Pendekatan Studi Politik Luar Negeri

menggambarkan modelnya dalam kerangka yang kompleks dengan meneropong jauh kedalam kotak hitam pengambilan kebijakan luar negeri. Salah salah satu keuntungan pendekatan ini yakni membawa dimensi manusia kedalam proses politik luar negeri secara lebih efektif. Jensen juga menyebutkan adanya model lain yakni politik birokratik. Pendekatan ini menekankan pada peran yang dimainkan birokrat yang terlibat dalam proses politik luar negeri. Menurut Jensen, karena peralihan yang signifikan dalam pemerintahan dan partai-partai politik di banyak negara, maka politik luar negeri tergantung kepada pelayanan pegawai negeri yang lebih permanen untuk informasi dan nasihat. Oleh sebab itu birokrat - termasuk di jajaran Departemen Luar Negeri - mampu mempengaruhi pembentukan politik luar negeri. Namun demikian peran birokrat ini tak bisa dibesar-besarkan karena keterbatasan pengaruhnya juga. Keempat, model adaptif menekankan pada anggapan bahwa perilaku politik luar negeri seyogyanya difokuskan pada bagaimana negara merespon hambatan dan peluang yang tersedia dalam lingkungan internasional. Disinilah pilihan politik luar negeri tidak dalam kondisi terbatas namun sangat terbuka terhadap segala pilihan. Model kelima disebut Jensen sebagai pengambilan keputusan tambahan. Karena adanya ketidakpastian dan tidak lengkapnya informasi dalam masalah-masalah internasional, disamping banyaknya aktor-aktor publik dan privat yang terkait dengan isu-isu politik luar negeri, maka keputusan tak bisa dibuat dalam pengertian kalkulasi rasional komprehensif. Sementara itu studi politik luar negeri negara-negara sedang berkembang disebut-sebut kurang berkembang atau tidak berkembang. Namun demikian studi terhadap negara berkembang, untuk membedakan dari negara maju seperi Amerika Serikat atau Inggris, tetap menarik untuk disimak. Sejauh ini seperti dikatakan Ali E Hilla Dessouki dan Bghat Korany 28 , ada tiga pendekatan yang mendominasi studi politik luar negeri di negara- negara berkembang baik di Asia, Afrika maupun Amerika Latin. Pertama, pendekatan psikologis. Pendekatan ini menilai politik luar negeri sebagai fungsi impuls dan idiosinkratik seorang pemimpin. Menurut pandangan ini, raja-raja dan presiden merupakan sumber politik luar negeri. Oleh karena itu perang dan damai merupakan selera pribadi dan pilihan individual. Dalam hal ini politik luar negeri dipersepsikan bukan sebagai aktivitas yang dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan nasional atau sosietal melainkan seperti ditulis Edward Shill tahun 1962 sebagai bagian dari hubungan masyarakat. Tujuannya, memperbaiki citra negara, meningkatkan popularitas pemimpin dan mengalihkan perhatian dari kesulitan-kesulitan domestik kepada ilusi-ilusi kemenangan eksternal. Terhadap pendekatan ini sedikitnya terdapat tiga kritik. Pertama, pendekatan ini membuat politik luar negeri tampak seperti sebuah kegiatan 28 Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey and a Framework for Analysis dalam The Foreign Policies of Arab States , Bouleder, Westview Press, 1991, h. 8. irasional, bukan masalah analisis sistematik. Kritik kedua, pendekatan ini mengabaikan konteks domestik, regional dan global dimana politik luar negeri diformulasikan dan dilaksanakan. Ketiga, pendekatan seperti ini mengabaikan fakta bahwa karena kepentingan mereka dalam survival politik, sebagian besar pemimpin menepiskan sifat eksentriknya yang berlawanan dengan sikap dominan, perasaan publik dan realitas politik. Memang sulit mengesampingkan variabel idiosinkratik di kebanyakan negara berkembang namun yang lebih penting dianalisa bagaimana konteks pembuatan kebijakan mendorong tipe-tipe kepemimpinan tertentu dan bukan tipe yang lainnya. Atau bagaimana faktor idiosinkratik pemimpin mungkin mengubah konteks, mempengaruhi orientasi politik luar negeri pemimpin lainnya. Kedua, pendekatan negara-negara besar yang dominan di kalangan pakar-pakar realis seperti Hans J Morgenthau. Pendekatan ini memandang politik luar negeri sebagai fungsi konflik Timur-Barat. Singkatnya, politik luar negeri negara-negara berkembang dipandang lemah otonominya. Negara berkembang dipengaruhi rangsangan eksternal, mereka bereaksi terhadap prakarsa dan situasi yang diciptakan kekuatan eksternal. Kelemahan utama pendekatan ini mengabaikan sumber-sumber dalam negeri dalam politik luar negeri. Ketiga, pendekatan reduksionis atau model-builders. Pendapatnya, politik luar negeri negara berkembang ditentukan oleh proses yang sama dan perhitungan keputusan yang membentuk politik luar negeri negara-negara maju. Perbedaan dasarnya adalah kuantifikasinya. Negara berkembang memiliki sumber-sumber dan kemampuan yang kecil. Oleh sebab itu, melaksanakan politik luar negeri dalam skala yang lebih kecil. Pandangan ini berdasarkan asumsi bahwa perilaku semua negara besar dan kecil, kaya atau miskin, berkembang atau maju mengikuti model pengambilan keputusan aktor rasional. Dikatakan pula, semua negara berusaha meningkatkan kekuasaan dan semua negara juga dimotivasi oleh faktor-faktor keamanan. Oleh karena itulah, politik luar negeri negara-negara berkembang persis sama seperti negara maju namun dalam level lebih rendah. Pendekatan ini tidak memperhitungkan karakter khusus seperti modernisasi, pelembagaan politik yang rendah dan status ketergantungan dalam stratifikasi sistem global. Salah satu ciri-ciri kajian baru, berbeda dengan tiga pendekatan tadi, menekankan kepada sumber-sumber politik luar negeri dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksternal negara-negara berkembang. Misalnya karya Weinstein tentang politik luar negeri Indonesia yang menghasilkan pandangan adanya tiga tujuan politik luar negeri 29 . Pertama, mempertahankan kemerdekaan bangsa melawan ancaman yang dipersepsikan. Kedua, mobilisasi sumber-sumber eksternal untuk pembangunan dalam negeri. Dan ketiga, mencapai sasaran-sasaran yang berkaitan dengan politik dalam negeri seperti mengisolasi salah satu oposisi 29 Franklin B Weinstein, Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of Dependence: From Sukarno to Soeharto Ithaca: Cornel University Press, 1976. politik dari dukungan luar negeri, memanfaatkan legitimasi untuk tuntutan- tuntutan politik domestik dan menciptakan simbol-simbol nasionalisme dan persatuan nasional. Contoh lain kajian baru politik luar negeri negara berkembang menekankan sumber-sumber domestik dan bagaimana proses modernisasi dan perubahan sosial mempengaruhi perilaku eksterrnal. East dan Hagen menggaris bawahi faktor sumber-sumber untuk membedakan dengan ukuran-ukuran faktor itu berupa jumlah absolut sumber-sumber yang tersedia dengan faktor modernisasi yang artinya kemampuna memobilisasi, mengontrol dan menggunakan sumber-sumber ini. Modernisasi itu sendiri dipandang sebagai proses dimana negara-negara meningkatkan kemampuannya untuk mengontrol dan menggunakan sumber-sumbernya. Ini berarti, negara yang modern punya kemampuan yang lebih besar dalam bertindak. Unsur penting lainnya kajian politik luar negeri negara berkembang menekankan pada posisi ekonomi politik aktor dalam startifikasi sistem global. Johan Galtung seperti dikutip Marshall R Singer melukiskan dengan jelas tentang stratifikasi dalam sistem internasional ini 30 . Galtung memaparkan bahwa sistem politik internasional mirip dengan sistem feodal yang terdiri dari negara besar alias top dog, negara menengah dan regional serta negara berkembang atau negara underdog yang lebih kecil. 30 Marshall R Singer, The Foreign Policies of Small Developing States dalam World Politics : An Introduction oleh James N Rosenau, Kenneth W Thompson dan Gavin Boyd. New York, The Free Press, 1980, h. 275. Dalam konteks ini, ketidaksederajatan menjadi fokus utama. Negara berkembang eksis dalam tatanan dunia ini dicirikan dengan ketidaksederajatan antara negara dalam level pembangunan sosial ekonomi, kemampuan militer dan stabilitas politik dan prestise. Akibatnya, penetrasi luar terada proses pengambilan keputusan negara-negara berkembang. Aktor eksternal berpartisipasi secara otoritatif dalam alokasi sumber-sumber dan determinasi sasaran-sasaran nasional. Dalam hal ini banyak karya ilmiah sudah ditulis tentang peranan Dana Moneter Internasional IMF, perusahaan multinasional dan bantuan luar negeri negara-negara besar. Dari berbagai pendekatan yang ada, tulis Hillal dan Korany, analisis yang memadai terhadap politik luar negeri negara-negara berkembang semestinya mempertimbangkan bahwa politik luar negeri adalah bagian dan paket situasi umum Dunia Ketiga dan merefleksikan evolusi situasi ini. Dengan demikian, proses politik luar negeri tak dapat dipisahkan dari struktur sosial domestik atau proses politik domestik. Menurut Hillal dan Korany, untuk memahami politik luar negeri negara Dunia Ketiga perlu membuka kotak hitam. Dunia Ketiga ini banyak dipengaruhi stratifikasi internasional. Meskipun negara berdaulat namun negara-negara Dunia Ketiga, dapat dirembesi, dipenetrasi dan bahkan didominasi. Oleh sebab itu penting pula melihat struktur global yang mempengaruhi proses pembuatan kebijakan luar negeri. 31 31 Ali E Hillal Dessouki and Baghat Korany, A Literature Survey , h. 10-11. Sedikitnya ada tiga persoalan besar yang dihadapi negara berkembang dalam melaksanakan politik luar negerinya. Pertama, dilema bantuan dan independensi. Negara Dunia Ketiga mengalami dilema anara memiliki bantuan luar negeri atau mempertahankan independensi nasional. Kedua, dilema sumber-sumber dan tujuan yang lebih menekan di negara berkembang dibandingkan negara maju. Dilema ini menyangkut kemampuan para pengambil kebijakan mengejar tujuan di tengah realisme kemampuan negaranya. Keempat, dilema keamanan dan pembangunan yang merupakan versi modern dari debat lama senjata atau roti. Sejumlah pakar menilai politik luar negeri terutama merupakan proses atau aktivitas yang tujuan utamanya adalah mobilisasi sumber-sumber eksternal demi pembangunan masyarakat. Dari paparan teoritis tentang berbagai pendekatan untuk memahami politik luar negeri sebuah negara dan spesifik lagi untuk mengetahui lebih jauh politik luar negeri negara berkembang, penulis menyusun sebuah kerangka analisis sendiri. Kerangka analisis itu terdiri dari empat pilar yakni, lingkungan domestik, orientasi politik luar negeri, proses pengambilan keputusan dan perilaku politik luar negeri. Ada baiknya unsur-unsur ini diuraikan untuk mengetahui bobot dan rangkaiannya dalam meneliti input dan outputs politik luar negeri berkembang. Pertama, dalam unsur lingkungan domestik sejumlah faktor dianalisa untuk mengetahui apakah yang memperkuat dan menghambat politik luar negeri seperti geografi, struktur sosial, kemampuan ekonomi, kemampuan militer dan struktur politik. Dalam kajian struktur politik dibahas sejauh mana elemen ini memberikan peluang atau menghambat para pengambil keputusan. Menyangkut struktur politik diantaranya stabilitas, legitimasi, tingkat institusionalisasi dan tingkat dukungan publik. Faksionalisasi politik dan instabilitas domestik biasanya menghambat pelaksanaan sebuah politik luar negeri. Tingkat yang rendah dalam institusionaliasi dan tingginya instabilitas politik di sebagian besar negara berkembang menghasilkan sejumlah hal. Salah satunya adalah keutamaan eksekutif, khususnya dalam pengembangan pusat presiden yang mendominasi proses pengambilan keputusan. Kelembagaan presiden biasanya menikmati kebebasan relatif karena tiadanya kebebasan pers atau oposisi yang kuat. Di negara-negara seperti ini hubungan antara kebijakan domestik dan luar negeri lebih langsung daripada negara maju yakni politik luar negeri dikerahkan untuk mencapai tujuan domestik. Orientasi politik luar negeri menyangkut salah satu komponen output politik luar negeri. Komponen lainnya adalah keputusan dan tindakan. Orientasi adalah cara elit politik luar negeri sebuah negara mempersepsikan dunia dan peran negaranya di dunia. Holsti mendefinisikan orientasi sebuah negara sebagai sikap umum sebuah negara dan komitmen terhadap lingkungan eksternal, strategi fundamental untuk mencapai tujuan domestik dan tujuan serta aspirasi eksternal dan untuk menghadapi ancaman yang ada. Ia mendefinsikan tiga orientasi yakni isolasi, nonblok dan koalisi. Orientasi ini biasanya stabil. Perubahan berlangsung jika terjadi peralihan radikal struktur politik domestik, keseimbangan regional dan sistem global. 32 Selanjutnya unsur proses pengambilan keputusan yang menekankan personalisasi karakter proses pengambilan keputusan dan lemahnya institusionalisasi di negara-negara berkembang. Sebenarnya pengambilan keputusan tidak sesedehana itu. Seorang pemimpin mungkin mengambil kata akhir untuk menentukan beberapa alternatif namun ia harus mempertimbangkan banyak variabel dan harus mengingat respon berbagai kelompok domestik yang berpengaruh. Dalam banyak contoh unit utama pengambilan keputusan bukanlah presiden secara individual melainkan presiden sebagai lembaga. Perilaku politik luar negeri yang merupakan kerangka analisis berikutnya berisi tindakan dan posisi konkret serta keputusan negara yang diambil atau disahkan dalam melaksanakan politik luar negeri. Tindak- tanduk politik luar negeri merupakan ekspresi konkret orientasi dalam tindakan spesifik. Pada umumnya perilaku politik luar negeri dicirikan dengan dukungan dari PBB. Sementara itu studi politik luar negeri misalnya Indonesia sudah banyak dilakukan baik oleh akademisi dalam negeri maupun kalangan peneliti asing. Leo Suryadinata mengkategorikan kajian politik luar negeri 32 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Jakarta: LP3ES, 1998, h. 3. dalam dua pendekatan yakni studi makro dan mikro 33 . Ia menyebutkan mereka yang studi makro antara lain Franklin Weinstein, Anak Agung Gde Agung dan Michael Leifer. Sedangkan studi skala mikro misalnya dilakukan John M Reinhardt, JAC Mackie, David Mozingo dan Dewi Fortuna Anwar. Perlu ditambahkan pula studi mutakhir bersifat mikro terhadap politik luar negeri Indonesia dilakukan Rizal Sukma 34 . C. Kepentingan Nasional Indonesia Mengingat konsep kepentingan nasional bersifat relatif, maka parameter yang mengacu kepada konsep kepentingan nasional tentu saja tidak mudah diukur. Secara sederhana konsep kepentingan nasional dapat “diukur” dari potensi strategis yang dimiliki negara itu sendiri dalam hubungannya dengan sesama aktor negara. Ada beberapa kriteria yang dibuat ahli politik internasional, Pertama, konsepsi kepentingan nasional bukan merupakan kepentingan yang terpisah dari lingkungan pergaulan antarbangsa atau bahkan dari aspirasi dan problematika yang muncul secara internal dalam suatu negara. Kepentingan nasional suatu bangsa dengan sendirinya perlu mempertimbangkan berbagai nilai yang berkembang dan menjadi ciri negara itu sendiri. Nilai-nilai 33 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Jakarta: LP3ES, 1998, h. 1. 34 Disertasi Rizal Sukma, Indonesias Restoration of Diplomatic Relations with China: A Study of Foreign Polici Making and the Function of Diplomatic Ties . Department of International Relations. The London School of Economics and Political Science, University of London, United Kingdom, 1997. kebangsaan, sejarah, dan letak geografis menjadi ciri khusus yang mempengaruhi penilaian atas konsepsi kepentingan nasional suatu negara. Kedua , kepentingan nasional bukan merupakan upaya untuk mengejar tujuan-tujuan yang abstrak, seperti perdamaian yang adil atau definisi hukum lainnya. Sebaliknya, ia mengacu kepada upaya perlindungan dari segenap potensi nasional terhadap ancaman eksternal maupun upaya konkrit yang ditujukan guna meningkatan kesejahteraan warga negara. Ketiga, konsepsi ini pada dasarnya bukan merupakan pertanyaan yang berkisar kepada tujuan, melainkan lebih kepada masalah cara dan metode yang tepat bagi penyelenggaran hubungan internasional dalam rangka mencapai tujuan tersebut secara efektif. Kalau ditarik kesimpulannya, maka konsepsi kepentingan nasional terdiri dari berbagai variabel yang menjadi acuan bagi pelaksanaan pollitik luar negeri suatu negara. Acuan ini dapat dilacak kepada konstitusi yang menjadi fondasi pembentukan negara itu sendiri. Di dalam praktek, penyelenggaran hubungan internasional kemudian didelegasikan secara penuh kepada institusi negara yang bertanggung-jawab dalam penyelenggaraan hubungan internasional. Namun secara terbatas pendelegasian kewenangan tersebut dapat diserahkan kepada organ-organ pemerintah lainnya, sesuai dengan spesifikasi kewenangan teknis. Upaya demikian dilakukan untuk mensinergikan segenap potensi kekuatan yang ada pada tataran domestik agar tujuan nasional dapat tercapai. Kepentingan nasional didefinisikan sebagai kepentingan negara yang dicapai melalui kebijakan nasional. 35 Pada hakekatnya kepentingan nasional Indonesia adalah menjamin kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, tegaknya NKRI yang memiliki wilayah yurisdiksi nasional dari Sabang sampai Merauke sangat perlu untuk dipelihara. Namun mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, dimana terdiri lebih dari 17.500 pulau, memiliki posisi yang sangat strategis di antara benua Asia dan Australia, serta diantara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Dengan posisi strategis tersebut, maka berbagai negara khususnya negara-negara besar memiliki kepentingan terhadap kondisi stabilitas keamanan di Indonesia. Implikasi dari kepentingan negara lain tersebut menimbulkan kecenderungan campur tangan atau kepedulian yang tinggi dari negara- negara tersebut terhadap kemungkinan gangguan stabilitas keamanan Indonesia. Sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, maka kepentingan nasional Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 35 Daniel S Papp, Contemporary International Relation, Boston: Allyn Bacon, 1997. h. 43 Kepentingan nasional tersebut diaktualisasikan salah satunya dengan pelaksanaan politik luar negeri bebas dan aktif. Politik luar negeri ini dituangkan kedalam program kerja kabinet, dan pada saat ini, kebijakan luar negeri Indonesia pada tahun 2005 merupakan bagian dari kebijakan pemerintahan Kabinet Indonesia bersatu 2004-2009, yang konsisten diabdikan bagi kepentingan nasional. Pencapaian kepentingan nasional Indonesia di dunia internasional tidak terlepas dari perubahan lingkungan strategis balik dalam tataran global maupun regional yang memberikan tantangan sekaligus kesempatan bagi proses pencapaian kepentingan tersebut. Dan dalam rangka menghadapi tatanan dunia yang semakin berubah dengan cepatnya, semakin disadari perlunya untuk mengembangkan kelenturan dan keluwesan dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri agar dapat memanfaatkan berbagai tantangan dan peluang yang muncul dari perubahan lingkungan strategis secara optimal. Sehubungan dengan hal tersebut, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kuncinya pada bulan Mei 2005 telah memperkenalkan suatu konsep baru yaitu kebijakan luar negeri ”konstruktivis”, yang pada intinya dimaksudkan untuk mengembangkan tiga macam kondisi dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia yaitu: 1. Pola pikir positif dalam mengelola kerumitan permasalahan luar negeri. 2. Konektivitas yang sehat dalam urusan-urusan internasional. 3. Identitas internasional yang solid bagi Indonesia yang didasarkan pada pencapaian-pencapaian domestik dan diplomatiknya. Diplomasi Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri Deplu turut mengaktualisasikan program dan prioritas Kabinet Indonesia Bersatu yang pada intinya adalah melakukan diplomasi total untuk ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman damai, adil, demokratis dan sejahtera. Untuk memastikan tercapainya tujuan nasional, Departemen Luar Negeri menekankan pada kerja sama diplomatik dengan negara-negara di dunia internasional dalam seri lingkaran konsentris concentric circles yang terdiri dari: 36 • Lingkaran pertama adalah Association of Southeast Asian Nations ASEAN yang merupakan pilar utama bangsa Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya. • Kemudian yang berada pada lingkaran konsentris kedua adalah ASEAN + 3 Jepang, China, Korea Selatan. Di luar hal tersebut, Indonesia juga mengadakan hubungan kerja sama yang intensif dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa yang merupakan partner utama ekonomi Indonesia. • Dalam lingkaran konsentris yang ketiga, Indonesia mengakui pentingnya menggalang kerja sama dengan like-minded developing countries . Itulah yang menyebabkan Indonesia secara aktif ikut 36 http:www.deplu.go.id. serta dalam keanggotaan Non-Aligned Movement NAM, the Organization of the Islamic Conference OIC, the Group of 77 G- 77 dan the Group of 20 G-20. Dengan forum-forum tersebut Indonesia dapat menerapkan diplomasinya untuk memperkuat usaha bersama dalam rangka menjembatani kesenjangan antara negara-negara berkembang dengan negara maju. Sementara itu, pada level global, Indonesia mengharapkan dan menekankan secara konsisten penguatan multilateralisme melalui PBB, khususnya dalam menyelesaikan segala permasalahan perdamaian dan keamanan dunia. Indonesia juga menolak segala keputusan unilateral yang diambil di luar kerangka kerja PBB. Penerapan politik luar negeri bebas - aktif tersebut juga harus disesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis baik di tingkat global maupun regional yang sangat mempengaruhi penekanan kebijakan luar negeri Indonesia. Politik luar negeri Indonesia didesain untuk mampu mempertemukan kepentingan nasional Indonesia dengan lingkungan internasional yang selalu berubah. Tidak dapat dipungkiri perlunya politik luar negeri yang luwes dan flexible untuk menghadapi segala tantangan dimaksud. Perubahan lingkungan internasional tersebut tidak hanya disebabkan oleh dinamika hubungan antar negara tetapi juga perubahan isu, dan munculnya aktor baru dalam hubungan internasional yang berupa non- state actors. Upaya untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia di dunia Internasional dilaksanakan melalui diplomasi. Diplomasi Indonesia yang dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri Deplu turut mengaktualisasikan program yang pada intinya adalah melakukan diplomasi total untuk ikut mewujudkan Indonesia yang bersatu, lebih aman dan damai, adil, demokratis dan sejahtera. Dalam lingkup tugas dan kompetensi utama Deplu sebagai penyelenggara hubungan luar negeri, Deplu berupaya melibatkan seluruh komponen pemangku kepentingan untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kepentingan nasional Indonesia diterjemahkan kedalam visi Departemen luar negeri yang disebut sebagai Sapta Dharma Caraka, yaitu: 37 1. Memelihara dan meningkatkan dukungan internasional terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia. 2. Membantu pencapaian Indonesia sejahtera melalui kerja sama pembangunan dan ekonomi, promosi dagang dan investasi, kesempatan kerja dan alih tekonologi. 3. Meningkatkan peranan dan kepemimpinan Indonesia dalam proses integrasi ASEAN, peran aktif di Asia-Pasifik, membangun kemitraan strategis baru Asia-Afrika serta hubungan antar sesama negara berkembang. 4. Memperkuat hubungan dan kerja sama bilateral, regional dan internasional di segala bidang dan meningkatkan prakarsa dan 37 http:www.deplu.go.id. kontribusi Indonesia dalam pencapaian keamanan dan perdamaian internasional serta memperkuat multilateralisme. 5. Meningkatkan citra Indonesia di masyarakat internasional sebagai negara demokratis, pluralis, menghormati hal asasi manusia, dan memajukan perdamaian dunia. 6. Meningkatkan pelayanan dan perlindungan Warga Negara Indonesia WNI di luar negeri serta melancarkan diplomasi kemanusiaan guna mendukung tanggap darurat dan rekontruksi Aceh dan Nias dari bencana gempa dan tsunami. 7. Melanjutkan benah diri untuk peningkatan kapasitas kelembagaan, budaya kerja dan profesionalisme pelaku diplomasi serta peranan utama dalam koordinasi penyelenggaraan kebijakan dan hubungan luar negeri. Kebijakan umum pemerintah menegaskan bahwa penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan salah satu komponen utama dalam memperjuangkan NKRI. Penegasan itu mencerminkan kebutuhan pengembangan wawasan ke-Indonesiaan, baik dalam konteks kewilayahan maupun kebangsaan. Keberhasilan pencapaian penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri disadari akan banyak memberi pengaruh positif terhadap eksistensi kedaulatan dan keutuhan wilayah kesatuan negara Republik Indonesia. Politik luar negeri suatu negara sesungguhnya merupakan hasil perpaduan dan refleksi dari politik dalam negeri yang dipengaruhi oleh perkembangan situasi regional maupun internasional. Hal ini didukung oleh potensi dan kemajuan Indonesia yang kini berada dalam proses tranformasi menuju sistem politik yang demokratis dan pemerintahan yang baik. Sebab bagaimanapun kondisi tersebut merupakan prasyarat yang diperlukan dalam menopang keberhasilan pelaksanaan politik luar negeri. Masyarakat internasional menilai dinamika itu sebagai indikator-indikator penting yang memberikan harapan baru sekaligus tantangan berat bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. 38 Pada tingkat pelaksanaan, efektifitas pelaksanaan politik luar negeri memerlukan sinergi dan keterlibatan di antara seluruh stake holders yang berwujud pada diplomasi total. Dalam konteks itu, diplomasi tentunya dilakukan dengan semangat melanjutkan reformasi melalui penataan, pendalaman dan penyeimbangan berbagai aspek kebijakan pemerintahan dan pembangunan guna mewujudkan kepentingan nasional bangsa kita. Demikian pula halnya dengan politik luar negeri Indonesia yang tidak terlepas dari pengaruh beberapa faktor, antara lain posisi geografis yang strategis, yaitu posisi silang antara dua benua dan dua samudra; potensi sumber daya alam dan manusia berikut susunan demografi; dan sistem sosial-politik yang sangat mempengaruhi sikap, cara pandang serta cara kita memposisikan diri di fora internasional. 38 http:www.deplu.go.id. Di lingkup internasional, politik luar negeri sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan mendasar dalam dinamika internasional dan globalisasi yang bercirikan antara lain, perubahan sistem politik global dari bipolar ke multipolar; menguatnya interlinkages antara forum global, interregional, regional, subregional dan bilateral; meningkatnya peranan aktor-aktor non-negara dalam hubungan internasional; dan munculnya isu- isu baru di dalam agenda internasional seperti HAM, demokratisasi, lingkungan hiclup dan sebagainya yang dampak utamanya adalah semakin kaburnya batas dan kedaulatan negara dalam pergaulan antarbangsa. 39 Interaksi yang diciptakan Indonesia dengan negara-negara tetangga dan negara-negara sahabat harus bersifat kondusif bagi langkah-langkah pelaksanaan politik luar negeri yang diambil dalam menangani berbagai persoalan di tataran internasional tersebut. Dalam konteks ini, solusi dan penanganan yang tepat terhadap persoalan-persoalan itu agar tetap dapat memajukan sikap saling pengertian dan menghormati di antara masyarakat bangsa-bangsa. Oleh karena itu, pelaksanaan politik luar negeri pun dengan sendirinya diarahkan pada prioritas mengupayakan dan mengamankan serta meningkatkan kerja sama dan dukungan negara-negara sahabat serta badan- badan internasional bagi percepatan pemulihan perekonomian nasional dan sekaligus mengupayakan pulihnya kepercayaan internasional terhadap tekad 39 http:www.deplu.go.id. dan kemampuan Pemerintahan baru untuk mengatasi krisis multidimensional yang sedang Indonesia hadapi saat ini. Dalam kaitan ini yang perlu diwaspadai adalah munculnya pertentangan persepsi di antara komponen-komponen bangsa mengenai berbagai isu nasional yang bukan hanya memperburuk citra Indonesia di mata dunia, bahkan dapat mengancam keutuhan bangsa.

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK LUAR NEGERI MOHAMMAD HATTA

Persepsi para pemimpin atas wilayah Indonesia dan peranannya di dunia Internasional adalah penting, karena hal ini akan memberi dampak pada perilaku politik luar negeri Indonesia. Namun demikian, persoalannya adalah dalam menentukan persepsi siapa yang harus diterima sebagai yang absah. Haruskah mereka yang merupakan elite dalam masalah politik luar negeri ataukah mereka yang merupakan pemimpin Indonesia secara umum ? Masuk akal untuk menganggap bahwa persepsi para pemimpin Indonesia yang bertanggung jawab dalam memformulasikan politik luar negeri Indonesia adalah penting. Sejarah dan tradisi Indonesia turut bertanggung jawab atas persepsi para pemimpin Indonesia dalam kaitannya dengan soal wilayah negara dan peranannya di dunia Internasional. Indonesia, sebelum bulan Agustus 1945, dikenal sebagai Hindia Belanda, dan Indonesia saat ini pun masih dilihat melalui batas-batas penjajahan Belanda. Namun, banyak pemimpin Indonesia, khususnya kaum nasiionalis praperang dan generasi 1945, melihat Indonesia sebagai kelanjutan dari dua kerajaan masa silam, Sriwijaya dan Majapahit. 40 Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Di Bawah Soeharto, Jakarta: LP3ES, 1998, h. 7-8. Sebelum kemerdekaan, para pemimpin Indonesia berdebat mengenai batas-batas wilayah Indonesia merdeka. Sebagai contoh, satu persepsi yang diwakili oleh Mohammad Yamin, ia mengajukan konsep ”Indonesia Raya”. 41 Ia mengatakan bahwa puncak Kerajaan Majapahit adalah masa kemegahan terbesar dalam sejarah Indonesia. Mengutip karya prapanca, penyair Jawa abad ke -14, Yamin mengatakan bahwa Indonesia, dibawah kekuasaan Majapahit, telah meliputi Hindia Belanda, Malaysia, Borneo, Timor, dan Papua. Ia percaya bahwa suatu Indonesia yang merdeka harus meliputi wilayah Kerajaan Majapahit. Namun demikian, Mohammad Hatta yang kemudian menjadi wakil ketua panitia kecil rancangan undang-undang untuk negara baru, lebih berhati-hati. Ia memilih untuk membatasi batas-batas wilayah Indonesia sesuai dengan Hindia Belanda. Menurutnya, dengan memasukkan wilayah diluar wilayah Hindia Belanda, akan menciptakan kesan bahwa Indonesia adalah Imperialistik. Hatta menunjuk imperialisme Jerman dan mengatakan bahwa Indonesia tidak harus menyamai perilaku seperti itu. Meskipun demikian selama perdebatan, Hatta mengalah dalam hal Malaysia. Baginya jika masyarakat Malaya ingin bergabung dengan Indonesia atas kehendak mereka sendiri, dia tidak keberatan. Tetapi yang jelas, ia berpendirian bahwa Indonesia harus meliputi sedikitnya wilayah Hindia Belanda, tidak termasuk Papua. 42 41 Mohammad Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar Vol. 1, Jakarta: Prapantja, 1959, h. 135. 42 Mohammad Yamin, Naskah Persiapan, h. 201-202