Mengutarakan Pendapat dengan Kalimat Tanya yang santun
Bahasa Indonesia SMKMAK Setara Tingkat Madya Kelas XI
00 Wartawan
: “Jadi, bagaimana dulu waktu memilih istri?” A. Raiq
: “Istri saya itu tipe orang yang tidak pernah ke sana kemari, nggak pernah macam-macam. Istri saya orang
rumahan, orang pendidikan yang betul-betul dididik oleh keluarga yang baik yang menurut saya cukup terhormat
dan dengan landasan agama. Saya menikah dengan jalur agamis.”
Wartawan : “Maksudnya?”
A. Raiq : “Sampai saat ini saya dekenal orang. Bahkan katanya,
sampai hari ini untuk penyanyi skill on the scope, belum ada yang bisa ngalahin saya. Itu kata orang. Toh orang
tidak akan percaya kalau lihat penampilan saya bahwa saya nggak mabuk, bahwa saya nggak doyan perempuan.
Orang nggak percaya bahwa sampai hari ini saya nggak penah kenal setetes minuman. Kenapa? Karena faktor
agama. Nah itu saya bawa dalam kehidupan saya.”
Wartawan : “Anak-anak bagaimana?” “Apakah mereka juga mengikuti
keteladanan yang Anda buat?” A. Raiq
: “Alhamdulillah, wasyukurillah, kita nggak boleh takabur, ya. Anak-anak saya itu yang namanya persoalan mendekati
narkoba, satu pun nggak ada. Merokok pun jika mungkin terjadi dilakukan secara sembunyi-sembunyi di belakang
saya.”
Wartawan : “Hal apalagi yang Anda tekankan dalam mendidik
anak?” A. Raiq
: “Masalah shalat dan mengaji. Soal kualitas dan perkem- bangannya itu masing-masing, tetapi saya tekankan.
Anak saya itu nggak ada satu pun yang berani ninggalin shalat. Anak saya, jangankan ninggalin, terlambat saja
saya pukul langsung.”
Wartawan : “Keras sekali Anda mendidik anak?”
A. Raiq : “Ooh saya keras soal shalat. Tapi soal yang lain saya
dudukin. Saya ngomong, jangan gitu, jangan gini, lalu memberi nasihat-nasihat. Tapi kalau soal shalat, lagsung
saya pukul. Langsung itu. Saya nggak ada ampun kalau soal shalat.”
Bahasa Indonesia SMKMAK Setara Tingkat Madya Kelas XI
Wartawan : “Efeknya bagaimana ke anak-anak?”
A. Raiq : Ooh luar biasa. Di mana saja mereka mesti shalat. dam-
paknya pun luar biasa kalau mau berpegang pada agama, nomor satu shalat. Boleh dibuktiin.
Sumber: Berita Kota Minggu, 27 April 2008
drama
Bapak
Karya: B. Selano Bapak
: “Dia putra sulungku. Si anak hilang telah kembali ulang. Dan sebuah usul diajukan segera mengungsi ke daerah
penduduk yang serta aman tenteram. Hem ya.. ya, usulnya dapat kumengerti. Karena ia sudah terbiasa bertahun-
tahun hidup di sana. Dalam sangkar. Jauh dari debu prahara. Bertahun-tahun mata hatinya digelapbutakan
oleh nina bobok, lelabuai oleh si penjajah. Bertahun-tahun
semangatnya djinakkan oleh suap roti keju. Celaka. Oo, betapa celakanya.”
Si bungsu senyum memandang. Bungsu
: “Ah, Bapak rupanya lagi ngomong seorang diri.” Bapak
: “Ya, Anakku, terkadang orang lebih suka ngomong sendiri. Tapi bukankah tadi engkau bersama abangmu?”
Bungsu : “Ya, sehari kami tamasya mengitari seluruh penjuru kota.
Sayang sekali kami tidak berhasil menjumpai ma.....” Bapak
: “Tunanganmu?” Bungsu
: “Ah, dia selalu sibuk dengan urusan kemiliteran melulu. Bahkan, ketika kami mendatangi asramanya, ia tidak ada.
Kata mereka, ia sedang rapat dinas. He heh, seolah seluruh hidupnya tersita untuk urusan-urusan militer saja.”
Bapak : “Kita sedang dalam keadaan darurat perang, Nak. Dan
dalam keadaan ini bagi seorang prajurit, kepentingan negara ada di atas segalanya. Bukan saja seluruh waktunya, bahkan
jiwa raganya. Tapi, eh, mana abangmu sekarang?”
Bahasa Indonesia SMKMAK Setara Tingkat Madya Kelas XI
Bungsu : “Oo, rupanya dia begitu rindu kepada bumi kelahirannya.
Seluruh penjuru kota dipotreti semua. Tapi, kurasa abang akan segera tiba dan sudahkah Bapak menjawab usul yang
diajukannya itu?”
Bapak : “Itulah, itulah yang hendak kuputuskan sekarang ini,
Nak.” Bungsu
: “Nah, itu dia” Si sulung datang dengan mencangklong pesawat potret menge-
nakan kata mata hitam. Terus duduk melepas kaca mata dan meletakkan pesawat potret di meja.”
Sulung : “Huhuh, kota tercintaku ini rupanya sudah berubah wajah
dipenuhi baju seragam menyandang senapan. Dipagari lingkaran kawat berduri dan wajahnya kini menjadi garang
berhiaskan laras-laras mesin. Tapi, di atas segalanya, kota tercintaku ini masih tetap memperlihatkan kejelitaannya.”
Bapak : “Begitulah, Nak, suasana kota yang sedang dikecam
keadaan darurat perang.” Sulung
: “Ya, pertanda akan hilang keamanan, berganti huru-hara keonaran. Dan mumpung masih keburu waktu, bagaimana
dengan putusan Bapak atas usulku itu?” Bapak
: “Menyesal sekali, Nak...” Sulung
: “Bapak menjawab dengan penolakan, bukan?” Bapak
: “Ya.” Bungsu
: “Jawaban Bapak sangat bjaksana.” Sulung
: “Bjaksana? Ya, kaubenar, manisku. Setidak-tidaknya demikianlah anggapanmu karena bukankah secara
kebetulan tunanganmu adalah seorang perwira TNI di sini. Tapi maaf, bukan maksudku menyindirmu, adik sayang.”
Bungsu : “Ah, tidak mengapa. Kauhanya sedang keletihan. Menga-
sohlah dulu, ya, Abang. Mengasolah, kaubegitu capek tampaknya. Bapak, biar aku pergi belanja dulu untuk
hidangan makan siang nanti.”
Sibungsu pergi. Si sulung mengantar dengan senyum. Bapak
: “Nak, pertimbangan bukanlah karena masa depan adikmu
Bahasa Indonesia SMKMAK Setara Tingkat Madya Kelas XI
seorang. Juga bukan karena masa depan sisa usiaku.” Sulung
: “Hem. Lalu? Karena rumah dan tanah pusaka ini barang- kali, ya Bapak.
Bapak : “Sesungguhnyalah, Nak. Lebih dari itu.”
Sulung : “Oo, ya? Apa itu ya, Bapak?”
Bapak : “Kemerdekaan.”
Sulung : “Kemerdekaan? Kemerdekaan siapa?”
Bapak : “Bangsa dan bumi pusaka ini.”
Si Sulung tertawa. Sulung
: “Bapak yang baik. Bertahun sudah aku di daerah pen- dudukan sana bersama beribu bangsa awak tercinta. Dan
aku seperti juga mereka, tidak pernah merasa menjadi budak belian ataupun tawanan perang. Ketahuilah, Bapak,
di sana hidup merdeka.”
Bapak : “Bebaskah kamu menuntut kemerdekaan?”
Sulung : “Hoho, apa mesti dituntut. Kami di sana manusia-manusia
merdeka.” Bapak
: “Bagaimana kemerdekaan menurut kau, Nak?” Sulung
: “Hem. Di sana kami punya wali negara, bangsa awak. Di sana, segala lapangan kerja terbuka lebar-lebar bagi bangsa
awak. Di sana, bagian terbesar tentara polisi, alat negara bangsa awak. Di atas segalanya, kami di sana hidup dalam
damai. Rukun berdampingan antara si putih dan bangsa awak...”
Bapak : “Dan di atas segalanya pula, di sana si Putih menjadi
dipertuan. Dan sebuah bendera asing jadi lambang kedaulatan, lambang kuasa, penjajahan. Dapatkah itu kau-
artikan suatu kemerdekaan?”
Sulung : “Baik, baik. Tapi ya, Pak, kita bukan politisi.”
Bapak : “Nak, setiap patriot pada hakikatnya adalah seorang politisi
juga. Kendati tidak harus berarti menjadi seorang diplomat, seorang negarawan. Dan justru, karena kesadaran dan
pengertian politiknya itulah seorang patriot akan senan- tiasa membangkang terhadap tiap politik penjajahan.
Bahasa Indonesia SMKMAK Setara Tingkat Madya Kelas XI
Betapapun manis bentuk lahirnya. Renungkanlah itu, Nak. Dan marilah kuambil contoh masa lalu. Bukankah
dulu semasa kita masih hidup, keluarga dalam suasana aman tenteram dan masa pensiun yang enak, sudah
dengan sendirinya berarti hidup dalam kemerdekaan? Tidak Anakku Kemerdekaan tidak ditentukan oleh semua
itu. Kemerdekaan adalah soal harga diri kebangsaan, soal kehormatan kebangsaan. Ia ditentukan oleh kenyataan,
apakah suatu bangsa menjadi yang dipertuan mutlak atas bumi pusakanya sendiri atau tidak. Ya, anakku,
renungkanlah kebenaran ucapan ini. Renungkanlah ......”
RANGKUMAN