penggunaan verba modal bahasa Jerman müssen dan sollen serta padanannya dalam bahasa Indonesia.
2. Bagi penutur bahasa Indonesia yang sedang mempelajari bahasa Jerman, diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk memperdalam bahasa
Jerman, terutama yang berkaitan dengan penggunaan verba modal bahasa Jerman müssen dan sollen serta padanannya dalam bahasa Indonesia.
3. Bagi pengajar bahasa Jerman, diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai bahan referensi untuk menyampaikan materi pelajaran, khususnya
yang berkaitan dengan penggunaan verba modal bahasa Jerman müssen dan sollen
serta padanannya dalam bahasa Indonesia. 4. Bagi penerjemah, diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai
bahan referensi dalam proses penerjemahan, khususnya yang berkaitan dengan penggunaan verba modal bahasa Jerman müssen dan sollen serta padanannya
dalam bahasa Indonesia. 5. Bagi peneliti lain, diharapkan dapat menggunakan hasil penelitian ini sebagai
bahan referensi untuk menyelesaikan penelitiannya.
BAB II KAJIAN TEORI
A. Hakikat Modalitas
Menurut Perkins 1983:6 dari Ackrill 1963, dalam Alwi 1992:1, Aristoteles merupakan ahli yang pertama kali menyatakan gagasan mengenai
modalitas. Dengan menggunakan sudut pandang yang didasari oleh logika modal modal logic
, Aristoteles mengklasifikasikan modalitas menjadi tiga permasalahan, yaitu: keperluan necessity, kemungkinan possibility, dan ketakmungkinan
impossibility .
Maingueneau 1976:112, dalam Alwi 1992:1, berpendapat bahwa modalitas pikiran modalité logique perlu dibedakan dari modalitas apresiatif modalité
appr éciative
. Modalitas pikiran modalité logique adalah sikap pembicara yang menggambarkan, antara lain, kebenaran la vérité, kebolehjadian la probabilité
dan kepastian la certitude, sedangkan yang menggambarkan perasaan gembira l‘heureux
dan sedih le triste digolongkan ke dalam modalitas apresiatif modalité appr
éciative .
Sikap pembicara tidak hanya berkaitan dengan penilaian yang berdasarkan nalar dan penilaian yang berdasarkan rasa, tetapi juga dengan keinginan volonté.
Hal tersebut merupakan pandangan dari Bally 1942:3, dalam Alwi 1992:1-2, yang merumuskan modalitas sebagai:
la forme linguistique d’un jugement intellectuel, d’un jugement affectif ou
d’une volont é qu’un sujet pensant énonce à propos d’une perception ou d’une
repr ésentation de son esprit.
‘bentuk bahasa yang menggambarkan penilaian berdasar nalar, penilaian berdasar rasa, atau keinginan pembicara sehubungan
dengan persepsi atau pengungkapan jiwanya.’
De Hollander 1882 dalam Alwi 1992:7 mengemukakan bahwa modalitas tidak mempunyai arti tersendiri, tapi bertugas menunjukkan cara modus yang
digunakan untuk menyatakan makna pikiran atau untuk mengubah arti suatu ungkapan. Selain De Hollander, dua orang ahli lainnya pada kurun waktu yang sama,
Gerth van Wijk 1889 dan Van Ophuijsen 1901, juga sama-sama menyoroti modalitas berdasarkan pemakaian adverbia.
B. Penerjemahan 1. Hakikat Penerjemahan
Menerjemahkan pada hakikatnya adalah mengubah suatu bentuk menjadi bentuk lain Larson, 1984:3. Bentuk lain yang dimaksud dapat berupa bentuk bahasa
sumber atau bahasa sasaran. Menurut definisi di kamus, penerjemahan berarti pengubahan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain, atau pengubahan dari suatu bahasa
ke dalam bahasa lain, dan sebaliknya The Merriam-Webster Dictionary, 1984. Yang dimaksud dengan bentuk bahasa ialah kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dll., baik
lisan maupun tulisan. Dalam penerjemahan, bentuk bahasa sumber diganti ke dalam bentuk bahasa sasaran melalui struktur semantis. Jadi, makna yang ingin disampaikan
dari bahasa sumber ke bahasa sasaran harus tetap dipertahankan.
2. Padanan dalam Penerjemahan
Menurut Simatupang 1999:50, kata, frasa, dan kalimat yang semuanya bisa disebut bentuk, mempunyai potensi untuk mengandung beberapa makna, tergantung
lingkungan atau konteksnya. Kata look, misalnya, mempunyai tidak kurang dari 74 arti yang diakibatkan oleh hubungannya dengan kata lain atau konteksnya. Oleh karena itu,