisasi reseptor yang berlanjut dengan potensial


(26)

aksi yang sampai ke otak dan diproyeksikan sebagai sensasi lezat (Gold, 1995; Sheerwood, 2004). Rumus kimia dari MSG adalah C5H8NNaO4.

2.2. Farmakokinetik dan Farmakodinamik MSG

2.2.1. Makanan yang Mengandung Glutamat

Glutamat secara alamiah terdapat pada kebanyakan makanan dalam bentuk berikatan dengan kandungan protein makanan tersebut, seperti jamur, gandum, tomat, kacang tanah, kacang polong, daging dan sebagian besar produk susu (Freeman, 2006). Asam amino glutamat dan glutamine diubah menjadi glutamat di dalam tubuh. Asam amino yang tadinya berikatan dengan protein makanan, perlahan-lahan dipecahkan dan diabsorbsi. Proses ini menyebabkan glutamat dihasilkan secara bertahap, hanya glutamat dalam bentuk bebas yang dapat membangkitkan rasa lezat (Gold, 1995).

Pada MSG, glutamat tidak berikatan dengan protein, tetapi sudah dalam bentuk bebas. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa mengkonsumsi glutamat bebas akan meningkatkan kadar glutamat di dalam plasma darah secara signifikan. Dan kelebihan jumlah glutamat di dalam plasma, memudahkan glutamat merembes masuk melalui blood brain barrier (Gold, 1995).


(27)

2.2.2. Efek Negatif dari MSG

a. MSG Sebagai Excitotoxins

Excitotoxin digambarkan sebagai asam amino seperti sisteine, aspartam dan glutamat yang jika bekerja pada neuron akan menyebabkan neuron tersebut terstimulasi berlebihan dan mati (Gold, 1995).

Glutamat merupakan neurotransmitter yang penting untuk proses komunikasi antar sel-sel otak. Normalnya, bila terjadi kelebihan glutamat, glutamat akan dipompakan kembali ke dalam sel-sel glia yang mengelilingi neuron. Sebab, bila neuron tepapar dengan glutamat dalam jumlah besar, maka sel tersebut akan mati.

Glutamat membuka Ca2+ channel neuron sehingga Ca2+ dapat masuk ke dalam sel. Sejumlah reaksi kimia terjadi di dalam sel yang sering kali memicu pelepasan bahan-bahan kimia, menstimulasi neuron yang berhubungan dan seterusnya. Salah satu hasil dari reaksi kimia di neuron adalah asam arachidonat. Asam arachidonat kemudian bereaksi dengan 2 enzym yang berbeda, melepaskan radikal bebas seperti hydroxyl radical. Hydroxyl radical inilah yang dapat membunuh sel-sel otak. Bila kadar glutamat menjadi berlebih, Ca2+ channel akan tetap terbuka sehingga reaksi kimia yang terjadi juga akan semakin meningkat mengawali pengrusakan sel tersebut dan sel-sel yang berdekatan yang memiliki reseptor glutamat (Gold, 1995).

Secara normal, otak dilindungi oleh blood brain barrier yang mencegah berlebihnya jumlah glutamat di otak. Namun ada beberapa tempat di otak yang tidak dilindungi oleh blood brain barrier termasuk hipothalamus, organ circumventricular,


(28)

bagian dari batang otak, dan kelenjar pineal, suatu kelenjar yang mengkontrol produksi hormon melatonin dan menghentikan pelepasan luteinizing hormon (LH) (Gold, 1995).

b. Beberapa Gejala yang Ditimbulkan oleh MSG

Mencetuskan serangan asthma, mencetuskan migrain (Freeman, 2006). Merangsang kerusakan oxidative dan genotoxicity (Farombi, 2006 ). Menyebabkan kerusakan otak (neurotoxicity), kejang-kejang pada bayi, obesitas, gangguan pertumbuhan (tumbuh menjadi lebih pendek), serta gangguan reproduksi (Pressinger, 1997). Sedangkan menurut hasil tesis Prawirohardjono, dkk (2000) pemberian glutamat 1,5 g dan 3 g selama 3 hari tidak menimbulkan gejala yang berbeda bermakna dengan plasebonya.

2.3. Fungsi Reproduksi Mamalia

2.3.1. Fungsi Hormonal Hipothalamus

Fungsi reproduksi manusia diatur oleh Hipothalamus. Sebagai pusat pengaturan homeostasis, hipothalamus mengatur pengeluaran hormon yang bekerja pada gonad. Gonadotropin releasing hormon (GnRH) yang disekresikan dari hipothalamus akan berikatan dengan reseptor gonadotrophs di hipofisis anterior merangsang pengeluaran gonadotropine hormon (LH dan FSH) masuk ke dalam aliran darah menuju gonad (Bowen, tanpa tahun).

Di gonad, LH dan FSH menstimulasi sekresi hormon steroid reproduksi seperti testosteron, estrogen dan progesteron. Hormon reproduksi menghambat


(29)

sekresi GnRH dan gonadotropin hormon melalui negatif feed back (Bowen, tanpa tahun).

Jumlah GnRH dan LH bervariasi dari beberapa hari ke satu jam atau lebih. Pada wanita, frekuensi pulsasi jelas berhubungan dengan tahapan siklus. Sejumlah hormon mempengaruhi sekresi GnRH, dan kontrol positif – negatif melalui sekresi GnRH dan gonadotropin biasanya lebih komplek. Organ reproduksi mensekresi setidaknya 2 tambahan hormon yaitu inhibin dan activin yang secara selektif menghambat dan mengaktifasi sekresi FSH dari pituitary (Sheerwood, 2004).

2.3.2. Gonadotropin Hormon

Luteinizing hormon (LH) and follicle-stimulating hormon (FSH) disebut juga hormon gonadotropins karena menstimulasi gonad. Gonad memang bukan organ essensial untuk hidup, tetapi essensial untuk reproduksi. Ada 2 hormon yang disekresikan dari sel-sel hipofisis anterior gonadotroph. Sebagian besar sel

gonadotroph mensekresikan hanya LH atau FSH, tetapi sebagian lagi mensekresikan kedua hormon (Sheerwood, 2004).

Kedua hormon ini hanya berpengaruh di testis dan ovarium. Bersama keduanya mengatur fungsi reproduksi laki-laki dan perempuan.

2.3.3. Luteinizing Hormon (LH)

Pada laki-laki dan perempuan, LH menstimulasi sekresi hormon steroid dari organ reproduksi. Pada testis, LH berikatan dengan reseptornya di interstitial sel (sel Leydig), menstimulus sintesa dan sekresi testosteron. Sedangkan sel-sel theca


(30)

di ovarium akibat stimulasi LH, mensekresikan testosteron yang kemudian diubah menjadi estrogen oleh sel granulosa.

Pada wanita, pelepasan dari sel telur yang matang di ovarium dipicu oleh lonjakan sekresi LH yang besar dikenal sebagai preovulatory LH surge. Sel-sel sisa dalam folikel ovarium berproliferasi menjadi corpus luteum, yang kemudian mensekresikan hormon steroid progesteron dan estradiol. Progesteron menyebabkan pertambahan vaskular dinding endometrium dan penting untuk mempertahankan kehamilan. Pada sebagian mamalia, LH diperlukan untuk melanjutkan perkembangan dan fungsi corpus luteum. Penamaan Luteinizing hormon berasal dari pengaruh perangsangan luteinizasi dari folikel ovarium (Bowen, tanpa tahun).

2.3.4. Follicle Stimulating Hormone (FSH)

Seperti namanya, FSH menstimulasi pematangan folikel ovarium. Primary folikel yang terdiri atas satu lapis sel, oleh FSH akan berkembang menjadi secondary folikel yang ditandai dengan terbentuknya sel-sel granulosa. Pemberian FSH kepada manusia dan hewan memacu “superovulation”, atau perkembangan folikel ovarium matang lebih dari jumlah yang biasanya.

FSH juga berguna untuk spermatogenesis. FSH melekat pada reseptornya di sel Sertoli, untuk mendukung pematangan sel-sel sperma (Bowen, tanpa tahun).

2.3.5. Tahapan Perkembangan Folikel di Ovarium

Sebuah folikel ovarium terdiri dari sebuah oocyte yang dikelilingi oleh satu atau lebih lapis sel folikular atau sel granulosa. Folikel yang dibentuk semasa fetus (primordial follicles) terdiri dari oosit primer yang dibungkus oleh selapis sel


(31)

follicular yang pipih. Folikel-folikel ini ditemukan di bagian superficial dari regio cortical. Oosit dalam folikel primer berbentuk sferis dengan diameter 25 µm. Nukleus dan nucleolusnya besar. Terdapat banyak mitokondria, beberapa komplek golgi, dan sisterna retikulum endoplasma. Lamina basalis menggaris bawahi sel folikel dan membedakan antara folikel dengan stroma yang mengelilinginya.

a. Perkembangan Folikel

Perkembangan folikel sangat cepat hingga mencapai diameter maksimum 120 µm. Nucleus membesar, mitokondria bertambah jumlahnya dan menjadi satu bentuk terdistribusi melewati plasma. Retikulum endoplasma menjadi hypertrofi, dan komplek golgi berpindah ke permukaan sel. Sel-sel folikular membelah dan membentuk selapis sel kuboid, folikel kemudan disebut unilaminar primary follicle. Sel follikular terus berproliferasi dan membentuk sel epithel folikel berlapis (stratified follicular epithelium) atau lapisan granulosa yang saling berkomunikasi melalui gap junction. Pada masa ini folikel disebut multilaminar primary atau preantral follicle. Lapisan yang tidak berbentuk, zona pellucida, terdiri dari setidaknya 3 glycoprotein, disekresikan dan mengelilingi oosit (Junqueira, 1995).

Seiring dengan berkembangnya folikel jumlah dan ukuran sel-sel granulosa ikut bertambah. Sel granulosa bergerak lebih dalam dari regio cortical Liquor folliculi

mulai berakumulasi (bertumpuk diantara sel-sel folikular). Ruang kecil yang berisi cairan ini, dan sel granulosa mengorganisir dirinya sendiri untuk membentuk rongga yang lebih besar, yaitu antrum. Folikel kemudian disebut secondary atau antral follicle. Cairan folikular mengandung komponen-komponen plasma dan produk yang


(32)

disekresikan oleh sel folikular. Glycosaminoglycan, beberapa protein (termasuk steroid-binding protein) dan konsentrasi dari steroid (progesteron, androgens, dan estrogen) (Junqueira, 1995).

Selama reorganisasi dari sel-sel granulosa untuk membentuk antrum, beberapa sel-sel dari lapisan ini berkonsentrasi pada titik tertentu di dinding folikular. Kelompok ini membentuk cumulus oophorus, yang menjorok masuk ke dalam antrum dan berisi oosit. Sekelompok sel granulose bertumpuk pada mengelilingi oosit dan membentuk corona radiata (Junqueira, 1995).

Ketika terjadi modifikasi dalam oosit dan lapisan granulose, fibroblast dari stroma secara tiba-tiba mengelilingi folikel berdifrensiasi membentuk theca folliculi. Lapisan ini nantinya akan menjadi theca interna dan theca externa. Theca interna memiliki struktur sel yang karakteristiknya sama dengan sel yang memproduksi steroid yaitu androstenedione. Sel-sel granulose di bawah pengaruh FSH, mensintesa enzyme, aromatase, yang mengubah transform androstenedione menjadi estrogen. Estrogen kembali ke stroma di sekeliling folikel, masuk ke dalam pembuluh darah, dan didistribusikan ke seluruh tubuh (Junqeira, 1995).

Sel theca externa, terutama terdiri dari lapisan-lapisan fibroblast yang mengelilingi theca interna. Pembuluh darah kecil memasuki thece interna san mensupplai sebuah plexus kapilaris. Pada masa perkembangan folikel tidak ada pembuluh darah di dalam lapisan sel granulosa (Junqeira, 1995).

Selama siklus menstruasi, biasanya satu folikel berkembang melebihi yang lainnya dan menjadi folikel dominan. Folikel yang lain menjadi atresia. Folikel yang


(33)

matur (follicle de graff atau preovulatory follicle) dapat mencapai diameter 2,5 cm. Sebagai akibat dari akumulasi cairan, rongga folikel bertambah dan oosit melekat ke dinding folikel melalui pedicle yang dibentuk oleh sel-sel granulosa. Pada saat sel-sel granulosa bertambah tidak proporsional saat pertumbuhan, lapisan granulose menjadi lebih tipis (Junqueira, 1995).

b. Hormon yang Dihasilkan di Ovarium

Progesteron

Progesteron adalah hormon steroid yang disekresikan oleh corpus luteum, placenta dan sejumlah kecil dari follikel. Berperan dalam peristiwa menstruasi serta kehamilan.

Progesteron sama halnya seperti hormon steroid yang lain. Disintesa dari pregnenolone, suatu derivate kolesterol. Dua persen progesteron beredar dalam plasma dalam bentuk bebas, sedangkan 80% berikatan dengan albumin dan 18% berikatan dengan corticosteroid-binding globulin (Ganong, 2003).

Pada pria kadar progesteron di dalam plasma sekitar 0,3 ng/ml. Sedangkan pada wanita kadarnya mencapai 0,9 ng/ml selama fase follikular siklus haid. Perbedaan ini berhubungan dengan sekresi sejumlah kecil progesteron oleh sel dalam folikel ovarium. Sel theca mensekresikan pregnenolon ke sel granulosa, yang diubah menjadi progesteron (Ganong, 2003).

Di akhir fase luteal, sekresi progesteron mulai meningkat. Selama fase luteal

corpus luteum memproduksi sejumlah besar progesteron. Kadar maksimum dalam plasma mencapai 18 ng/ml. Pada kehamilan, progesteron mencapai 100-200 ng/ml.


(34)

Setelah bayi lahir, pada masa laktasi progesteron sangat rendah. Efek stimulasi LH terhadap sekresi progesteron oleh corpus luteum berhubungan dengan aktivasi dari

adenyl cyclase (Ganong, 2003).

Estrogen

Sama halnya dengan testosterone dan progesteron, estrogen juga merupakan steroid hormon. Nama lainnya 17β-estradiol, estrone dan estriol. Sel theca

mempunyai banyak receptor LH, dan LH bekerja melalui cAMP untuk meningkatkan pengubahan kolesterol menjadi androstenedione. Beberapa androstenedione diubah menjadi estradiol, yang kemudian memasuki sirkulasi darah. Sel-sel theca juga mensupply androstenedone ke sel-sel granulose. Sel-sel granulose memiliki banyak reseptor FSH, dan FSH memfasilitasi sekresi estradiol dengan aktivasi cAMP untuk meningkatkan aktivasi aromatisasi. Sel granulose yang matang juga ada reseptor LH, dan LH juga menstimulasi produksi estradiol (Ganong, 2003).

Dua persen estradiol beredar bebas di dalam darah, 60% berikatan dengan albumin dan 38% berikatan ke gonadal sterod binding globulin (GBG) yang juga mengikat testosterone. Sebagian besar estrogen diproduksi dari ovarium. Kadar puncak estrogen pada saat sebelum ovulasi dan saat pertengahan fase luteal. Kecepatan sekresi pada fase follicular awal 36 μg /d, sebelum ovulasi 380 μg/d dan 250 μg/d selama fase mid luteal. Setelah menopause sekresi estrogen menurun kadarnya. Pada pria kecepatan produksi estradiol 50 μg/d (Ganong, 2003).

Estrogen merangsang pertumbuhan follikel ovarium dan meningkatkan motilitas tuba fallopi. Estrogen meningkatkan aliran darah uterus dan mempunyai


(35)

efek penting pada otot polos uterus. Pengobatan jangka panjang dengan preparat estrogen menyebabkan hypertropi endometrium.

Estrogen menurunkan sekresi FSH melalui feed back negatif. Sedangkan pada sekresi LH, di satu sisi estrogen menghambat LH melalui feedback negatif, disisi lain juga meningkatkan sekresi LH (feedback positif).

Di susunan saraf pusat, estrogen mempengaruhi perilaku estrus hewan dan meningkatkan libido pada manusia. Estrogen meningkatkan proliferasi dendrit neuron dan sejumlah ujung synaps pada mencit.

2.3.6. Siklus Menstruasi

Siklus menstruasi diawali oleh pematangan sel telur di ovarium. FSH dan LH disekresikan dari hipofisis anterior menuju ke gonad. FSH akan berikatan dengan reseptornya di sel folikel. Pada awal tahap perkembangan folikel, FSH disekresikan lebih banyak daripada LH. Sel-sel granulosa yang terbentuk akan mensekresikan estrogen. Estrogen menyebabkan proliferasi dinding endometrium. Pada masa ini endometrium disebut berada dalam fase proliferasi.

Semakin sel folikel, semakin banyak terbentuk sel-sel granulose, semakin tinggi pula kadar estrogen di dalam darah. Tingginya kadar estrogen menekan sekresi FSH oleh hipofisis anterior, sehingga semakin lama, kadar FSH di dalam darah semakin menurun.

Di akhir pematangan dari sel folikel, terjadi kenaikan estrogen yang tiba-tiba sehngga terjadi penurunan FSH yang drastis diikuti dengan lonjakan LH (LH surge) yang tiba-tiba pula. LH merangsang enzim pencernaan dari ovum yang matang untuk


(36)

dapat menembus dinding folikel, sehingga terjadi ovulasi. Folikel yang rupture akan berubah menjadi corpus luteum.

Corpus luteum akan mensekresikan progesteron dan estrogen. Progesteron akan berikatan dengan reseptornya di dinding endometrium sehingga menambah vascularisasi dinding endometrium Pada masa ini endometrium dikatakan berada dalam fase proliferasi. Efek dari kedua hormon ini estrogen dan progesteron, mempersiapkan uterus untuk menerima hasil konsepsi tempat implantasi hingga fetus siap untuk dilahirkan.

Dengan semakin banyaknya progesteron disekresikan, maka hormon ini akan memberikan negatif feedback kepada hipofisis untuk menghentikan sekresi LH. Menurunnya kadar LH dalam darah menyebabkan corpus luteum berubah menjadi

corpus albican. Sekresi progesteron dan estrogen pun akan semakin menurun di dalam darah. Menurunnya kadar estrogen dan progesteron mengakibatkan vaskularisasi dinding endometrium berkurang sehingga sel-sel endometrium menjadi nekrosis dan akhirnya luruh sebagai darah. Dengan menurunnya kadar progesteron dan estrogen di dalam darah memberi positif feedback ke hipothalamus dan hipofisis anterior untuk kembali mensekresikan gonadotropin releasing hormon dan

gonadotropin hormon (FSH dan LH) untuk memulai pematangan sel folikel yang baru sebagai awal siklus menstruasi berikutnya. Pada masa ini endometrium dikatakan dalam fase menstruasi. Siklus menstruasi pada manusia analog dengan siklus estrus pada mencit.


(37)

2.4. Pengaruh MSG terhadap Reproduksi

MSG menyebabkan ablasi arcuate nuclei dan ventromedial nuclei

di hipothalamus. Kedua area ini mengatur asupan makanan (food intake), perilaku seks (sex behaviour) dan fungsi reproduksi (reproductive function). Fungsi reproduksi, di mana terjadi gangguan hipothalamus-hipofisis-gonad axis (Bluher and Mantzoros, 2004; Camihort, 2004; Giovambattista, 2003).

Gambaran morfometrik sel-sel hipofisis anterior mencit betina yang diberi MSG, dengan pemeriksaan secara imunohistokimia terlihat adanya perubahan ukuran sel, densitas dan volume sel dari LH gonadotropes, corticotropes, thyrotropes pada mencit jantan yang disuntik dengan MSG. Sedangkan FSH gonadotrope terjadi juga perubahan dari ketiga komponen, walaupun secara statististik tidak bermakna (Camihort, 2004). Hyperplasia dan pengecilan ukuran dari LH gonadotrope dan FSH

gonadotrope, menyebabkan penurunan sekresi luteinizing hormon (LH) dan follicle stimulating hormon (FSH) ke dalam darah. Dengan berkurangnya kadar LH dan FSH di dalam darah, (Camihort, 2004; Giovambattista, 2003; Franca, 2005) maka yang sampai ke target organ juga tidak mencukupi untuk mendukung gonad berkembang (hypogonad) dan menjalankan fungsinya.

2.5. Biologi Reproduksi Mencit

2.5.1. Ciri Reproduksi Umum

Mencit (Mus Musculus) betina telah memulai siklus estrus sejak umur 28 – 40 hari, tetapi hewan ini baru mencapai tahap dewasa kawin pada umur 50 hari (Rugh,


(38)

1968) dengan masa reproduksi ekonomis antara 9-12 bulan (Snell, 1956; Smith, 1988). Berat badan pada saat dimulainya periode kawin tersebut berkisar antara 20 – 30 gram. Kopulasi masa reproduksi ekonomis akan menurunkan fertilitas. Hewan ini termasuk hewan ovulator spontan dan poliestrus, panjang siklus pada saat tak kawin sekitar 4 – 5 hari dengan periode estrus hanya berlangsung sekitar 12 – 14 jam. Ciri reproduksi terpenting dari hewan ini diringkas pada Tabel 1.

Tabel 1. Ciri Reproduksi Terpenting Mencit Betina (Malole & Pramono, 1989)

Parameter Ukuran Normal

Berat lahir Berat dewasa Temperatur tubuh

Harapan hidup (life span) Konsumsi makanan Konsumsi minuman Usia dewasa seksual Lama siklus estrus Lama kehamilan

Jumlah anak perkelahiran (litter size) Umur siap sapih

Umur reproduksi ekonomis

0,5 – 1,5 g 24 – 45 g 36,5 – 380C 1,5 – 3 tahun

15 g/100 g berat badan/hari 15 ml/100g berat badan/hari 50 hari

4 – 5 hari 18 – 21 hari 10 – 12 ekor 21 – 28 hari 9 – 12 bulan

2.5.2. Kopulasi (Matting)

Seperti pada kebanyakan mamalia (kecuali anthropoidea), mencit betina hanya melakukan kopulasi pada saat estrus, saat di mana telur siap difertilisasi, dan fertilisasi umumnya berlangsung lebih kurang dua jam setelah kopulasi (Rugh, 1968; Smith, 1988). Karena estrus biasanya dimulai sekitar tengah malam, maka kopulasi umumnya terjadi sekitar jam 02.00 dini hari. Namun demikian, kopulasi bisa terjadi pada pagi hari atau larut malam.


(39)

Kopulasi umumnya diikuti dengan pembentukan sumbat vagina (vaginal plug), sehingga adanya sumbat vagina ini dapat dijadikan sebagai patokan untuk menetukan telah terjadinya kopulasi. Perkawinan kelompok dapat terjadi antara 4 ekor dengan seekor jantan, dan perilaku kawin berada di bawah pengaturan hormon estrogen dan progesteron. Implantasi berlangsung 4 sampai 5 hari setelah fertilisasi, dan proses ini berada di bawah kendali hormon estrogen dan progesteron.

Lama periode gestasi berkisar antara 18 -21 hari, tergantung strain dan berat total atau volume fetus dan plasenta, bukan pada jumlah implant, yang dikandung fetus (Rugh, 1968). Fetus dengan berat total yang lebih besar berhubungan dengan periode gestasi yang lebih pendek dan sebaliknya. Selama gestasi kebutuhan hormonal berasal dari hypofisis anterior (11 – 12 hari) dan ovarium (18 – 19 hari).

2.5.3. Siklus Estrus Mencit

Seperti dikemukan di atas, mencit termasuk dalam kelompok hewan poliestrus dalam arti bahwa hewan betina memiliki beberapa kali siklus estrus (reseptif secara seksual) dalam setahun. Siklus reproduksi ini dalam banyak hal merupakan kombinasi dari berbagai siklus, dan pusat perubahan bersiklus tersebut adalah periodisasi proses pematangan folikel dan ovulasi telur dalam ovarium. Sejalan dengan siklus ovarium ini, uterus dan struktur yang berhubungan dengannya pun turut mengalami perubahan siklis sehingga jika fertilisasi terjadi, uterus tepat berada pada kondisi yang paling menguntungkan untuk implantasi dan gestasi. Terakhir, mencit betina hanya menerima jantan pada periode yang sangat singkat yaitu tepat


(40)

sekitar terjadinya ovulasi dan periode ini dinamakan tahap estrus (heat) di mana pada saat ini konsepsi paling mungkin berlangsung.

2.5.4. Ciri Histologis Siklus Estrus

Siklus estrus berhubungan dengan siklus cahaya diurnal yang dikontrol oleh mata, sistem saraf pusat, dan/atau hipofisis anterior. Tahap-tahap siklus dapat ditentukan melalui pengamatan atau analisis histologis terhadap apusan vagina (vaginal smear). Secara detail, satu siklus lengkap dapat dibagi menjadi enam tahap, yaitu proestrus, estrus awal, metestrus 1, metestrus 2, dan tahap diestrus. Namun, untuk keperluan praktis, keenam tahap tersebut biasanya bisa dibagi menjadi empat tahap utama, yaitu proestrus, estrus, metestrus dan diestrus. Ciri histologis asupan vagina, ovarium dan oviduktus untuk setiap tahap siklus ditampilkan pada Tabel 2. Kopulasi (matting) umumnya terjadi pada tahap proestrus dan estrus tetapi kedua tahap tersebut hanya berlangsung dalam waktu relatif yang sangat singkat.


(41)

Tabel 2. Ciri Histologis Asupan Vagina, Tampakan Uterus dan Vagina dan Rentang Waktu untuk Setiap Tahap Utama Siklus Estrus Mencit (Rugh, 1968) Tahap Siklus Ciri Apusan Vagina Gambaran Ovarium dan Oviduktus

Uterus Vagina Lama Tahap Siklus Proestrus Estrus (heat) Metestrus Diestrus Epitl berinti, epitel menanduk, leukosit Epitel menanduk lebih banyak dari epitel berinti Epitel berinti dan menanduk, leukosit mulai tampak Epitel menanduk dan berinti serta mukus Folikel besar (380µm) dengan cairan folikel, mitosis mulai aktif

Ukuran folikel maksimal (550µm), ovulasi, oviduktus membengkak, epitel germinal dan sel folikel bermitosis, progesteron maksimal Korpus luteum terbentuk, ovum berada di oviduktus dan mendekati uterus, beberapa folikel mengalami atresia

Folikel mulai tumbuh cepat untuk ovulasi berikutnya Aliran darah meningkat (hiperemia) dan hidrasi, mitosis, sedikit leukosit, kelenjar mulai tampak Tidak ada leukosit, mitosis dan hidrasi maksimal, kelenjar mulai aktif Hidrasi dan distensi menurun, leukosit aktif, mitosis jarang, degenerasi epitel dan dinding uterus, kelenjar kurang aktif Sekresi mukus, kelenjar dan dinding uterus kolaps, leukosi banyak, regenerasi Proliferasi/mitosis, leukosit jarang, vulva terbuka, berat vagina maksimal

Lapisan epitel berinti bagian luar digantikan oleh epitel menanduk, vulva terbuka

Leukosit dan lapisan epitel berinti mulai tampak

Leukosit dan sel epitel, proliferasi aktif, berat vagina minimal

1 – 1,5 hari

1 – 3 hari

1 – 5 hari


(42)

2.6. Leptin

Leptin meupakan asam amino yang secara struktural mendekari family cytokine. Lerptine dikode oleh ob (obese) gen dan diekspresikan terutama di jaringan adiposa putih. Selain itu ob gen juga ditemukan di sel epithelium perut, hipothalamus, hipofisis, otot rangka, placenta dan kelenjar mammae (Bluher and Mantzoros, 2004).

Kerja leptin dihipothalamus dan berbagai organ perifer dimediasi oleh isoform panjang dari reseptor leptin OB-Rb. Beberapa bentuk isoform dari reseptor leptin merupakan hasil dari alternatif splicing yang diekspresikan di arcuate nuclei dan ventromedial nuclei hipothalamus, ovarium, prostate, dan testis (sel Leydig) (Bluher and Mantzoroz , 2004).

Leptin memiliki peranan penting dalam metabolisme, pengaturan berat badan dan fungsi reproduksi (Bowen, tanpa tahun).

2.6.1. Peran Leptin terhadap Fungsi Reproduksi

Telah lama diketahui bahwa kelaparan berdampak terhadap fungsi reproduksi. Sebagai contoh, lemak tubuh yang sangat sedikit pada wanita sering berhubungan dengan masalah siklus menstruasi, efek yang sama juga ditemukan pada hewan. Onset pubertas juga diketahui berhubungan dnegan kondisi tubuh sebagaimana halnya usia (Bowen, tanpa tahun).

Konsentrasi leptin rendah pada manusia dan hewan dengan lemak tubuh yang sedikit, dan leptin secara signifikan mempengaruhi fungsi reproduksi. Efek ini kemungkinan berhubungan dengan kemampuan leptin untuk meningkatkan sekresi


(43)

gonadotropine releasing hormon dan demikian juga LH dan FSH dari hipofisis anterior (Bowen, tanpa tahun).

Sebuah percobaan yang dilakukan terhadap hewan percobaan memperlihatkan efek leptin terhadap reproduksi dan onset pubertas. Mencit prepurtal yang diterapi dengan leptin menjadi kurus, tetapi juga mencapai kematangan reproduksi dan mendapatkan siklus menstruasi awal yang lebih cepat dibandingkan mencit kontrol. Di lain pihak, manusia yang memiliki mutasi gen reseptor leptin tidak hanya menjadi gemuk, tetapi juga gagal mencapai pubertas (Bowen, tanpa tahun).

2.6.2. Leptin dan Pengaturan Neuroendocrine Axis

Isoform panjang dari reseptor leptin, OB-Rb sangat diekspresikan di arcuate dan ventromedial nuclei dari hipothalamus, yang merupakan daerah penting untuk pengaturan asupan makanan dan perilaku seksual. Di arcuate hypothalmus neurons, leptin mengatur pelepasan dari gonadotropin hormon, sehingga diduga bahwa leptin bertugas memberi signal untuk menyampaikan informasi ke otak tentang cadangan lemak tubuh dan sumber metabolik dan bertindak sebagai signal yang merangsang aktivasi reproductive axis (Bluher and Mantzoros, 2004).

Leptin juga memfasilitasi sekresi GnRH melalui mekanisme tidak langsung, bekerja melalui perubahan sekresi dari neuropeptide dan/atau pelepasan nitric oxide (NO) dari adrenergic interneurons. Leptin juga leptin memiliki efek secara langsung di tingkat hipofisis (Bluher and Mantzoros, 2004).

Pada gonad, Reseptor leptin diekspresikan pada leydig sel di mana leptin turut mengambil peran selama perkembangan germ cell testis mencit. Namun dari hasil


(44)

tesis, leptin pada konsentrasi tertentu (hyperleptine) bisa menghambat LH menstimulasi testosterone dari sel leydig (Giovambattista, 2003).

Pada gonad wanita, reseptor leptin diekspresikan pada ovarian follicular cell. Leptin m-RNA juga diekpresikan pada sel granulosa dan sel cumulus dari


(45)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik yang didisain mengikuti Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 32 ekor mencit betina (Mus Muskulus L), dibagi dalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol (tidak diberi MSG) dan kelompok perlakuan (diberi MSG). Masing-masing kelompok terdiri atas 16 mencit betina. Adapun penentuan jumlah ulangan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Menurut Sudjana (2000) adalah sebagai berikut:

(t - 1)( n - 1) ≥ 15 t = jumlah kelompok

n = Jumlah ulangan tiap kelompok

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Biologi FMIFA USU, Laboratorium Klinik PRAMITA Medan dan Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU.

3.2.2. Waktu

Penelitian dilakukan dalam kurun waktu 3 bulan dari bulan Juni – September 2008.


(46)

3.3. Populasi Penelitian

Populasi adalah Mencit betina jenis Mus musculus L, strain DD Webster, berumur 10 hari. Mencit betina merupakan hasil perbanyakan hewan koloni induk stok di Rumah Hewan Jurusan Biologi FMIPA Unimed dan FMIPA USU.

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel independen, yaitu monosodium glutamat.

3.4.2. Variabel dependen, siklus estrus, perkembangan folikel dan hormon estradiol.

3.4.3. Variabel kendali, yaitu jenis kelamin, umur, berat badan, kesehatan dan lingkungan.

3.5. Bahan

a. Monosodium glutamat murni (sigma) b. NaCl 0,9%

c. Cairan Bouin d. Metilen blue e. Alkohol 70% f. Etanol g. Xylene

h. Hemotaksilin Erlich i. Eosin 5%


(47)

j. Canada balsam k. Albumin Mayer l. Heparin

m. Ketamine HCL

3.6. Alat

a. Timbangan hewan b. Timbangan 0,001 gram

c. wCawan petri untuk melarutkan zat d. Spuit 1cc

e. Handscoone f. Cotton bud g. Objek glass

h. Mikroskop histologi i. Dissecting set

j. Botol untuk tempat organ/ovarium k. Mikroskop stereo

l. Peralatan untuk pemeriksaan hormon esttradiol


(48)

3.7. Pelaksanaan Penelitian

3.7.1. Pemeliharaan Hewan Coba

Induk bunting ditempatkan pada kandang yang terpisah hingga melahirkan. Kandang terbuat dari bahan plastik ukuran 30 x 20 x 10 cm yang ditutup kawat kasa halus ataupun tutup plastik. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5 – 1 cm dan diganti setiap hari. Makanan dan minuman diberikan secara berlebih-lebihan. Pencahayaan diatur dengan siklus 12 jam terang, 12 jam gelap, sedangkan temperatur dan kelembaban ruangan dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Setelah fetus lahir, litter jantan berumur 9 hari dipisahkan dari induknya. Setiap induk hanya menyusui 3-4 litter betina hingga usia sapih. Setiap kandang dituliskan tanggal kelahiran untuk menentukan usia mencit.


(49)

3.7.2. Pemberian Perlakuan

Perlakuan diberikan pada saat usia mencit 10 hari sebanyak 5 kali dengan interval waktu 2 hari (hari 10, 12, 14, 16, 18). Berat badan mencit ditimbang terlebih dahulu dengan timbangan hewan setiap sebelum diberi suntikan. 4mg/gbb MSG dilarutkan ke dalam 0,1 cc NaCl 0,9% dan disuntikkan kepada 16 ekor mencit secara intraperitoneum dengan menggunakan spuit 1 cc. Sedangkan 16 mencit kontrol hanya disuntikkan NaCl 0,9% dengan volume yang sama. Dari satu induk yang, 2 ekor anak mencit diberi perlakuan sedangkan 2 ekor lagi sebagai kontrol. Pada ekor setiap anak mencit diberi tanda dengan spidol untuk membedakan kontrol atau perlakuan. Anak mencit dibiarkan tetap menyusui kepada induknya.

Setelah usia sapih (21 hari), anak mencit dipisahkan dari induknya dan ditempatkan pada kandang yang berbeda untuk memudahkan identifikasi. Kedua ekor mencit kontrol ditempatkan terpisah dengan kedua mencit perlakuan. Kandang jangan lupa diberi tanda.

Selama pemberian perlakuan dan setelah disapih hingga eksekusi, berat badan mencit ditimbang setiap hari untuk memantau kenaikan berat badan.

Sejak usia 22 hari, pada mencit dilakukan hapusan vagina (vaginal smear) untuk mengamati siklus estru setiap hari antara pukul 08.00 – 12.00. Pengamatan dilakukan di bawah mikroskop histologi. Dan fase-fase dalam siklus estrus dicatat dalam tabel yang telah disediakan (Lampiran 6). Setelah Mencit mencapai fase estrus, mencit dieksekusi untuk diambil darah dan ovariumnya. Untuk kelompok I dan II


(50)

dieksekusi setelah 4x pengamatan estrus, kelompok III dan IV 3x estrus, kelompok V dan VI 2x estrus dan kelompok VII dan VIII 1x estrus (ethical clearance terlampir).

3.7.2.1. Pembuatan sediaan apusan vagina

Cotton bud dibasahi dengan alkohol 70%. Apusan dilakukan dari pinggir vulva hingga 3 mm ke dalam. Hasil apusan dioleskan ke atas objek glass secara merata, kemudian di atas apusan ditetesi methilen blue. Dibiarkan beberapa saat, kemudian dicuci dengan air kran. Keringkan di atas kertas tissue. Setelah kering sediaan diamati di bawah mikroskop histologi dengan pembesaran 40x.

3.7.2.2. Teknik pengambilan darah

Mencit dianastesi dengan ketamine, dosis 50-400 mg/kgbb (Kusumawati D). Disuntikkan secara intraperitoneum. Setelah mencit lemas, thorax dibuka, darah diambil dari bagian apek jantung dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibilas dengan heparin. Pada saat pengambilan darah, hindarkan seminimal mungkin tindakan yang dapat menimbulkan terjadinya hemolisa. Segera setelah darah diambil, dilakukan pemeriksaan hormon estradiol.

3.7.2.3. Pemeriksaan hormon Estradiol

Metode : ELFA (Enzym Linke Flourescent Assay) Sampel : serum 200 ul

Alat : MINIVIDAS, pipet 50 -200 ul Langkah kerja :


(51)

2. Keluarkan regen dari kulkas biarkan selama 30 menit pada suhu kamar. 3. Sebelum regen digunakan, reagensia dikalibrasi terlebih dahulu.

4. Siapkan kontrol.

Setelah kalibrasi dan kontrol masuk pada range yang tertera pada MLE Card reagen, vidas bisa digunakan untuk running, caranya:

a. Pilih status screen dari main menu  pilih section A atau B, pilih posisi dimana strip akan ditempatkan.

b. Tekan tombol “Assay”  tekan tombol “select assay” pilih parameter Estradiol (E2).

c. Pilih “Sampel ID” dan ketik no. ID pasien, tekan tombol “Previous Screen”. d. Pipet 200 ul sampel masukkan ke dalam reagen strip TES, beri identitas. e. Masukkan reagen strip ke dalam tray reagen strip dan SPR TES pada lubang

SPR, tutup cover.

f. Tekan “Start” untuk menjalankan, tunggu 60 menit sampai keluar hasil.

Nilai rujukan: Estradiol dapat terbaca bila nilai > 9 pg/ml

NB: Bila serum tidak mencukupi, maka dapat dilakukan pengenceran dengan NaCl 0,9%, hasil dikalikan dengan berapa kali pengenceran.

3.7.2.4. Pengamatan ovarium

Setelah mencit dieksekusi, rongga abdomen dibuka, ovarium kanan dan kiri dipisahkan dari oviduct. Ovarium dibersihkan dari lemak sekitarnya, dimasukkan ke


(52)

dalam botol plastik yang di dalamnya berisi cairan Bouin. Corpus luteum yang berupa benjolan-benjolan berwarna kuning di permukaan ovarium dihitung di bawah mikroskop stereo. Dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi ovarium untuk melihat perkembangan folikel, jumlah corpus luteum, folikel de graff dan folikel atretik.

3.7.2.5. Pembuatan preparat histologi ovarium

Sediaan histologi ovarium dibuat mengikuti metode rutin (Mukawi, 1989). Jaringan difiksasi dengan larutan Bouin, ditanam dalam blok parafin. Sediaan disayat dengan mikrotom putar setebal 2 µm, direkatkan ke objek gelas yang telah diteteskan albumin dan diwarnai dengan hematoksilin-Eosin. Sediaan histrologi ovarium yang diamati adalah sediaan yang berasal dari potongan ovarium bagian tengah.

3.8. Analisis Data dan Pengujian Hipotesis

Semua data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku (rata-rata ± SD). Untuk mengetahui pengaruh MSG terhadap (rata-rata-(rata-rata kenaikan berat badan kelompok kontrol dan perlakuan pada saat pemberian perlakuan, kenaikan berat badan sejak usia sapih hingga estrus terakhir pengamatan setiap siklus, dan perbandingan kadar estradiol plasma kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol, serta panjang siklus estrus kelompok kontrol dan perlakuan digunakan uji t student independen (Zarr, 1984) bila terdistribusi normal dan uji Mann-Whitney jika data terdistribusi normal. Sedangkan untuk melihat hubungan berat badan dengan kadar estradiol digunakan uji regresi linear. Semua analisa data dilakukan dengan


(53)

menggunakan SPSS versi 11,5. Dalam tesis ini, hanya perbedaan rata-rata pada α ≤ 0,05 yang dianggap bermakna (signifikan).


(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Berat Badan Mencit

Berat badan mencit ditimbang setiap hari. Msg diberikan berdasarkan berat badan mencit saat itu. Selama diberi perlakuan pada hari 10, hari 12, hari ke-14, hari ke-16, hari ke-18 Litter F1 baik kontrol maupun yang mendapat perlakuan tetap disusui induknya. Terdapat kenaikan berat badan mencit perlakuan dari hari ke hari seperti halnya kelompok kontrol.

3 5 7 9 11

10 12 14 16 18

Umur mencit (hari)

B

erat badan (g

)

Kontrol Perlakuan

Gambar 3. Rata-rata Berat Badan Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Selama Pemberian Perlakuan pada Hari Ke-10, Hari Ke-12, Hari Ke-14, Hari Ke-16, Hari Ke-18


(55)

0.0 0.6 1.2 1.8 2.4 3.0

(12 - 10) (14 - 12) (16 - 14) (18 - 16)

Selisih usia (hari)

P er ta m ba ha n be ra t ba da n ( g Kontrol Perlakuan

Gambar 4. Rata-rata Kenaikan Berat Badan Mencit Kontrol dan Perlakuan Selama Diberi Perlakuan

0 5 10 15 20 25 30 35

E1 E2 E3 E4

Siklus estrus ra ta -r a ta be ra t ba da n kontrol perlakuan *

Gambar 5. Perbandingan rata-Rata Berat Badan Kelompok Kontrol dan Perlakuan pada Estrus 1x, Estrus 2x, Estrus 3x dan Estrus 4x


(56)

Kenaikan berat badan litter F1 selama diberi perlakuan baik antara kelompok kontrol dengan perlakuan tidak menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Sedangkan kenaikan berat badan dari mulai usia sapih hingga estrus terakhir tiap pengamatan signifikan pada pengaamatan estrus 4x.

4.1.2. Siklus Estrus

Tabel 3. Kejadian Estrus Pertama Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Kejadian Estrus Pertama

Hari ke-25

Hari ke-26

Hari ke-27

Hari ke-28

Hari ke-29

Hari ke-36

Kontrol 2 ekor 4 ekor 7 ekor 1 ekor - 1 ekor

Perlakuan - 8 ekor 4 ekor 3 ekor - -

Tabel 4. Panjang Siklus Estrus Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Panjang Siklus Estrus (Hari)

E1-E2 E2-E3 E3-E4

Kontrol 6.92  0.90 6,63  0,74 6,4  0,55

Perlakuan 7  0,89 7,14  0,38 6,75  1,26

Catatan : E1-E2 = panjang siklus estrus 1 – estrus 2 E2-E3 = panjang siklus estrus 2 – estrus 3 E3-E4 = panjang siklus estrus 3 – estrus 4


(57)

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

E1-E2 E2-E3 E3-E4

siklus estrus

ha

ri

kontrol perlakuan

Gambar 6. Rata-rata Panjang Siklus Estrus Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Estrus 2x, 3x dan 4x

Dengan menggunakan uji statistik, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna panjang siklus estrus kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

4.1.3. Kadar Estradiol

Tabel 5. Rata-rata Kadar Estradiol Mencit Kontrol dan Mencit Perlakuan pada

Pengamatan Estrus1, 2, 3 dan 4

ESTRADIOL (pg/ml)

Estrus 1x Estrus 2x Estrus 3x Estrus 4x

Kontrol

33.12  20.07 43.89  14.35 52.47  21.52 59.26  11.19 Perlakuan

33.63  21.89 19.34  5.62 *

39.88  29.30 38.97  19.66


(58)

Pemberian msg 4 mg/gbb menurunkan kadar estradiol di dalam darah, kecuali pada pengamatan 1x estrus (Tabel 5). Walaupun perbedaan kadar etradiol terlihat pada pengamatan estrus 2x, 3x dan 4x di mana kadar estradiol kelompok perlakuan lebih rendah daripada kelompok kontrol, namun secara statistik hanya pengamatan 2x estrus yang bermakna (Gambar 6).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

E1

E2

E3

E4

Siklus estrus

K

a

d

a

r est

rad

io

l (

p

q

/m

l)

Kontrol Perlakuan

*

Gambar 7. Rata-rata Kadar Estradiol pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus


(59)

4.1.4. Pengamatan Ovarium

a. Pengamatan Jumlah Korpus Luteum secara Makroskopis

0 2 4 6 8 10 12 14 16

K E1 P E1 K E2 P E2 K E3 P E3 K E4 P E4

Ju m lah Co rp u s l u te u m se cara m a k ro s

Gambar 8. Rata-rata Jumlah Korpus Luteum Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan yang Diamati Secara Makroskopis

b. Histologi Ovarium

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

K E1 P E1 K E2 P E2 K E3 P E3 K E4 P E4

Ju

m

lah

F

T

Gambar 9. Rata-rata Jumlah Folikel Tumbuh Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus


(60)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3

K E1 P E1 K E2 P E2 K E3 P E3 K E4 P E4

J u m la h f o lik e l d e g ra ff

Gambar 10. Rata-rata Jumlah Folikel De Graff Kelompok Kontrol dDan Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus

0 1 2 3 4 5 6 7 8

K E1 P E1 K E2 P E2 K E3 P E3 K E4 P E4

Ju m lah K o rp u s L u teu m

Gambar 11. Rata-rata Jumlah corpus luteum Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus


(61)

0 1 2 3 4 5 6 7 8

K E1 P E1 K E2 P E2 K E3 P E3 K E4 P E4

Ju m lah F o li ke l A tr et ik

Gambar 12. Rata-rata Jumlah Folikel Atretik Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Setiap Siklus Estrus

Catatan : Folikel tumbuh adalah folikel primer yang tumbuh menjadi sekunder

4.1.5. Hubungan Antara Berat Badan dengan Estradiol

0 10 20 30 40 50 60 70

E1 E2 E3 E4 E1 E2 E3 E4

kontrol perlakuan

Siklus estrus

bb estradiol

Gambar 13. Rata-rata Kadar Estradiol Bila Dilihat dari Berat Badan Mencit pada Kelompok Kontrol dan Perlakuan


(62)

Dari hasil uji statistik terdapat hubungan antara berat badan dengan kadar estradiol mencit pada kelompok kontrol, di mana dengan pertambahan berat badan seiring dengan pertambahan usia terjadi juga peningkatan kadar estradiol di dalam darah. Namun pada kelompok perlakuan berat badan tidak berhubungan dengan kadar estradiol di dalam darah.

4.2. Pembahasan

Kejadian estrus pertama pada mencit kelompok kontrol terjadi pada hari 2-36 sedangkan kelompok yang diberikan MSG 4mg/gbb terjadi pada hari 26-28 (Tabel 4). Tesis Lamperti A dan Blaha G (1976) pada hamster yang diberikan 4mg/gbb MSG secara subcutan mengalami estrus pertama pada hari ke 34-37 di mana kelompok kontrol terjadi pada hari 30-38, sedangkan pemberian 8mg/gbb MSG memperlihatkan kejadian asiklus pada hamster betina. Post ovalatory discharge tidak terjadi pada hamster yang diinjeksikan MSG 8mg/gbb secara subcutan pada hari ke-8 neonatal (Lamperti A dan Tafelski T, 1977). Kematangan sexual secara normal terjadi bersamaan dengan peningkatan kadar sirkulasi gonadotropin setelah usia 4 minggu. Tanda pertama yang mudah dilihat dari pubertas pada mencit betina adalah estrogen-dependent: vaginal introitus dan a cornified vaginal smear. Pembukaan vagina bisa terjadi lebih cepat, yaitu pada usia 24 hari dan sering dilaporkan membuka pada usia 4 minggu (Bronson F, 1956).

Pada peneltian ini rata-rata panjang siklus estrus mencit kelompok kontrol adalah 6-7 hari sedangkan kelompok perlakuan antara 5-8 hari (Tabel 5). Ini


(63)

menunjukkan bahwa pemberian MSG 4mg/gbb terhadap mencit secara intraperitoneum dapat memperpendek ataupun memperpanjang sikus estrus mencit bila dibandingkan dengan kontrolnya. Namun dengan menggunakan uji statistik, perbedaan panjang siklus estrus ini tidak bermakna. Dari hasil pengamatan semasa pengambilan data, terjadi pemanjangan fase metestrus pada beberapa mencit perlakuan. Sedangkan pada tesis Megawati D, dkk (2003) fase diestrus dan proestrus ditemukan lebih pendek pada kelompok perlakuan.

Rata-rata panjang siklus biasanya berkisar antara 4-5 hari (Malole dan Pramono, 1989), tetapi ini sangat bervariasi dan mudah terpengaruh. Parker (1928), menemukan distribusi panjang siklus pada 1000 mencit albino yang tidak dikawini, siklus 2 hari = 4%, 3 hari = 3%, 4 hari = 16%, 5 hari = 29%, 16 hari = 22%, 7 hari = 12% 8 hari = 6% , 9 hari = 3% dan 10 – 28 hari = 8%.

Penyebab dari variasi panjang siklus dapat dibagi atas genetik dan lingkungan, seperti faktor musim dan makanan atau kebisingan. Perbedaan panjang siklus ataupun panjang fase pada setiap siklus juga ditemukan pada perbedaan strain (Muhlbock, 1947; Whitten, 1957).

Dari hasil penelitian didapat bahwa terjadi kenaikan kadar etradiol mencit seiring dengan bertambahnya usia, baik pada kelompok kontrol maupun kelompok perlakuan dan terlihat adanya hubungan berat badan dengan kadar estradiol (gambar 10). Namun dari hasil pengamatan terlihat bahwa kelompok mencit yang mendapat msg 4 mg/gbb, memiliki kadar estradiol yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol untuk setiap siklus estrus, kecuali estrus pertama (Gambar 4).


(64)

Pengaruh pemberian msg 4 mg/gbb belum terlihat pada pengamatan 1x estrus (awal pubertas). Namun bermakna pada kelompok 2x pengamatan estrus (midpuber). Sedangkan pada pengamatan 3x estrus dan 4x estrus secara statistik tidak ditemukan adaanya perbedaan walaupun terlihat kadar estradiol kelompok perlakuan lebih rendah daripada kontrol (Tabel 6).

Sebelum memasuki puber, kadar FSH dan LH sangat rendah sebab belum terjadi kematangan hipothalamus-hipofise-gonadal axis. Pada saat memasuki usia puber, terjadi pematangan bertahap dari neuron hypothalamus diikuti peningkatan sintesa dan pelepasan GnRH. Dua faktor yang berhubungan dengan proses ini adalah (1) pematangan tulang ke fase tertentu. (2) peningkatan jaringan adiposa ke tingkat tertentu. Pada usia ini terjadi juga awal peningkatan konsentrasi estradiol di dalam darah. Namun menstruasi pada manusia terjadi sekitar 2 tahun kemudian. Dan di beberapa kali siklus menstruasi tidak terjadi ovulasi. Pendarahan menstruasi yang muncul adalah akibat penurunan kadar estradiol dari folikel de graff yang atretik (Berne R, 1996).

Pemberian msg 4 mg/gbb yang disuntikkan pada mencit menyebabkan menyebabkan kerusakan axon neuron pada bagian tubero-infundibular cathecolaminergic yang mensekresikan LHRH pada nucleus arcuata hipothalamus (Tafelski T, Lamperti A, 1977) dan mengakibatkan perubahan struktur sel FSH gonadotrof di hypothalamus (Camihort, 2004) diikuti dengan penurunan kadar FSH di dalam darah (Franca, 2005). FSH berperan dalam proses oogenesis. Sel-sel granulosa dalam fase perkembangan mensekresikan estradiol. Semakin banyak sel-sel


(65)

granulose yang terbentuk, akan semakin banyak pula estradiol yang dihasilkan (Sherwood, 2004).

Pada penelitian ini dijumpai folikel primer, sekunder dan juga folikel de graff,

corpus luteum dan folikel atretik (Gambar 6, 7, 8, 9, 10). Sedangkan Lamperti A dan Blaha G (1976) hanya menemukan folikel-folikel berukuran kecil termasuk folikel sekunder yang kecil, tidak dijumpai korpus luteum dan folikel atretik (Lamperti A dan Blaha G, 1977) pada pengamatan histologi ovarium hamster yang disuntikkan 8mg/gbb MSG. Hasil histologi ovarium menunjukkan bahwa terjadi gangguan dalam perkembangan folikel setelah memasuki fase sekunder. Ini dipengaruhi oleh perubahan kadar FSH pada fase proetrus dan estrus sehingga mempengaruhi perkembangan folikel pada siklus estrus berikutnya (Lamperti A dan Blaha G, 1977).

Dari hasil pengamatan histologi ovarium pada penelitian ini terlihat jumlah folikel de graff dan folikel atretik lebih banyak pada kelompok perlakuan daripada kelompok kontrol. Demikian pula pada penelitian yang dilakukan oleh Megawati D, dkk (2003) mendapatkan peningkatan jumlah folikel atretik di samping penurunan jumlah folikel sekunder dan tertier dibandingkan kelompok kontrol. Syari (2007) menemukan semakin banyak jumlah folikel de graff pada suatu ovarium, diameter folikelnya semakin kecil bila dibandingkan ovarium dengan jumlah folikel yang lebih sedikit. Sementara itu diameter folikel de graff ditentukan oleh jumlah lapisan sel-sel theca interna dan sel theca eksterna. Pemberian msg 4 mg/gbb menyebabkan terjadinya kerusakan lapisan sel theca dan sel-sel granulosa sehingga dapat memicu terjadinya degenerasi ovum (Megawati D, 2005). Kerusakan yang menyeluruh dari


(66)

dasar membran memisahkan theca folikuli dari zona granulose sehingga memberi perubahan oosit dan zona granula menjadi degeneratik dan atrofi (Megawati D, 2005; Eweka AO dan Om’Iniabohs FAE, 2007). Kondisi ini menyebabkan lapisan sel folikel pada folikel de graff menjadi lebih tipis pada kelompok perlakuan sehingga diameter folikel de graff lebih kecil. Sel-sel theca mensekresikan estradiol (Junqueira, 1995; Sherwood, 2004). Dengan terjadinya kerusakan dari sel theca interna menyebabkan berkurangnya jumlah estradiol yang disekresikan.

Dari hasil penelitian, terdapat hubungan antara kenaikan berat badan dengan pertambahan kadar estradiol di dalam darah pada kelompok kontrol (Gambar 11). Hal ini berhubungan dengan kadar leptin di dalam darah. Leptin yang mempengaruhi nafsu makan dan berat badan, kadarnya meningkat pada saat pubertal. Saat puber terjadi pertambahan berat badan yang bermakna diikuti lonjakan pulsatil GnRH di hypothalamus. Lonjakan ini merangsang sekresi FSH dan LH di dalam darah yang merangsang terjadinya proses oogenesis dan spermatogenesis pertama kalinya. Pemberian MSG 4 mg/gbb kepada mencit menyebabkan terjadinya keadaan hyperleptinemia (Giovambattista, 2003). Leptin mempengaruhi sekresi Neuropeptide - Y (NPY) dari nukleus arkuatus. Di mana hyperleptinemia mengakibatkan hyperfungsi ekspresi reseptor leptin pada saraf NPY (Baskin D, 1999) sehingga menyebabkan penurunan sekresi NPY pada serabut afferen ke neuron GnRH di pre optik area (Broberger C, 1998). Dengan demikian sekresi GnRH akan menurun pada keadaan hyperleptinemia. Pada pemeriksaan imunokimia yang dilakukan Turi G, dkk


(67)

(2003) menunjukkan terjadi penurunan densitas serat NPY di pre optik area nukleus arkuatus hypothalamus.

Pada tesis ini, terdapat perbedaan kenaikan berat badan antara kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan. Walaupun keduanya mengalami kenaikan berat badan, akan tetapi jumlah kenaikan berat badan pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan berkurangnya sekresi NPY di dalam darah selain menurunkan sekresi GnRH juga menekan nafsu makan/ menimbulkan rasa kenyang sehingga food intake menjadi menurun, di samping itu hormon melanocortin yang dirangsang oleh leptin dapat merangsang saraf otonom yang mempengaruhi sekresi insulin dan glukagon dari dalam darah sehingga meningkatkan thermogenesis (Barsh, 2002).


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Pemberian monosodium glutamat 4 mg/gbb secara intraperitoneum tidak mempengaruhi perkembangan folikel mencit betina. Perkembangan folikel tetap terjadi, dengan ditemukannya folikel primer, foliker sekunder dan folikel de graff pada kelompok perlakuan.

2. Pemberian monosodium glutamat 4 mg/gbb secara intraperitoneum tidak mempengaruhi siklus estrus.

3. Mekanisme aksi pengaruh monosodium glutamat terhadap fungsi ovarium, pada penelitian ini tidak dapat dijelaskan secara eksplisit. Namun diduga pengaruh monosodium glutamat pada ovarium adalah akibat penurunan densitas NPY pada daerah pre optik di nukleus arkuatus hipothalamus sehingga mengakibatkan penurunan sekresi GnRH yang diikuti penurunan sekresi gonatropin hormon. Disamping itu, kerusakan dapat terjadi pada lapisan dasar sel granulosa yang menyebabkan penurunan sekresi estradiol di dalam darah dan mengakibatkan folikel menjadi lebih banyak yang atretik.


(2)

5.2. Saran

1. Penelitian pengaruh monosodium glutamat terhadap perkembangan folikel dan siklus estrus ini sebaiknya dilanjutkan dengan tesis imunohostokimia untuk melihat lebih jelas pengaruhnya terhadap fungsi reseptor FSH dan LH pada sel-sel granulosa serta pemeriksaan kadar enzym aromatase pada sel theca interna dan eksterna yang berperan dalam sintesa estradiol oleh FSH 2. Penelitian untuk melihat pengaruh monosodium glutamat terhadap fungsi hormon

dari hypothalamus-hypofise-gonadal axis sebaiknya menggunakan hewan coba yang lebih besar sehingga sampel darah cukup untuk pemeriksaan hormonal baik dari hypofise maupun dari target organ sehingga hasil yang didapat menjadi lebih sempurna.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Barsh GB, Schwartz MW. (2002). Genetic Approaches to Studying Energy Balance: Perception and Integration. Natures Review; 3;589 – 600.

Berne RM, Levy MN. (1996). Female Reproduction in Principles of Physiology. Third edition. Mosby Inc.USA. page 583, 607.

Bluher S and Mantzoros CS. (2004) The Role of Leptin in Regulating Neuroendocrine Function in Humans. The Journal of Nutrition 2004; 2469S-2472S.

Bowen R. (tanpa tahun). Leptin. Available at http://www. Leptin.htm, diakses pada tanggal 12/12/2007.

Bronson F. 1956. Dagg CP, Snell GD. (1956). Reproduction. In Biology of the Laboratory Mouse. Chapter 11th, 1-26.

Camihort G, Dumm CG, Luna G, Ferese C, Jurad S, Moreno G, et al. (2005). Relationship Between Pituitary and Adipse Tissue After Hypthalmic Denervatin in Female Rat. Cells Tissues rgans. 179: 192-201.

Eweka AO, Om’Inibohs FAE. (2007). Histological Studies of the Effects of Monosodium Glutamat on the Ovaries of Adult Wistar Rats. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics. Volume 8 Number 2.

Farombi EO, Onyema OO. (2006). Monosodium Glutamat-Induced Oxidative Damage and Genotoxicity in the Rat: Modulatory Role of Vitamin C, Vitamin E and Quercetin. Human & Experimental Toxicology; 25:251-259.

Franca LR, Suescun MO, Miranda JR, Giovambattista A, Parello M, Spinedi E, et al. (2005). Testis Structure and Function in A Non Genetic Hyperadipose Rat Model at Pubertal and Adult Ages. Endocrinology. First Published December 8,2005 as doi:10.1210/en.2005-0640

Freeman M. (2006). Reconsidering the Effects of Monosodium Glutamat: A Literature review. Journal of the American Academy of Nurse Practitioners. 18,10; ProQuest Medical Library page 482-486.

Ganong WF. (2003). Review of Medical Physiology. Twenty First Edition. Mc Graw Hill. page 425 – 429.


(4)

Giovambattista A, Suescun MO, Nessralla CCDL, Franca LR, Spinedi E, Calandra RS. (2003). Modulatory Effects of Leptin on Leydig Cell Function of Normal and Hyperleptinemic Rats. Neuroendocrinology. 78:270-279.

Gold M. (1995). Monosodium Glutamat. Available at http://www.Monosodium glutamat.htm, diakses tanggal 5/8/95.

International Food Information Council Foundation (IFIC). (tanpa tahun). Glutamat and Monosodium Glutamat: Examining The Myths (review). Washington DC. Junqueira CL, Carneiro J. (1995). Basic Histologi Text & Atlas. (10th Edition),

Brazil, Mc.Graw Hill.pages 450 – 452.

Kusumawati, D. Bersahabat dengan Hewan Coba. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Airlangga. Hal. 96.

Lamperti A, Blaha G. (1976). The Effects of Neonatally-Administered Monosodium Glutamat on the Reproductive System of Adult Hamsters. Biology of Reproduction 14; 362-369.

________. (1977). The Effects of a Single Injection of Monosodium Glutamat on the Reproductive Neuroendocrine Axis of the Female Hamster. Biology of Reproduction 17; 404-411.

________. (1979). Ovarian Function in Hamster Treated with Monosodium Gltamate. Biology Reproduction 21: 923-928.

________. (1980). Further Observations on the Effects of Neonatally Administered Monosodium Glutamat on the Reproductive Axis of Hamsters. Biology of Reproduction 22; 687-693.

Malole M, Pamono. (1989). Penggunaan Hewan-hewan Percobaan di Laboratorium. Bogor: Depdiknas-Institut Pertanian Bogor.

Megawati D, Sutarno, Listyawati S. (2005). Siklus Estrus dan Struktur Histologi Ovarium Tikus Putih (Rattus Norregius L) setelah Pemberian Monosodium Glutamat (MSG) Seacara Oral. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Muhlbock O. (1947). On the Susceptibility of Different Strain of Mice for Oestrone. Acta Brev.Neer.15:18-20.


(5)

Mukawi TY. (1989). Teknik Pengelolaan Sediaan Histopatologi dan Sitologi Manual Clinical Training Microtome & Tissue Processor. ADB-LOAN No. 743-INO Part B(1)(b), Bandung, Instalasi Patologi Anatomi FK UNPAD RS Hasan Sadikin, Bandung. page 38, 89 -109.

Olney JW. Brain Lesions. (1969). Obesity, and Other Disturbances in Mice Treated with Monosodium Glutamat. Washington University School of Medicine, Missouri. Science; 164: 719-721.

Parkes AS. (1928). The Length of the Oestrus Cycle in the Unmated Normal Mouse Record of 1000 Cycles. Brith. J. Exp. Biol.5:371-377.

Prawirohardjono W, Dwiprahasto I, Astuti I, Hadiwandowo S, Kristin E, Muhammad M. (2000). The Administrations to Indonesians of Monosodium L-Glutamat in Indonesian Foods: An Assessment of Adverse Reactions in a Randomized Double – Blind, Cross over, Placebo-Controlled Study. J.Nutr.130 : 1074s-1076s.

Pressinger R. (1997). MSG & Aspartame During Pregnancy; Two Common Food Additives Show Potential for Causing Brain Damage at Normal Human Exposure Levels. University of South Florida, Tampa 1997 availabe at http://www. MSG and Aspartame Neurotoxic Potential.htm, 11/7/2007.

Rugh R. (1968). The Mouse, Its Reproduction and Development. Minneapolis; Burgess Pub.Co.

Sand J. (2005). A Short Histry of MSG Good Science, Bad Science and Taste Cultures. The Journal of Culture. 38-48.

Sheerwood, L. (2004). The Reprodutive System in Human Physiology From Cell to System. Fifth edition. Tomson Brook/cole. California.page 757.

Smith JB (Alih bahasa: S. Mangkoewidjojo). (1988). Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. hal 10-36.

Syari M. (2007). Pengaruh Ektrak Daun Andaliman (zanthoxylum acanthopodium

DC) terhadap Gambaran Ovarium Mencit (Mus musculus L) Strain DDW.

Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sumatera Utara.


(6)

Turi g, Liposits Z, Moenter SM, Fekete C, Hrabovszky E. (2003). Origin of Neuropeptide Y-Containing Afferents to Gonadotropin-Releasing Hormone Neurons in Male Mice. Endocrinology 144(11):4967-4974.

Whitten WK. (1957). Effect of Exteroceptive Factors on the Oestrus Cycle of Mice. Nature 180: 1436.

Yu MH, Kimura M, Walczewska H, Karanth S, Mc Cann SM. (1997). Role of Leptin in Hypothalamic- Pituitary Function. Proc. Nati Acad Sci. USA. 94(3);1023-8.