Arrangement for traditional and Customary Border crossing” antara RI dan Papua New Guines.
Sejauh ini, di dalam pengaturan Lintas Batas negara Republik Indonesia telah dilakukan tiga persetujuan diantara Republik Indonesia dengan negara tetangga
yaitu antara pertama Republik Indonesia dengan Malaysia, kedua Republik Indonesia dengan Philipina dan ketiga Republik Indonesia dengan Papua Nugini PNG. Ketiga
persetujuan tersebut, dijelaskan sebagai berikut:
1. RI – Malaysia
Perjanjian Lintas Batas antara RI – Malaysia telah lama dirintis dan diadakan oleh kedua negara yaitu pada masa setelah proklamasi kemerdekaan RI, pengaturan
lintas batas yang pernah ada antara kedua negara adalah berupa persetujuan lokal yang dibuat pada tahun 1946. Oleh Residen Kalimantan Barat pada tahun 1955
dikeluarkan instruksi yang mengatur lalu lintas diperbatasan serta penetapan bentuk surat Pas jalan yaitu dengan instruksi nomor 12258Pem. 19 tanggal 28 Mei 1955.
Sebelum dikeluarkan instruksi tersebut dalam persetujuan lokal pada tahun 1946 digunakan Pas jalan yang bentuknya sebagaimana ditentukan dalam persetujuan yang
dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1963 – 1965 kegiatan lintas batas dihentikan oleh karena terjadi konfrontasi RI – Malaysia.
Setelah masa konfrontasi selesai, dengan melalui perundingan antar kedua delegasi pemerintah masing-masing pada tahun 1967 tanggal 26 Mei 1967 di Jakarta
ditandatangani ”Pemufakatan Dasar Lintas Batas RI – Malaysia” Basic Agreement on Border Crossing Between the Republic of Indonesia and Malaysia. Dan kemudian
Universitas Sumatera Utara
pada tanggal 12 Mei 1984, di Medan telah ditandatangani pembaharuan persetujuan lintas batas RI – Malaysia.
Arti dari persetujuan tahun 1967 dan tahun 1984 antara RI – Malaysia mengenai persetujuan Lintas Batas tersebut adalah :
1. Dalam persetujuan tahun 1967 di Jakarta yaitu mengatur prosedur lintas batas
bagi penduduk daerah perbatasan RI – Malaysia dan menentukan persyaratan yang harus dipenuhi pelintas batas serta menentukan tempat-tempat pos
perbatasan. b. Sedangkan persetujuan tahun 1984 di Medan yaitu menentukan Pos masuk
keluar dari daerah perbatasan RI – Malaysia, dan mengatur ketentuan pos lintas batas yang dikeluarkan oleh RI.
Sebagai pengembangan pelaksana Lintas Batas RI – Malaysia ini pada tahun 1989 telah dibuka jalur lintas darat kendaraan bermotor Serawak Kalimantan Barat
melalui pos perbatasan Tepedu di Serawak dan Entikong di Kalimantan Barat. Untuk keperluan perlintasan ini maka tindak lanjutnya pada akhir tahun 1989 maka Menteri
Kehakiman RI menetapkan Entikong sebagai pelabuhan pendaratan keimigrasian, dan berlaku pula untuk warga negara ASEAN, yang dibebaskan memiliki visa jika
berkunjung untuk wisata selama 2 dua bulan dan bagi warga negara RI terdapat keharusan untuk membayar fiskal. Dengan demikian maka pos perbatasan RI –
Entikong memiliki fungsi ganda yaitu pertama berfungsi sebagai pos perbatasan,
Universitas Sumatera Utara
untuk pintu keluar-masuknya penduduk perbatasan pemegang KLB dan kedua mempunyai fungsi sebagai pelabuhan pendaratan keimigrasian.
101
Sebagai akibat kemajuan dalam pembangunan yang telah berhasil dicapai oleh kedua negara di berbagai sektor kehidupan berdampak pula pada perubahan dan
upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih layak pada masyarakat perbatasan, sehingga terdapat ribuan warga negara Indonesia yang berada di wilayah Malaysia
khususnya di Serawak, Sabah dan semenanjung yang status keimigrasiannya belum jelas, mereka pada umumnya bekerja sebagai buruh di perkebunan-perkebunan.
Kondisi semacam ini merupakan permasalahan yang menyangkut pelintas batas bagi kedua negara. Sedangkan berdasarkan persetujuan maka penduduk perbatasan
pemegang KLB hanya dibenarkan untuk bergerak sejauh daerah perbatasan saja dan dibatasi izin tinggalnya.
Di samping hal tersebut secara geografi daerah perbatasan RI – Malaysia sebagian terdiri dari perairan dan pulau dan sebagian besar lainnya terdiri dari
daratan. Dalam kenyataannya di lapangan baik daerah perbatasan berupa perairan maupun daratan mempunyai tingkat kerawanan ditinjau dari aspek keimigrasian,
disamping keterbatasan kemampuan personil maupun sarana pengawasannya serta kondisi alam yang sangat sulit.
Upaya penangguhan terhadap permasalahan tersebut menurut hematnya diperlukan koordinasi antara kedua negara secara terkonsepsional dan dapat
101
Irza Ratu Bagus Sianturi,Kapita Selekta Hukum Internasional, Jakarta : Akademi Imigrasi, 1998 hal 7-9
Universitas Sumatera Utara
diusulkan suatu bentuk kerjasama yang perlu dipikirkan semacam ”Bilateral Law Enforcement Task Force” dalam aspek keimigrasian, disamping perlunya pertemuan
secara periodik guna : Preventive Intelligence : Exchange of Information and Effective Communication in urgent cases : and the exchange of personnel and
training. Dengan pertemuan secara periodik tersebut akan meningkatkan hubungan yang lebih baik dan respon timbal balik berkaitan dengan tugas keimigrasian.
2. RI – Philipina