14
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu
”. Komponen lain yang mempengaruhi kelancaran
pelaksanaan kurikulum adalah sarana prasarana. Penyediaan sarana yang memadai bisa menunjang hasil
pembelajaran. Seperti yang ditulis Djatmiko 2006 bahwa sehebat apapun guru dalam menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi, tanpa didukung oleh sarana prasarana yang memadai maka hasil yang diharapkan
tidak dapat dicapai secara maksimum. Oleh karena itulah, dalam pelaksanaan kurikulum
ketiga hal tersebut perlu juga diperhatikan supaya menunjang tercapainya tujuan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum.
B. Evaluasi Kurikulum
Dalam bukunya, Arikunto dan Jabar 2010 menyimpulkan beberapa pendapat dari ahli tentang
evaluasi yaitu kegiatan mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut
digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Demikian pula dalam
evaluasi kurikulum. Niekerk 2003 mengambil beberapa definisi dalam tulisannya, pertama menurut Kelly 1989
menyatakan bahwa evaluasi kurikulum adalah proses dari usaha-usaha yang tujuannya adalah mengukur nilai
dan efektivitas dari setiap hal penting dalam kegiatan pendidikan. Kemudian Cronbach 1963 mendefinisikan
evaluasi secara lebih luas sebagai mengumpulkan dan menggunakan informasi untuk membuat keputusan
15
menyangkut program pendidikan. Ketiga Davis 1981 mendeskripsikan evaluasi kurikulum sebagai proses dari
menggambarkan, mendapatkan
dan menyediakan
informasi yang berguna untuk membuat keputusan dan penilaian tentang kurikulum. Dari definisi-definisi
tersebut, maka evaluasi kurikulum penting untuk dilakukan sehingga orang-orang yang berperan dalam
kurikulum bisa melihat bagaimana efisiensi dan efektivitasnya.
Menurut Hasan 1988, dalam memberikan definisi dalam evaluasi kurikulum bergantung pada definisi
kurikulum itu sendiri yang menyangkut ruang lingkup kurikulum ataupun dimensi-dimensi kurikulum sebab
ruang lingkup kurikulum akan memberikan batasan pada ruang lingkup evaluasi kurikulum. Kemudian
dikemukakan juga bahwa kurikulum memiliki empat dimensi yang saling berhubungan satu sama lain.
Keempat dimensi tersebut adalah kurikulum sebagai suatu ide atau konsepsi, kurikulum sebagai suatu
rencana tertulis, kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses, dan kurikulum sebagai suatu hasil. Hubungan
diantara keempat dimensi tersebut digambarkan sebagai berikut.
Gambar 1. Empat Dimensi Kurikulum
Sumber: Qomari, 2008
Kurikulum sebagai ide
atau konsepsi
Kurikulum sebagai
rencana tertulis
Kurikulum sebagai
kegiatan atau proses
Kurikulum sebagai hasil
belajar
16
Komponen kurikulum yang terdiri dari 1 tujuan apa yang ingin dicapai, 2 apa saja yang harus dipelajari,
3 metode mengajarkan, 4 bagaimana menilai tujuan telah dicapai berhubungan dengan empat dimensi
kurikulum di atas. Selanjutnya, empat dimensi dari kurikulum merupakan hal yang saling berhubungan dan
berkesinambungan maka disimpulkan bahwa evaluasi kurikulum merupakan suatu proses pengumpulan dan
penggunaan informasi untuk membuat keputusan dan penilaian tentang kurikulum yang meliputi kurikulum
sebagai ide, kurikulum sebagai rencana tertulis, kurikulum sebagai kegiatanproses, dan kurikulum
sebagai hasil. Dalam penelitian ini, akan lebih cenderung
mengevaluasi kurikulum sebagai suatu kegiatan atau proses,
yaitu kurikulum
sebagai realita
karena kurikulum dalam dimensi ini adalah kurikulum yang
sesungguhnya terjadi di lapangan. Hasan 1988 lebih lanjut juga menuliskan bahwa kurikulum sebagai proses
sebenarnya merupakan implementasi atau pelaksanaan kurikulum sebagai rencana. Oleh karena itu, antara
dimensi kurikulum sebagai ide dengan kurikulum sebagai
rencana dan
kurikulum sebagai
proses merupakan suatu kelanjutan yang berkesinambungan.
Kesinambungan merupakan suatu hal yang penting dan kritis dalam pengembangan kurikulum. apabila
kesinambungan tersebut mengalami persoalan maka ide yang dimaksud dalam tahap pertama pengembangan
kurikulum tidak akan mencapai sasaran. Salah satu model evaluasi kurikulum yang dapat
digunakan adalah model yang dikembangkan dan
17
digagas oleh Stufflebeam dalam Hasan, 1988 yaitu model CIPP Context, Input, Process, dan Product. Model
ini mengandung empat komponen, yakni konteks, input, proses, dan produk, dan masing-masing perlu penilaian
sendiri. Evaluasi konteks meliputi penelitian mengenai
lingkungan satuan pendidikan serta pengaruh-pengaruh dari luar. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan dan
kelemahan yang dimiliki evaluan. Kemudian sebagian tugas evaluan adalah melakukan need assessment.
Evaluasi ini mencoba memberikan nilai dan arti dari suatu
keadaan. Nilai
diperlihatkan dengan
mengemukakan mengenai keadaan evaluan. Kekuatan dan kelemahan evaluan merupakan hasil pertimbangan
evaluator mengenai nilai evaluan. Sedangkan arti evaluan diperlihatkan dengan memberikan pertimbangan
apakah tujuan yang akan dicapai sesuai kebutuhan need. Bila evaluasi ini memadai, maka dilakukan
evaluasi input
masukan, yakni
mengemukakan program yang dapat mencapai apa yang diinginkan
lembaga tersebut. Evaluasi input tidak hanya melihat apa yang ada pada lingkungan lembaga material
maupun personal tetapi juga harus memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi diwaktu
mendatang ketika suatu inovasi kurikulum dilakukan.
Evaluasi proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan
suatu inovasi kurikulum. Sehingga evaluasi ini baru dapat dilakukan apabila inovasi kurikulum telah
dilaksanakan dilapangan.
Tujuannya memperbaiki
keadaan yang ada. Evaluator menentukan sampai sejauh mana rencana inovasi itu dilaksanakan dilapangan,
hambatan-hambatan apa yang ditemui yang tidak
18
diperkirakan sebelumnya, dan perubahan apa yang harus dilakukan terhadap kurikulum tersebut. Informasi
ini juga sebagai umpan balik untuk pengelola dan staf.
Selanjutnya evaluasi produk hasil adalah evaluasi yang
bertujuan untuk menentukan sampai sejauh mana kurikulum yang diimplementasikan tersebut telah dapat
memenuhi kebutuhan kelompok yang menggunakannya. Evaluasi hasil diharapkan memperlihatkan pengaruh
program tidak hanya yang bersifat langsung tapi juga tidak langsung. Pengaruh tersebut tidak saja yang besifat
positif tetapi juga pengaruh negatif dari kurikulum tersebut. Adanya pengaruh negatif terdengar aneh, tapi
sebenarnya realistis. Bukanlah hal yang mustahil bahwa suatu kurikulum menghasilkan pengaruh sampingan
yang negatif yang tidak diperkirakan pengembangnya.
Stufflebeam juga mengatakan bahwa keempat evaluasi ini merupakan satu rangkaian namun dalam
pelaksanaannya evaluator dapat melakukan satu jenis evaluasi saja atau kombinasi dari dua atau lebih. Namun
keunggulan model ini terletak pada kesatuan rangkaian evaluasi. Keempat dimensi kurikulum dapat dievaluasi
dengan model CIPP ini. Kurikulum sebagai ide dapat dievaluasi melalui evaluasi konteks, kurikulum dalam
dimensi sebagai rencana dapat menggunakan evaluasi input, sedangkan evaluasi proses dan hasil sesuai
namanya dapat dipakai untuk mengkaji kurikulum dalam dimensi sebagai proses dan hasil.
19
C. Pendidikan Taman Kanak-kanak