Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat Pada Hari Raya
44
Artinya : “diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, apabila Ahlu Kitab memberi salam kepadamu maka ucapkanlah ‘alaikum bagi
andalah.”
Jika demikian wajarlah apabila Nabi melarang memulai salam untuk mereka dan menganjurkan untuk menjawab salam mereka dengan “ ‘Alaikum,” sehingga
jika yang mereka maksud dengan ucapan itu adalah kecelakaan atau kematian, maka jawaban yang mereka terima adalah “bagi andalah kecelakaan itu”.
Mengucapkan “Selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tetapi tidak sedikit juga yang
membenarkan dengan beberapa catatan khusus. Sebenarnya dalam al-Qur’an ada ucapan selamat atas kelahiran Isa:
َعۡوَيَو ُتوُس َ
أ َعۡوَيَو ُت ِلُو َعۡوَي ا َ َل ُڷَٰلاسلٱَو
امديَح ُڃَعۡب ُ
أ ڷيرس
٥٢ :
١١
Artinya : “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup
kembali.” Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat natal pertama yang
diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi persoalan ini jika diakitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama
tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku. Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan
yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan
45
“Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
16
Ucapan selamat atas kelahiran Isâ Natal, manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam al-Qur’an, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran
agama Kristen yang keyakinannya terhadap agama ‘Isâ al-Maŝih berbeda dengan pandangan Islam. Mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadirin perayaannya
dapat menimbulkan kesalah pahaman dan dapat mengantarkan kita kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-
Maŝih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentanga dengan akidah Islam. Dengan alasan ini lahirlah larangan dan fatwa haram untuk mengucapkan
“Selamat Natal” sampai-sampai ada yang beranggapan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksananya upacara Natal tidak
dibenarkan. Dipihak lain ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat
Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Qur’an mengaitkannya dengan ucapan ‘Isâ,
َو َټٰ َتِڳ ۡلٱ َ ِِٰىَتاَء ِ اَٱ ُدۡبَع ِدِّإ َلاَق
امديِبَن ِِ َڶَعَج
ڷيرس ٥٢
: ١٦
Artinya : “sesunguhnya aku ini, hamba Allah. Dia Memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi”.
Salahkah bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju
16
M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui Jakarta : Lentera Hati, 2008, h. 590
46
kepada Nûh, Ibrȃhîm, Mûsȃ, Hȃrûn, keluarga Ilyas, serta para Nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh Nabi sebagai hamba dan utusan
Allah ? Apa salahnya kita mohonkan curahan solawat dan salam untuk Isȃ as., sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh Nabi dan Rasul? Tidak bolehkah kita
merayakan hari lahir natal Isa as.? Bukankah Nabi SAW. Juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuas ‘Asyura’, sambil
bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya,
ُج ِنْب ِديِعَس ْنَع ف ِْۡب ِِ
َ أ ْنَع ٌڷْي َشُه اَنَ ََْخ
َ أ ََْ َُ ُنْب ََْ َُ اَنَٯادَح
ْنَع ف ْرَب فساابَع ِنْبا
َدوُڿَ ْ
َا َدَجَوَف َٿَنيِدَڹ ْ
لا َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا ُلوُسَر َعِدَق َلاَق اَڹُڿْنَع ُ اَا َ َِِر ِڽيِٴ ُ اَا َرَڿ ْظ
َ أ يِ
ا َا ُعْوَ
ْ َا اَڐَه اوُلاَقَٴ َڱِلَذ ْنَع اوُڶِئ ُسَف َءاَروُش ََ َعْوَي َنوُسو ُصَي
وُس ََ
َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ُ ِِانا َلاَقَٴ ُ َل اًڹيِڤْعَت ُڽُمو ُصَن ُنْحَنَٴ َنْوَعْرِف َ َل َليِئاَ ِْْإ َِِبَو
ِڽِمْو َصِب َرَس َ
أَف ْڷُكْنِم ََوُڹِب َ
َْو َ
أ ُنْ َ
َ
17
ڷڶسس هاور
Artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a., katanya: “ketika Rasulullah SAW belum lama tiba di Madinah, didapatinya orang-orang Yahudi puasa pada hari “Asyura. Lalu
mereka ditanya perihal hal itu apa sebabnya mereka puasa pada hari itu. Jawabmereka, “hari ini adalah hari kemenangan Musa dan Bani Israil atas
Fir’aun.Karena itu kami puasa pada hari ini untuk menghormati Musa.” Maka besabda Nabi Saw., “kami lebih pantas memuliakan Musa daripada kamu.” Lalu
beliau perintahkan supaya kaum Muslimin puasa pada hari ‘Asyura”. Bukankah “Para Nabi” sebagaimana sabda Nabi Saw., “bersaudara, hanya
ibunya yang bebeda?” bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas-batas
kemampuan kita, atas batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian
17
Shahih Muslim, Kitab Siyâm bab Soum Yaumu ‘Asyura, hadis no. 1130, jil 2 Beirut al-
‘Arabi: Daru Ihya, t.t, h. 795
47
halnya, apa salahnya mengucapkan “Selamat Natal” selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan dengan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an
sendiri yang telah mengabadikan “Selamat Natal” itu? Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah,
karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada meraka yang dikhwatirkan kabur
akidahnya. Kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai kandungan “Selamat Natal’ Qur’ani,
kemudian mempertimbangkan situasi dan kondisi dimana ia diucapkan sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain, maka
agaknya tidak beralasanlah larangan itu.
48