a. Seseorang yang melakukan tindak pidana dan diancam pidana tidak dijatuhi hukuman pidana jika tindakan tersebut belum diatur di dalam undang-undang.
b. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang tanpa adanya kesalahan yang telah dilakukan.
c. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang, jika tidak terdapat sifat- sifat melawan hukum terhadap tindakan pidana yang telah dilakukannya .
d. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang, jika tidak terdapat unsur- unsur subjektif terhadap tindakan pidana yang telah dilakukannya.
e. Tidak dijatuhi hukuman pidana terhadap seseorang, jika tidak terdapa unsur- unsur objektif terhadap tindakan pidana yang telah dilakukannya.
31
B. Pembagian Tindak Pidana
1. Menurut Hukum Pidana Islam
Jarimah dapat terbagi menjadi beberapa macam, yaitu
Dilihat dari segi hukumannya jarimah dibagi menjadi tiga, yaitu jarimah hudud, jarimah Qishas
atau diyat, dan jarimah ta’zir. a. Jarimah Hudud
Hudud secara bahasa berarti larangan, sedangkan secara istilah adalah
hukuman yang sudah ditentukan sebagai hak Allah.
32
Dan menurut bahasa kata had berarti al-man’u cegahan. Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan
hukuman had. Hukuman had adalah hukuman yang ditentukan kadarnya sebagai hak Allah. Oleh karena itu hukuman had merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut
31
Pratiwi Prasojo, Sistem Hukum Indonesia, artikel diakses pada 5 Februari 2009 dari http:mydailythought.googlepages.comDraftBukuAjarPHI.pdf
32
Achmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002, hlm 243
tidak digugurkan oleh perorangan orang yang yang menjadi korban atau keluarganya.
33
Dari pengertian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa karakteristik dari jarimah
hudud adalah sebagai berikut: 1. Hukuman tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah
ditentukan oleh nash Al-Quran maupun Hadis nabi dan tidak ada batas minimal dan maksimal.
2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata atau kalau ada hak manusia disamping hak Allah maka hak Allah lebih dominan.
34
Maka yang termasuk dalam Jarimah Hudud ada 7 tujuh macam, yaitu 1 Jarimah Zina
pelecehan seksual; 2 Jarimah Qadzaf ; 3 Jarimah Syurb al-Khamar minum minuman dan obat-obatan terlarang ; 4 Jarimah sariqah pencurian; 5
Jarimah Hirabah perampokan ; 6 Jarimah Riddah beralih atau pindah agama ;
7 Jarimah bughah pemberontakan. b. Jarimah QishasDiyat
Secara harfiah Qishash dapat diartikan memotong atau membalas. Qishash menurut hukum pidana islam adalah pembalasan setimpal yang dikenakan kepada
palaku tindak pidana atas sanksi perbuatan yang dilakukannya. Sedangkan Diat yang berarti denda dalam bentuk benda atau harta berdasarkan ketentuan yang harus
dibayar oleh pelaku pidana kepada pihak korban atas sanksi perbuatan yang dilakukannya.
35
Adapun karakteristik dari jarimah qisasdiyat, yaitu:
36
33
Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana islam.Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm 254
34
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’Al-Jinayi Al-Islamiy, hlm 79
35
Ali, Hukum Pidana Islam,, hlm. 11
36
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000,hlm 126
1 Hukuman-hukumannya telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas tertinggi dan batas terendah.
2 Merupakan hak perseorangan, dengan pengertian bahwa korban bisa memaafkan pelaku, dan apabila dimaafkan , maka hukuman tersebut diganti dengan membayar
diyat .
Yang termasuk dalam jarimah Qishas dan diyat ini hanya dua macam, yaitu pembunuhan dan penganiayaan. Namun jika dua macam tersebut diperluas , maka
menjadi lima macam, yaitu:
37
1 Pembunuhan sengaja 2 Pembunuhan menyerupai sengaja
3 Pembunuhan karena kesalahan 4 Penganiayaan sengaja
5 Penganiayaan tidak sengaja c. Jarimah Ta’zir
Ta’zir jika diartikan secara etimologis berarti menolak atau mencegah. Dan
pengertian secara terminologis dalam konteks Fiqh Jinayah adalah :
ی = ﺕ Z ﺕ = ﻡ ﺏ J
ﻡ M ی 6 ﺏ
یV ی = I
ﻡ Y
Artinya : “Ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar
hukumnya oleh syara syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim.”
38
Ta’zir merupakan hukuman yang menjadi kekuasaan penguasa di dalam
menentukan kadar hukuman bagi pelaku tindak pidana dan hakim bertugas memutuskan hukuman terhadap pelaku tindak pidana meski tetap mengacu kepada
37
A. Hanafi, , Asas-asas Hukum Pidana Islam, hlm 8
38
Rahmat hakim, Hukum Pidana Islam, hlm. 141
syariat yang berasal dari Allah SWT. Dalam jarimah ta’zir hakim dapat memilih hukuman yang lebih tepat bagi pelaku sesuai dengan kondisi pelaku, situasi dan
tempat kejahatan.
39
Di dalam jarimah ta’zir hakim dapat mempunyai hak lebih besar untuk menentukan bentuk dan berat hukumannya. Dan oleh sebab itu agar pelaku yang
melakukan jarimah hudud yang kurang syaratnya tidak lolos begitu saja dan tentunya kita juga mengetahui untuk menjatuhkan hukuman hudud diperlukan syarat yang
hanya mengacu kepada nash Al-Quran dan Hadis. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bentuk pidana ta’zir ini merupakan
pengembangan lebih lanjut dari gagasan-gagasan pemidanaan dalam al-Quran dan as- Sunnah, khususnya terhadap bentuk-bentuk tindak pidana yang tidak atau belum
diatur dalam kedua sumber hukum yaitu al-Quran dan as-Sunnah. Hal ini dimungkinkan karena ketentuan pidana yang secara tegas diatur dalam al-Quran dan
contoh-contoh dari Nabi Muhammad SAW, memang masih terbatas pada empiris dizaman nabi.
40
Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta’zir.
Ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
41
1 Hukumannya tidak ditentukan dan tidak terbatas. Hukuman tersebut tidak ditentukan oleh syara dan tidak ada batas minimal dan maksimal
2 Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa ulil amri. Dan hakim mendapatkan hak untuk menentukan bentuk dan berat hukumannya.
2. Menurut Hukum Pidana Positif
39
Abu Hasan Al-Mawardi, Al-ahkam As-Sultahaniyah, hlm.273
40
Jimly ash-Shidiqie, Pembaharuan hukum Pidana Islam
N
Studi Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi Hukum Fiqh
. Bandung: Angkasa, 1996 hlm.144
41
Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’Al-Jinayi Al-Islamiy, hlm 24-25
Kalau kita lihat dari sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berlaku di Indonesia, tindak pidana ini terdiri dari dua jenis tindak pidana yaitu “kejahatan”
misdrijven dan “pelanggaran” oventredingen. Di dalam KUHP yang berlaku di Indonesia bab tentang kejahatan dimaksukkan kedalam buku II pasal 104-488
KUHP, sedangkan bab tentang pelanggaran dimasukkan kedalam buku III pasal 489-569 KUHP.
42
Selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, perbuatan pidana biasanya dalam teori dan praktek dibedakan pula antara lain :
a. Delik dolus dan delik culpa Delik dolus mempunyai pengertian delik yang dilakukan karena adanya unsur
kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 338 dan pasal 351 KUHP. Di dalam pasal 338 KUHP dijelaskan sengaja
merampas nyawa orang lain , sedangkan di dalam pasal 351 KUHP dijelaskan mengenai penganiayaan yang disamakan dengan sengaja merusak kesehatan
seseorang. Di dalam kedua pasal tersebut unsur kesengajaan mempunyai dasar yang kuat untuk menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa.
43
Sedangkan delik culpa disini mempunyai pengertian delik yang dilakukan karena dengan suatu kealpaan dalam melakukan suatu tidak pidana. Kealpaan disini
maksudnya suatu kesalahan yang dilakukan oleh seseorang tanpa didahului dengan unsur kesengajaan dalam melakukan suatu tindak pidana. Hal tersebut terkandung di
dalam pasal 359 dan 360 KUHP. Pasal 359 KUHP menjelaskan karena kesalahan
42
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002 ed. 1 hlm.3
43
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1996, hlm 169
menyebabkan orang lain mati dan pasal 360 KUHP menjelaskan karena kesalahan menyebabkan orang lain mendapat luka-luka .
44
b. Delik commisionis dan delik ommisionnis Delik commsionis adalah suatu delik yang melanggar larangan dengan berbuat
aktif. Maksudnya melakukan suatu perbuatan yang memang sudah jelas dilarang oleh aturan-aturan pidana yang sudah ada. Misalnya di dalam pasal 362, 372, dan 378
KUHP yang menjelaskan suatu aturan pidana tentang pencurian, penggelapan dan penipuan.
45
Dan selanjutnya delik ommisionnis yang berarti delik yang dilakukan dengan berbuat secara pasif. Delik ini berlawanan dengan delik commsionis yang melakukan
delik dengan berbuat aktif. Maksudnya berbuat secara pasif adalah seseorang mengetahui akan adanya suatu kejahatan tetapi tidak berbuat apa-apa dan dengan
sengaja tidak melakukan suatu apapun untuk mencegah terjadinya suatu tindak pidana, seperti yang terdapat di dalam pasal 164 KUHP yang menjelaskan bahwa
dengan sengaja seseorang tidak melaporkan kepada pegawai negeri kehakiman atau kepolisian dimana ia mengetahui suatu permufakatan kejahatan atau adanya suatu
kejahatan dan ia masih mempunyai waktu untuk mencegah suatu kejahatan, akan tetapi ia hanya berdiam diri secara pasif tidak melakukan suatu upaya apapun.
46
c. Delik Biasa dan Delik aduan Delik biasa adalah delik yang menjelaskan bahwa jika pihak pegawai negeri
kehakiman atau kepolisian telah mengetahui adanya suatu tindak pidana maka dapat langsung dilakukan suatu proses tindak pidana terhadap pelaku kejahatan. Misalnya
44
Ibid , hlm 189
45
Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994, cet ke-2, hlm. 99
46
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2002 hlm. 76
pasal 362 KUHP, jika pihak kepolisian sudah mengetahui adanya suatu tindak pidana pencurian maka dapat langsung dilakukan suatu proses tindak pidana.
47
Kemudian delik aduan yang berarti delik yang proses pidananya memerlukan pengaduan dari pihak korban atau pihak yang merasa dirugikan atas suatu tindak
pidana. Delik aduan terdapat di dalam pasal 310 dan pasal 284 KUHP. Di dalam pasal 310 tentang penghinaan menjelaskan jika seseorang menyerang kohormatan dan nama
baik orang lain akan tetapi orang tersebut tidak melakukan pengaduan ataupun pelaporan terhadap suatu yang menyerang kehormatan dan nama baiknya yang
dilakukan orang lain, maka tidak bisa dilakukan suatu proses tindak pidana oleh pihak kepolisian.
48
d. Delik selesai dan delik yang berlangsung terus menerus Delik selesai disini merupakan delik yang terjadi dengan melakukan suatu
tindak pidana tertentu. Maksudnya delik tersebut dilakukan dengan tidak menimbulkan suatu keadaan yang berlangsung terus menerus. Misalnya yang terdapat
pada pasal 368 KUHP menjelaskan tentang memaksa seseorang dengan kekerasan untuk memberikan barang atau kepunyaannya maksudnya jika barang atau kepunyaan
seseorang telah diberikan kepada pelaku kejahatan maka keadaan dipaksa oleh pelaku kejahatan untuk memberikan barang atau kepunyaannya sudah tidak berlangsung lagi
atau selesai.
49
Kemudian delik yang berlangsung terus-menerus merupakan delik yang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus menerus, delik ini tentunya berlawanan
47
Topo Santoso, Hukum Pidana,artikel diakses pada tanggal 1 februari 2009 dari http:staff.ui.eduinternal132108639materialHUKUMPIDANA1.pdf.
48
Pratiwi Prasojo, Sistem Hukum Indonesia, artikel diakses pada 5 Februari 2009 dari http:mydailythought.googlepages.comDraftBukuAjarPHI.pdf
49
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, hlm 100
dengan delik selesai tidak berlangsung secara terus-menerus. Delik berlangsung terus- menerus terdapat didalam pasal 333 KUHP. Pasal ini menjelaskan keadaan yang
berlangsung terus-menerus dengan merampas kemerdekaan seseorang secara terus- menerus maksudnya keadaan seseorang yang dirampas kemerdekaanya itu
berlangsung secara terus-menerus sampai si korban dilepas atau mati.
50
e. Delik formal dan delik materil Delik formal berarti delik yang bentuk perbuatannya sudah dirumuskan di
dalam undang-undang. Maksudnya suatu perbuatan merupakan perbuatan yang dilarang dan perbuatan tersebut dirumuskan tanpa mempersoalkan akibat dari
tindakan tersebut. Misalnya pada pasal 160, 209, 242, 263, 362 KUHP. Oleh karena itu akan dijelaskan di dalam pasal 209 tentang penyuapan. Penyuapan merupakan
suatu perbuatan yang dilarang dan sudah dirumuskan dalam bentuk perbuatannya.
51
Selanjutnya delik materil merupakan delik yang menyebutkan akibat tertentu dari suatu tindak pidana, dengan atau tanpa menyebut perbuatan tertentu. Maksudnya
suatu tindakan memang merupakan suatu tindakan yang dilarang akan tetapi baru bisa dikatakan ada suatu tindak pidana jika terdapat akibat perbuatan tersebut. Misalnya
pada pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dapat dianggap melakukan tindak pidana pembunuhan jika telah terjadi perampasan nyawa seseorang.
52
f. Gabungan Perbuatan Pidana. Ada tiga macam gabungan tindak pidana, yaitu:
1 Eendosche samenloop gabungan berupa satu perbuatan
50
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, hlm 77
51
Topo Santoso, Hukum Pidana,artikel diakses pada tanggal 1 februari 2009 dari http:staff.ui.eduinternal132108639materialHUKUMPIDANA1.pdf
52
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, hlm 99
Gabungan berupa satu perbuatan dapat diartikan melakukan satu perbuatan tindak pidana tetapi masuk juga kedalam aturan pidana yang lain. Maksudnya adalah
seseorang yang melakukan satu tindak pidana tertentu tetapi ia bisa dijerat ke dalam aturan pidana yang lain. Dan hukuman yang dijatuhkan adalah hukuman yang paling
berat sebagaimana ketentuan di dalam pasal 63 KUHP.
53
2 Voorgezette Handeling Voorgezette handeling
adalah gabungan beberapa perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana baik kejahatan atau pelanggaran yang mempunyai kelanjutan
antara satu perbuatan dengan perbuatan yang lain. Hal ini dimaksudkan bahwa jika suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana yang berkelanjutan maka akan
diterapkan satu aturan pidana, akan tetapi jika berbeda-beda maka dijatuhkan hukuman yang paling berat. Dan hal tersebut dapat dikatakan hampir sama dengan
pengertian yang dibahas sebelumnya yaitu dijatuhkan hukuman yang paling berat yang diatur di dalam pasal 64 KUHP.
54
3 Meerdadsche Samenloop gabungan beberapa perbuatan Meerdadsche Samenloop
yaitu beberapa gabungan perbuatan yang berdiri sendiri yang tidak ada hubungannya satu sama lain dan masing-masing perbuatan
tersebut merupakan tindak pidana maka akan diancam dengan pidana pokok yang sejenis dan dijatuhkan hanya satu pidana saja. hal ini diatur di dalam pasal 65 dan 66
KUHP.
55
C. Tujuan Pemidanaan 1.
Menurut Hukum Pidana Islam
53
Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hlm 149
54
Ibid, hlm 147
55
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, hlm 390
Di dalam syariat islam yang menjadi tujuan pokok di dalam sebuah penjatuhan hukuman adalah sebagai berikut :
56
a. Pencegahan;
b. Pengajaran;
c. Serta pendidikan
a. Pencegahan Pencegahan merupakan suatu tujuan untuk menahan seseorang untuk tidak
mengulangi perbuatannya lagi dan tidak dilakukan secara terus-menerus dalam bentuk melakukan sebuah jarimah. Dalam hal ini pencegahan juga dimaksudkan supaya
orang lain mengetahui bahwa jika seseorang melakukan jarimah, maka akan diberlakukan pula hukuman yang sama terhadapnya. Misalnya, jika seseorang
mencuri dan mencapai nisab pencurian, maka akan dikenakan hukuman potong tangan terhadapnya. Oleh karena itu, pencegahan dimaksudkan supaya orang lain
dapat menahan diri untuk tidak melakukan perbuatan jarimah lagi dan untuk mencegah orang lain untuk ikut melakukan jarimah serta menjauhakan diri dari
kehidupan yang dapat memicu untuk berbuat jarimah.
57
b. Pengajaran Pengajaran yang dimaksudkan disini merupakan suatu usaha untuk
memberikan pelajaran dalam hal berbuat kebaikan untuk setiap orang serta dimaksudkan supaya setiap orang melakukan kesadaran untuk tidak berbuat jarimah
bahkan membenci perbuatan tersebut. Kesadaran disini dimaksudakan supaya setiap
56
. A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam hlm.191.
57
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang, 2002, hlm 37.
orang dapat berfikir panjang untuk melakukan jarimah karena mengetahui hukuman yang akan diterima jika tertangkap.
58
d. Pendidikan Kemudian yang terakhir pendidikan yang sebenarnya mempunyai pegertian
yang tidak jauh berbeda dengan pengajaran. Di dalam tujuan pendidikan, syariat islam dimaksudkan untuk membentuk manusia yang baik yang mempunyai rasa saling
menghormati serta mencintai sesamanya. Oleh karena itu setiap orang harus mengetahui batasan hak dan kewajibannya sehingga dapat mempuyai rasa kasih
sayang terhadap setiap orang. Jarimah yang dilakukan oleh kejahatan dapat menimbulkan amarah sehingga dapat menimbulkan reaksi dan balasan dari
masyarakat. Maka tujuan dari hukuman adalah untuk dapat menimbulkan rasa keadilan serta mendidik pelaku kejahatan untuk menjadi manusia yang lebih baik.
59
Untuk penjatuhan hukuman terhadap pelaku jarimah yang dijelaskan di dalam Al-Quran hanya terhadap beberapa jenis kejahatan saja, sedangkan untuk kejahatan
lainnya Al-Quran hanya memberikan kaidah-kaidanya saja, akan tetapi untuk menentukan jenis hukumannya Al-Quran memberikan dasar-dasar yang berlaku
secara umum, yaitu bahwa hukuman itu harus sebanding dengan apa yang dikerjakannya,
60
sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran :
P 1u1 0 A
=iƒ„ 3 iƒ„ 3
8 n
d
.......… N
[\ ]
Artinya: “Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa Ass- syura42 : 40 ”.
58
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam hlm 192.
59
Abdul Qadir ‘Audah, Tasyri’ al-Jinai al-Islami, hlm 20.
60
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, hlm. 66
Di dalam penjatuhan hukuman, hukum pidana islam tidak mengenal adanya pertanggung jawaban secara kolektif , Namun hanya mengenal pertanggung
jawaban secara individual, sebagaimana firman Allah :
-Dm … ST1o
E W`1y: Hm
qi• ~ -
ﺙ = N
`a ]
Artinya: “Setiap jiwa terikat dengan apa yang dilakukannya Al-Mudatsir 74:38 ”
Maka dapat dikatakan bahwa pertanggung jawaban pribadi individual disini dimaksudkan supaya pelaku jarimah dapat memperbaiki dirinya dan tidak
mengulangi poerbuatannya lagi. Misalnya, di dalam jarimah pembunuhan yang dilakukan secara sengaja, jika dari pihak korban telah memaafkan maka pelaku harus
membayar diyat yang harus dibayarnya sendiri. Sementara itu Ahmad Hanafi mengemukakan mengenai tujuan penjatuhan hukuman di dalam hukum pidana islam
ialah untuk pencegahan, pengajaran, pendidikan, baik pelakunya sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Maka dapat dikatakan tujuan jangka panjang dari hukum
pidana islam disini untuk memberikan kemaslahatan bagi umat manusia serta keadilan di dalam penerapan hukum khususnya hukum pidana.
61
Dan di dalam pembuatan suatu hukum menurut beberapa para ahli hukum islam mengandung tujuan-tujuan dari syariah, dan para ahli hukum islam tersebut
mengklasifikasikannya ke dalam beberapa bagian. Bagian-bagian tersebut adalah sebagai berikut:
62
a. Kebutuhan primer daruriyyat b. Kebutuhan sekunder hajiyyat
c. Kebutuhan pelengkap tahsiniyyat a. Kebutuhan primer daruriyyat
61
A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam h.225
62
Ali, Hukum Pidana Islam, h. 13
Kebutuhan primer daruriyyat adalah kebutuahan utama yang harus ada untuk terwujudnya maslahah.
63
Terjaminnya suatu kebutuhan ini maka akan tercipta suatu keamanan dan ketertiban, sedangkan jika tidak maka akan timbul kekacauan
dan ketidaktertiban di mana-mana. Dan di dalam hukum islam kita mengenalnya dengan istilah al maqasid al syari’ah al khamsah tujuan tujuan syariah, dan terbagi
ke dalam beberapa bagian, yaitu 1 hifzh al-din memelihara agama, 2 hifzh al-nafs
memelihara jiwa, 3 hifzh al-aql memelihara akal pikiran, 4 hifzh al- nasl
memelihara keturunan, 5 hifzh al-mal memelihara harta.
64
b. Kebutuhan sekunder hajiyyat Di dalam pemenuhan kebutuhan sekunder ini, mencakup hal-hal yang penting
di dalam penyediaan fasilitas untuk mempermudah masyarakat dan mengurangi beban tanggung jawab mereka. Jika tidak terdapat suatu fasilitas tersebut, mungkin tidak
menyebabkan kekacauan dan ketidaktertiban akan tetapi akan menambah kesulitan- kesulitan bagi masyarakat. Dan kebutuhan sekunder merupakan kebutuhan yang dapat
meyingkirkan kesulitan-kesulitan serta dapat mempermudah kehidupan di dalam masyarakat.
65
c. kebutuhan pelengkap tahsiniyyat Kebutuhan pelengkap di sini dimaksudkan untuk menciptakan perbaikan-
perbaikan di dalam kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dalam urusan hidup secara lebih baik. Jika ketiadaan di dalam pemenuhan kebutuhan ini
63
Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, h 41
64
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung:Asy Syaamil Grafika, 2001 cet ke-2, hlm. 131
65
Ali, Hukum Pidana Islam, hlm. 14
maka tidak akan membawa kekacauan, ketidaktertiban, dan tidak menghilangkan kesulitan, akan tetapi dapat membuat hidup lebih mudah.
66
Maka dapat dikatakan jika masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan secara seimbang dan tidak merubah urutannya maka akan tercipta suatu kemaslahatan
bagi umat manusia serta dapat memenuhi rasa keadilan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah SWT. Dan juga akan tercipta keseimbangan di dunia dan di akhirat,
karena tentunya itulah yang terkandung di dalam syari’at islam.
67
2. Menurut Hukum Pidana Positif
Di dalam penerapan hukum pidana yang berlaku sekarang pada dasarnya mengandung 4 empat konsep tujuan pemidanaan atau tujuan penjatuhan hukuman
terhadap pelaku kejahatan. Keempat konsep tersebut adalah sebagai berikut : 1. Reformation memperbaiki merehabitasi
2. Restraint pengasingan 3. Retribution pembalasan
4. Deterrence penjeraan atau pencegahan
68
Untuk yang pertama, reformation yang mempunyai arti memperbaiki atau merehabitasi para pelaku kejahatan untuk menjadi orang yang baik dan berguna bagi
masyarakat. Karena jika suatu negara tingkat kejahatan berkurang maka akan tercipta keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat serta dapat tercapainya kesejahteraan
sosial. Maka jika tujuan ini sudah terwujud dengan baik setiap orang akan merasa nyaman untuk melakukan setiap aktifitasnya sehari-hari tanpa rasa takut akan menjadi
korban kejahatan. Akan tetapi , tujuan ini kurang berlaku secara efektif di indonesia
66
Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, hlm 41
67
Ibid, hlm 43
68
Andi Hamzah, Azas-azas Hukum Pidana, hlm.28
karena hal yang terjadi sebaliknya seorang residivis akan menjadi lebih jahat dan lebih pintar dalam melakukan kejahatannya jika sudah bebas dari penjara.
69
Yang kedua, restraint merupakan tujuan untuk mengasingkan pelaku kejahatan dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari
pelaku kejahatan seperti, melindungi dari para perampok kejahatan, penodong atau pencuri yang sekarang ini marak terjadi di angkutan umum. Hal ini sangat berkaitan
dengan tujuan yang pertama, karena menyangkut berapa lama seorang pelaku kejahatan berada di dalam penjara sehingga dapat menjauhkannya dari kehidupan
masyarakat.
70
Yang ketiga, retribution yang berarti tujuan untuk pembalasan terhadap pelaku tindak kejahatan. Hal ini terkandung di dalam pasal 340 KUHP yang menjelaskan
ancaman hukuman mati bagi pelaku jika terbukti melakukan tindakan pembunuhan dengan direncanakan terlebih dahulu. Dan hal ini sebenarnya sudah banyak
diterapkan dengan baik di indonesia, seperti yang terjadi pada penjatuhan hukuman terhadap pelaku teroris amrozi dan kawan-kawan beberapa waktu lalu.
71
Dan yang terakhir, deterrence merupakan tujuan untuk penjeraan atau pencegahan baik terhadap terdakwa maupun orang lain yang mungkin berpotensial
menjadi penjahat. Hal ini tentunya akan membuat setiap orang menjadi jera atau takut melakukan kejahatan karena melihat penjatuhan pidana terhadap terdakwa ataupun
orang lain yang melihat penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan. Oleh karena itu
69
Ibid, hlm 27
70
Ibid , hlm 28.
71
Jimly ash-Shidiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Islam: Studi Bentuk-bentuk Pidana dalam Tradisi hukum Fiqh
, Bandung: Angkasa, 1996, hlm 167.
jika masyarakat melihat eksekusi mati terhadap amrozi dan kawan-kawan maka orang akan menjadi takut untuk menjadi teroris.
72
Di dalam rancangan KUHP Nasional Pasal 50 ayat 1 nya telah menetapkan empat tujuan pemidanaan sebagai berikut:
73
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna.
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oeh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai di dalam masyarakat
d. Membebaskan rasa bersalah terhadap terpidana sehingga ia dapat menjadi orang yang lebih baik.
Perbedaan dengan KUHP yang berlaku sekarang ini , di dalam RUU KUHP terdapat rumusan tentang “Tujuan dan Pedoman Pemidanaan”. Hal ini bertolak dari
pokok pikiran bahwa : † Sistem hukum pidana merupakan satu kesatuan sistem yang bertujuan
purposive sytem dan pidana hanya merupakan alatsarana untuk mencapai tujuan,
† “Tujuan Pidana” merupakan bagian integral sub – sistem dari keseluruhan sistem pemidanaan sistem hukum pidana disamping sub – sistem lainnya,
yaitu sub – sistem “tindak pidana” , “pertanggungjawaban” kesalahan, dan “pidana”,
† Perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendalikontrolpengarah dan sekaligus memberikan dasarlandasan
filosofis, rasionalitas, motivasi, dan justifikasi pemidanaan, † Dilihat secara fungsionaloperasional, sistem pemidanaan merupakan suatu
rangkaian proses melalui tahap “formulasi” kebijakan legislatif, tahap “aplikasi” kebijakan judisialjudikatif, dan tahap “eksekusi” kebijakan
administratifeksekutif. Oleh karena itu agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, diperlukan
perumusan tujuan dan pedoman pemidanaan.
74
72
Ibid, hlm 168.
73
. Andi Hamzah,Asas-asas Hukum Pidana, hlm.37.
74
Muladi, Catatan RUU KUHP, Data diambil pada hari selasa 8 april 2008 dari http :alumniumm.blogspot.com200704catatan-ruu-kuhp.html
D. Sanksi Pidana