RI – Philipina Penegakan Peraturan Keimigrasian Dalam Mencegah Masuknya Imigran Illegal Ke Indonesia

diusulkan suatu bentuk kerjasama yang perlu dipikirkan semacam ”Bilateral Law Enforcement Task Force” dalam aspek keimigrasian, disamping perlunya pertemuan secara periodik guna : Preventive Intelligence : Exchange of Information and Effective Communication in urgent cases : and the exchange of personnel and training. Dengan pertemuan secara periodik tersebut akan meningkatkan hubungan yang lebih baik dan respon timbal balik berkaitan dengan tugas keimigrasian.

2. RI – Philipina

Pengaturan Lintas Batas RI – Philipina dituangkan dalam ”Agreement of Immigration and Border Crossing Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Philippines” yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 4 Mei 1956. Dalam persetujuan tahun 1956 sasaran utamanya adalah pengaturan lalu-lintas manusia antara daerah perbatasan dan juga memuat pengaturan lalu lintas barang. Dalam bidang lintas batas sebagai pelaksanaan dari persetujuan tahun 1956, maka pemerintah RI pada waktu tersebut mengeluarkan keputusan berupa : 1. Keputusan Wakil Perdana Menteri Indonesia Menteri Luar Negeri tanggal 24 Desember 1964 Nomor SP928PLX64 membentuk di tingkat pusat Panitia Interdept urusan Border Crossing Indonesia – Philipina dengan tugas antara lain merencanakan pelaksanaan persetujuan imigrasi dan pelaksanaan Border Crossing ; Universitas Sumatera Utara 2. Keputusan Wakil Perdana Menteri I Menteri Luar Negeri pada tanggal 10 September 1965 Nomor SP928PLX64 membentuk di tingkat Propinsi Panitia Pengawas pelaksanaan lintas batas : a. Gubernur sebagai Ketua dan Pangdamar X sebagai Wakil Ketua ; b. Bupati Sangihe dan Talaud sebagai Pengawas pelaksanaan lintas batas ; c. Di tingkat pos-pos Marore dan Miangas 1 Camat sebagai Koordinator 2 Pejabat Kepolisian RI 3 Pejabat Imigrasi 4 Pejabat Bea dan Cukai Dalam pelaksanaan perjanjian tahun 1965 terdapat tumpang tindih pengaturan dimana sebagai sasaran utama pengaturannya adalah lalu lintas manusia antara daerah perbatasan dan didalamnya diatur juga pengaturan lalu lintas barang. Disamping hal tersebut dalam persetujuan RI – Philipina sesuai dengan judul persetujuan yaitu ”Agreement on Immigration and Border Crossing between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Philippines” Persetujuan Imigrasi dan lalu lintas perbatasan RI – Philipina di dalamnya tidak hanya memuat pengaturan masalah kelintas batasan saja, tetapi juga mengatur masalah yang berkaitan dengan status keimigrasian para pendatang dari negeri tetangga yang masuk atau bermukim di wilayah negara masing-masing pihak. Universitas Sumatera Utara Dalam isi persetujuan tersebut dapat dikelompokkan dalam 2 dua kelompok: 1. Bidang Keimigrasian pasal I-V ; mengatur penyelesaian warga negara yang berada tidak sah di dalam wilayah RI dan Philipina dan mengatur legalisasi yang telah masuk secara sah. 2. Bidang lintas batas pasal VI-XII mengatur sistem lalu lintas batas orang dan barang di daerah perbatasan kedua negara. Dalam kenyataannya pelaksanaan atas persetujuan tahun 1956 berjalan tidak efektif tumpang tindih, maka dirasakan perlu untuk diadakan peninjauan kembali terhadap persetujuan tersebut. Berkenaan dengan hal tersebut maka Panitia Interdepartemental lintas batas Indonesia Philipina yang berkedudukan di Departemen Luar Negeri RI telah membentuk Panitia Adhoc yang bertugas meninjau kembali persetujuan tahun 1956. Hasil dari Panitia Adhoc tersebut maka pada tanggal 11 Maret 1975 direvisi persetujuan lintas batas yaitu : ”Revised Agreement on Border Crossing between the Republic of the Philippines and the Republic of Indonesia”. Disamping itu juga dicapai persetujuan yaitu : “Border Patrol Agreement between the Government of Republic of the Philippines and the Government of the Republic of Indonesia” dan “Border Trade Agreement” yang ketiganya merupakan satu paket untuk sarana pengelola daerah perbatasan RI – Philipina. 102 Kiranya perlu dipikirkan untuk masa yang akan datang agar dalam persetujuan perbatasan untuk dipisahkan antara masalah kelintas batasan dan status keimigrasian. 102 Ibid hal 11-13 Universitas Sumatera Utara Yang menjadi alasan sehingga perlu diaturnya status keimigrasian secara tersendiri oleh karena pada kenyataannya masih banyak Warga Negara Indonesia yang status keimigrasiannya tidak sah ditinjau dari segi Undang-undang keimigrasian Philipina. Pemisahan secara jelas dan tegas antara bagianunit persetujuan yang mengatur penanganan tehadap status keimigrasian warga negara masing-masing pihak yang tinggal di daerah perbatasan. Dengan adanya pemisahan tersebut akan dapat dikurangi perbedaan penafsiran dalam penerapan persetujuan yang merugikan RI khususnya yang berkenaan dengan biaya dalam hal deportasi dan repatriasi warga negara Indonesia yang telah lama bermukim di wilayah Philipina bagian selatan, yang selayaknya dilakukan dengan UU Keimigrasian yang tidak sepenuhnya menjadi beban pemerintah Indonesia. 103

3. RI – PNG