Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim

(1)

Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Muhammad Irsyad Noor NIM: 1110043100003

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H/2015 M


(2)

(3)

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 05 Januari 2015

Muhammad Irsyad Noor NIM: 1110043100003


(5)

v

ABSTRAK

Muhammad Irsyad Noor, NIM: 1110043100003, “Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim”, Program Studi perbandingan Mazhab dan Hukum, Konsentrasi

Perbandingan Mazhab Fikih, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2014 M. Tasyabbuh merupakan perbuatan mengikuti menyerupai non-Muslim baik dalam hal gaya hidup, berpakaian, dan sebahagian perbuatan mereka termasuk di dalamnya adalah peringatan hari-hari besar non-Muslim. Oleh karena itu, tasyabbuh merupakan perbuatan yang dilarang dalam Islam, sesuai sabda Rasulullah “barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka”. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat hal-hal yang sangat berkaitan dengan non-Muslim yaitu hubungan antar umat beragama dan juga kehidupan seorang non-Muslim yang tinggal di dalam masyarakat yang mayoritas non-Muslim. Penelitian ini menggunakan library research dengan analisis deskriptif. Di samping itu, dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan mengumpulkan data dari kepustakaan yang kemudian dikelompokan menjadi data primer dan data sekunder. Cara mendapatkan data diperoleh dengan cara membaca literatur buku, makalah dan hasil laporan penelitian. Data mengenai hukum tasyabbuh lebih banyak bersumber dari buku karya Ibnu Taimiyyah. Tujuan penelitian yaitu untuk mengkaji kedudukan tasyabbuh dalam kehidupan sosial antar umat beragama seperti yang dilaksanakan oleh Gus Nuril Arifin sewaktu ikut menghadiri perayaan Natal di Gereja Bhetani Tayu Pati Jawa tengah pada tanggal 12 Desember tahun 2013. Berdasarkan metode yang digunakan, hasil penelitian menunjukan bahwa hukum tasyabbuh terhadap perayaan ibadah non-Muslim tidak semuanya tergolong perbuatan haram, namun ada juga yang mubah bila terlepas dari kemaksiatan, kerusakan akibat mengikuti perayaan ibadah non-Muslim tersebut dan juga keadaan di mana seseorang itu menjalankan kehidupan bermasyarakat.

Kata kunci : Tasyabbuh

Pembimbing : Dr. Ahmad Sudirman Abbas, MA. Daftar Pustaka : Tahun 1978 s.d Tahun 2011 .


(6)

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamîn, penulis ucapkan rasa syukur yang tak terkira ke hadirat Allah SWT, yang telah menerangi, menuntun, dan membukakan hati serta pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah ke haribaan Nabi Besar Muhammad SAW. Semoga kita mendapatkan syafa’at-nya kelak. Amin.

Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu persyaratan kelulusan strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari peran dan sumbangsih pemikiran serta intervensi dari banyak pihak. Karena itu dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Dr. J.M. Muslimin, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Khamami Zada, MA, Ketua Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Hj. Siti Hana, S.Ag. Lc. MA, Sekretaris Jurusan Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. A. Sudirman Abbas, MA, Dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini dan terimakasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati serta nasehat-nasehat berharga yang telah beliau berikan. Semoga beliau selalu dalam lindungan Allah SWT.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberi ilmu, pengalaman dan nasehat kepada penulis. Semoga ilmu yang penulis dapatkan dari mereka menjadi amal dan bermanfaat dunia dan akhirat.


(7)

i

hidup demi kelangsungan pendidikan putra-putrinya. Pimpinan dan segenap staff perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini.

7. Tak lupa kepada sahabat-sahabat penulis senasib seperjuangan di Perbandingan Mazhab Fiqih. Banyak kenangan yang sudah terjadi bersama kalian baik suka maupun duka, yang pasti akan menjadi sebuah cerita di masa depan. diucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan mohon maaf jika ada salah kata. Kesuksesan untuk kita semua. Aminn.

Semoga semua kebaikan dan pengorbanan yang telah diberikan mendapat ridha dari Allah SWT dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Jakarta, 05 Januari 2015 M


(8)

vii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI IBADAH DAN TASYABBUH A. Pengetian dan Hakikat Ibadah ... 13

a. Pengertian Ibadah ... 13

b. Hakikat Ibadah ... 15

B. Larangan Tasyabbuh dalam Islam ... 16

C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan al-Hadits ... 20


(9)

B. Hukum Memberi Salam dan Mengucapkan Selamat pada Hari Raya

non-Muslim ... 42

BAB IV HUBUNGAN SOSIAL MUSLIM DENGAN NON-MUSLIM A. Hubungan Sosial Muslim dengan non-Muslim ... 48

B. Alasan dan Dampak Mengikuti Peribadatan non-Muslim ... 52

a. Alasan Mengikuti Ibadah Non-Muslim ... 52

b. Dampak dari Mengikuti Ibadah Non-Muslim ... 56

C. Analisa Penulis Mengenai Tasyabbuh Terhadap Peribadatan Non-Muslim ... 57

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 61

B. Saran-saran ... 62


(10)

1

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Kehidupan beragama tidak terlepas dari pemenuhan spiritual yang telah diajarkan oleh setiap agama. Setiap umat beragama dituntut untuk melaksanakan ibadah tersebut sebagai nilai keluhuran rohani dan tingkat pengabdiannya kepada Tuhan. Pengamalan spriritual tersebut meliputi aspek eksoteris dan esoteris. Dalam aspek eksoteris, setiap agama memiliki cara atau bentuk jasmaniah yang dapat diamati di dalam praktek upacara ritual yang dilakukan masing-masing agama. Sedangkan dalam aspek esoteris, setiap agama memiliki substansi yang sama, yakni hubungan yang bersifat rahasia antara seorang hamba dengan Tuhannya. Aspek esoteris dalam setiap agama memiiliki kesamaan rohaniah mengenai ajaran kecintaan terhadap Tuhan.1

Pada waktu Nabi muhammad SAW masih hidup, segala persoalan hukum yang timbul langsung ditanyakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an. Dan dalam keadaan tertentu yang tidak ada jawabannya didalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut al-Hâdis atau Sunnah. Al-Qur’an dan penjelasannya dalam bentuk hadis disebut “sumber pokok hukum Islam”.2

1Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tashawwuf dan Taqarrub)

(Jakarta: Atisa, 1992), h.184.


(11)

Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin diperintahkan agar bersikap toleran. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya terbatas pada urusan yang bersifat duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah, syariah, dan ibadah.

Firman Allah Swt :

ۡلُق

اَڿُي

َ

أٓ َي

َنوُرِڭٰ َك

ۡلٱ

.

َنوُدُبۡعَت اَم ُدُبۡع

َ

أ ك

َ

َ

ُدُبۡع

َ

أ كاَم َنوُدِبٰ َع ۡڷُتن

َ

أ ك

ََو

َ

ٞدِب ََ

۠اَنَأ ك َََو

ۡڷُتدَبَع اام

ك

َ

ََو

ُدُبۡع

َ

أ كاَم َنوُدِبٰ َع ۡڷُتن

َ

أ

ِنيِد َََِو ۡڷُكُنيِد ۡڷُك

َل

(

/نورفاكلا

٥٥١

:

٣

(

Artinya : “Katakanlah: hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.”

Seorang ahli fiqih lebih mirip seorang dokter. Seorang dokter tidak akan bisa menentukan obat bagi pasiennya kecuali setelah memperhatikan, memeriksa dan menanyakan pasien tersebut, sehingga dokter ini dapat mengetahui kapan pasiennya mulai sakit, sejauh mana rasa sakitnya, dan separah apa penyakit yang dirasakannya. Setelah itu, baru sang dokter dapat menentukan obat yang cocok bagi pasiennya.

Berkaitan dengan hal ini, Imam Ibnu Qayyim berkata dalam kitab ‘al-I’lam’ yang ditulisnya: “seorang mufti dan hakim (qȃdhȋ) tidak mungkin bisa menentukan

fatwa dan hukuman secara benar kecuali setelah memahami dua bentuk pemahaman. Pertama, memahami realitas dan mendalaminya, menyimpulkan hakikat satu ilmu yang tejadi akibat sebab-sebab (al-qarȃin), tanda-tanda dan isyarat-isyarat hingga ia mendalaminya secara cermat. Kedua, memahami sesuatu


(12)

3

yang wajib dan realitas tersebut, yaitu memahami hukum Allah yang telah diperintahkan dalam kitab-Nya atau melalui rasul-Nya dam hal realitas tersebut. Kemudian, mencocokan salah satu bentuk tersebut dengan bentuk lainnya. Dengan demikian, barang siapa yang telah bersungguh-sungguh dan mencurahkan kemampuannya dalam hal tersebut, ia tidak akan ditinggalkan dua pahala atau satu pahala.”1

KH Nuril Arifin atau yang biasa disapa dengan sebutan Gus Nuril menerima undangan dari Pendeta dan gembala sidang Gereja Bethany Tayu, Pati-Jawa Tengah 9 Desember 2013, bukan sekedar hadir namun sebagai salah satu pembicara atau penceramah. Gus Nuril memberikan ceramah tentang membangun hubungan antarumat beragama guna membangun kesatuan dan kekuatan bangsa dan negara. Apakah ini termasuk toleransi antarumat beragama? Toleransi antar Agama Dalam masyarakat Jawa sering disebut dengan teposeliro, Kalau aku senang orang lain pun senang, kalau aku tidak suka orang lain pun tidak suka. orang yang toleran senantiasa membina persaudaraan serta menghindari konflik

dengan orang lain. Ia memiliki prinsip hidup dan falsafah, “teman seribu terasa

kurang, musuh satu terlalu banyak.” Islam mengajarkan bahwa sesama muslim

1Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, fatwa kontemporer terhadap kaum muslimin di tengah masyarakat non-muslim. Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004), h. 52.


(13)

harus bersatu serta tidak boleh bercerai-berai, bertengkar, dan bermusuhan, karena sesama muslim adalah saudara.2

Jika memperhatikan isi ceramahnya, ada juga videonya, ceramah Gus Nuril Arifin tersebut serat dengan unsur dakwah di dalamnya, karena dalam ceramah Gus Nuril sangat mengagungkan Nabi Isa dan Nabi-nabi terdahulu tetapi sama sekali tidak ada kalimat yang menyatakan Tuhan Yesus atau Tuhan Isa, tapi beliau menyatakannya dengan Nabi Isa.

Mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah lah yang telah menciptakan jin-jin itu, dan mereka berbohong (dengan mengatakan), 3

ْاوُڶَعَجَو

َءك َََ ُُ ِ اَِ

ٱ

انِ

َ

ۡ

ُ

َ

ل ْاوُقَرَخَو ۖۡڷُڿَق

َڶَخَو

م

ُڽَنٰ َحۡبُس لم

ۡڶِع ِ ۡرَغِب ۢڀَٰنَبَو َنِنَب

م

ٰ َىٰ َعَتَو

َنوُڭ ِصَي ااڹَع

ُعيِدَب

ٱ

ِتَٰوٰ َم اسل

َو

ٱ

ِضۡ

َ ۡ

أ

ُ

َ

ل ُنوُكَي ٰ اّ

َ

أ

م

ُ

ا

ل نُكَت ۡڷَلَو ٞ

لَو

َ

م

ۖٞٿَبِحٰ َص

ٞڷيِڶَع فء ۡ َي ِ

دلُكِب َوُهَو لءۡ َي ا ُُ َڮَڶَخَو

(

/ ماعنا

٣

:

٥٥٥

-٥٥٥

(

Artinya : “Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan): "Bahwasanya Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan", tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan. Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri. Dia

menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”

2Moderasi Islam: Tafsir Al-Qur’an Tematik, vol. 4 (Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an), h.

36.

3Jum’ah Amin Abdul Azis, Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiyah. Penerjemah, Abdus Salam Masykur (Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2001), h. 132


(14)

5

Para Rasul telah berdakwah dan menyeru manusia untuk mengesakan Allah dan melarang mereka dari menyekutukan-Nya. Mereka telah menjelaskan hakikat tauhid itu dengan uslub yang beraneka ragam, antara lain dengan memperhatikan ayat-ayat kauniyah, mengingatkan manusia akan nikmat Allah, menjelaskan akan sifat-sifat kesempurnaan yang ada pada-Nya, atau dengan argument-argumen yang logis, dengan membuat permisalan-permisalan, atau dengan merenungi diri manusia itu sendiri dan cakrawala alam semesta.4

Allah SWT berfirman :

َو

نَم

ِڮِقا َشُي

َلوُسارلٱ

ُ

ل َ انَبَت اَم ِدۡعَب ۢنِم

َ

ٰىَدُڿ

ۡ

لٱ

ِليِبَس َ ۡر

َٳ ۡعِباتَيَو

َنِنِمۡؤُڹ

ۡ

لٱ

ُن

ِِ

د

لَو

ۦ

اَم

ِڽِڶ ۡصُنَو ٰ

ََوَت

ا

ۦ

اًر ِصَس ۡتَءكاَسَو َۖڷانَڿَج

)

ءاسنلا

/

٤

:

٥٥٤

(

Artintya : “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran

baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat

kembali.”

Banyak orang-orang yang mengatakan bahwa Gus Nuril telah menyimpang dari ajaran Islam, karena mengikuti ibadah hari besar non-muslim (Natal) dengan alasan menyerupai orang-orang kafir.

4Jum’ah Amin Abdul Azis, Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiah, h.133.


(15)

وبا انَخا ٿبيش ِا نب ناڹثع انثدح

رنا

انرخا

دبع

انَخا ڀباث نب نمرلا

نع ىيرَا ټينم ِا نع ٿيطع نب ناسح

وسر لاق لاق رڹع نبا

ا ل

َا ىص َ

ڷڶسو ڽيڶع

:

ڽَبشت نم

ڽنم وڿف عوقب

5

.

(

دواد وبا هاور

(

Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata,

telah menceritakan kepada kami Abu An Nadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah Menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa bertasyabuh (menyerupai) dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka."(H.R. Abu Daud).

Hadis di atas menetapkan bahwa haramnya meniru mereka dan secara dzahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur.

Apakah hukum mengucapkan salam kepada non muslim? Bagaimanakah hukum berbaik hati dalam menghadiri pesta perkawinannya yang diwajibkan itu? Lalu, apa hukum mengucapkan selamat terhadap hari-hari raya non muslim, lebih-lebih jika dia mengucapkan selamat terhadap hari-hari raya kaum muslimin? Bolehkah kita mengucapkan selamat kepada non muslim, khususnya di hari raya natal (cristmas).6 Sebagaimana kita melihat ada sebagian kaum muslimin yang ikut merayakan natal dan hari besar non-muslim lainnya, seperti mereka juga ikut merayakan Idul Fitri dan Idul Adha. Apalagi, diantara keduanya (muslim dan non-muslim) terdapat hubungan kerabat, tetangga, teman, dan hubungan-hubungan

5Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, ‘Aunu al-Ma’bud bi syarh sunan Abu Daud, jil. 11, no. hadis: 4031

(Dar al-fikr, 1979), h. 165.

6Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas, Penerjemah Adillah Obid (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004),


(16)

7

sosial lainnya yang membutuhkan rasa cinta, kasih sayang dan hubungan yang baik, yang biasa berlaku dalam tradisi masyarakat yang sehat.7

Oleh sebab itu, wajib bagi kita untuk melahirkan kajian fiqh yang cermat, realistis dan kontemporer. Yaitu, kajian fiqh yang berangkat dari teks-teks yang jelas hukumnya (muhkamat), dari kaidah-kaidah Syariah dan maqȃshid-nya. Akan tetapi kajian tersebut tetap relevan dengan perubahan zaman, tempat dan kondisi manusia. Kajian inilah yang kami usahakan dalam pembahasan skripsi ini.

Skripsi ini akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan elemen-elemen at-Tasyabbuh ataupun penyerupaan orang Islam dengan bukan Islam dan gejolak sosial yang terjadi di Masyarakat. Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya dan kepada-Nya kami meminta pertolongan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pada penelitian ini penulis akan membatasi pembahasan hanya beberapa pendapat ulama Mazhab (di antara banyak mazhab yang ada) tentang Tasyabbuh yang terdapat kontradiktif di dalamnya. Untuk mempermudah pembahasan masalah di atas, penulis kemudian merumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut: 1. Apa Definisi Tasyabbuh?

2. Bagaimana Interaksi Sosial Muslim dengan Non-Muslim? 3. Bagaimana Hukum Merayakan Ibadah Non-Muslim?


(17)

C. Tujuan Penulisan

Setiap penelitian yang dilakukan meniscayakan adanya tujuan. Adapun tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Khusus

A) Memenuhi syarat menyelesaikan studi S1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

B) Untuk mengetahui bagaimana hukum mengikuti ibadah non-Muslim. C) Mengetahui gejolak sosial yang tejadi di dalam masyarakat terhadap

perayaan ibadah non-Muslim.

D) Mengetahui bagaimana interaksi sosial yang dibolehkan dalam Syariat. 2. Tujuan Umum

a) Memberikan kontribusi kepada umat Islam dalam perbedaan pendapat. b) Menstimulus para ulama fiqih untuk membantu umat islam yang awam dalam mengamalkan ajaran agama dengan memberikan pendapat yang paling kuat dan sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini.

D. Metode Penelitian

Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan atau proses sistematis untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan metode ilmiah.8 Metodologi mempunyai beberapa pengertian, yaitu (a) logika dari penelitian

8 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja


(18)

9

ilmiah, (b) studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan (c) suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui penelitian tersebut, diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah. Oleh karena itu, metodologi penelitian yang diterapkan harus sesuai dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.9

1. Jenis Pendekatan

Dalam ini penulis menggunakan metodelogi dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karakteristik alami (natual setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis data kualitatif cendrung dilakukan secara analisa induktif dan makna merupakan hal yang esensial.10 Juga perlu dikemukakan metode penelitian kualitatif tidak membutuhkan populasi dan sampel.11

Dalam masalah ini prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan mengambarkan/melukiskan keadaan subyek/obyek penelitian (seorang,

9Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 17.

10Lexi J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002)

cet. 13, h. 135.


(19)

lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak, atau sebagaimana adanya. 12

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data ini, terbagi kedalam dua bagian yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu kitab-kitab fiqih dan hadis. Sedangkan data-data sekunder diambil dari kitab-kitab yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang diangkat dengan menggunakan sumber-sumber baik berupa karya ilmiah, berupa buku-buku yang relevan, serta karya tulis lainnya yang membahas permasalahan terebut.

1. Instrument pengumpulan data

Dengan membaca buku literatur yang relevan dengan topik masalah dalam penelitian ini. Pengumpulan data berasal dari artikel, buku-buku, majalah-majalah, serta informasi-informasi tertulis lainnya yang berhubungan dengan pembahasan dalam skripsi ini.

2. Metode analisis data

Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah deskriptif-analitis dan komparatif. Metode deskriptif yaitu sebagai upaya mengkaji kemudian memaparkan keadaan objek yang akan diteliti dan merujuk pada kata-kata yang ada (baik primer maupun sekunder) kemudian menganalisanya secara proporsional dan komprehensif sehingga akan tampak jelas perincian

12Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas


(20)

11

jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan akan menghasilkan pengetahuan yang valid.

3. Teknik penarikan kesimpulan

Pada penelitian ini dengan menggunakan deduktif dan induktif. Induktif yaitu menarik kesimpulan yang bersifat umum dari uraian-uraian yang bersifat parsial yang terdapat dalam penelitian ini. Deduktif yaitu dengan menarik kesimpulan bersifat khusus dengan menggunakan ukuran dan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang bersifat umum.

4. Teknik penulisan

Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2013.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian didefinisikan oleh banyak penulis sebagai suatu proses yang sangat sistematik. Penelitian menggunakan metode ilmiah, penyelidikan pengetahuan melalui metode pengumpulan data, analisis dan interpretasi data. Dikaitkan dengan metode ilmiah, suatu proses penelitian sekurang-kurangnya berisi suatu rangkaian urutan langkah-langkah.13

13 Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: kuantitatif dan kualitatif, (Jakarta: PT Raja


(21)

Penulisan ini dilakukan melalui langkah-langkah yang sistematis dan terarah agar hasilnya dapat diperoleh secara optimal. Pembahasan ini dituangkan dalam beberapa bab sebagai berikut:

Bab satu berisi pendahuluan yang melingkupi latar belakang penulisan skripsi ini, selanjutnya penulis melakukaan identifikasi terhadap masalah yang sedang penulis bahas. Untuk menghindari pembahasan yang teralalu luas maka penulis berusaha membatasinya dengan batasan yang penulis rasa cukup disertai dengan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Dan terakhir, penulis membuat sistematika penulisan agar penelitian ini teratur dan terarah.

Bab dua berisi tinjauan umum tentang Ibadah, tasyabbuh, dasar-dasar tasyabbuh kemudian hukum tasyabbuh dan bentuk-bentuk tasyabbuh.

Bab tiga berisi tentang hukum mengikuti perayaan hari besar non-muslim, hukum memberi salam dan mengucapkan selamat pada hari raya non-muslim.

Bab empat berisi hubungan sosial muslim dengan non-muslim, alasan dan dampak, serta analisa mengenai hukum mengikuti peribadatan non-Muslim.

Pada bab lima adalah penutup yang terdiri dari kesimpulan pembahasan tema yang dipilih dan saran-saran.


(22)

13 BAB II TASYABBUH A. Pengertian dan Hakikat Ibadah

a. Pengertian Ibadah

Menurut ulama tauhid mengatakan bahwa ibadah adalah meng-Esakan Allah Swt. Dengan sungguh-sungguh dan merendahkan diri serta menundukan jiwa setunduk-tunduknya kepada-Nya.1 Pengertian ini didasarkan pada firman

Allah Swt :

َوٱ

ْاوُدُبۡع

ٱ

َ اَ

ْاوُكِ ۡۡ

ُت َََو

)

ءاسنلا

/

٤

:

٦٣

(

Artinya :“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun”.

Menurut ulama fiqih, ibadah adalah semua bentuk pekerjaan yang bertujuan memperoleh keridlaan Allah Swt. Dan mendambakan pahala dari-Nya di akhirat.

Secara bahasa, ibadah berasal dari kata دبعي - دبع masdarnya ةدابع yang berarti mengesakan; menyembah; mengabdi; menghinakan diri kepada Allah SAW.2 Ibadah dalam arti taat diungkapkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam QS Yasin 36 : 60:

1Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam (Bogor:

Kencana, 2003), h. 135.


(23)

14

َ

أ

ْاوُدُبۡعَت

َ ن

ا

َ

أ َعَداَء ك َِِبَٰي ۡڷُكۡ

ََِإ ۡدَڿۡعَأ ۡڷَل

ٱ

ُڽانِإ ۖ َنٰ َطۡي اشل

م

ُكَل

ٞنِبُم ٞدوُدَع ۡڷ

(

ړي

/

٦٣

:

٣٥

.

(

Artinya :“Bukankah Aku telah memerintahkan kepada kamu wahai bani adam

supaya kamu tidak menyembah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kamu”.

Ibadah ditinjau dari segi bentuk dan sifatnya ada lima macam , yaitu:

1. Ibadah dalam bentuk perkataan atau lisan (ucapan lidah), seperti berdzikir,

berdo’a, tahmid, dan membaca Al-Qur’an.

2. Ibadah dalam bentuk perbuatan yang tidak ditentukan wujud perbuatannya, seperti membantu atau menolong orang lain, jihad, dan tajhiz al-janazah (mengurus jenazah).

3. Ibadah dalam bentuk pekerjaan yang telah ditentukan wujud perbuatannya, seperti shalat, zakat, dan haji.

4. Ibadah yang tata cara pelaksanaannya berbentuk menahan diri seperti puasa, iktikaf, dan ihram.

5. Ibadah yang berbentuk menggugurkan hak, seperti memaafkan orang yang telah melakukan kesalahan terhadap dirinya dan membebaskan seseorang yang berhutang kepadanya.1

Kewajiban-kewajiban ini dinamakan syiar-syiar karena merupakan tanda dan simbol penampilan yang membedakan kehidupan individu Muslim dan

1Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.


(24)

15

15

kehidupan non-Muslim sebagaimana membedakan masyarakat Islam dan masyarakata non-Islam.2

a. Hakikat Ibadah

Menumbuhkan kesadaran diri manusia bahwa ia adalah makhluk Allah Swt. yang diciptakan sebagai insan yang mengabdi kepada-Nya. Hal ini seperti firman Allah Swt. Dalam QS al-Dzâriyat [51]:56:

ِنوُدُبۡعَ َِ

َِإ َړنِ

ا

ۡٱَو انِ

ۡ

َٱ ُڀۡقَڶَخ اَمَو

ۡ

(

تاي ا َ لا

١٣

:

١٥

)

Artinya : Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.

Pada Hakikatnya manusia itu diperintahkan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Karena itu, tidak ada alasan baginya untuk mengabaikan kewajiban beribadah kepada-Nya.3 Allah Swt. Berfirman dalam QS Al-Baqarah [2]:21:

اَڿُي

أٓ َي

َ

ٱ

ُساان

ٱ

ُڷُكابَر ْاوُدُبۡع

ٱ

َو ۡڷُكَقَڶَخ يِ

َ

ا

ٱ

َنوُقاتَت ۡڷُكاڶَعَل ۡڷُكِڶۡبَٵ نِم َنيِ

َ

ا

(

/ ةرقبلا

٢

:

٢٥

)

Artinya : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan

orang-orang sebelummu agar kamu bertaqwa”.

2Yusuf Al-Qardhawy, Anatomi Masyarakat Islam, Penerjemah Setiawan Budi Utomo (Jakarta:

Pustaka Al-Kautsar, 1999), h. 42.

3 Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.


(25)

16

Pada prinsipnya ibadah merupakan sari ajaran Islam yang berarti penyerahan diri secara sempurna pada kehendak Allah Swt.4

B. Larangan Tasyabbuh dalam Islam

Tasyabbuh (

هّبشتلا

)

menurut bahasa adalah :

هلثام : ئشلا ئشلا

هبشأ

menyerupai” sesuatu terhadap sesuatu atau saling menyerupai. Kata-kata

هّبشت

ه يغب

berarti si fulan menyerupai hal tersebut atau serupa dan selaras dengan orang lain, orang yang menyimpang di dalam perbuatan.

هيبشتلا

: “perumpamaan”.

Sebagian ulama menerangkan “bertemunya satu perkara dengan perkara lain

karena sifat yang mempunyai bagian antar keduanya." Seperti menyerupainya seorang laki-laki dengan macan di dalam hal keberanian.5

Bagi al-Munawi, tasyabbuh bermaksud berhias seperti mana mereka berhias, berusaha mengenali sesuai dengan perbuatan mereka, berakhlak dengan akhlak mereka, berjalan seperti mereka berjalan, menyerupai mereka dalam berpakaian dan sebahagian perbuatan mereka. Adapun tasyabuh yang sebenarnya adalah bertepatan dari segi aspek zahir dan batin.6

4Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah dalam Islam, h.

140.

5al-Mu’jam al-Wâsit. (tp., 1985), h. 490.

6Muhammad ‘Abd Ra’uf al-Munawi, Faid al-Qadir Syarh Jami’ al-Saghir (Beirut Dar


(26)

17

17

Berkaitan dengan larangan tasyabbuh ini, Allah SWT berfirman:

ٰ َِۡرَت نَلَو

ٰۗىَدُڿ

ۡ

لٱ َوُه ِ اَٱ ىَدُه انِإ ۡلُق ۗۡڷُڿَت

اڶِس َعِباتَت ٰ اَِح ٰىَرٰ َصانٱ َََو ُدوُڿَ َۡٱ َڱنَع

لدََِو نِم ِ اَٱ َنِم َڱَل اَم ِڷۡڶِعۡلٱ َنِم َكَءكاَج يِ اَٱ َدۡعَب ڷُهَءكاَوۡهَأ َڀۡعَباتٱ ِنِئَلَو

فر ِصَن

ََو

َ

(

هرقبا

/

٢

:

٥٢٥

(

Artinya : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.

Pada ayat di atas, Allah SWT memberi khabar pada kata “millatahum” maksudnya adalah agama mereka.7, tetapi ketika melarang, Allah SWT mengungkapkannya dengan kata “ahwa’ahum” karena kaum Nasrani dan yahudi tidak akan senang kepada kamu kecuali mengikuti agama mereka secara mutlak.8

Termasuk dalam mengikuti adalah dengan menyerupai mereka karena menyerupai mereka berarti mengikuti keinginan mereka. Maka, orang-orang kafir senang jika jika orang-orang Islam menyerupai sebahagian daripada urusan mereka. Ini disebabkan dengan menyerupai satu urusan, boleh menjadi pendorong untuk menyerupai dalam hal-hal lain.9

7Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin As- Suyuthi, Tafsir al-Jalâlain berikut asbâbun nuzûl ayat, Penerjemah Bahrun Abu Bakar, vol. 1 (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), h.63.

8Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm, (Dar El-Fikr

Beirut-Libanon, 2003), h. 19.


(27)

18

Berkaitan dengan sikap orang-orang muslim terhadap non-muslim, suatu ketika sekelompok orang Yahudi datang menemui Rasulullah SAW mereka berkata,

“As-Saamu ‘laikum.” (semoga kematian menimpamu menjawab). Maka Aisyah

berkata, “aku memahami kalimatnya.” (semoga kematian dan laknat menimpa kalian). Maka Rasulullah SAW berkata, “Tenanglah wahai Aisyah. Sesungguhnya

Allah mencintai kelembutan dalam setiap urusan.” Aisyah berkata, “wahai Rasulullah, apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan?” Rasulullah SAW menjawab, “Aku telah berkata ‘wa’alaikum’ (dan bagimu juga).10

Berkaitan dengan dengan sikap terhadap non muslim, Allah SWT berfirman:

ُهوُ َََت ن

َ

أ ۡڷُكِرَٰيِد نِدم ڷ

ُكوُجِرۡ ُُ ۡڷَلَو ِنيِدلٱ ِِ ۡڷُكوُڶِتَٰقُي ۡڷَل َنيِ اَٱ ِنَع ُ اَٱ ُڷُكٰىَڿۡنَي اَ

ۡڷ

َنِطِسۡقُڹ

ۡ

لٱ ُټِ ُُ َ اَٱ انِإ ۚۡڷِڿۡ

ََِإ ْاكوُطِسۡقُتَو

(

ٿنحتڹڹلا

/

٣٥

:

٨

(

Artinya :“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap

orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Ketika berbicara tentang sikap adil, ayat yang sama juga mengantarkan pada hal yang menyinggung sikap adil ini dan berbuat baik kepada orang sepanjang dia tidak memerangi atau mengusir kaum muslimin.11 Seorang Filosofis Mr. N.E. Algra

mengatakan bahwa keadilan itu adalah persoalan kita semua dalam suatu

10Sa’id bin ShabirAbduh, Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan, Penerjemah

Nurkholis (Jakarta: Griya Ilmu, 2005), h. 324.

11Jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah Muhammad, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas, Penerjemah Shofiyullah


(28)

19

19

masyarakat setiap anggota berkewajiban untuk melaksanakan kewajiban itu. Orang tidak boleh netral apabila terjadi sesuatu yang tidak adil.12

Dengan demikian, jelaslah bahwa “berlaku adil” adalah manhaj Allah dan

syari’at-Nya. Allah SWT mengutus para rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya agar manusia berlaku adil. Dengan keadilan, bumi dan langit akan menjadi makmur. Apabila tampak tanda-tanda keadilan dan tampak keadilan itu dengan cara apapun, maka itulah syari’at Allah dan rasul-Nya.13

Sunnah Allah juga memutuskan bahwa segala perkara manusia dalam dunia yang dilaksanakan dengan sikap adil sekalipun perkara dosa lebih sering sukses dibandingkan perkara yang dilaksanakan dengan sikap zalim sekalipun tidak dalam

perkara dosa. Oleh karena itu, ada yang berkata: “sesungguhnya Allah akan

menegakkan negara yang adil sekalipun negara kafir, dan Dia tidak akan

menegakkan negara yang zalim sekalipun negara itu negara muslim.” Ada juga yang berkata: “dunia akan abadi dengan keadilan walalupun bersama kekafiran, dan tidak akan abadi dengan kezaliman walaupun bersama keislaman. Sebab, keadilan adalah sistem segala sesuatu. Maka apabila perkara dunia dilaksanakan dengan adil, pasti akan sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak tidak mendapatkan bagian

12Lili Rasjidi & B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya (Bandung : Remadja

Karya Offset, 1989), hal. 25.

13Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Penerjemah Faturrahman A. Hamid, (Jakarta: Amzah,


(29)

20

apa, dan apabila tidak dilaksanakan dengan adil, pasti tidak akan sukses sekalipun pelakunya di akhirat kelak mendapatkan balasan atas keimanannya.14

C. Dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits Allah SWT berfirman :

َل

أ

َ

ْاوُنوُكَي

ََو ِدڮَ

َ

حٱ َنِم َلَڒَن اَمَو ِ اَٱ ِر

ۡ

كِ َِ ۡڷُڿُبوُڶُق َع َشۡ

ۡ

َ ن

َ

َ

أ ْاكوُنَماَء َنيِ

اَِل ِنۡأَي ۡڷ

ۡڷُڿۡنِدم ٞرِث

َكَو ۖۡڷُڿُبوُڶُق ۡڀَسَقَٴ ُدَمَ ۡأٱ ُڷِڿۡيَڶَع َلاَطَٴ ُلۡبَٵ نِم َټَٰتِڳۡلٱ ْاوُتوُأ َنيِ اَٱَك

َنوُقِسَٰک

(

ديدحا

/

١٥

:

٥٣

(

Artinya : “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik”.

Allah SWT berfirman, “dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras”. Allah malarang orang-orang menyerupai orang-orang yang telah menerima al-Kitab sebelum mereka, dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Ketika masa telah berlalu lama, maka diubahlah Kitab Allah dengan tangan-tangan mereka sendiri dan mereka menukarnya dengan harga yang teramat sedikit dan melemparkannya dibelakang punggung mereka, dan mulailah menghadapkan diri terhadap pendapat-pendapat yang bersimpang siur. Mereka bertaklid kepada beberapa orang laki-laki mengenai urusan agama mereka


(30)

21

21

dan menjadikan pendeta-pendeta dan uskup-uskup mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Karena itulah hati mereka menjadi keras, mereka tidak lagi mau menerima nasihat. Hati mereka tidak menjadi lunak ketika mendengar berita baik atau kabar ancaman. “Dan kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang yang

fasik.” Yaitu, fasik di dalam amal mereka. Hati-hati mereka rusak dan amal-amal mereka semuanya batil. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT.

َنوُفِدرَ

ُُ ۖمٿَيِسَٰق ۡڷُڿَبوُڶُق اَنۡڶَعَجَو ۡڷُڿٰ انَعَل ۡڷُڿَقَٰڴيِدم ڷِڿِضۡقَن اَڹِبَف

ٱ

ِڽِع ِضاَوام نَع َڷِ ََ

ۡل

ۦ

ْاو ُسَنَو

مدڤَح

ِڽِب

ْاوُرِدكُذ ااڹِدس ا

(

اڹلا

ئ

ةد

/

١

:

٥٦

(

Artinya :“(tetapi), karena mereka melanggar janjinya, kami kutuk mereka dan kami jadikan hatinya keras membatu. Mereka semua mengubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang telah mereka diperingatkan dengannya”.

Itulah sebabnya Allah SWT melarang orang-orang beriman bersikap sama dengan mereka dalam perkara apa pun, baik masalah pokok ataupun masalah

furu’.15

Nabi Muhammad SAW bersabda:

ناسح انَخا ڀباث نب نمرلادبعانرخا رناوبا انَخا ٿبيش ِا نب ناڹثع انث دح

َوسر لاق لاق رڹعنبانع ىيرَا ټينم ِا نع ٿيطع نب

و ڽيڶع َا ىص

س

ڷڶ

:

(

دبشت نم

ڽ

ڷڿنم وڿف عوقب

)

(

هاور

دواد وبا

(

.

16

15Muhammad Nasib al-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah Syihabuddin, vol. 4

(Jakarta: Gema Insani Press), h. 599


(31)

22

Artinya :“Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah

menceritakan kepada kami Abu AnNadhr berkata, telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Tsabit berkata, telah menceritakan kepada kami Hassan bin Athiyah dari Abu Munib Al Jurasyi dari Ibnu Umar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Barang siapa bertasyabuh (menyerupai) dengan suatu kaum, maka ia bagian dari mereka".

Muhammad Ibn Abi Syaibah dalam Musnafnya,

ڀباث نب نمرلا دبع انث لاق ڷساقلا نب ڷشاه انثدح

نع ٿيطع نب ناسح انث لاق

لاق رڹع نبا نع يرَا ټينم ِأ

:

ڷڶسو ڽيڶع َا ىص َا لوسر لاق

:

"

نإ

ڽبشت نم يرسأ فلاخ نم ل راغصلاو ٿلَا لعجو ىمر ڀح يزر لعج َا

ڷڿنم وڿف عوقب

"

(

)دواد وبا هاو

17

.

Artinya : “dari Abu Munib al-Jarsyi, dari ibnu Umar, bahwa Rasulullah SAW beersabda: Sesungguhnya Allah menjadikan rizkiku di bawah bayangan pedang, dan dijadikan hina dan kecil barang siapa yang menyalahi urusanku, dan barang siapa yang menyerupai suatu kaum dia adalah dari kalangan mereka”.

Imam at-Tirmidzi berkata :

هدج نع ڽيبأ نع ټيعش نب ورڹع نع ٿعيڿل نبا انثدح ٿبيتق انثدح

:

ا لسر نأ

َ

لاق عَسو ڽيڶع َا لص

:

ادنم رغب ڽبشت نم ادنم ړيل

.

ناب َو دوڿَاب اوڿبشت َ

راص

.

دوڿَا ڷيڶست نإف

:

عباصأاب ةراشۡا

,

ڷيڶستو

راصنا

:

ِدفكأاب ةراشۡا

(

اور

مرلا ه

ڐ

ي

)

.

18

Artinya :“bukanlah termasuk golongan kami orang yang menyerupai dengan selain

kami. Janganlah menyerupai orang yahudi dan orang Nasrani. Maka apabila berdamai dengan yahudi isyaratnya dengan jari-jari dan apabila berdamai dengan Nasrani isyaratnya dengan telapak tangan.”

17Muhammad Ibn Abi Syaibah, al-Musnaf Ibn Abi Syaibah, juz. 7, ( Dar El-Fikr, t.t), h. 457. 18Sunan at-Tirmidzi, jil. iv (Dar al-Fikr, t.t), h. 159.


(32)

23

23

Hadits-hadits lain berkenaan dengan Tasyabbuh:

1. Syariat makan sahur untuk membedakan dengan ahli kitab.

لاق ڷدڶسو ڽيڶع َا ىص َا لوسر دنا صاعلا نبو رڹع نع

:

نب ام لصف

رح دسلا ٿلا باتڳلا لها عايصوانمايص

(

ڷڶسس هاور

.)

19

Artinya : Dari ‘Amru bin ‘Ashr.a., Rasulullah SAW bersabda: “pebedaan

puasa kita dengan puasa ahli kitab, ialah makan sahur”.

2. Disyariatkan mencukur kumis dan memelihara jenggot untuk membedakan dengan kaum musyrikin.

Rasulullah SAW bersabda:

َناَڹْثُع ُنْب ُلْڿَس اَنَٯادَح

ْنَع ٌعِفاَن اَنَٯادَح فداڹَ ُُ ِنْب َرَڹُع ْنَع فعْيَرُز ُنْب ُديِڒَي اَن

َٯادَح

َلاَق َرَڹُع ِنْبا

:

َنِكِ ُْۡڹ

ْ

لا اوُڭِلاَخ َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا ُلوُسَر َلاَق

اوُڭْح

َ

أ

َىِ

دڶلا اوُفْوَأَو َبِراَواشلا

(

ڷڶسس هاور

.)

20

Artinya : “meriwayatkan kepada kami Sahal Ibn Utsman, meriwayatkan Yazid

Ibn Zura’ dari Umar Ibn Muhammad meriwayatkan kepada kami Nafi dari Ibn

Umar berkata: Rasulullah SAW bersabda berbedalah kalian dengan

orang-orang musyrik cukurlah kumis dan panjangkan jenggot”.

3. Larangan membangun masjid di kuburan karena menyerupai Ahli al-Kitab. Rasulullah SAW bersabda:

19Shahih Muslim, jil. 2, hadis no. 2096 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 770. 20Sahih Muslim, jil. 1, (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 377.


(33)

24

َوُهَو فړْڹَ ِخ َتوُڹَي ْن

َ

أ َلْبَٵ َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ا ِِانا ُڀْعِڹ َس

َلاَق ٌبَدْنُج َِِثادَح

ْن

َ

أ ِ اَا

لِإ

َ

ُ

أَرْب

َ

أ ِدِّإ ُلوُقَي

ًَيِڶَخ َِّڐَ

َا ْدَق

ا

لاَعَت َ اَا انِإَف ٌليِڶَخ ْڷُكْنِم ِل َنوُكَي

َ

فرْكَب اَب

أ ُتْڐَ

َ

َ

ا

َ ًَيِڶَخ ِِام

َ

ُ

أ ْنِم اًڐِڎاتُم ُڀْنُك ْو

َلَو ًَيِڶَخ َڷيِهاَرْبِإ َڐَ اَا اَڹَك

َنوُڐِڎاتَياوُن ََ ْڷُكَڶْبَٵ َن ََ ْنَم انِ

َ

َ

أ ًَيِڶَخ

َ

َدِجا َسَس ْڷِڿيِ ِحا َصَو ْڷِڿِئاَيِبْن

َ

أ َروُبُٵ

َڱِلَذ ْنَع ْڷُٶاَڿْن

أ ِدِّإ َدِجاَسَس َروُبُقْلا اوُڐِڎاتَت َََف َََأ

َ

21

(

ڷڶسس هاور

.)

Artinya : Dari Jundab r.a., “lima hari sebelum Rasulullah SAW. Meninggal,

aku mendengar beliau bersabda: aku tidak hendak mengambil salah seorang dari kamu menjadi sahabat karibku, karena Allah telah mengambilku jadi sahabat seperti Ibrahim. Kalaulah aku dibolehkan mengambil sahabat karib Siantar umatku, tentu kuambil Abu Bakar. Ketahuilah! Sesungguhnya umat yang sebelum kamu, mengambil kuburan para Nabi dan orang-orang saleh mereka menjadi masjid. Karena itu, jangan sekali-kali kamu ambil kuburan menjadi masjid. Aku sungguh melarang kamu berbuat demikian”.

4. Larangan berpakaian seperti pendeta

لاق َُ نب َُ انثدح

نبا َادبع نب ڷيهاربإ نع عفان نع ڱلام ل تأرق

نع ىن ڷڶس و ڽيڶع َا ىص َا لوسر نأباط ِأ نب ل نع ڽيبأ نع ننح

عوكرلا ِ نآرقلا ةءارق نعو ټهَا ڷتَ نعو رڭصعڹلاو يقلا ړبل

.

22

(

هاور

ڷڶسس

)

Artinya :“Dari ‘Ali bin Abi Thalib r.a., katanya Rasulullah Saw telah melarang

berpakaian seperti pendeta dan memakai pakaian tercelup dengan warna

kuning, memakai cincin emas dan membaca Qur’an dala ruku’.”

21Shahih Muslim, jil. 1, hadis no. 531(Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 377. 22Shahih Muslim, jil. 3, hadis no. 2078 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h. 1648.


(34)

25

25 D. Hukum Tasyabbuh Terhadap Non-Muslim

Ibn Taimiyyah merumuskan dua penyerupaan yang bukan termasuk ke dalam syariat Islam :

a. Amalan tasyabbuh yang dilakukan dengan ilmu pengetahuan bahwa ia merupakan amalan khusus bagi agama lain. Pekerjaan ini dilakukan dengan tujuan mengikuti/setuju dengan agama tersebut. Akan tetapi amalan ini hanyalah sedikit. Ia juga dikelabui di dalam perbuatan tersebut karena serupa manfaat dunia dan akhirat. Semua ini jangan ragu-ragu dalam mengharamkannya. Karena membawa membawa kepada dosa besar atau menjadikan kekufuran.

b. Orang yang mengerjakan tidak mengetahui hakikat dari apa yang ia kerjakan, yaitu terbagi dua:

i) Amalan yang pada dasarnya diambil daripada agama lain. Yang dikerjakan dalam keadaan yang serupa ataupun dengan beberapa perubahan dari segi waktu, tempat, perbuatannya dan lain-lain. Inilah tasyabbuh yang

melibatkan masyarakat umum seperti ‘khamis raya’ atau perayaan krismas

orang-orang Nasrani. Maka sesungguhnya mereka yang terlibat dalam amalan tasyabbuh ini biasanya anak-anak dari orangtuanya dan kebanyakan dari mereka tidak mengetahui asal-usul dari perbuatan tersebut. Maka dikategorikan seperti yang pertama apabila tidak mendapat perhatian.


(35)

26

ii) Amalan yang tidak diambil dari orang kafir pun tetapi mereka mengerjakan amalan yang sama secara kebetulan. Maka bagi perbuatan ini tidak dikatagorikan sebagai amalan tasyabbuh. Akan tetapi ia meluputkan manfaat membedakan diri dari mereka. Status makruhnya atau haramnya perbuatan ini tergantung atas dalil-dalil syara’ meskipun ia merupakan bentuk dari perbuatan tasyabbuh. Ini karena penyerupaan kita (orang Islam) tidak lebih utama daripada penyerupaan mereka terhadap kita. Maka disunnahkan bagi umat Islam untuk meninggalkan tasyabbuh untuk kemaslahatan perbedaan. Seperti memanjangkan janggut, memakai alas ketika salat dan sujud. Perbuatan ini dapat menjadi makruh seperti mengakhirkan berbuka puasa.23

E. Bentuk-bentuk Tasyabbuh

Dalil-dalil menunjukan terhadap penyerupaaan dengan non-muslim dalam semua yang dilarang darinya, dan perbedaan di dalam hal yang disyariatkan ada dalam hal yang wajib dan adapula dalam hal yang sunah dalam beberapa tempat. dan telah diterangkan perintah-perintah apa saja yang telah Allah dan Rasul-nya bedakan dalam syariat, begitu juga dalam pekerjaan yang dengan niat menyerupai dengan mereka (non muslim) atau tidak dengan niat.

Bentuk-bentuk yang dapat menyerupai mereka ada 3 bagian. Pertama, bagian yang disyariatkan dalam agama kita dan juga disyariatkan bagi mereka non-muslim

23Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm: Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr


(36)

27

27

atau kita tidak tahu bahwa hal tesebut disyariatkan pula bagi mereka dan tetapi sama-sama kita kerjakan. Bagian yang tadinya disyariatkan kemudian di nasakh dalam Al-Qur’an. Bagian yang tidak ada dalam syariat sama sekali dan itu adalah hal yang baru. Dan inilah 3 bagian tersebut:

a. Pertama, sesuatu yang disyariatkan baik bagi muslim maupun non muslim atau

disyariatkan kepada kita dan mereka mengerjakannya. Seperti puasa ‘asyuro

atau sholat dan puasa. Maka di sini terdapat perbedaan dalam hal mengamalkannya, seperti diperintahkan bagi kita untuk berbuka dengan yang manis-manis dan pada saat magrib, berbeda dengan Ahli kitab. Diperintahkan bagi kita untuk mengakhirkan sahur, berbeda dengan Ahli kitab. Seperti diperintahkan bagi kita untuk Sholatdiatas alas, berbeda dengan sholatnya orang Yahudi. Dan masih banyak lagi dalam ibadah dan kebiasaan.24

Rasulullah SAW bersabda :

نِ ْرَغِل ُڮ اشلاَو اَ

َن ُدْحاڶلا َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا ُلوُسَر َلاَق

َا

(

دواد وبا هاور

)

.

25

Artinya : “Rasulullah SAW bersabda: liang Lahat bagi kita, dan diluar liang

Lahat untuk selain kita.”

b. Kedua, sesuatu yang disyariatkan kemudian dinasakh. Seperti hari Sabtu, menjawab sholat atau puasa hari Sabtu. Janganlah melaksanakan hal ini karena

24Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.166.


(37)

28

ini adalah ibadah wajib bagi mereka (yahudi), atau segala sesuatu yang diharamkan bagi mereka.

Hari-hari besar yang disyariatkan dalam ibadah, seperti sholat atau zikir, atau sodaqoh/zakat, atau ibadah haji dan juga adat istiadat. Dan jangan mengikuti pekerjaan yang membuat kita meninggalkan amal ibadah wajib. Rasulullah SAW bersabda:

َص ِ اَا ُلوُسَر َلاَق

اَنُديِع اَڐَهَو اًديِع فمْوَق ِ

د ُكِل انِإ فرْكَب اَب

أ اَي َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى

َ

(

يراخ هاور

.)

26

Artinya : “Rasulullah SAW bersada : wahai Abu Bakar, sesungguhnya bagi

setiap kaum terdapat hari raya, dan inilah hari raya kita (Idul Fitri dan Idul

Adha).”

c. Ketiga, sesuatu yang baru dari ibadah atau adat kebiasaan atau dari keduanya. Yaitu lebih buruk dari yang paling buruk. Maka apabila ada orang muslim membuat sesuatu yang baru adalah sangat buruk. Maka, bagaimana mungkin menjalankan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Nabi SAW?...sesuatu yang baru itu bagi orang-orang kafir. Maka menyetujuinya adalah buruk.27 Tidak

mengucapkan salam kepada Ahlu Dzimmah.

26Matan Sahih al-Bukhori. Kitab Jum’ah, vol. 1 (Jiddah: penerbit al-Haramain, tp. t), h.170. 27Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirȃt al-Mustaqȋm, h.169.


(38)

29

29

Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda:

ِع ََ اسلاِب ىَرا َصانا

ََو َدوُڿَ

َ

َا اوُءَدْبَت

ْ

َ َلاَق َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا َلوُسَر ان

َ

َ

أ

ِر َط ِِ ْڷُهَدَح

َ

أ ْڷُتيِقَل اَذِإَف

ِڽِقَي ْض

َ

أ

لِإ ُهوُر َط ْضاَف فڮي

َ

(

ره وبا هاور

)هري

28

Artinya : “sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : janganlah kalian mulai mengucapkan salam kepada orang-orang yahudi dan Nasrani, dan jika kalian bertemu dengan salah seorang diantara mereka di jalan, maka pepetlah

jalannya itu ke arah yang lebih sempit.”

Dari Annas r.a. ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda:

ِ اَا ِدْبَع ْنَع فراَنيِد ِنْب ِ اَا ِدْبَع ْنَع ٌڱِلاَم اَنَ ََْخ

َ

أ َفُسوُي ُنْب ِ اَا ُدْبَع اَنَٯادَح

َڷاڶَس اَذِإ

َلاَق َڷاڶَسَو ِڽْيَڶَع ُ اَا اى َص ِ اَا َلوُسَر انَأاَڹُڿْنَع ُ اَا َ َِِر َرَڹُع ِنْب

َ

ْ

َا ْڷُكْيَڶَع

َڱْيَڶَعَو ْلُقَٴ َڱْيَڶَع ُعا اسلا ْڷُهُدَح

َ

أ ُلوُقَي اَڹانِإَف ُدوُڿ

(

راخ هاور

ي

)

.

29

Artinya : “diriwayatkan dari Abdullah Bin Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW

bersabda: Jika ahlu kitab mengucapkan salam kepadamu maka jawablah ‘Wa

‘Alaikum’.

Selain dari pada itu terdapat beberapa kaidah umum yang telah digariskan oleh para ulama yang dapat menjadi kriteria utama bagi mengklasifikasikan sebuah amalan sebagai tasyabbuh dan dalam menetapkan sikap yang perlu diambil dalam berhadapan dengan isu ini. Antara kriteria tersebut adalah:

28Shahih Muslim, Kitab as-Salâm jil. 4, hadis no. 2167 (Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t. ), h.

1707.

29Al-Bukhori, Matan Sahih al-Bukhori, Kitab al-Isti’zȃn bab Ifsyȃus as-Salȃm, vol. 1, (tp., t.t), h.


(39)

30

1. Tidak dikira tasyabbuh melainkan dengan niat.

Ini merujuk kepada hadis yang menunjukan setiap amalan tergantung kepada niatnya.30 Maksud terpenting dari disyari’atkannya niat adalah untuk membedakan ibadah dari adat, dan membedakan ibadah dari ibadah lainnya. Contoh, menahan diri dari perbuatan yang membatalkan puasa, adakalnya hal itu dilakukan karena memang pantangan terhadap makanan, karena membahayakan, karena proses pengobatan, karena memang tidak butuh terhadapa makanan tersebut, atau karena diet. Duduk di Masjid adakalanya untuk istirahat, tujuan untuk iktikaf, melihat-lihat, dan lain-lain.31

2. Diantara yang mereka lakukan di hari raya mereka, ada berupa kekufuran, ada yang sekedar haram, namun ada juga yang mubah, yakni bila terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan dari penyerupaan diri tersebut. Perbedaan antara satu dengan yang lain pada umumnya mudah dibaca. Namun seringkali tidak nampak jelas bagi orang-orang awam.32

30Al-Bukhori, Sahih al-Bukhori, Kitab Bad’i al-wahyi, Bab kaifa Bad’i al-Wahyi Ila Rasulillah,

no. hadis: 1; Muslim, Sahih Muslim, Kitab al-Imarah, penerjemah. Ma’mur daud, jil. 4, no. hadis; 1861, (Jakarta: Fa. Widjaya, 1986), h. 52.

31Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah: dalam perspektif fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, dengan Anglo Media, 2004), h. 20.


(40)

31

31

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah menyatakan hikmah dalam sikap membedakan dengan orang kafir yang dapat menyokong kaidah ini dalam karya beliau Ahkam Ahl al-Dzimmah, yaitu :

Demi mencapai perbedaan yang menyeluruh (dengan orang bukan Islam), dan tidak menyerupai mereka dalam penampilan luaran, dan melaluinya dapat mengelakkan daripada penyerupaan dari aspek batin. Ini karena penyerupaan dalam salah satu dari aspek berkenaan akan mengundang kepada penyerupaan kepada aspek yang lainnya. Ini merupakan hal diketahui secara pemerhatian. Tidaklah dimaksudkan dengan perubahan dan perbedaan dalam aspek pakaian dan selainnya hanya untuk membedakan orang kafir dan Muslim semata, bahkan ia dibina atas beberapa objektif lain. Antara objektif yang utama ialah bagi meninggalkan segala faktor yang dapat mengakibatkan penyetujuan dan penyerupaan dengan mereka secara batin. Nabi SAW mengajarkan kepada umatnya untuk meninggalkan penyerupaan dengan orang bukan Islam.33 3. Segala bentuk hari raya dan hari besar secara umum berpengaruh besar

pada agama dan dunia seseorang. Sebagaimana pengaruh zakat, shaum dan haji.34 Oleh sebab itu seluruh syariat telah mengajarkannya :

Firman Allah SWT :

ُهوُڳِساَن ۡڷُه ًً َسنَم اَن

ۡڶَعَج لٿامُأ ِد ُكِدل

(

چحا

/

٢٢

:

٣٥

(

33Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ahkam Ahlu al-Zimmah, (Dar al-Hadis, 2005), 515. 34Ibnu Taimiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqim, h. 198.


(41)

32

Artinya : “Bagi tiap-tiap umat telah kamui tetapkan syari’at tertentu yang

mereka lakukan,”

Seorang hamba yang yang membiaskan diri melakukan amal perbuatan yang tidak disyariatkan sebagai bagian dari kebutuhannya, hasratnya untuk mengamalkan dan mengambil manfaat dari amal perbuatan yang disyariatkan otomatis akan berkurang, selaras dengan banyak sedikitnya amal pengganti yang ia biasakan.35


(42)

33 BAB III

HUKUM MENGIKUTI PERAYAAN HARI BESAR NON-MUSLIM

A. Hukum Mengikuti Perayaan Hari Besar Non-Muslim

Secara garis besar, orang-orang non-muslim disini dibagi menjadi 4 kelompok: Kelompok Ahli Kitab, Kelompok Atheis dan Murtad, Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin, dan Kelompok orang-orang munafik.

a. Kelompok Ahl al-Kitȃb

Siapakah yang disebut ahli al-kitâb? Mereka adalah orang-orang yang beragama berdasarkan salah satu kitab samawi, dan mengikuti salah seorang nabi.1 Menurut Maududi, Imam as-Syafi’i memehami istilah Ahl al-Kitȃb sebgai orang Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau, antara lain adalah bahwa Nabi Mûsȃ dan Isa as. Hanya diutus kepada mereka, bukan kepada bangsa-bangsa lain.2 Orang yang tetap berpegang pada agama yang dibawa nabinya sebelum kenabian Muhammad SAW. Atau sesudah kedatangan beliau tapi dakwah Islam belum sampai kepadanya, maka dia adalah orang yang Mukmin. Sedangakan

Kafir menurut bahasa adalah orang yang menolak atau mengingkari sesuatu. Dalam arti teologis, sebutan kafir diberikan oleh masyarakat suatu agama

1Abullah Nashih 'Ulwan, Sikap Islam Terhadap Non Muslim, Penerjemah Kathur Suhardi,

(jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1993), h. 32.

2M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut anda ketahui (Jakarta : Lentera Hati, 2008), h. 595.


(43)

34

kepada orang lain yang menolak atau tidak mempercayai seruan pembawa agama itu. Dalam teologi islam, sebutan kafir tersebut diberikan kepada siapa saja yang mengingkari atau tidak percaya kepada kerasulan Nabi Muhammad (570-632 M) atau dengan kata lain tidak percaya bahwa agama yang diajarkan olehnya berasal dari Allah SWT, pencipta alam. Kendati orang Kristen atau Yahudi meyakini adanya Tuhan, mengakui adanya wahyu, membenarkan adanya akhirat, dan lain-lain, mereka dalam teologi Islam tetap saja dapat diberi predikat Kafir, karena mereka menolak kerasulan Nabi Muhammad agama wahyu yang dibawanya.1

Dari sini akan muncul satu pertanyaan, mengapa ahli kitab ini tetap kufur, padahal sudah mengetahui dakwah Nabi Muhammada SAW? Bukankah mereka pengikut salah satu seorang nabi? Bukankah mereka memeluk salah satu agama samawi? Pertanyaan yang sangat mengena, namun kalau memahami hakikatnya secara mendalam, tentu tak akan ada kebimbangan dalam diri orang yang bertanya seperti itu, dan dia boleh tarik kembali perkataannya.

Sudah kita uraikan diatas bahwa risalah Islam adalah penutup seluruh risalah sekaligus mencakup semua syariat yang terdahulu. Risalah Islam mempunyai keistimewaan yaitu bersifat universal untuk seluruh alam, abadi dan aktual sepanjang zaman. Kitab- kitab samawi yang sebelum islam yang

1Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Djambatani, 1992),


(44)

35

35

masih beredar diantara kelompok Yahudi dan Nashara sudah bermacam-macam versinya, saling berbeda dan banyak menyimpang atau dirubah. Sedangkan Al-Qur'an tak akan pernah dapat dirubah ataupun diselewengkan.2 Firman Allah SWT :

َنو ُڤِڭٰ َحَل مُ

ل اانِ َر

َ

كِدَٱ اَ

ۡ

ناڒَن ُنۡ

ۡ

َ اانِإ

َ

)

رجحا

/

٥١

:

١

(

Artinya : "”Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya" .

Syariat Islam juga tidak akan bisa disamai oleh undang-undang atau tatanan-tatanan lain.

ۡنَمَو

ۡح

َ

أ

َنِم ُن َس

ٱ

ۡڳُح ِ اَ

مڹ

ۡوَقِدل ا

لم

َنوُنِقوُي

(

/ ةدئاما

١

:

١٥

(

Artinya : "dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin."

Atas dasar ini, sudah seharusnya setiap ahli al-kitâb, baik yahudi maupun Nashara yang telah tahu dakwah Islam untuk beriman kepada Nabi yang Ummi, yang telah dikabarkan dalam Taurat dan Injil. Mestinya ia beriman kepada yang tertulis dalam Al-Quran dan syariat-syariat yang ada didalamnya. Kalau tidak, berarti mereka menyembunyikan atau menutupi apa yang tertulis dalam Taurat maupun Injil, kitab mereka sendiri.

Ada hakikat lain yang harus diketahui setiap manusia, bahwa siapa yang beriman kepada sebagian kitab samawi dan mengingkari sebagian yang lain, maka ia adalah orang kafir. Karena diantara kriteria iman ialah percaya kepada


(45)

36

kitab-kitab samawi secara keseluruhan, dan beriman kepada semua nabi dan rasul.

a. Kelompok Atheis dan Murtad

Secara bahasa, murtad adalah kembali kejalan yang semula dilauli. Secara istilah, murtad bermakna kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dan sudah balig pada kekafiran karena kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain.3

Banyak sekali gambaran-gambaran atau bentuk-bentuk keyakinan yang bathil dan pemikiran menyesatkan yang dapat menyeret seseorang pada kemurtadan dan mengeluarkannya dari Islam ini, maka setiap orang muslim harus mawas diri dalam menaggapi keyakinan, atau perkataan atau perbuatan yang menyembul disekitarnya. Ia harus memagari diri dengan perbuatan-perbuatan baik, berpegang teguh pada sendi-sendi Islam dan merujuki para ulama yang mampu menyajikan fatwa dalam rangka menyingkirkan setiap gangguan dan intimidasi yang dapat mengotori aqidah. Sedangkan Atheisme

adalah pengingkaran terhadap dzat Illahi, menolak risalah samawi yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-rasul-Nya. Karena seorang Atheis tidak mau menerima agama Allah, mengingkari rukun iman dan dasar-dasar syariat. Meskipun Atheisme termasuk dalam kelompok pengertian kemurtadan, tapi justru ia lebih buruk dan lebih besar bahayanya bagi individu dan masyarakat


(46)

37

37

dibandingkan dengan pengertian kemurtadan lain, seperti pemeluk agama Nashrani dan Yahudi.4

b. Kelompok Paganis (penyembah berhala) dan Musyrikin

Siapakah yang disebut Paganis itu? Mereka adalah orang-orang yang membuat sembahan selain Allah, atau ,mengambil tuhan selain Allah. Yang termasuk kedalam kelompok ini adalah orang-orang musyrik Arab. Penyembah api, bintang, orang-orang majusi, dan lain-lainnya yang sama menyembah patung.

Untuk mendekatkan pada tujuan yang dimaksud, kita batasi pembahasan ini dalam dua kelompok, yaitu:

i. Kelompok Musyrik Arab

Dalam menghadapi kelompok ini, Islam menyodorkan 2 pilihan; Islam ataukah perang. Jizyah pun berlaku bagi mereka. Pendapat ini didukung oleh jumhur fiqoha, seperti Hanafiah, Imam Ahmad, Malikiah, Zaidiah, dan lain-lain. Mereka berkata, "Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir selain dari penyembah berhala dari bangsa Arab."

Sedang Al-Auza'I, Ats-Tsauri dan sebagian mazhab Malikiyyah berpendapat bahwa Jizyah bisa diambil dari setiap orang kafir, baik dari bangsa Arab atau non Arab, dari ahli kitab maupun penyembah berhala.


(47)

38 ii. Kelompok Paganis selain Arab

Kata Jizyah berasal dari kata jaza’ yang berarti upah atau bayaran. Secara istilah, adalah sejumlah uang yang diwajibkan kepada orang-orang ahlul-kitab yang masuk dalam perlindungan dan perjanjian umat Islam.5

Dari Muhammad bin Hambal berkata, bahwa jaminan tidak berlaku kecuali kepada ahli kitab atau orang seperti mereka, seperti orang-orang Majusi. Negara harus menjamin keamanan mereka dan mereka harus melaksanakan beberapa syarat.

Firman Allah SWT:

ُُلوُسَرَو ُ اَٱ َعارَح اَم َنوُسِدرَ

ُُ َََو ِرِخٓٱ ِعۡوَ َۡٱِب َََو ِ اَٱِب َنوُنِمۡؤُي ََ َنيِ اَٱ ْاوُڶِتَٰق

م

ۡڷُهَو لدَي نَع َٿَيۡڒِ

َٱ ْاو ُطۡعُي ٰ اَِح َټٰ َتِڳ

ۡ

ۡلٱ ْاوُتوُأ َنيِ اَٱ َنِم ِدڮَۡحٱ َنيِد َنوُنيِدَي َََو

َنوُرِغٰ َص

)

وتا

ٿب

/

٢:

٩٢

(

Artinya : “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.

Para Ulama ahli Fiqih sepakat bahwa Jizyah diambil dari Ahl al-Kitȃb dan Majusi.6 Dalam kitab bidayah al-Mujtahid, Syafi’i Abu Hanifah dan Tsauri berpendapat bahwa kafir dzimmi wajib membayar zakat sama halnya

5Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Kitab al-Jihâd bab al-Jizyah jil. iii, (Dar al-Kutub, 1973) , h. 664. 6Imam Ibn Qayyim, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah(Dȃrul al-Hadîts, 2005), h. 11.


(48)

39

39

orang Islam, juga seperti yang lain.7

c. Kelompok orang-orang munafik

Hiprokrisi atau kemunafikan adalah suatu sikap pada diri seseorang yang mengaku-ngaku Islam, tetapi jauh dilubuk hatinya menyimpan bara kekufuran yang menyala dan tujuan-tujuan yang menjijikan. Dalam mengahadapi orang-orang yahudi yang berlindung kepada Islam, maka mereka diperlakukan sebagaimana seorang Muslim yang murtad lalu memeluk agama lain. Atau mereka diperlakukan sebagaimana seorang destroyer yang memperlihatkan fanatismenya yang bakal merusak.

Mengenai hukum kehadiran/mengikuti perayaan non-muslim MUI telah mengeluarkan fatwa yang mengatakan bahwa kehadiran orang Islam pada perayaan Natal adalah Haram (dilarang), karena itu umat Islam tidak boleh ikut terlibat dalam upacara-upacara semacam itu. Fatwa itu ditandatangani oleh Syukri Ghozali, ketua, dan Mas’udi, Sekretaris Komisi Fatwa.8

ْۚاكوُفَراَعَ ِت َلِئ

كاَبَٵَو امبوُعُش ۡڷُكَٰنۡڶَعَجَو ٰ ََنُأَو لرَكَذ نِدم ڷُكَٰنۡقَڶَخ اانِإ ُساانٱ اَڿُي

أٓ َي

َ

َ اَٱ انِإ ۚۡڷُكٰىَقۡت

أ ِ اَٱ َدنِع ۡڷُكَمَرۡٶ

َ

َ

أ انِإ

ٞرِبَخ ٌڷيِڶَع

)

تارجحا

/

٨٢

:

٥١

(

Artinya : ”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".

7Ibnu Rusd, Bidayatul Mujtahid, wa Nihayatu al-Muqtasid, (al-Haramain, t.t), h. 178.

8Muhammad Atho Mudzar, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang


(49)

40

اَيۡنُلٱ ِِ اَڹُڿۡبِحا َصَو ۖاَڹُڿۡعِطُت

َََف ٞڷۡڶِع ۦِڽِب َڱَل َړۡيَل اَم ِِ َكِ ُۡۡت نَأ َٓ َل َكاَدَڿٰ َج نِ

ا

لِإ اڷُٯ ۚ ا

َ

لِإ َباَن

َ

أ ۡنَم َليِبَس ۡعِباتٱَو ۖامفوُرۡعَم

َ

َنوُڶَڹۡعَت ۡڷُتنُك اَڹِب ڷُكُٺِدبَن

أَف ۡڷُكُعِجۡرَس

ُ

)

ناڹقل

/

١٥

:

٥٥

(

Artinya : “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”.

ُجِرۡ ُُ ۡڷَلَو ِنيِدلٱ ِِ ۡڷُكوُڶِتَٰقُي ۡڷَل َنيِ اَٱ ِنَع ُ اَٱ ُڷُكٰىَڿۡنَي اَ

َََُت ن

َ

أ ۡڷُكِرَٰيِد نِدم ڷ

ُكو

ۡڷُهو

ُټِ ُُ َ اَٱ انِإ ۚۡڷِڿۡ

ََِإ ْاكوُطِسۡقُتَو

َنِطِسۡقُڹ

ۡ

لٱ

)

ڽنحتڹڹلا

/

٨

:

٠٦

(

Artinya : ”Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Khusus berkaitan dengan perayaan hari-hari besar itu sendiri, menurut kaca mata Al-Kitab, As-Sunnah, Ijma’ maupun Qiyaas.

Dalil-dalil Al-Qur’an yang melarang kita untuk ikut serta dalam hari-hari raya mereka. Adapun menurut Al-qur’an, adalah berdasarkan penafsiran beberapa tabi’in mengenai firman Allah :

امماَرِك

ْاوُرَس ِوۡغاڶلٱِب ْاوُرَس اَذِ َروُڒلٱ َنوُدَڿۡشَي ََ َنيِ اَٱَو

)

ناقرڭلا

/

٩٥

:

٢٩

(

Artinya : “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya”.


(50)

41

41

Abu Bakar Al-Khallaal meriwayatkan dalam al-Jâmi’, dengan sanadnya sendiri dari Muhammad bin Sirin, berkenaan dengan firman Allah :

َ

َ َنيِ

َٱَو

ا

َروُڒلٱ َنوُدَڿ ۡشَي

)

ناقرڭلا

/

٩٥

:

٢٩

(

Artinya : “dan orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan ...,”

Artinya adalah menghadiri Sya’âni (hari besar yang diperingati oleh orang kristen dalam rangka mengenang kembali masuknya Al-Masih ke Baitul Maqdis.9

Abu Syaikh Al-Ashbahani meriwayatkan dengan sanadnya sehubungan dengan “syarat-syarat yang dibebankan terhadap Ahli Dzimmah” dari Adh-Dhahak, bahwa arti: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan /kedustaan,” adalah: mereka yang tidak melontarkan kata-kata syirik.

Masih dengan sanadnya, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak bahwa makna ayat yang artinya: “orang-orang yang tidak menyaksikan kepalsuan/kedustaan,” mereka yang tidak menghadiri hari-hari besar kaum musyrikin.

Pernyataaan para tabi’in bahwa maksud ayat tersebut adalah larangan (menghadiri) hari-hari raya orang kafir, tidak bertentangan dengan pernyataan sebagian mereka bahwa yang dimaksud dengan larangan terhadap perbuatan syirik atau berhala dimasa jahiliyyah, atau pernyataan sebagian mereka adalah larangan

9Ibn Taymiyyah, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm: lilMukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm (Dar El-Fikr


(1)

61 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan penelitian dalam skripsi ini, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:

1. Tasyabbuh adalah perbuatan menyerupai non-Muslim, melakukan sesuatu seperti apa yang mereka lakukan, bertingkah laku seperti tingkah laku mereka, gaya hidup seperti gaya hidup mereka, berpikir seperti gaya berpikir mereka, lebih tepatnya dari segi aspek zahir dan batin. Adapun tasyabbuh pada zaman sekarang bila dikaitkan dengan cara berpakaian, berjalan, berpenampilan, gaya hidup sungguh tidak relevan lagi. Maka, yang lebih tepatnya dalam hal tasyabbuh pada zaman sekarang yaitu dalam hal cara berpikir yang lebih cenderung seperti mereka.

2. Dalam hal berhubungan dengan non-Muslim adalah hanya sebatas hubungan yang bersifat ta’aruf (saling mengenal), saling tolong menolong, saling berbuat kebaikan dan berbuat adil. Hubungan tersebut akan menciptakan perdamaian, kebaikan dan interaksi yang harmonis dengan mereka. Dari sinilah Islam tidak membedakan antara orang muslim dengan kafir dzimmi (orang yang hidup di tengah masyarakat Islam, dan mendapat perlindungan dari pemerintah Islam). 3. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah haram apabila di dalamnya

terdapat kekufuran dan juga kemaksiatan. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah mubah yakni apabila terlepas dari kerusakan yang ditimbulkan


(2)

akibat penyerupaan diri tersebut. Hukum merayakan ibadah non-Muslim adalah mubah apabila diniatkan hanya untuk menjaga hubungan antar umat beragama, memenuhi undangan dan menghormati mereka.

Selanjutnya penulis menambahkan, bahwa Islam adalah agama yang indah dan universal, mengatur seluruh umatnya dalam segala aspek kehidupannya, baik hubungan dengan Tuhan (vertikal) maupun hubungan dengan sesama manusia (horizontal). Semua aturan dari Allah yang ditujukan kepada manusia pasti untuk kebaikan manusia itu sendiri. Menurut pendapat penulis, kita sebagai umat Islam yang berusaha memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sudah sepatutnya menjauhkan diri dari perbuatan tasyabbuh tersebut agar terhindar dari laknat Allah dan Rasul-Nya. Sudut pandang dari dampak yang ditimbulkan bagi seseorang yang mengikuti ibadah non-muslim adalah akan menimbulkan semacam simpati serta loyalitas dalam hati yang akan merusak imannya. Sebagai sabda Rasulullah Saw. “Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, cukurlah kumis dan panjangkan jenggot” dan juga Rasul melarang memakai pakaian seperti pendeta. Apabila meniru-meniru dalam urusan dunia saja dilarang apalagi dalam masalah ibadah dan agama.

A. Saran

Untuk kepentingan penelitian selanjutnya, maka peneliti menyarankan : Pertama, perilaku ikut merayakan ibadah non-muslim bahkan sudah banyak diperaktekan dikalangan masyarakat kecil, karena biasanya pada hari-hari besar


(3)

akan ada pembagian bingkisan atau uang, yang bagi masyarakat kecil itu merupakan hal yang sangat membantu bagi kehidupan mereka.

Kedua, juga diharapkan adanya penelitian tentang bagaimana kehidupan seorang muslim di tengah-tengah masyarakat non-muslim agar penelitian ini lebih sempurna dan hasilnya lebih maksimal.

Ketiga, penulis menyarankan kepada berbagai elemen masyarakat, tokoh masyarakat, alim ulama, agar memantau dan memberikan kontribusinya kepada masyarakat dalam pemahaman agama, lebih dalamny yaitu dalam hubungan antar umat beragama.


(4)

DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-Karim

Abduh, Sa’id bin Shabir. Muzilul Ilbas Hukum Mengkafirkan dan Membid’ahkan. Penerjemah Nurkholis. Jakarta: Griya Ilmu, 2005.

Abi Syaibah, Muhammad Ibn Abi Syaibah. al-Musannaf. Maktabah al-Syamilah, juz. 7.

Albȃni, Muhammad Nasirudin Al-, Ringkasan Shahih Muslim. Penerjemah Imran Rosadi, vol. 1. Jakarta: Pustaka Azzam, 2003.

Azis, Jum’ah Amin Abdul. Fiqih Dakwah, studi atas berbagai prinsip dan kaidah yang harus dijadikan acuan dalam dakwah Islamiah. Penerjemah Abdus Salam Masykur. Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2001.

Bisri, Cik Hasan, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi. Tangerang Selatan : PT Logos Wacana Ilmu, 1998.

Bukhori. Matan Sahih Al-Bukhori. jil. 1. Jiddah: Penerbit al-Haramain, t.t. Daud, Abu, Sunan Abi Daud, hadis no. 1134, jil. 1, Dar al-Fikr, t.t.

Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan, kuantitatif dan kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam. Penerjemah Faturrahman A. Hamid. Jakarta: Amzah, 2005.

Moderasi Islam: Tafsir Al-Qur’an Tematik, vol. 4. Jakarta: Lajnah Pentashihan Al-Qur’an.

Moeleong, J Lexi, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2002.

Mu’jam al-Wasit. tp., 1985.

Mudzar, Muhammad Atho, Fatwa-fatwa Majlis Ulama Indonesia, sebuah studi tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia, 1975-1988. Jakarta: INIS, 1993.


(5)

Muhammad, jamȃl al-Dȋn ‘Athiyyah, Fiqh Baru bagi Kaum Minoritas. Penerjemah Shofiyullah Bandung: Penerbit Marja, 2006.

Munir, M, Metode Dakwah. Jakarta: Kencana, 2006. Muslim, Shahih Muslim. Beirut al-Arabi : Dar Ihya, t.t.

Nawawi, Hadari, Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta Gadjah Mada Universitas Press 2007.

Qardhawi, Al- Yusuf, Fiqih Minoritas, fatwa kontemporer terhadap kaum muslimin di tengah masyarakat non-muslim. Penerjemah Adillah Obid. Jakarta: Zikrul Hakim, 2004.

Qayyim, Imam Ibn, Ahkȃm Ahl az-Dzimmah. Dȃrul al-Hadîts, 2005.

Rifa’i, al-, Muhammad Nasib, ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Syihabuddin, vol. 4. Jakarta: Gema Insani Press. t.t.

Rusd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, wa nihâyatu al-muqtasid. Jil. 1-2, Al-Haramain, t.t. Shihab, M. Quraish, M. Quraish Shihab Menjawab-1001 Soal Keislaman yang patut

anda ketahui. Jakarta : Lentera Hati, 2008.

Sidharta, Lili Rasjidi & B. Arief. Filsafat Hukum- Mazhab dan Refleksinya. Bandung: Remadja Karya Offset, 1989.

Suyuthi, As- Imam Jalalludin Al-Mahalli & Imam Jalludin, Tafsir al-Jalâlain berikut asbâbun nuzûl ayat. Penerjemah, Bahrun Abu Bakar, vol. 1. Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996.

Syarifudin, Amir, Ushul Fiqh. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Taymiyyah, Ibn, Iqtida’ al-Sirat al-Mustaqȋm lil Mukhȃlafah Ashȃb al-Jahȋm. Dar El-Fikr Beirut-Libanon, 2003.

Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Djambatani, 1992.


(6)

Tuwaijiri, Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-, Ensiklopedia Islam Al-Kamil. Penerjemah Achmad Munir Badjeber, dkk. Jakarta: Darus Sunnah Press, 2007.