Beberapa Permasalahan Hukum dari Perjanjian Kredit yang Merugikan Kedudukan Bank

65 menyangkut bentuk dan sifat dari masing-masing hubungan hukum itu. Yang menyangkut bentuk dari masing-masing hubungan hukum itu, ketentuan-ketentuan dari lembaga hukum apa yang harus diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu. Dalam hal ini dibatasi hanya membicarakan hubungan hukum antara nasabah debitor dengan bank yang dituangkan dalam perjanjian kredit bank yang dalam praktek pada umumnya memakai perjanjian standar Standard contract atau perjanjian baku.

D. Beberapa Permasalahan Hukum dari Perjanjian Kredit yang Merugikan Kedudukan Bank

Berkaitan dengan perjanjian kredit bank, dijumpai juga adanya permasalahan- permasalahan hukum yang bila dilihat dari kacamata kepentingan bank sangat merugikan bank. Beberapa permasalahan yang penting yang pada dewasa ini dihadapi oleh bank dalam kaitannya dengan perjanjian kredit, permasalahan-permasalahan itu adalah : 1. Tidak Dicantumkannya Klausul-Klausul Lingkungan Hidup Dapat Membahayakan Bank Terhadap Gugatan Ganti Kerugian Dan Tuntutan Pidana Karena Pencemaran Lingkungan Dengan berlakunya Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang ketentuan- ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup” 56 dan Undang-undang perbankan 1992 serta penerimaan agunan berupa properti nasabah debitur oleh bank, maka ada 3 56 Selanjutnya disebut Undang-Undang Lingkungan Hidup Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 66 alasan mengapa bank harus menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan, alasan yang pertama adalah yang berkaitan dengan ketentuan Pasal 6 ayat 1 UULH. Menurut pasal 6 ayat 1 UULH tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat 1 undang-undang tersebut bahwa yang dimaksudkan dengan “setiap orang” pada Pasal 6 ayat 1 itu seperti juga dimaksudkan pada paal 5 dan pasal-pasal lainnya adalah “orang seorang”, “kelompok orang”, atau “badan hukum”. Maka bank sebagai badan hukum 57 mempunyai kewajiban pula berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. 2. Grosse Akta Perjanjian Kredit Notariele Schuldbrief Ex Pasal 224 HIR Pada akhir-akhir ini penuangan perjanjian kredit dalam bentuk akta notaris telah pula menghadapi masalah hukum, yang oleh dunia perbankan dirasakan sebagai pukulan berat. Adalah lazim bagi bank untuk membuat perjanjian kredit dalam bentuk notaris, terutama untuk kredit-kredit yang menurut pertimbangan masing- masing bank yang bersangkutan dinilai sebagai kredit-kredit besar. Tujuan bank untuk membuat perjanjian kreditnya dalam bentuk akta notaris adalah untuk dapat memanfaatkan ketentuan pasal 224 HIR, selama ini kalangan notaris dan perbankan berpendapat bahwa grosse akta perjanjian kredit adalah notarielle schuldbrief yang memenuhi ketentuan ex pasal 224 HIR. 57 Sesuai dengan bentuk hukum suatu bank umum menurut Pasal 21 Undang-undang perbankan 1992 Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 67 Kalangan perbankan berpendapat bahwa dengan adanya klausul pengakuan hutang tersebut, maka grosse akta perjanjian kredit telah identik dengan grosse surat hutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 HIR, sehingga dengan demikian apabila debitor tidak melunasi hutangnya wanprestasi, bank berdasarkan grosse akta yang bertitel eksekutorial “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dapat langsung memohon eksekusi kepada pengadilan untuk memaksa debitur membayar hutangnya kepada bank, tanpa harus melakukan gugatan perdata. Dengan cara yang demikian dalam praktek sangat membantu penyelesaian kredit macet dan dapat berjalan lancar karena pengadilan Negeri selalu mengabulkan permohonan eksekusi grosse akta berdasarkan pasal 224 HIR walaupun akadnya berupa grosse akta perjanjian kredit. 3. Klausul Arbitrase Dalam Perjanjian Kredit Sebagai Alternatif Untuk Menyelesaikan Kredit Macet Adalah Shidarta P. Soerjadi, yang untuk pertama kalinya menganjurkan kepada umum untuk memanfaatkan Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI untuk menyelesaikan sengketa antara bank dan nasabah debitor dengan mencantumkan klausul arbitrase pada setiap perjanjian kredit. “Kepada masyarakat perlu diberi penerangan”, demikian disarankannya, “mengenai manfaat penyelesaian sengketa dibidang perkreditan pada arbitrase dan diharapkan kepada para pengusaha Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 68 mulai membiasakan diri mencantumkan klausula arbitrase pada setiap pembuatan perjanjiannya, sehingga bila timbul sengketa dapat diminta putusan dari BANI. 58 Saran shidarta ini dikemukakan dalam simposium aspek-aspek masalah perkreditan yang diadakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun 1981 yang lalu. Sayang sekali sampai sekarang saran yang sangat baik ini tidak mendapat sambutan dari perbankan dan pengusaha. Dalam perjanjian-perjanjian kredit yang baku yang dikeluarkan oleh bank-bank di Indonesia sampai sekarang belum ada yang memuat klausul arbitrase didalamnya. 4. Pelunasan Kredit Oleh Nasabah Debitor Sebelum Jangka Waktu Kredit Dapat Merugikan Bank Adalah sudah menjadi pengertian yang lazim dalam praktik perbankan di Indonesia bahwa kecuali bila terjadi hal-hal yang diisyaratkan didalam perjanjian kredit, misalnya nasabah debitur melakukan pelanggaran atas syarat-syarat kredit yang dapat diklasifikasikan sebagai event of default, maka bank sebelum berakhirnya jangka waktu kredit tidak berhak untuk menarik kembali kredit itu, sehingga selama jangka waktu itu bank tidak berhak melarang nasabah debitor untuk menggunakan kelonggaran tarik kreditnya. Dilihat dari kepentingan nasabah debitor ini merupakan tujuan dari perlunya ditetapkan jangka waktu kredit. Apabila bank tidak berhak menarik kembali kredit itu selama jangka waktu kredit masih berjalan. Maka bagaimanakah dengan hak nasabah debitor untuk 58 Sidharta P. Soerjadi, segi-segi hukum perkreditan di Indonesia, dimuat dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1987, Hal. 31-32 Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 69 melunasi kredit sebelum jangka waktu kredit berakhir. Kebiasaan dalam praktik perbankan yang berlaku di Indonesia ialah bahwa sepanjang tidak diperjanjikan sebaliknya, nasabah debitor dapat sewaktu-waktu membayar angsuran-angsuran kredit sebelum waktu yang ditentukan didalam jadwal angsuran atau untuk melunasi seluruh baki debet pinjaman sebelum jatuh tempo perjanjian kredit. 5. Tidak Lengkap Dan Jelasnya Rincian Klausul-Klausul Representations And Warranties Dapat Melemahkan Kedudukan Bank Hanya baru beberapa tahun ini kita jumpai klausul Representations and warranties didalam perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta nasional di Indonesia. Pada perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank asing, terutama bank-bank asing yang berasal dari negara-negara yang menganut sistem common law. Klausul ini selalu dapat dijumpai. Pencantuman klausul ini di dalam perjanjian kredit bank-bank asing di Indonesia atau pengaruh dari perjanjian-perjanjian syndicated loan antara bank-bank pemerintah dan swasta nasional tersebut dengan bank-bank luar negeri dan bahkan pengaruh dari mempelajari perjanjian-perjanjian kredit bank-bank di luar negeri. Oleh karena pencantuman klausul khusus ini didalam perjanjian kredit bank- bank di Indonesia berasal atau dipengaruhi oleh perjanjian-perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank luar negeri atau bank-bank asing di Indonesia, maka perlu kiranya diketahui makna dari representation dan warranty yang dimaksudkan didalam klausul itu. Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 70 6. Tidak Dicantumkannya Klausul Conditions Precedent Syarat-Syarat Tangguh Melemahkan Kedudukan Bank Yang dimaksudkan dengan Conditions precedent pada suatu perjanjian kredit ialah peristiwa atau kejadian yang harus dipenuhi atau terjadi terlebih dahulu setelah perjanjian kredit ditandatangani sebelum nasabah debitor dapat menggunakan kreditnya. Dengan kata lain setelah perjanjian kredit ditandatangani, nasabah debitor belum seketika itu mempunyai hak untuk menggunakan kreditnya. Atau sebaliknya pula setelah ditandatanganinya perjanjian kredit oleh kedua belah pihak, bank belum berkewajiban untuk menyediakan kredit bagi nasabah debitur sebagaimana yang diperjanjikan. Hak nasabah debitor untuk dapat menarik kredit tersebut tergantung kepada terlebih dahulu telah dipenuhinya hal-hal yang disebutkan didalam klausul tentang conditions precedent tersebut. Dilihat dari KUH Perdata maka conditions preceden adalah syarat-syarat tangguh sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 1253 jo 1263. Pada waktu yang lalu, yaitu 25 atau 30 tahun yang lampau perjanjian kredit yang dibuat oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta nasional yang mencantumkan klausul tentang conditions precedent. Sebagai pengaruh bank-bank asing, pada sat ini sudah banyak kita jumpai bank-bank mencantumkan klausul tentang conditions precedent. Sebagai pengaruh bank-bank asing, pada saat ini sudah banyak kita jumpai bank-bank mencantumkan klausul tentang conditions precedent didalam perjanjian kreditnya. Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 71 7. Penutupan Asuransi Dengan Bankers Clause Adalah Untuk Kepentingan Bank Dan Bankers Clause Tidak Dapat Dicabut Sepihak Oleh Penanggung Agunan merupakan source of the last resort bagi pelunasan kredit. Artinya, apabila pelunasan kredit tidak dapat diharapkan dari hasil usaha nasabah debitor karena usaha tersebut menjadi macet, maka hasil penjualan barang agunan akan menjadi tumpuan terakhir bagi bank sebagai sumber pelunasan kredit tersebut. Berkenaan dengan pentingnya kedudukan atau peranan agunan terebut, maka bank harus berusaha agar agunan tersebut tidak hilang atau musnah. Salah satu upaya yang terpenting, bahkan yang terutama, dalam menjaga agunan itu ialah penutupan asuransi terhadap barang-barang yang menjadi agunan. Dengan penutupan asuransi tersebut, maka bila sampai terjadi barang-barang tersebut hilang atau musnah, maka bank akan dapat memperoleh penggantian kerugian akibat hilang atau musnahnya barang-barang tersebut sebagai sumber pelunasan kredit. Untuk menjaga kepentingan bank secara demikian ini, maka bank memperjanjikan di dalam perjanjian kredit bahwa nasabah debitor harus menutup asuransi kerugian atas barang-barang yang diagunkan. 8. Praktik Nasabah Debitor Untuk Melakukan Under Insurance atau Over Insurance yang merugikan bank Nasabah debitor diisyaratkan oleh bank untuk menutup asuransi pada asuransi yang bonafide agar supaya apabila terjadi kerugian, perusahaan asuransi yang bersangkutan mampu membayar ganti rugi yang dituntut, asuransi yang tidak dapat diagih tidak mempunyai nilai sama sekali, bank pada umumnya mempunyai daftar Hetty Herawaty : Tinj auan Yuridis Atas Kesetaraan Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, 2008 USU Repository © 2008 72 perusahaan-perusahaan asuransi yang telah dinilai oleh bank bersangkutan sebagai perusahaan-perusahan asuransi yang bonafide. Disamping dikehendaki oleh bank bahwa asuransi ditutup pada perusahaan asuransi yang bonafide, juga dikehendaki penutupan asuransi dilakukan untuk jenis asuransi tertentu dan untuk nilai asuransi yang cukup. Nasabah debitor yang belum insurance minded dan sekedar menganggap penutupan asuransi hanya untuk memenuhi formalitas bank saja. Selalu berusaha untuk menutup asuransi terhadap resiko kerugian yang preminya paling murah. Bila terjadi hal yang demikian ini, bank akan meminta kepada nasabah debitur untuk menutup asuransi terhadap resiko kerugian yang dapat menjamin kepentingan bank. Misalnya bila nasabah debitur menutup asuransi hanya untuk resiko total loss only t.l.o sedangkan dilihat dari segi kepentingan bank seyogianya ditutup untuk resiko all risk, maka bank akan meminta nasabah debitor untuk mengubah penutupan asuransi dari t.l.o menjadi all risk.

E. Bank Dan Nasabah Bargaining Power Tidak Seimbang