49
Syarat kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif yang menyangkut mengenai subjek atau pihak-pihak dari perjanjian yang dibuat,
sedangkan syarat suatu hal tertentu dan sebab yang halal merupakan syarat objektif yang menyangkut objek dari perjanjian yang dibuat.
Bentuk hubungan hukum antara bank nasabah debitur dalam dunia perbankan dikenal sebagai perjanjian kredit, yaitu setiap kredit yang telah disetujui dan
disepakati antara pihak kreditor dan debitor maka wajib dituangkan dalam perjanjian kredit akad kredit secara tertulis.
Menurut Sutan Remy Sjahdeini: Perjanjian kredit bank selalu merupakan perjanjian yang bersifat konsensuil,
perjanjian yang bersifat mencantumkan syarat-syarat tangguh atau klausul conditions precedent, yang dimaksud dengan syarat-syarat tangguh atau klausul
conditions precedent adalah fakta atau peristiwa yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu, setelah perjanjian ditandatangani perjanjian kredit oleh bank dan
nasabah debitor, nasabah debitor belum berhak menggunakan atau melakukan penarikan kredit. Atau sebaliknya pula setelah ditandatngani perjanjian kredit
oleh kedua belah pihak, belum menimbulkan kewajiban bagi bank untuk menyediakan kredit sebagaimana diperjanjikan. Hak nasabah debitor untuk dapat
menarik kredit atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih tergantung kepada telah dipenuhinya seluruh syarat-syarat tangguh atau conditions
precedent yang ditentukan dalam perjanjian kredit tersebut.
41
B. Perjanjian Kredit Sebagai Perjanjian Baku
Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan besar, perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan
pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan
41
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi para Pihak dalam perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia,
Jakarta, 1993, Hal 158
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
50
mereka menentukan syarat-syarat tertentu secara sepihak. Pihak lawannya wederpartij yang pada umumnya mempunyai kedudukan ekonomi lemah, baik
karena posisinya maupun karena ketidaktahuan hanya menerima apa yang disodorkan itu.
42
Dengan penggunaan perjanjian baku ini, maka pengusaha akan memperoleh efisiensi dalam penggunaan biaya, tenaga dan waktu. Suatu gambaran dari
masyarakat yang fragmatis. Mariam Darus Badrulzaman menterjemahkan dengan istilah “perjanjian
baku”. Baku berarti patokan, ukuran, acuan. Jika bahasa hukum dibakukan berarti bahasa hukum itu ditentukan ukurannya, patokannnya, standardnya, sehingga
memiliki arti tetap yang dapat menjadi pegangan umum.
43
Sebelum lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, berbagai literatur lebih banyak memperkenalkan istilah kontrak baku Standard
contract, Sekarang dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen menggunakan istilah “Klasula baku”. Kedua istilah tersebut semua benar, mengingat penggunaan
istilah kontrak baku lebih luas yaitu tidak terbatas pada klasula baku yang telah dipersiapkan dan ditetapkan lebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha di dalam
suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, tetapi juga meliputi pula bentuknya.
44
42
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hal. 7
43
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, Hal. 3-4
44
Ahmadi Miru dan Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal 18
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
51
Dari gejala-gejala perjanjian baku yang terdapat di Masyarakat, perjanjian ini ini dibedakan dalam 4 Jenis, yaitu:
1. Perjanjian baku sepihak adalah perjanjian yang isinya ditentukan oleh pihak yang
kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat disini ialah pihak ialah pihak kreditor yang lazimnya mempunyai posisi ekonomi kuat
dibandingkan pihak debitor. 2.
Perjanjian baku timbal balik adalah perjanjian baku yang isinya ditentukan oleh kedua pihak, misalnya perjanjian baku yang pihak-pihaknya terdiri dari pihak
majikan kreditor dan pihak lainnya buruh debitor. Kedua pihak lazimnya terikat dalam organisasi, misalnya pada perjanjian buruh kolektip.
3. Perjanjian baku yang ditetapkan Pemerintah, ialah perjanjian baku yang isinya
ditentukan Pemerintah terhadap perbuatan-perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian-perjanjian yang mempunyai objek hak-hak atas tanah. Dalam bidang
agraria, lihatlah misalnya akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT. 4.
Perjanjian baku yang ditentukan di lingkungan Notaris atau advokat adalah perjanjian-perjanjian yang konsepnya sejak semula sudah disediakan untuk
memenuhi permintaan dari anggota masyarakat yang minta bantuan Notaris atau advokat ang bersangkutan. Di Dalam perpustakaan Belanda, jenis keempat ini
disebut contract model.
45
45
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, Hal. 8
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
52
Ciri-ciri Perjanjian baku adalah sebagai berikut: a.
Isinya ditertapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya kuat; b.
Masyarakat debitor sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
d. Bentuk tertentu tertulis
e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektip.
Menjadi pertanyaan disini apakah dengan ciri-ciri demikian, perjanjian baku standard contract dapat dianggap perjanjian sebagaimana yang ditentukan oleh
Pasal 1320 KUHPerdata. Sepakat mereka yang mengikat diri adalah asas essensial dari Hukum
perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas konsensualisme, yang menentukan adanya perjanjian. Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas
kebebasan berkontrak contractvrijheid dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata. Ketentuan ini berbunyi “Semua Persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Perkataan “semua” seperti yang dimaksud diatas mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh
Undang-undang. Asas kebebasan berkontrak contractvrijheid berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
53
diadakan. Perjanjian yang diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan yang mengikat.
Perbedaan posisi para pihak ketika perjanjian baku diadakan tidak memberikan kesempatan pada debitor untuk mengadakan real bargaining dengan
pengusaha kreditor. Debitor tidak mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendak dan kebebasannya dalam menentukan isi perjanjian. Karena itu perjanjian
baku ini tidak memenuhi elemen-elemen yang dikehendaki Psal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata dan akibat hukumnya tidak ada.
46
Tetapi keadaannya akan berbeda apabila ada debitor kuat, yaitu debitor yang pinjamannya kreditnya besar pada bank, posisi mereka akan berubah menjadi pihak
yang mempunyai kekuatan untuk mengutarakan kehendaknya dalam membuat perjanjian dan menentukan isi perjanjian bahkan untuk mengakhiri suatu perjanjian
kredit. Dalam praktek perbankan di Indonesia, bank-bank membuat perjanjian kredit
dengan 2 bentuk atau cara yaitu: 1
Perjanjian kredit berupa akta dibawah tangan 2
Perjanjian kredit berupa akta Notaris Perjanjian kredit yang dibuat baik dengan akta dibawah tangan maupun akta
Notaris, pada umumnya dibuat dengan bentuk perjanjian baku yaitu dengan cara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan pihak nasabah, menandatangani suatu
46
Mariam Darus badrul zaman, Perjanjian Baku Standard Perkembangan di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, Percetakan Alumni, 1980, Hal 13-14
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
54
perjanjian yang sebelumnya telah dipersiapkan isi atau klausul-klausulnya oleh bank dalam suatu formulir tercetak.
47
Menurut Mariam Darus Badrulzaman: Perjanjian baku adalah perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir.
48
Menurut Sutan Remy Sjahdeini: “Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya
sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan”.
49
Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya
yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. Oleh karena itu suatu
perjanjian yang dibuat dengan akta Notaris, bila dibuat oleh Notaris dengan klausul- klausul yang hanya mengambil alih saja klausul-klausul yang telah dibakukan oleh
satu pihak, sedangkan pihak yang lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan
akta Notaris itu pun adalah juga perjanjian baku. Beberapa contoh mengenai penggunaan perjanjian baku di dalam berbagai
transaksi adalah polis asuransi, konosemen perkapalan bill of lading, perjanjian jual
47
Sutan Remy Sjahdeini, Ibid, Hal. 182
48
Mariam Darus Badrulzaman, Pidato pengukuhan Jabaan Guru Besar, Op.cit, Hal. 4
49
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit , Hal. 66
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
55
beli mobil. Perjanjian credit card, transaksi-transaksi perbankan seperti perjanjian rekening koran dan perjanjian kredit, perjanjian jual beli rumah dari perusahaan real
estate, perjanjian sewa, termasuk akta –akta tanah yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta tanah PPAT.
Oleh karena perjanjian-perjanjian kredit Bank di Indonesia dibuat dalam bentuk perjanjian baku atau dibuat dengan klausul-klausul baku, maka perlu dibahas
mengenai masalah-masalah hukum yang ada atau di sekitar atau yang timbul karena perjanjian baku pada umumnya, yang dengan sendirinya juga dihadapi oleh perjanjian
bank yang merupakan perjanjian baku. Masalah-masalah yang dihadapi dalam penggunaan perjanjian baku itu adalah
terutama: pertama mengenai Keabsahan dari Perjanjian Baku itu dan kedua sehubungan dengan Pencantuman Klausul yang Memberatkan, Termasuk Klausul
Eksemsi, dalam Perjanjian Baku. 1.
Keabsahan Perjanjian baku Beberapa pendapat Sarjana Hukum Belanda yang tidak memberikan dukungan
terhadap perjanjian baku ini adalah sebagai berikut: Sluiijter mengatakan perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah
adalah seperti pembentuk undang-undang swasta legio particuliere wetgever, Syarat-syarat yang ditentukan pengusaha di dalam perjanjian itu adalah undang-
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
56
undang bukan perjanjian. Pitlo menyatakan bahwa perjanjian baku sebagai perjanjian paksa dwangcontract.
50
Menurut Sutan Remy Sjahdeini mengenai keabsahan perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan
kenyataan yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian
baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan karena itu
diterima mayarakat
51
Jadi dalam perjanjian baku, perlu diatur mengenai aturan-aturan dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya agar klausul-klausul atau ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian baku itu, baik sebagian maupun seluruhnya, mengikat pihak lainnya. 2.
Pencantuman Klausul yang Memberatkan. Termasuk Klausul Eksemsi, dalam perjanjian baku.
Masalah hukum yang terpenting berkenaan dengan banyaknya digunakan perjanjian-perjanjian baku di dunia bisnis ialah masalah yang berkaitan dengan
pencantuman klausul atau ketentuan yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya. Masalah yang menyangkut klausul yang tidak wajar sangat
memberatkan ini telah menjadi salah satu pusat perhatian para hakim yang menghadapi sengketa perjanjian yang didasarkan kepada perjanjian baku di dalam
50
Mariam Darus, Op.cit, Hal. 14
51
Sutan Remy Sjahdeini, Op.cit, Hal. 70-71
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
57
berbagai Yurisprudensi. Para ahli hukum dalam berbagai pustaka hukum telah banyak membahas mengenai hal ini dalam kaitan dengan banyaknya dipakai perjanjian-
perjanjian baku. Pada saat ini banyak negara yang telah mempunyai ketentuan undang-undang yang secara khusus mengatur klausul yang memberatkan ini.
Perhatian besar sehubungan dengan pencantuman klausul-klausul yang memberatkan dalam perjanjian baku, sebagaimana yang telah diberikan oleh para hakim dalam
berbagai yurisprudensi, ahli hukum dalam berbagai pustaka hukum dan oleh badan- badan legislatif dalam berbagai undang-undang dari berbagai negara itu, adalah
dalam rangka usaha untuk melindungi kepentingan konsumen yang merupakan pihak yang lemah dalam perjanjian baku.
Di antara klausula-klausula yang dinilai sebagai klausul yang memberatkan dan yang banyak muncul dalam perjanjian-perjanjian baku adalah yang disebut
Klausul eksemsi. Menurut Sutan Remy Sjahdeni:
“Klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya
dalam yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut”.
52
52
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, Hal. 75
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
58
Untuk istilah klausul eksemsi ini, Mariam Darus Badrulzaman menggunakan istilah klausula eksonerasi, yang digunakannya sebagai terjemahan dari istilah exonaratie
clausule yang dipakai dalam bahasa Belanda.
53
Masalah utama mengenai dimuatnya klausul-klausul yang memberatkan di dalam suatu perjanjian baku adalah keabsahan dari klausul-klausul yang
memberatkan itu. Dengan kata lain sampai sejauh mana keterikatan para pihak terhadap klausul-klausul tersebut. Apakah dengan dicantumkannya suatu klausul
yang memberatkan, misalnya yang merupakan klausul eksemsi, dalam suatu perjanjian baku atau dengan dinyatakannya oleh pihak yang satu kepada yang lain
bahwa untuk hubungan hukum diantara mereka berlaku klausul yang bersangkutan, maka pihak lain dengan sendirinya sudah terikat terhadap klausul tersebut dan
terhadap klausul itu tidak lagi ada tantangan-tantangan yuridis. Di Indonesia belum ada ketentuan undang-undang maupun yurisprudensi
yang secara spesifik memberikan aturan-aturan yang harus diperhatikan apabila suatu pihak dalam suatu perjanjian menghendaki agar suatu klausul yang memberatkan
dalam perjanjian baku berlaku bagi hubungan hukum para pihaknya dengan mitra janjinya. Berbeda dengan di Indonesia yurisprudensi dan antara pembuat undang-
undang di beberapa negara lain telah meletakkan aturan-aturan dasar yang dipatuhi apabila sesuatu pihak dalam suatu perjanjian baku menghendaki bahwa suatu klausul
yang memberatkan berlaku dan mengikat bagi hubungan hukum antara pihaknya dengan mitra janjinya.
53
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, Hal. 19
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
59
Para hakim di Inggris dan Amerika Serikat melalui berbagai yurisprudensi telah membuat beberapa aturan dasar yang dimaksud yang harus dipenuhi agar
klausul didalam perjanjian baku yang memberatkan berlaku dan mengikat. Dengan kata lain apabila aturan dasar itu tidak dipenuhi, maka hakim akan memutuskan
bahwa klausul itu tidak dapat diterima sebagai bagian dari perjanjian dan karena itu para pihak tidak terikat oleh klausul tersebut. Aturan-aturan dasar itu dibedakan
menurut jenis dokumennya, yaitu apakah dokumen perjanjian itu ditandatangani atau tidak ditandatangani. Aturan-aturan dasar itu adalah :
a. Dokumen yang ditandatangani.
Banyak dijumpai dalam kehidupan bisnis, perjanjian baku atau syarat-syarat baku yang dituangkan dalam suatu dokumen yang harus ditandatangani oleh para
pihak. Dalam kaitan ini dapat saja orang menghadapi perjanjian kredit sindikasi untuk suatu proyek yang bernilai puluhan bahkan ratusan juta dolar Amerika yang dibiayai
bersama oleh beberpa bank dihadapkan pada kenyataan bahwa perjanjian sindikasi itu sangat tebal sehingga diperlukan waktu berjam-jam lamanya untuk berhasil selesai
membaca seluruhnya, kalaupun harus memahami satu persatu syarat-syarat dalam perjanjian tersebut maka diperlukan beberapa hari untuk mempelajarinya.
Sehubungan dengan itu maka timbul pertanyaan apakah ada kewajiban hukum bagi seseorang untuk membaca dan memahami satu persatu syarat-syarat dari perjanjian
baku dimana yang bersangkutan menjadi pihak? Apakah akibatnya apabila yang bersangkutan tidak membacadengan demikian tidak pernah memahami isi
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
60
perjanjian baku tersebut dan kemudian ternyata ada ketentuan-ketentuan dan syarat- syarat dari perjanjian baku itu, yang secara tidak adil sangat memberatkan dan
merugikan pihaknya? Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dilanjutkan lagi dengan pertanyaan lain yaitu apakah akibatnya apabila yang bersangkutan memang telah
membacanya tetapi ternyata tidak memahami isi perjanjian itu karena sifatnya yang sangat tehnis bagi seorang awam, dan ternyata isinya banyak mengandung klausul-
klausul yang memberatkan yang secara tidak adil telah sangat merugikan pihaknya. b.
Dokumen yang tidak ditandatangani. Dalam kehidupan banyak dijumpai adanya perjanjian atau syarat-syarat baku
yang dituangkan dalam dokumen yang harus ditandatangani oleh para pihak, tetapi sebanyak itu pula dijumpai dalam kehidupan adanya perjanjian tertulis yang tidak
perlu ditandatangani, baik yang berdiri sendiri maupun yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian lain yang tertulis yang dibuat dan ditandatangani,
baik yang berdiri sendiri maupun yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian lain yang tertulis yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dalam hukum Inggris, suatu klausul eksemsi yang ditunjuk oleh suatu
perjanjian tertulis yang tidak ditandatangani dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian tertulis itu menurut dua cara. Pertama, apabila pihak yang
meminta agar klausul tersebut diberlakukan akan dapat membuktikan bahwa klausul tersebut telah diketahui oleh pihak lainnya atau bahwa usaha-usaha untuk
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
61
memberitahukan adanya klausul tersebut kepada pihak lainnya telah dilakukan sebelum atau pada waktu kontrak tesebut dibuat. Kedua, bahwa pihak lainnya telah
mengetahi tentang klausul tersebut atau sifat dari dokumen itu atau karena adanya course of dealings yang ajeg consistent yang menimbulkan pengetahuan kepada
pihak yang bersangkutan tentang adanya klausul tersebut. Dengan sudah makin banyaknya digunakan perjanjian-perjanjian baku dalam
transaksi-transaksi bisnis di Indonesia, seyogyanya mendorong kita semua untuk memberikan perhatian yang sangat besar kepada aturan-aturan dasar yang harus
dipatuhi oleh semua pihak dalam menggunakan perjanjian-perjanjian baku ini. Mengapa kita harus memberikan perhatian kepada aturan-aturan dasar ini
berdasarkan kepada beberapa alasan , antara lain : 1
Makin banyaknya perusahaan-perusahaan yang dalam transaksi bisnisnya sehari- hari menggunakan perjanjian-perjanjian baku.
2 Makin banyaknya penduduk Indonesia yang dalam kehidupannya sehari-hari
sangat membutuhkan jasa-jasa byang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan tersebut diatas bahkan mereka tidak dapat mengelak dari jasa-jasa tersebut. Pada
umumnya mereka ini adalah konsumen yang kedudukannya lemah yang berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang kuat, yang karena
kedudukannya yang lemah itu perlu dilindungi. 3
Makin banyak perusahaan-perusahaan asing yang bertransaksi dagang di Indonesia dengan perusahaan-perusahaan di Indonesia dengan menggunakan
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
62
perjanjian-perjanjian baku yang biasanya digunakan dinegara asalnya. Tidaklah mustahil bahwa ketentuan-ketentuan didalam perjanjian-perjanjian baku itu, yang
negara asalnya mungkin saja dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum mereka tetapi di Indonesia dapat dirasakan sebagai suatu yang memberatkan bagi
perusahaan Indonesia yang menjadi counterpart nya yang pada umunya kedudukan mereka masih sangat lemah.
Apabila kita melihat kembali uraian dimuka mengenai aturan-aturan dasar bagi berlaku dan mengikatnya klausul-klausul perjanjian baku bagi mitra janjinya
yang harus diperhatikan oleh pihak yang menyodorkan perjanjian baku sebagaimana yang berlaku di luar negeri, maka aturan-aturan dasar tersebut dapat dibagi dalam dua
jenis aturan dasar. Aturan dasar yang pertama adalah yang menyangkut substansi atau isi dari perjanjian baku itu. Aturan dasar yang kedua ialah yang menyangkut
prosedurnya. Yaitu aturan dasar yang menyangkut cara klausul tersebut disajikan atau dihadirkan oleh pihak yang menyodorkan perjanjian baku tersebut.
Bila tadi telah diuraikan mengenai aturan-aturan dasar mengenai aturan-aturan dasar, baik yang menyangkut substansinya maupun yang menyangkut prosedurnya,
yang diterapkan di berbagai mancanegara, lalu bagaimanakah halnya di Indonesia. Dalam hukum perjanjian Indonesia KUHPerdata tidak ada asas hukum yang dapat
dipakai sebagai tolak ukur guna menentukan apakah substansi suatu klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu klausul yang secara tidak wajar sangat
memberatkan bagi pihak lainnya. Pasal 1337 dan 1339 KUHPerdata dapat dipakai
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
63
sebagai salah satu tolak ukur yang dimaksud. Pasal 1337 lengkapnya berbunyi sebagai berikut : “Suatu kausa adalah terlarang, apabila kausa itu dilarang oleh
undang-undang, atau bertentangan dengan moral atau dengan ketertiban umum”. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, moral atau ketertiban umum. Pasal 1339 berbunyi : “Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan
tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Pasal
ini haruslah ditafsirkan bahwa bukan hanya ketentuan-ketentuan dari kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang yang membolehkan atau berisikan suruhan saja yang
mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian tetapi juga ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata
lain larangan-larangan yang ditentukan atau hal-hal yang dilarang oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat dari suatu perjanjian.
Khusus mengenai kebiasaan, larangan-larangan menurut kebiasaan hanya mengikat perjanjian tersebut apabila syarat-syarat tertulis dalam perjanjian itu tidak
menentukan lain, dengan demikian sebenarnya Pasal 1337 dan Pasal 1339 KUHPerdata mempunyai tujuan yang sama.
Adalah wajar apabila undang-undang merupakan salah satu tolak ukur sebagaimana yang dikatakan oleh Padilla bahwa para pihak tidak dapat memasukkan
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum ke dalam
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
64
suatu perjanjian karena hukum mempunyai supremasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian integral dari setiap perjanjian.
54
C. Hubungan Hukum Antara Bank Dan Nasabah
Undang-undang Perbankan 1992 pasal 1 ayat 1: menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Lebih lanjut dikemukakan oleh undang-undang tersebut bahwa fungsi utama
perbankan adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Pengerahan dana dari masyarakat dan penyalurannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit merupakan dua fungsi utama bank yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Fungsi pemberian kredit tidak mungkin ada tanpa ada fungsi pengerahan dana.
Berdasarkan kedua fungsi tersebut diatas, yaitu fungsi pengerahan dana dan fungsi penyaluran dana, maka terlihat adanya 2 dua hubungan hukum antara bank
dan nasabah yaitu: 1.
Hubungan hukum antara bank dan penyimpan dana; dan 2.
Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur.
55
Berkaitan dengan kedua hubungan hukum antara bank dan nasabah tersebut di atas, terdapat aspek-aspek hukum yang sampai sekarang di Indonesia masih menjadi
masalah yang harus dipecahkan. Antara lain tetapi yang paling utama, adalah yang
54
Sutan Remi Sjahdani. Op Cit. Hal 119
55
Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, Hal. 127
Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008
65
menyangkut bentuk dan sifat dari masing-masing hubungan hukum itu. Yang menyangkut bentuk dari masing-masing hubungan hukum itu, ketentuan-ketentuan
dari lembaga hukum apa yang harus diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu. Dalam hal ini dibatasi hanya membicarakan hubungan hukum antara nasabah
debitor dengan bank yang dituangkan dalam perjanjian kredit bank yang dalam praktek pada umumnya memakai perjanjian standar Standard contract atau
perjanjian baku.
D. Beberapa Permasalahan Hukum dari Perjanjian Kredit yang Merugikan Kedudukan Bank