Stabilitas Sediaan Bubuk Pewarna Alami Dari Rosela (Hibiscus Sabdariffa L) Yang Diproduksi Dengan Metode Spray Drying Dan Tray Drying.

(1)

SKRIPSI

STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY

DRYING DAN TRAY DRYING

Oleh

SANTY ERNAWATI F24051174

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY

DRYING DAN TRAY DRYING

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SANTY ERNAWATI F24051174

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

SANTY ERNAWATI. F24051174.Stabilitas Sediaan Bubuk Pewarna Alami dari Rosela (Hibiscus sabdariffa L) yang Diproduksi dengan Metode Spray Drying dan Tray Drying. Di bawah bimbingan: Yadi Haryadi dan Dede R. Adawiyah. 2010.

ABSTRAK

Pewarna makanan merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang cukup penting bagi industri pangan karena peranannya untuk memperbaiki penampakan makanan. Penggunaan pewarna sintetis dalam produk pangan sangat berkembang pesat baik di industri besar maupun di industri rumah tangga. Namun, penggunaan pewarna sintetis seringkali menimbulkan masalah kesehatan. Keadaan seperti itu memunculkan berkembangnya penggunaan pigmen alami yang berasal dari bahan alam untuk memperbaiki penampakan dan meningkatkan intensitas warna produk pangan. Contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.). Pigmen alami yang terkandung dalam tanaman rosela mengandung pigmen antosianin yang menimbulkan warna merah pada pH rendah.

Sediaan pewarna makanan banyak tersedia dalam bentuk konsentrat. Namun, sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat memiliki stabilitas dan umur simpan yang relatif tidak lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk membuat sediaan pewarna dalam bentuk yang lebih stabil. Teknik mikroenkapsulasi zat warna diharapkan dapat menghasilkan sediaan pewarna dalam bentuk bubuk dengan kadar air yang rendah. Metode mikroenkapsulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray drying dan Tray Drying (TLD).

Penelitian ini bertujuan memperoleh sediaan pewarna bubuk dari rosela, sebagai alternatif pewarna alami yang aman serta mengetahui stabilitas sediaan bubuk pewarna alami selama penyimpanan. Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian, yaitu ekstraksi pigmen rosela, pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak rosela dengan metode spray drying dan Tray Drying, analisis fisik dan kimia pewarna bubuk, serta uji stabilitas pewarna bubuk.

Ekstraksi rosela dilakukan dengan pelarut air menggunakan metode maserasi selama 24 jam. Ekstrak antosianin yang diperoleh berwarna merah pekat dengan kadar antosianin sebesar 0.49 mg/ml ekstrak. Selanjutnya, dilakukan pembuatan bubuk pewarna rosela dengan metode spray drying

menggunakan bahan penyalut maltodekstrin dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5, 3 : 10, dan 3: 15. Kadar air bubuk pewarna (metode spray drying) dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5, 3 : 10, dan 3: 15 berturut-turut adalah 4.48 %, 2.65 %, dan 2.81 %, kadar abu bubuk pewarna berurut-turut adalah 3.15 %, 4.15 %, dan 5.84 %, sedangkan kelarutan berurut-turut adalah 99.51 %, 98.90%, dan 98.77 %. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan sesudah spray drying paling tinggi terdapat pada sampel bubuk pewarna dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 5 yaitu dari 147 mg menjadi 33.94 mg atau turun 76.91 %. Penurunan jumlah antosianin sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 10 paling rendah yaitu 147 mg menjadi 69.03 mg atau turun


(4)

sebanyak 69.03 %. Sampel dengan maltodekstrin 10 % selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitasnya.

Ekstrak rosela dengan total padatan 3 % selanjutnya dipekatkan hingga total padatan 20 % serta dikeringkan dengan Thin Layer Dryer. Sebelumnya ditambahkan maltodekstrin dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin adalah 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Kadar air bubuk pewarna tersebut berturut-turut adalah 10.31 %, 9.81 %, dan 9.12 %, kadar abu berurut-turut adalah 2.34 %, 1.97 %, dan 1.41 %, sedangkan kelarutan berberurut-turut-berurut-turut adalah 99.23 %, 99.20 %, dan 98.26 %. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan sesudah proses produksi paling tinggi terdapat pada sampel bubuk pewarna proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20 yaitu dari 147 mg menjadi 29.51 mg atau turun sebanyak 79.93 %. Penurunan jumlah antosianin sampel bubuk pewarna proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 paling rendah yaitu 147 mg menjadi 33.79 mg atau turun sebanyak 76.24 %. Sampel dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15 selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitasnya.

Uji stabilitas dilakukan dengan menyimpan bubuk pewarna pada suhu yang berbeda (35 C, 45 C, dan 50 C) dengan interval waktu yang berbeda. Penurunan nilai a, kenaikan nilai b, dan kenaikan nilai L pada bubuk pewarna (metode spray drying) yang disimpan pada suhu 50 C lebih cepat daripada bubuk pewarna pada suhu lainnya, begitu pula dengan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode Tray Drying. Secara umum, intensitas warna (chroma) selama penyimpanan semakin menurun. Semakin tinggi suhu penyimpanan nilai E pun semakin besar. Secara umum nilai E bubuk pewarna rosela (metode Tray Drying) lebih besar daripada bubuk pewarna rosela (metode spray drying) kecuali pada suhu penyimpanan 35 C. Nilai E dapat dipengaruhi oleh jumlah maltodekstrin. Semakin banyak proporsi maltodekstrin maka perubahan warna pun semakin besar. Proporsi maltodekstrin terhadap total padatan ekstrak bubuk pewarna (metode tray drying) lebih besar (15:3) dibandingkan dengan proporsi maltodekstrin terhadap total padatan ekstrak bubuk pewarna (metode spray drying) (10:3).

Energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.00 Kkal, 24.22 Kkal, dan 23.32 Kkal. Sedangkan, energi aktivasi perubahan warna bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying berdasarkan perubahan nilai L, a, dan a/L berturut-turut adalah 32.44 Kkal, 29.45 Kkal, dan 31.97 Kkal. Hasil pengujian stabilitas warna menunjukkan bahwa bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode

tray drying lebih stabil dibandingkan bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini sesuai dengan hasil pengujian stabilitas antosianin yang memperlihatkan bahwa energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying (Ea = 36.07 Kkal) lebih tinggi dari pada Ea degradasi antosianin pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying (Ea = 33.17 Kkal).


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

STABILITAS SEDIAAN BUBUK PEWARNA ALAMI DARI ROSELA (Hibiscus sabdariffa L.) YANG DIPRODUKSI DENGAN METODE SPRAY

DRYING DAN TRAY DRYING SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

SANTY ERNAWATI F24051174

Dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1986 Di Bogor, Jawa Barat

Tanggal Lulus: 16 Desember 2009

Menyetujui

Bogor, Januari 2010

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si NIP: 19490612. 197603. 1. 003 NIP: 19680505. 199203. 2. 002

Mengetahui,

Ketua Departemen ITP

Dr. Ir. Dahrul Syah NIP: 19650814. 199002. 1. 001


(6)

RIWAHAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 Mei 1986. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Kamisan dan almarhumah Ibu Siti Rohmatin. Penulis mengawali jenjang pendidikannya di TK Insan Kamil Bogor pada tahun 1991-1992, SDN Cibalagung V pada tahun 1992-1993, dan SDN Ciomas VI Bogor pada tahun 1993-1998. Kemudian dilanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan di SLTP Negeri 7 bogor pada tahun 1998-2001 serta sekolah Menengah Analis Kimia Bogor (SMAKBo) pada tahun 2001-2005. Pada tahun 2005, penulis diterima sebagai mahasiswa IPB melalui jalur Undangan Seleksi masuk IPB (USMI) dan pada tahun berikutnya terdaftar di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Telnologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Selama menduduki bangku perkuliahan penulis aktif dalam kegiatan akademik dan non akademik. Dalam kegiatan akademik, penulis pernah menjadi asisten praktikum Analisis Pangan pada tahun 2009, dan sebagai pengajar Kimia pada Bimbingan Belajar Mahasiswa MSC Education pada tahun 2008-2009. Dalam kegiatan non akademik penulis pernah menjadi pengurus Badan Pengawas HIMITEPA pada tahun 2006-2007 dan pengurus BEM FATETA pada tahun 2007-2008. Penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan seperti Sie. HUMAS Art

IPB Day’s tahun 2005, Sie. Konsumsi Wisuda FATETA periode September tahun 2006, Sie. Konsumsi Panitia Wisuda FATETA Periode November tahun 2006, Sie. Sekretariatan Suksesi HIMITEPA tahun 2007, Sie. Acara Olimpiade FATETA tahun 2007, Sie. PDD Techno-F FATETA tahun 2007, PAK BAUR

tahun 2007, Skertaris Kartini IPB Day’s (KIDS) tahun 2008, Sie. Konsumsi A Total English in Action (Attention)tahun 2008. Penulis melakukan penelitian

sebagai tugas akhir yang berjudul ”Stabilitas Bubuk Pewarna Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang Diproduksi dengan Metode Spray Drying dan Metode Tray Drying” dibawah bimbingan Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. dan Dr. Ir. Dede R.


(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi yang

berjudul “Stabilitas Bubuk Pewarna Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) yang Diproduksi dengan Metode Spray Drying dan Metode Tray Drying” ini

didasarkan pada penelitian yang telah dilaksanakan sejak Februari sampai Agustus 2009.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan beberapa pihak baik secara langsung maupun tidak lagsung. Oleh karena itu, penulis menyampaika penghargaan dan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Yadi Haryadi, M.Sc. selaku dosem pembimbing akademik atas pengarahan dan masukan serta kesabarannya dalam membimbing penulis. 2. Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, M.Si. selaku dosen pembimbing atas segala perhatian dan arahan yang membimbing penulis selama melakukan penelitian dan penyelesaian skripsi ini.

3. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr. yang telah bersedia untuk menjadi dosen penguji.

4. Bapak dan Ibu yang sangat kucintai yang senantiasi memberikan kasih sayang, do’a dan dukungan kepada penulis.

5. Adikku Sandy Erwanto yang sangat kusayangi atas segala dukungan dan

do’a.

6. Bibi Sutiyah di Bandung atas segala kasih sayang dan motivasi, serta keluarga besar yang telah memberikan semangat kepada penulis.

7. Galih Eka, Fajar, Reni, dan Khrisia, terima kasih atas persahabatan dan kebersamaan selama ini.

8. Teman seperjuangan, team “Rocang” (Galih eka, Arya, Galih Ika, Ola) atas kerjasama, bantuan dan semangatnya selama penelitian.

9. Rino, teman satu bimbingan, terima kasih atas dukungannya.

10. Dosen-dosen IPB, terutama dosen-dosen ITP yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya.


(8)

ii

11. Teman-teman ITP 42, Tuti, Nina, Tyu, Muji, Nanda, Harist, Adi, Sina, Aji serta teman-teman ITP lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas kebersamaannya selama di ITP.

12. Pak Wahid, Pak sobirin, Pak Rojak, Pak Yahya, Bu Rubiah, Pak Gatot, Bu Antin dan teknisi lainnya yang selalu memberikan bantuan selama penelitian.

13. Teknisi LJA (Mbak Yane, Mbak Ririn, Siti, dan Mbak Yuli) terimaksih atas bantuannya.

14. Pimpinan, teman-teman staf pengajar dan karyawan MSC Education atas dukungannya.

15. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi dunia teknologi pangan.

Bogor, Januari 2010


(9)

iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN ... 2

C. MANFAAT ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

A. ROSELA ... 3

B. ZAT WARNA ... 5

C. ANTOSIANIN... 6

D. PENGUKURAN WARNA... 10

1. SPEKTROSKOPI ... 10

2. CHROMAMETER ... 10

E. MIKROENKAPSULASI... 11

F. MALTODEKSTRIN ... 12

G. SPRAY DRYING ... 14

H. TRAY DRYING ... 15

III. METODE PENELITIAN... 17

A. BAHAN DAN ALAT ... 17

B. METODE PENELITIAN ... 17

1. EKSTRAKSI PIGMEN DARI ROSELA ... 17

2. PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA ... 18

3. PENGUJIAN STABILITAS BUBUK PEWARNA ... 19

C. METODE ANALISIS ... 20

D. RANCANGAN PERCOBAAN ... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A. EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI ROSELA ... 25

B. KARAKTERISTIK SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA METODE SPRAY DRYING... 25

C. KARAKTERISTIK SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA METODE TRAY DRYING ... 30


(10)

iv

D. STABILITAS ANTOSIANIN ... 35

E. PENGUKURAN WARNA DENGAN CHROMAMETER... 43

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 59

A. KESIMPULAN ... 59

B. SARAN ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(11)

v

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kandungan gizi Rosela ... 4 Tabel 2. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium pada antosianidin ... 7 Tabel 3. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode Spray drying) 29 Tabel 4. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode Tray Drying) 34 Tabel 5. Karakteristik Bubuk Pewarna yang terpilih untuk diuji stabilitasnya .. 36 Tabel 6. Nilai waktu paruh bubuk pewarna rosela ... 40 Tabel 7. Energi aktivasi degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela ... 41 Tabel 8. Nilai E Energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L,a, dan

a/L pada larutan bubuk pewarna rosela ... 56 Tabel 9. Umur simpan pewarna bubuk rosella berdasarkan intensitas warna

merah pada suhu penyimpanan 4 C, 15 C, 35 C, 45 C, 50 C, dan suhu ruang... 58


(12)

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Tanaman Rosela ... 3

Gambar 2. Struktur umum antosianidin ... 6

Gambar 3. Struktur antosianin pada berbagai pH ... 8

Gambar 4. Perbedaan tipe mikrokapsul ... 12

Gambar 5. Spray dryer ... 15

Gambar 6. Skema thin layer cabinet dryer ... 16

Gambar 7. Metode ekstraksi pigmen antosianin ... 18

Gambar 8. Ekstrak antosianin ... 25

Gambar 9. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15) ... 26

Gambar 10. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying setelah dilarutkan dalam air (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15) ... 26

Gambar 11. Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 27 Gambar 12. Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 28 Gambar 13. Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode spray drying) 29 Gambar 14. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan (metode spray drying) ... 30

Gambar 15. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying (Proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 15, B = 3 : 17.5, C = 3 : 20) ... 31

Gambar 16. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying setelah dilarutkan dalam air (Proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 15, B = 3 : 17.5, C = 3 : 20) . 31 Gambar 17. Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode tray drying) .. 32

Gambar 18. Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode tray drying) 33 Gambar 19. Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode tray drying) . 34 Gambar 20. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah proses produksi (metode tray drying) ... 35

Gambar 21. Kurva hubungan total antosianin dengan dengan waktu penyimpanan pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d). ... 37

Gambar 22. Kurva kinetika bubuk pewarna rosela (metode spray drying) dengan suhu penyimpanan 35 C ... 38


(13)

vii

Gambar 23. Kurva kinetika bubuk pewarna rosela (metode spray drying) dengan suhu penyimpanan 45 C ... 39 Gambar 24. Kurva kinetika bubuk pewarna rosela (metode spray drying)

dengan suhu penyimpanan 50 C ... 39 Gambar 25. Kurva hubungan ln k dengan 1/T ... 41 Gambar 26. Kurva hubungan nilai L dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 44 Gambar 27. Kurva hubungan nilai a dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 45 Gambar 28. Kurva hubungan nilai b dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 47 Gambar 29. Kurva hubungan nilai C dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 48 Gambar 30. Kurva hubungan nilai E dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 50 Gambar 31. Kurva hubungan ln [L] dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 52

Gambar 32. Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai L 52 Gambar 33. Kurva hubungan ln [a] dengan dengan waktu penyimpanan pada

bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 53 Gambar 34. Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai a 53 Gambar 35. Kurva hubungan ln [a/L] dengan dengan waktu penyimpanan

pada bubuk pewarna rosela pada suhu penyimpanan kontrol atau suhu ruang (a), suhu 35 C (b), suhu 45 C (c), dan suhu 50 C (d) ... 54 Gambar 36. Kurva hubungan ln k dengan 1/T berdasarkan perubahan nilai


(14)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Karakteristik pewarna rosela (metode spray drying) ... 66 Lampiran 2. Karakteristik pewarna rosela (Metode tray drying) ... 68 Lampiran 3. Analis ragam kadar air pewarna bubuk rosela (metode spray

drying) metode Duncan ... 70 Lampiran 4. Analis ragam kadar abu pewarna bubuk rosela (metode spray

drying) metode Duncan ... 71 Lampiran 5. Analis ragam kelarutan pewarna bubuk rosela (metode spray

drying) metode Duncan ... 72 Lampiran 6. Analis ragam kadar air pewarna bubuk rosela (metode tray

drying) metode Duncan ... 73 Lampiran 7. Analis ragam kadar abu pewarna bubuk rosela (metode tray

drying) metode Duncan ... 74 Lampiran 8. Analisis ragam kelarutan pewarna bubuk rosela (metode tray

drying) metode Duncan ... 75 Lampiran 9. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray

drying) pada suhu ruang (kontrol)... 76 Lampiran 10. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray

drying) pada suhu 35 C ... 77 Lampiran 11. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray

drying) pada suhu 45 C ... 78 Lampiran 12. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode spray

drying) pada suhu 55 C ... 79 Lampiran 13. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray

drying) pada suhu ruang (kontrol)... 80 Lampiran 14. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray

drying) pada suhu 35 C ... 82 Lampiran 15. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray

drying) pada suhu 45 C ... 84 Lampiran 16. Stabilitas antosianin bubuk pewarna rosela (metode tray

drying) pada suhu 50 C ... 86 Lampiran 17. Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosella


(15)

ix

Lampiran 18. Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela pada suhu 45 C ... 89 Lampiran 19. Kinetika degradasi antosianin pada bubuk pewarna rosela

pada suhu 50 C ... 90 Lampiran 20. Energi aktivasi dan waktu paruh antosianin pada bubuk

pewarna rosela ... 91 Lampiran 21. Pengukuran warna larutan bubuk pewarna rosela dengan

chromameter ... 92 Lampiran 22. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan

a/L pada suhu ruang ... 94 Lampiran 23. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan

a/L pada 35 C ... 95 Lampiran 24. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan

a/L pada 45 C ... 96 Lampiran 25. Kinetika degradasi warna berdasarkan perubahan L, a, dan

a/L pada 50 C ... 97 Lampiran 26. Penentuan energi ektivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L 98 Lampiran 27. Penentuan energi ektivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a . 99 Lampiran 28. Penentuan energi ektivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai

a/L ... 100 Lampiran 26. Penentuan umur simpan berdasarkan perubahan nlai a/L ... 101 Lampiran 30. Dokumentasi pembuatan bubuk pewarna rosela ... 102


(16)

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Pewarna makanan merupakan salah satu bahan tambahan pangan yang cukup penting bagi industri pangan karena peranannya untuk memperbaiki penampakan makanan yang memudar akibat pengolahan, memperoleh warna yang seragam pada komoditi yang warna alamiahnya tidak seragam, memperoleh warna yang lebih tua dari aslinya, melindungi flavor dan vitamin yang peka selama penyimpanan, memperoleh penampakan yang menarik dari bahan aslinya, untuk identitas produk, serta sebagai indikator visual dari kualitas. Zat warna makanan secara umum dibagi dalam tiga golongan, yaitu zat warna alami, zat warna identik alami, dan zat warna sintetik (Henry, 1996). Zat warna sintetik umumnya bersifat lebih stabil, lebih cerah, dan lebih bervariasi. Sebaliknya zat pewarna alami memiliki sifat yang kurang stabil, kurang cerah, dan kurang bervariasi.

Penggunaan pewarna sintetis dalam produk pangan sangat berkembang pesat baik di industri besar maupun di industri rumah tangga. Namun, penggunaan pewarna sintetis seringkali menimbulkan masalah kesehatan. Keadaan ini menimbulkan keinginan orang-orang untuk menggunakan pewarna alami yang relatif aman.

Keadaan seperti itu memunculkan berkembangnya penggunaan pigmen alami yang berasal dari bahan alam sebagai pewarna makanan. Pigmen alami tersebut banyak ditemukan pada tumbuhan. Bagian tumbuhan yang biasanya memiliki pigmen yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna makanan adalah bagian daun, bagian bunga, dan bagian batang. Selain berfungsi untuk mewarnai produk, pigmen alami ini juga memiliki fungsi sebagai flavour, antioksidan, antimikroba, dan fungsi lainnya (Winarno, 2002). Contoh tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami adalah rosela (Hibiscus sabdariffa L.).

Rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung pigmen antosianin. Antosianin menimbulkan warna merah pada pH rendah (2-4), sedangkan pada pH tinggi dapat menghasilkan warna kuning, biru, bahkan tidak berwarna.


(17)

2 Pada umumnya sediaan pewarna makanan tersedia dalam bentuk konsentrat. Namun, sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat memiliki stabilitas dan umur simpan yang relatif tidak lama. Oleh karena itu, diperlukan suatu metode untuk membuat sediaan pewarna dalam bentuk yang lebih stabil. Teknik mikroenkapsulasi zat warna diharapkan dapat menghasilkan sediaan pewarna dalam bentuk bubuk. Dengan demikian, sediaan pewarna bubuk diharapkan memiliki stabilitas dan umur simpan relatif lebih lama dibandingkan dengan sediaan pewarna dalam bentuk konsentrat. Selain itu, produk mikroenkapsulasi memiliki keunggulan dalam hal kemudahan penanganan, transportasi, dan penyimpanan. Mikroenkapsulasi dapat memberikan perlindungan pada bahan inti dan menjaga pigmen warna dari faktor-faktor fisik dan kimia.

Metode mikroenkapsulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

spray drying dan tray drying. Pada metode spray dring, bahan disemprotkan ke dalam suatu media pengering pada suhu tinggi, sehingga bahan menjadi bubuk, granula, atau produk aglomerat. Dengan metode tray drying, bahan yang dikeringkan dengan menggunakan medium udara panas dibuat dalam bentuk lapisan tipis sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan. Metode tray drying

dilakukan pada suhu yang lebih rendah dari pada metode spray drying yaitu sekitar 50 C sehingga diharapkan dapat mengurangi kerusakan pigmen akibat suhu pemanasan yang tinggi.

B. TUJUAN

1. Mengetahui pengaruh mikroenkapsulasi ekstrak rosela terhadap stabilitas warna merah yang dihasilkan selama penyimpanan.

2. Mengetahui metode mikroenkapsulasi yang mampu menurunkan laju degradasi antosianin dan meningkatnya nilai aktivasi pada bubuk pewarna rosela.

C. MANFAAT

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan alternatif pewarna makanan yang aman bagi konsumen dan memiliki stabilitas yang baik selama penyimpanan.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. ROSELA

Rosela adalah tumbuhan yang berasal dari India dan memiliki nama Latin Hibiscus sabdariffa L. (keluarga Malvaceae). Tumbuhan ini dikenal sebagai penghasil serat bermutu yang dimanfaatkan untuk membuat karung goni. Rosela merupakan tumbuhan semak yang tingginya mencapai 3 m. Batangnya bulat, tegak, percabangan simpodial, memiliki kambium, dan berwarna merah. Daunnya tunggal berbentuk bulat seperti telur. Tipe tulang daunnya menjari. Ujung daunnya tumpul, dan pangkalnya berlekuk. Panjang daun rosela sekitar 6-15 cm dan lebarnya 5-8 cm. Panjang tangkai daun 4-7 cm dengan penampang bulat dan berwarna hijau (Maryani dan Kristiana, 2005). Rosela memiliki bunga tunggal yang tumbuh di ketiak daun. Kelopak bunga berwarna merah, berbulu, terdiri dari delapan sampai sebelas daun kelopak, dan pangkalnya berlekatan seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. Mahkota bunganya berwarna kuning berbentuk corong. Setiap bunga terdiri dari lima daun mahkota yang panjangnya 3-5 cm.

Daerah terbaik untuk menanam rosela adalah tempat tropis atau subtropis yang hangat dengan ketinggian 0-900 meter di atas permukaan laut. Pada 4-5 bulan setelah tanam, tanaman ini memerlukan banyak sinar matahari untuk mencegah munculnya bunga prematur yang dapat menyebabkan kualitasnya menjadi buruk. Curah hujan yang diperlukan selama pertumbuhan rosela adalah 182 cm/ tahun. Rosela dapat langsung diolah setelah dipanen atau dikeringkan agar lebih awet dalam penyimpanannya. Rasio pengeringan rosela umumnya 10 : 1, artinya dari setiap 10 kg kelopak segar akan menghasilkan 1 Kg kelopak kering (Maryani dan Kristiana, 2005).


(19)

4 Rosela merupakan sumber penting untuk vitamin, mineral, dan komponen bioaktif seperti asam organik, phytosterol, dan polyphenol. Beberapa di antaranya memiliki sifat antioksidan. Warna merah pada kelopak bunga rosela disebabkan oleh pigmen antosianin. Pigmen antosianin yang terdapat pada kelopak bunga rosela mengandung delphinidin-3-sambubiosida, cyanidin-3-sambubiosida, dan delphinidin-3-glucose (Fasoyiro et al., 2005). Persentase jenis antosianin dalam rosela yang terdistribusi sebagai sambubiosida, cyanidin-3-sambubiosida, dan delphinidin-3-glikosida adalah 71.40 %, 26.60 %, dan 2.00 % (Hong dan Wrolstad (1990) diacu dalam Wong et. al. (2002)). Kelopak Rosela mengandung vitamin C, vitamin A, dan 18 jenis asam amino. Kandungan asam lemak yang terdapat pada kelopak rosela diantaranya asam lemak miristat, palmitat, asam amino stearat, oleat, dan linoleat. (Maryani dan Kristiana, 2005). Rosela yang dimaksud pada penelitian ini adalah bagian kelopak bunga yang berwarna merah. Kandungan gizi rosela secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi rosela (Maryani dan Kristiana, 2005)

Komponen Jumlah (per 100 g kelopak bunga Rosela)

Kalori 44 Kal

Air 86.2 %

Protein 1.6 g

Lemak 0.1 g

Karbohidrat 11.1 g

Serat 2.5 g

Abu 1.0 g

Kalsium 160 mg

Fosfor 60 mg

Besi 3.8 g

Betakaroten 285 mg

Vitamin C 14 mg

Tiamin 0.04 mg

Riboflavin 0.6 mg


(20)

5 Rosela kini mulai dikembangkan petani untuk diambil kelopak bunga dan bijinya sebagai tanaman herbal dan bahan baku minuman kesehatan. Kelopak bunga rosela selain mengandung asam malat yang segar, juga mempunyai warna yang menarik dan dapat diolah menjadi beberapa produk yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi, yaitu berupa sirup atau minuman segar, selai, dan manisan (Ditjenbun, 2008).

B. ZAT WARNA

Warna adalah sifat sensori pertama yang diamati pada saat konsumen menemui produk pangan. Penentuan mutu bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya adalah rasa, warna, tekstur, dan gizinya. Namun, sebelum faktor-faktor lain diperhatikan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan keputusan konsumen. Selain sebagai faktor yang menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam atau merata (Winarno, 2002). Pewarna makanan ditambahkan ke dalam makanan untuk beberapa tujuan yaitu meningkatkan intensitas warna pada makanan yang intensitas warnanya rendah, untuk menyeragamkan warna dalam makanan, memperbaiki penampakan warna pada makanan yang warnanya memudar akibat pengolahan, serta untuk memberi warna pada produk tertentu yang tidak memiliki warna, misalnya produk-produk confectionery, dan minuman ringan (Henry, 1996).

Secara umum, pewarna makanan dibedakan dalam tiga kategori yaitu pewarna sintetik, pewarna identik alami, dan pewarna alami. Zat warna makanan adalah zat warna alami atau buatan yang boleh ditambahkan ke dalam makanan dan minuman untuk memperoleh warna makanan dan minuman yang diinginkan. Pewarna sintetik pertama kali ditemukan oleh Sir William Henry Perkins pada tahun 1856. Penemuan ini mendorong penemuan terhadap pewarna sisntetik lainnya. Zat warna sintetik untuk jenis-jenis tertentu dalam penggunaanya sering kali menimbulkan masalah kesehatan sehingga masing-masing negara mengatur penggunaannya antara zat warna


(21)

6 yang diizinkan dan dilarang. Zat warna alami adalah pewarna organik yang diperoleh dari sumber alami, contohnya adalah curcumin (dari turmeric), bixin (dari annatto), dan antosianin (dari buah-buahan dan tumbuhan berwarna merah). Zat warna alami sejak dahulu digunakan untuk pewarna makanan dan sampai sekarang umumnya dianggap lebih aman daripada pewarna sintetis. Zat warna identik alami adalah pewarna yang struktur kimianya identik dengan pewarna alami namun dibuat melalui sintesis kimia, contohnya -caroten, riboflavin, dan canthaxantin (Henry, 1996).

Pigmen alami mempunyai kestabilan yang berbeda terhadap berbagai kondisi pengolahan (Winarno, 2002). Suhu proses pengolahan produk yang menggunakan zat warna alami dianjurkan tidak terlalu tinggi dan dalam waktu yang singkat, sehingga dapat mengurangi laju kerusakan pigmen tersebut selama pemasakan atau pemanasan (Hutchings, 1999).

C. ANTOSIANIN

Antosianin dan antoxantin tergolong pigmen yang disebut flavonoid yang umumnya larut dalam air. Flavonoid mengandung dua cincin benzena yang dihubungkan oleh tiga atom karbon. Ketiga karbon tersebut dirapatkan oleh sebuah atom oksigen sehingga terbentuk cincin diantara dua cincin benzena (Winarno, 2002). Struktur umum antosianin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur umum antosianidin

Antosianin merupakan pigmen alami yang dapat menghasilkan warna biru, ungu, violet, magenta, merah, dan kuning. Konsentrasi pigmen sangat berperan dalam penentuan warna (Hue). Antosianin adalah pigmen larut air yang banyak terdapat pada bunga, buah, dan daun tumbuhan. Berdasarkan studi, antosianin tidak bersifat genotoksik (Francis, 2002). Studi yang


(22)

7 dilakukan pada minuman yang dibuat dari rosela memperlihatkan tidak adanya efek toksik (Askari et al., 1996).

Antosianin termasuk ke dalam senyawa fenolik yang dinamakan flavonoid. Antosianin adalah glikosida dari polihidroksi dan polimetoksi dengan 2-phenilbenzopyrylum atau garam flavinium (Kong, et. al., 2003). Monosakarida utama yang terdapat pada antosianin adalah glukosa (90 %), serta rhamnosa, galaktosa, xylosa, dan arabinosa (Andersen dan Jordheim (2006) diacu dalam Ovando et. al. (2009)). Gula yang terikat pada antosianin dapat terasilasi dengan asam-asam aromatik seperti p-coumaric, caffeic, ferulic, sinapic, galic, atau p-hydroxy benzoic acid, dan atau dengan asam-asam alifatik seperti asam-asam malonat, asetat, malat, suksinat, dan oksalat (Jackman dan Smith, 1996).

Sampai sekarang terdapat lebih dari 500 jenis antosianin dan 23 jenis antosianidin (Ovando et al., 2009). Hanya ada enam jenis antosianidin yang terdapat dalam buah dan sayuran yaitu cyanidin (50 %), delphinidin (12 %), pelargonon (12 %), peonidin (12 %), petunidin (7 %) dan malvidin (7 %). Ikatan glikosida yang terdapat pada antosianin umumnya dalah monosida, 3-biosida, 3,5- dan 3,7- diglikosida (Kong et. al. (2003) diacu dalam Ovando et. al. (2009)). Gugus pengganti pada struktur kation flavilium pada antosianidin dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Gugus pengganti pada struktur kation flavilium pada antosianidin (Jackman dan Smith, 1996)

Antosianidin Gugus pada karbon nomor:

3’ 4’ 5’

Pelargonin H OH H

Sianidin OH OH H

Delfinidin OH OH OH

Peonidin Ome OH H

Petunidin Ome OH OH


(23)

8 Flavonoid larut dalam air dan sangat reaktif sehingga mudah teroksidasi atau tereduksi. Flavonoid juga dapat membentuk garam jika bereaksi dengan asam atau basa (Hutchings, 1999). Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan antosianin diantaranya adalah pH, suhu penyimpanan, struktur kimia, konsentrasi, cahaya, oksigen, pelarut, serta keberadaan enzim, flavonoid lain, protein dan ion logam (Ovando et al., 2009).

Gambar 3. Struktur antosianin pada berbagai pH (Mateus dan Freitas, 2009) Struktur kimia dan stabilitas antosianin dipengaruhi oleh pH larutan seperti yang dapat dilhat pada Gambar 3. Pada pH 1, antosianin terdapat dalam bentuk flavilium yang memberikan warna ungu dan merah. Pada pH 2-4, antosinin terdapat dalam bentuk quinoidal. Pada pH 5-6, terdapat dalam bentuk chalcone dan basa carbinol yang tidak berwarna. Pada pH lebih dari 7, antosianin terdegradasi (Ovando et. al., 2009). Menurut Bridle dan Timberlake (1996), struktur primer antosianin adalah dalam bentuk kation flavilium.


(24)

9 Struktur sekunder akan terbentuk melalui transfer proton membentuk basa quinoidal yang kebiruan atau melalui hidrasi membentuk pseudobasa carbinol yang dapat mengalami tautomerisasi membentuk retro-chalcone yang tidak berwarna.

Seperti reaksi kimia pada umumnya, stabilitas antosianin dan laju degradasinya dipengaruhi oleh suhu. Deprotonisasi kation flavilium pada antosianin merupakan reaksi eksoterm, sedangkan hidrasi kation dan terbukanya cincin pyrylium merupakan reaksi endoterm. Dengan meningkatnya suhu, pembentukan chalcone akan meningkat (Jackman dan Smith, 1996). Pada kondisi aerobik, meningkatnya substitusi metoksil, glikosil, dan atau asil akan meningkatkan stabilitas thermal antosianin.

Kinetika degradasi antosianin dapat diamati berdasarkan konstanta laju reaksi dan waktu paruh. Degradasi antosianin mengikuti kinetika degradasi orde pertama (Ersus dan Yurdagel, 2007). Pada reaksi ordo pertama ini, jika diplotkan ln [C] yang tersisa terhadap waktu, akan diperoleh hubungan linier. Melalui grafik tersebut, dapat diperoleh konstanta laju reaksi (k) dengan mengunakan persamaan:

Ln [C]= -kt + ln [C]o

Dengan [C] = konsentrasi antosianin, [C]o = konsentrasi awal, dan t = waktu.

Absorbansi maksimum cyanidin-3-galaktosida adalah pada panjang gelombang 530 nm (Ersus dan Yurdagel, 2007), sedangkan menurut Iglesias

et. al. (2008), absorbansi maksimum cyanidin-3-galaktosida yang terdapat dalam apel adalah 532 nm. Tsai et. al. (2001) mengukur total antosinin dalam rosela sebagai delphinidin pada panjang gelombang 520 nm. Pengukuran ini dilakukan dalam pelarut metanol yang ditambahkan asam asetat 5 %. Du dan Francis (1973) mengukur total antosianin dalam rosela sebagai delphinidin-3-glukosida pada panjang gelombang 543 nm dengan nilai koefisien molar extinction 2.9 x 10-4.


(25)

10

D. PENGUKURAN WARNA 1. Spektroskopi

Spektroskopi merupakan metode yang secara luas digunakan untuk analisis kualitatif dan kuatitatif. Pengukuran dilakukan berdasarkan jumlah radiasi yang diabsorbsi atau diemisikan oleh analit (Pemer, 2003). Spektroskopi UV dan sinar tampak merupakan ciri tunggal yang paling berguna untuk menganalisis struktur flavonoid (Markham, 1998). Spektroskopi absorbsi memiliki prinsip dasar yaitu bila suatu cahaya putih atau radiasi dilewatkan melalui larutan berwarna maka radiasi dengan panjang gelombang tertentu akan diserap secara selektif dan radiasi lainnya akan diteruskan. Absorbansi maksimum dari larutan berwarna terjadi pada daerah berlawanan. Larutan warna merah akan menyerap radiasi maksimum warna hijau, warna kuning akan menyerap radiasi maksimum pada warna biru violet.

Analisis kuantitatif secara spektroskopi dilakukan dengan memakai persamaan Lambert-Beer, yaitu:

Pada persamaan ini, A adalah daya serap atau absorbansi, ε adalah absorptivitas molar, c adalah konsentrasi sampel (mol/ L), dan d adalah diameter sel (cm).

2. Chromameter

Chromameter adalah alat yang digunakan untuk mengukur warna dari suatu bahan. Pada chromameter, warna dideskripsikan melalui notasi warna. Notasi warna adalah suatu cara sistematik atau objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Di antara sistem warna terdapat tiga macam sistem notasi warna yaitu ICI (International Commission ON Illumination), Munsell, dan Hunter.

Sistem notasi ICI didasarkan pada konsep bahwa semua jenis warna dapat dibentuk dari tiga warna dasar yaitu merah ( 720 nm), hijau


(26)

11 ( 520 nm), dan biru ( 380 nm). Masing-masing warna ini dinyatakan dengan nilai X untuk merah, Y untuk hijau, dan Z untuk biru (Soekarto, 1990).

Cara pengukuran warna dengan sistem warna Munsel dilakukan dengan mengukur komponen warna dalam besaran value, hue, dan

chroma. Value menunjukkan gelap terangnya warna, nilai hue mewakili panjang gelombang dominan yang menentukan warna sampel, sedangkan

chroma menunjukkan intensitas warna. Ketiga komponen ini diukur dengan menggunakan alat khusus yang mengukur nilai khromasitas permukaan suatu bahan. Nilai yang diperoleh berbeda untuk setiap warna, kemudian nilai-nilai tersebut diplotkan ke dalam diagram kromasitas (Winarno, 2002).

Sistem notasi warna yang paling banyak digunakan adalah sistem notasi hunter yang mempunyai tiga parameter untuk mendeskripsikan warna, yaitu L, a, dan b (Soekarto, 1990). Nilai L menyatakan parameter kecerahan yang memiliki nilai 0 (Hitam) sampai 100 (putih). Nilai a menyatakan warna kromatik campuran merah sampai hijau dengan nilai a+ dari 0 sampai +100 untuk warna merah dan niai a- dari 0 sampai -80 untuk warna hijau. Nilai b menyatakan warna kromatik campuran biru sampai kuning dengan nilai +b dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai –b dari 0 sampai -70 untuk warna biru (Soekarto, 1990).

E. MIKROENKAPSULASI

Mikroenkapsulasi adalah suatu teknik penyalutan zat aktif (padatan, cairan, atau gas) dengan zat lain untuk melindunginya dari pengaruh lingkungan (Dubey et. al., 2009). Menurut Adameic dan Marciniak (2004), mikroenkapsulasi didefinisikan sebagai teknologi penyalutan zat aktif (core) yang berupa padatan, cairan, maupun gas dalam kapsul yang sangat kecil (diameter kapsul 1-800 µm) dengan suatu bahan matrix (carrier) untuk melindungi sifat-sifat tertentu selama penyimpanan, distribusi dan penggunaan. Mikroenkapsulasi dapat memberi perlindungan pada bahan inti dan menjaga warna dari faktor-faktor fisik dan kimia (Nielsen dan Holst,


(27)

12 2002). Enkapsulasi pewarna alami dapat menurunkan laju degradasi pigmen dan dapat meningkatkan umur simpan pewarna (Gradinaru et. al., 2003)

Zat aktif yang terkurung dalam mikrokapsul disebut inti atau core. Dinding penyalut disebut skin, shell, atau film pelindung. Proses mikroenkapsulasi bahan-bahan inti tersebut dibungkus oleh dinding polimer tipis. Mikrokapsul dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu monocore, polycore, dan matriks seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4. Mikrokapsul monocore mempunyai ruang partikel (core) tunggal, sedangkan polycore memiliki beberapa ruang partikel (core) yang ukurannya berbeda-beda yang dilapisi dinding penyalut. Pada tipe matriks, partikel-partikel zat aktif terintegrasi dalam matriks bahan penyalut (Dubey et. al., 2009).

Gambar 4. Perbedaan tipe mikrokapsul (Dubey et. al., 2009)

Menurut Adameic dan Marciniac (2004), tujuan terpenting dari proses enkapsulasi adalah melindungi zat aktif dari faktor eksternal seperti suhu, kelembapan, interaksi dengan zat lain, atau radiasi UV, mereduksi evaporasi atau perpindahan zat aktif ke lingkungan,serta melindungi sifat tertentu dari zat aktif, seperti bau, flavour, dan aktivitas katalitik.

Ada beberapa teknik mikroenkapsulai yang biasa digunakan, yaitu pembentukan polimer dengan reaksi kimia, spray drying, fluidised bed coating, melt solidifiation, co-extrusion, layer-by-layer deposition, supercritical fluid expansion, dan spinning disk (Dubey et. al., 2009).

F. MALTODEKSTRIN

Dekstrin yang dihasilkan dari hidrolisis asam atau pemanasan kering (roasting) sering disebut pirodekstrin. Selain proses hidrolisis, pada saat membuatan pirodekstrin terjadi juga repolimerisasi sehingga terbentuk polimer bercabang tingkat tinggi. Pirodekstrin merupakan jenis dekstrin yang


(28)

13 tersedia secara komersial. Maltodekstrin merupakan salah satu jenis pirodekstrin yang termasuk kelompok dekstrin putih yang secara luas digunakan oleh industri pangan.

Maltodekstrin merupakan produk hidrolisis pati yang mengandung unit -D-glukosa yang sebagian besar terikat melalui ikatan 1.4 glikosidik dengan dextrose equivalent (DE) kurang dari 20. Rumus umum maltodekstrin adalah [C6H10O5]n.H2O (Kennedy et al., 1995). Devidek et al. (1990) mendefinisikan maltodekstrin sebagai turunan pati yang dihasilkan dari degradasi rantai amilosa dan amilopektin secara kimiawi atau enzimatis menjadi dekstrin (< 62 %), maltosa (>6%), glukosa (>6%) dan mempunyai DE 3-20.

Maltodekstrin adalah polimer dari glukosa dengan panjang ikatan rata-rata 5-10 unit glukosa per molekul. Maltodekstrin banyak digunakan dalam indrustri makanan sebagai bahan pengisi. Idealnya maltodekstrin sedikit berasa dan berbau, namun maltodekstrin dengan DE 20 menghasilkan rasa manis. Maltodekstrin merupakan zat yang larut dalam air dan dapat melindungi zat yang dienkapsulasi dari oksidasi (Shahidi dan Han (1993) diacu dalam Ersus dan Yurdagel (2007)). Maltodekstrin memiliki viskositas yang rendah dan terdapat dalam bobot molekul yang berbeda (Ersus dan Yurdagel, 2007).

Maltodekstrin bersifat kurang hidroskopis, kurang manis, memiliki kelarutan tinggi,dan cenderung tidak membentuk zat warna pada reaksi pencoklatan. Maltodekatstrin dari sirup glukosa dalam industri pangan banyak digunakan sebagai bahan pengisi, mengurangi tingkat kemanisan produk, dan bahan campuran yang baik untuk produk-produk tepung. Penggunaannya sebagai bahan pengisi dapat mengurangi biaya produksi.

Menurut Kennedy et al. (1995), aplikasi maltodekstrin pada produk pangan antara lain pada:

1. Produk bakery, misalnya pada cakes, muffin, dan biscuit sebagai pengganti gula atau lemak.


(29)

14 2. Makanan beku. Maltodekstrin memiliki kemampuan mengikat air (water holding capacity) dan bobot molekul rendah sehingga dapat mempertahankan produk tetap beku.

3. Makanan berkalori rendah. Penambahan maltodekstrin dalam jumlah yang besar tidak akan meningkatkan kemanisan produk seperti halnya gula.

G. SPRAY DRYING

Mikroenkapsulasi dengan spray drying merupakan metode yang paling banyak digunakan secara komersial. Metode ini biasanya digunakan untuk enkapsulasi aroma, minyak, dan flavor. Spray drying merupakan proses transformasi suatu bahan dari wujud cair menjadi bentuk kering dalam suatu proses transformasi suatu bahan dari wujud cair menjadi bentuk kering dalam suatu proses yang kontinyu. Bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas, kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et. al.,

2009). Spray drying terdiri dari empat tahapan proses, yaitu atomisasi bahan melalui sebuah penyemprot, kontak antara droplet dengan udara pengering, evaporasi uap air, dan pemisahan produk kering dari udara kering.

Menurut Wirakartakusumah (1992), spray dryer digunakan untuk menghasilkan tepung dari suspensi cairan. Seperti proses pengeringan lainnya, prinsip pengeringan semprot cukup sederhana. Cairan disemprotkan ke dalam aliran gas panas, air dalam tetesan (droplet) menguap dengan cepat meninggalkan tepung kering. Tepung dipisahkan dari udara yang mengangkutnya dengan menggunakan separator atau kolektor tepung. Walaupun suhu udara yang masuk ruang pengering sangat tinggi, kecepatan penguapan yang tinggi menyebabkan pendinginan yang berarti, sehingga dapat menghindarkan bahan dari pemanasan yang berlebihan, bahkan tidak ada kontak bahan basah maupun produk kering dengan medium yang panas sekali. Skema spray dryer dapat dilihat pada Gambar 5.

Bahan yang akan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer

diusahakan mengandung total padatan yang tinggi sekitar 30-40 % dengan kandungan air sekitar 60-70 %. Pada kondisi demikian, proses pengeringan


(30)

15 dapat berlangsung lebih cepat dan degradasi karena panas dapat dikurangi. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Andrade dan Flores (2001), ekstrak antosianin dievaporasi hingga mencapai total padatan 12 Brix sebelum dikeringkan dengan spray dryer.

Gambar 5. Skema spray dryer (Anonim, 2008)

Pengeringan bahan pangan dengan metode spray drying dinilai lebih efisien dan ekonomis dibandingkan dengan metode lain. Terdapat beberapa keuntungan metode pengeringan semprot, antara lain yaitu produk menjadi kering tanpa bersentuhan dengan plat logam, temperature produk rendah (termasuk pada saat temperatur udara pemanas relatif tinggi, waktu pengeringan yang relatif singkat, serta menghasilkan produk akhir yang stabil, mudah ditangani, dan memudahkan transportasi.

H. TRAY DRYING

Salah satu proses yang penting dalam mikroenkapsulasi adalah pengeringan. Tujuan utama pengeringan yaitu mempertahankan produk selama penyimpanan karena dengan berkurangnya kadar air maka pertumbuhan mikroba dapat ditekan sehingga kerusakan produk dapat dihindari.

Pengeringan lapis tipis (film) digunakan untuk menghasilkan produk-produk yang kering dari bahan cair atau semi cair (Bolland, 2000). Menurut Kasuna et al. (2001), ubi-ubian seperti ubi jalar dengan tebal 5 mm dapat dikeringkan dengan metode tray drying pada suhu 55 C dan 65 C. Tray Dryer terdiri dari coil pemanas, blower, drying chamber, outlet udara, dan termostat (Gambar 6). Prinsip pengeringan tray drying dengan lapisan tipis sampel


(31)

16 adalah proses pengeringan dan bahan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk lapisan atau irisan tipis dengan menggunakan medium udara panas sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan. Semakin besarnya luas permukaan mengakibatkan kecepatan pengeringan semakin tinggi sehingga dihasilkan produk kering dengan lapisan atau irisan yang tipis.


(32)

III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rosela

(Hibiscus sabdariffa L.), akuades, etanol, maltodekstrin, metanol 26.4 M, HCl 35 %, kertas saring Whatman nomor 1 dan nomor 42.

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah blender, kain saring, penyaring vacuum, vaccum evaporator, corong Buchner, homogenizer, refrigerator, neraca analitik, spray dryer, tray dryer, chromameter, spektrofotometer UV-VIS, kuvet, inkubator, sealer, cawan aluminium, cawan porselen, oven vacuum, desikator, tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet, erlenmeyer, gelas piala, gelas ukur, labu takar, sudip, gelas pengaduk, botol kemasan, dan botol pereaksi.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap penelitian, yaitu ekstraksi pigmen dari rosela, penentuan pembuatan pewarna bubuk dari ekstrak metode

spray drying dan tray drying serta karakterisasi produk, dan pengujian stabilitas pewarna bubuk.

1. Ekstraksi pigmen dari Rosela

Ekstraksi pigmen bertujuan mendapatkan senyawa antosianin dari rosela melalui metode ekstraksi secara maserasi. Ekstraksi pigmen antosianin dilakukan dengan menggunakan metode maserasi yang merupakan modifikasi dari metode Tensiska dan Natalia (2007). Metode Tensiska dan Natalia menggunakan alkohol sebagai pelarut, sedangkan pada penelitian ini digunakan pelarut air seperti yang telah dilakukan oleh Kristie (2008). Diagram alir metode ekstraksi antosianin dari rosela dapat dilihat pada Gambar 7. Ekstrak rosela selanjutnya dikarakterisasi untuk dengan menganalisis total padatan dan total antosianin yang terkandung didalamnya.


(33)

18

Dihancurkan dengan ”Waring Blender” (+air dengan perbandingan 1:10)

Didiamkan semalam di dalam wadah tertutup (ruang gelap)

Disaring dengan kain saring

Disaring dengan penyaring vakum (Kertas saring Whatman No.1)

Gambar 7. Metode ekstraksi pigmen antosianin

2. Pembuatan dan Sediaan Bubuk Pewarna Rosela

1. Metode Spray Drying

Pada pembuatan sediaan bubuk pewarna dengan metode spray drying, digunakan maltodekstrin sebagai bahan pengisi dengan konsentrasi 5 %, 10 %, dan 15 % dari jumlah ekstrak encer (total padatan 3%) sehingga proporsi padatan terhadap penambahan maltodekstrin adalah 3 : 5, 3 : 10, dan 3 : 15. Sejumlah maltodekstrin ditimbang (5 %, 10 %, dan 15 % dari 100 gram ekstrak encer (total padatan 3%)) kemudian ditambahkan ekstrak pigmen rosela sebanyak 100 ml. Campuran tersebut dihomogenisasi 11000 rpm selama 1 menit dengan homogenizer lalu dikeringkan dengan alat spray drying

dengan suhu inlet 170 C dan suhu outlet 88 C. Bubuk pewarna yang dihasilkan selanjutnya dilakukan analisis kadar air, kadar abu, kelarutan, dan total antosianin.

2. Metode Tray Drying

Pembuatan sediaan bubuk pewarna dengan metode tray drying

dilakukan pada suhu lebih rendah daripada metode spray drying yaitu Rosela Kering

Ekstrak Rosela


(34)

19 50 C. Ekstrak pigmen rosela dipekatkan hingga mencapai total padatan 20 % dengan menggunakan rotavapour pada suhu 65 C. Bahan pengisi yang digunakan adalah maltodekstrin. Maltodekstrin dicampur dengan ekstrak rosela dengan perbandingan gram maltodekstrin dan ml ekstrak 6 : 6, 7 : 6, dan 8 : 6 sehingga proporsi padatan terhadap maltodekstrin adalah 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Kemudian dihomogenisasi dengan mixer dengan skala kecepatan pada no 1 selama 1 menit. Campuran tersebut dibentuk lapisan tipis pada

tray kemudian dikeringkan dengan tray dryer pada suhu 50 C. Setelah dikeringkan selama 4 jam, lapisan dikeruk dan dilakukan pengecilan ukuran dengan blender kering. Bubuk pewarna yang dihasilkan selanjutnya dilakukan analisis kadar air, kadar abu, kelarutan, dan total antosianin. Bubuk pewarna dengan penurunan jumlah antosianin paling rendah selama pengeringan selanjutnya dipilih untuk diuji stabilitasnya. Gambar pembuatan bubuk pewarna dapat dilihat pada Lampiran 30.

3. Pengujian Stabilitas Bubuk Pewarna

Pengujian stabilitas bubuk pewarna dilakukan dengan mengukur total antosianin dan warna larutan bubuk pewarna yang telah disimpan pada suhu tertentu setiap interval waktu tertentu. Pengukuran intensitas warna dilakukan dengan menggunakan chromameter sedangkan analisis total antosianin dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer. Disiapkan 30 buah botol plastik yang masing-masing berisi 1 gram sampel bubuk pewarna kering. Bubuk pewarna kering tersebut disimpan pada suhu 35 °C (10 botol), 45 °C (10 botol), dan 55 °C (10 botol). Bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 35 °C diukur intensitas warna dan total antosianin setiap interval waktu 7 hari, bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 45 °C diukur intensitas warna dan total antosianinnya setiap interval waktu 3 hari, sedangkan bubuk pewarna yang disimpan pada suhu 55 °C diukur intensitas warnanya setiap interval waktu 1 hari. Sebelum dilakukan pengukuran intensitas warna, bubuk pewarna dilarutkan terlebih


(35)

20 dahulu dengan akuades sehingga konsentrasinya mencapai 1 %. Degradasi pigmen diplot dengan menghubungkan total antosianin dengan waktu proses pemanasan berdasarkan kinetika reaksi orde pertama (Ersus dan Yurdagel, 2007).

Pengamatan kinetika degradasi antosianin dilakukan melalui persamaan matematis yang diinterpretasikan sebagai berikut :

=

ln Ct-ln Co = - kt ln Ct = -kt + ln Co keterangan:

Ct = konsentrasi pigmen pada waktu tertentu Co = konsentrasi awal pigmen

k = konstanta laju reaksi (hari-1) t = waktu (hari)

Berdasarkan kurva hubungan ln C dengan waktu diperoleh persamaan garis dengan nilai k sebagai slope dari kurva. Berdasarkan persamaan tersebut juga dapat dihitung waktu paruh (t1/2). Setelah nilai k pada berbagai suhu didapat, selanjutnya dibuat grafik hubungan 1/T (K-1) dengan nilai ln k (hari-1) sehingga diperoleh persamaan:

k = ko e-Ea/RT ln k = ln ko – Ea/RT keterangan :

k = tetapan laju reaksi ko = faktor frekwensi

Ea = energi aktivasi (kalori atau Joule)

R = tetapan gas (1.987 kal/mol K atau 8.3145 J/mol K) T = suhu mutlak (K)

C. METODE ANALISIS

Pewarna bubuk yang dihasilkan dianalisis karakteristik fisik dan kimianya yang terdiri dari penentuan kadar air (AOAC, 1995), total


(36)

21 padatan, kadar abu (AOAC, 1995), kelarutan (Purba, 2003) dan pengukuran warna dengan Chromameter (modifikasi Hutching, 1999) dan spektrofotometer (Iglesias et. al., 2008). Sediaan pewarna bubuk yang memiliki karakteristik terbaik digunakan selanjutnya untuk diuji stabilitasnya.

1. Kadar Air dan Total Padatan, Metode Oven (AOAC, 1995)

Cawan aluminium kosong dikeringkan dalam oven 105 C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong. Sejumlah sampel sediaan pewarna tertentu dimasukkan ke dalam cawan aluminium lalu ditimbang, kemudian dikeringkan dalam oven vakum 70 ºC semalam. Setelah dikeringkan. Didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali hingga diperoleh bobot konstan.

keterangan:

a = bobot cawan aluminum (gram) b = bobot sampel (gram)

c = bobot cawan aluminum dan sampel setelah dikeringkan (gram)

2. Penentuan kadar abu (AOAC, 1995 )

Cawan porselen kosong dikeringkan dalam oven 105 C selama 15 menit, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai bobot cawan kosong. Sejumlah sampel sediaan pewarna tertentu dimasukkan ke dalam cawan porselen lalu ditimbang, kemudian dikeringkan dalam tanur sampai terbentuk abu. Proses pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu pertama pada suhu sekitar 400 oC dan kedua pada suhu 550 oC. Setelah pengabuan


(37)

22 selesai, cawan diinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Pengabuan dilakukan kembali hingga diperoleh bobot konstan.

3. Kelarutan, metode gravimetri (Purba, 2003)

Satu gram sediaan pewarna bubuk dilarutkan dalam 150 ml akuades dan disaring dengan menggunakann kertas saring Whatman No. 42 dengan bantuan pompa vakum. Sebelum digunakan, kertas saring terlebih dahulu dikeringkan dalam oven 105 C selama 30 menit dan ditimbang. Setelah penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan dalam oven 105 C selama tiga jam, didinginkan dengan desikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan hingga diperoleh bobot yang konstan.

Keterangan:

a = berat kertas saring dan residu (gram) b = berat kertas saring (gram)

c = berat sampel yag digunakan KA = kadar air sampel ( % b/b)

4. Analisis antosianin (Iglesias et al., 2008)

Analisis total antosianin dilakukan dengan metode spektrofotometri pada panjang gelombang 543 nm (Iglesias et al., 2008). Sampel ekstrak antosianin dipipet sebanyak 0.1 ml. Kemudian ditambahkan metanol 26.4 M dan HCl 35 % dengan perbandingan 98:2 sampai dengan volume 10 mL. Sampel yang telah terekstrak disimpan dalam ruang gelap yang ditutup dengan aluminium foil selama 1 malam pada suhu 40C. Ekstrak diukur dengan spektrofotometer pada absorbansi 543 nm. Untuk sampel bubuk, sampel ditimbang sebanyak 0.3 gram dilarutkan dengan 5 ml akuades kemudian 2 ml larutan tersebut dipipet dan ditambahkan 8 ml larutan


(38)

23 metanol 26.4 M dan HCl 35 % dengan perbandingan 98 : 2. Sampel yang telah terekstrak disimpan dalam ruang gelap yang ditutup dengan aluminium foil selama 1 malam pada suhu 4 0C. Ekstrak disaring dengan kertas Whatman no. 1 dan filtratnya diukur dengan spektrofotometer pada absorbansi 543 nm

A= εxbxc

Jumlah antosianin (mg/ml sampel) =

Keterangan : A = absorbansi

ε = emisifitas antosianin (2.9 x 104 liter/mol) b = lebar kuvet (1.1cm)

c = konsentrasi ekstrak (mol/liter)

BM = massa molekul relatif delphinidin 3-glukosida (501 gr/mol)

5. Pengamatan Warna Menggunakan Chromameter ( Francis, 1999)

Intensitas warna diukur dengan menggunakan Minolta Chroma Meters CR-310. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel. Chromameter adalah suatu alat untuk analisis warna secara terstimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan suatu permukaan. Data pengukuran yang diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar. Pada chromameter ini digunakan sistem warna L, a, dan b. L menunjukkan kecerahan, a dan b adalah koordinat-koordinat kromatisitas, dimana a untuk warna hijau (a negatif) ke merah ( a positif), b untuk warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif).

Sebanyak 0.2 g pewarna bubuk dilarutkan terlebih dahulu dengan 10 ml akuades yang memiliki pH 7.0. Sebelum dilakukan pengukuran chromameter dikalibrasi dulu dengan menggunakan kalibration plate yang berwarna putih dengan Y = 92,89, x = 0.3178,


(39)

24 dan y = 0.3338. Setelah dikalibrasi zat warna diukur intensitas warnanya.

Perubahan warna sampel yang telah disimpan dengan warna sampel mula-mula dapat ditentukan dengan nilai E. Untuk mengetahui tingkat ketajaman warna yang dihasilkan daptat dilihat dari nilai chroma (C), sedangkam untuk mengetahui warna sampel dapat diketahui dari nilai Hue.

E = [( L)2+( a)2+( b)2] o

Hue = tan-1(b/a) C = (a2+b2)1/2

D. RANCANGAN PERCOBAAN

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pembuatan sediaan pewarna bubuk untuk menentukan konsentrasi maltodekstrin yang tepat dan untuk memilih sampel yang diuji stabilitasnya adalah rancangan acak lengkap, yaitu sebagai berikut:

Yij = + Ai + ij Yijk = Nilai amatan

= Rataan umum

Ai = Pengaruh konsentrasi bahan pengisi ke-i


(40)

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. EKSTRAKSI PIGMEN ANTOSIANIN DARI ROSELA

Ekstraksi antosianin dilakukan dengan pelarut air menggunakan metode maserasi selama 24 jam. Ekstrak antosianin yang diperoleh berwarna merah pekat seperti yang terlihat pada Gambar 8. Pelarut air digunakan karena air bersifat polar dan tidak bersifat toksik. Menurut Amr dan Al-Tamimi (2007) diacu dalam Ovando et. al. (2009) ekstraksi dengan metanol yang diasamkan lebih efektif dibandingkan dengan etanol dan aquades. Namun metanol bersifat toksik sehingga jarang digunakan pada bahan pangan.

Ekstraksi antosianin dari 100 g rosela dengan satu liter air akan menghasilkan 850 ml ekstrak. Selanjutnya dilakukan analisis total antosianin dalam ekstrak. Total antosianin ekstrak diperoleh sebesar 0.49 mg/ ml ekstrak.

Gambar 8. Ekstrak antosianin

B. KARAKTERISTIK SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA

METODE SPRAY DRYING

Teknik yang dilakukan pada pembuatan sediaan bubuk pewarna adalah teknik mikroenkapsulasi. Metode mikroenkapsulasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode spray drying dan tray drying. Pada metode spray drying, bahan disemprotkan dan diatomisasi membentuk droplet ke dalam suatu media pengering yang panas, kemudian air dalam bentuk droplet akan menguap meninggalkan bahan kering (Dubey et. al., 2009). Ekstrak dengan total padatan 3 % ditambahkan bahan penyalut maltodekstrin. Proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin adalah 3 : 5, 3: 10, dan 3: 15. Bubuk pewarna yang dihasilkan berwarna merah muda seperti yang dapat dilihat


(41)

26 pada Gambar 9, sedangkan Gambar 10 memperlihatkan bubuk pewarna setelah dilarutkan. Bubuk pewarna rosela yang dilarutkan dengan akuades terlihat berwarna merah dengan intensitas warna paling pekat adalah bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin adalah 3 : 5. Larutan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15 berwarna lebih pucat.

A B C

Gambar 9. Bubuk pewarna rosela (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15)

Gambar 10. Bubuk pewarna rosela setelah dilarutkan dalam air (proporsi total padatan terhadap penambahan maltodekstrin A= 3 : 5, B = 3 : 10, C = 3 : 15)

Bubuk pewarna yang dihasilkan selanjutnya dianalisis sifat fisik dan kimianya, meliputi kadar air, kadar abu, kelarutan, total antosianin dan warna. Hasil analisis dan perhitungan kadar air, kadar abu, kelarutan, dan total antosianin bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode spray drying

dapat dilihat pada Lampiran 1. Kadar air pada produk yang berbentuk bubuk akan mempengaruhi umur simpan produk. Diagram kadar air bubuk pewarna (metode spray drying) yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar air terbesar terdapat pada bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5 yaitu 4.48 %. Perbedaan ini disebabkan proporsi maltodekstrin tersebut kurang cukup untuk menyalut asam dan gum yang terkandung dalam ekstrak rosela. Hal ini dapat terlihat dari penampakan bubuk


(42)

27 yang agak lengket. Sifat gum yang dapat membentuk gel akan menghambat pengeringan karena air yang terperangkap dalam gel sulit diuapkan sehingga terbentuk bubuk yang semi basah. Bubuk yang semi basah ini sangat mudah sekali menempel pada dinding drying chamber pengering. Akibatnya bubuk yang dihasilkan akan berbentuk gumpalan-gumpalan yang semi basah (Purba, 2003). Pada penelitian yang dilakukan Purba (2003), pigmen brazilin yang ditambahkan gum arab sebanyak 2 %, 3 % dan 4 % mengalami penggumpalan karena terbentuknya gel saat dikeringkan dengan spray dryer. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 3), konsentrasi maltodekstrin memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air produk. Hal ini dapat dilihat dari uji statistik dengan metode duncan bahwa ketiga sampel berada dalam subset yang berbeda.

Gambar 11. Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode spray drying) Hasil penelitian terhadap kadar abu menunjukkan kadar abu tertinggi adalah 5.84 % yaitu pada bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15. Kadar abu terendah adalah 3.15 % yaitu bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5. Diagram perbandingan kadar abu dapat dilihat pada Gambar 12. Total abu yang tinggi mengindikasikan kandungan mineral yang tinggi. Mineral tersebut dapat berasal dari matodekstrin yang ditambahkan serta dari rosela itu sendiri. Menurut Maryani dan Kristiana (2005), dalam 100 gram rosela terkandung 1 gram abu yang di dalamnya terdapat mineral kalsium, fosfor, dan besi.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50

3 : 5 3 : 10 3 : 15

4.48

2.65 2.81

K

a

d

a

r A

ir

(

%)

Total padatan ekstrak : Maltodekstrin

(c) (b)


(43)

28

Gambar 12. Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode spray drying)

Beberapa ion logam dapat berinteraksi dengan antosianin membentuk kompleks. Beberapa kation logam dapat menyebabkan bathocromic shift yaitu pergeseran panjang gelombang maksimum. Hal ini dapat diamati apabila terjadi perubahan warna menjadi kebiruan dan kadang-kadang menyebabkan pengendapan pigmen. Warna biru dapat terbentuk karena pembentukan komlpeks antara antosianin dan beberapa ion logam seperti aluminium, besi, tembaga, timah dan magnesium (Ovando et. al., 2009). Pada sampel yang diamati tidak terjadi perubahan warna merah menjadi biru. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 4), ketiga sampel berada pada subset yang berbeda. Dengan demikian dapat diketahui bahwa konsentrasi maltodekstrin memberikan pengaruh nyata terhadap kadar abu produk.

Berdasarkan uji kelarutan bubuk pewarna, diperoleh nilai kelarutan tertinggi adalah 99.51 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15, sedangkan nilai kelarutan terendah adalah 98.77 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan kadar air bubuk pewarna. Semakin tinggi kadar air produk bubuk, semakin sulit produk dilarutkan dalam air karena produk cenderung membentuk butiran yang lebih besar tetapi tidak porous. Diagram kelarutan bubuk pewarna dapat dilihat pada Gambar 13.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

3 : 5 3 : 10 3 : 15

3.15 4.15

5.84

K

a

d

a

r A

b

u

(

%)

B

a

si

s

ke

ri

n

g

Total padatan ekstrak : Maltodekstrin

(c) (b)


(44)

29

Gambar 13. Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode spray drying) Hasil uji statistik (Lampiran 5) menunjukkan bahwa kelarutan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 15 tidak berbeda nyata dengan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 10, namun berbeda nyata dengan bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5.

Proses pengeringan semprot yang menggunakan panas yang cukup tinggi dapat mengakibatkan penurunan total antosianin. Pada penelitian ini, suhu inlet yang digunakan adalah sekitar 170 C. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna dapat dilihat pada Tabel 3. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan : maltodekstrin 3 : 15 memiliki kadar antosianin yang paling tinggi.

Tabel 3. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode Spray drying) Pewarna Bubuk Rosela

Total Antosianin (mg/ g bahan kering) dengan proporsi total

padatan ekstrak terhadap maltodekstrin

3 : 5 1.49

3 : 10 1.90

3 : 15 2.38

Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan dengan spray dryer. Dalam 300 ml ekstrak antosianin mengandung 147.00 mg antosianin. Sejumlah ekstrak tersebut dalam jumlah yang sama (300 ml) ditambahkan maltodekstrin dengan konsentrasi yang berbeda. Penurunan jumlah antosianin paling rendah terdapat pada sampel

80.00 85.00 90.00 95.00 100.00

3 : 5 3 : 10 3 : 15

98.77 98.90 99.51

% Ke

la

ru

ta

n

Total padatan ekstrak : Maltodekstrin

(a) (a)


(45)

30 bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 10 yaitu dari 147.00 mg menjadi 45.53 mg. Jumlah antosianin pada bubuk pewarna tersebut turun 69.03 % dari jumlah antosianin awal dalam ekstrak rosela. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap maltodekstrin 3 : 5 mengalami penurunan antosianin paling banyak (76.91 %) karena pada proses pengeringan, antosianin tidak cukup tersalut oleh maltodekstrin. Sehingga antosianin tersebut lebih mudah terdegradasi oleh panas. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Penurunan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan (metode spray drying)

C. KARAKTERISTIK SEDIAAN BUBUK PEWARNA ROSELA

METODE TRAY DRYING

Prinsip pengeringan lapis tipis adalah proses pengeringan dimana bahan yang akan dikeringkan dibuat dalam bentuk lapisan atau irisan tipis dengan menggunakan medium udara panas sehingga efisiensi pengeringan menjadi semakin meningkat karena semakin besar luas permukaan. Semakin besarnya luas permukaan mengakibatkan kecepatan pengeringan semakin tinggi sehingga dihasilkan produk kering dengan lapisan atau irisan yang tipis. Pada metode tray drying, suhu pengeringan lebih rendah daripada metode

spray drying yaitu 50 C. Hal ini bertujuan agar degradasi antosianin karena panas dapat dikurangi. Ekstrak encer (total padatan 3 %) yang dihasilkan

0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00

3 : 5 3 : 10 3 : 15 147.00 147.00 147.00

33.94 45.53 44.62

Ju m lah an to si an in ( m g ) d al am sam p e l

Total padatan ekstrak : Maltodekstrin

Sebelum dikeringkan Setelah dikeringkan


(46)

31 dipekatkan terlebih dahulu dengan rotavapour hingga total padatan mencapai 20 %. Hal ini dilakukan agar waktu pengeringan tidak terlalu lama mengingat suhu yang digunakan tidak terlalu tinggi. Pada metode ini, maltodekstrin yang digunakan lebih banyak daripada metode spray drying. Perbandingan gram maltodekstrin dan ml ekstrak adalah 6 : 6, 7 : 6, dan 8 : 6. Dengan demikian, diperoleh proporsi total padatan terhadap maltodekstrin yang ditambahkan adalah 3 : 15, 3 : 17.5, dan 3 : 20. Bubuk pewarna yang dihasilkan berwarna merah namun ukurannya lebih kasar dari pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying. Bubuk pewarna yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan Gambar 16 memperlihatkan bubuk pewarna setelah dilarutkan. Setelah dilarutkan, diperoleh larutan yang berwarna merah. Semakin tinggi kandungan maltodekstrin, intensitas warna merah semakin menurun.

A B C

Gambar 15. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying

(proporsi total padatan ekstrak : maltodekstrin A = 3 : 15, B = 3 : 17.5, dan C = 3 : 20)

Gambar 16. Bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying

setelah dilarutkan dalam air (proporsi total padatan ekstrak : maltodekstrin A = 3 : 15, B = 3 : 17.5, dan C = 3 : 20)

Seperti pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying, bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying juga dianalisis karakteristik fisik dan kimianya. Hasil analisis dan perhitungan kadar air, kadar


(47)

32 abu, kelarutan, dan total antosianin bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying dapat dilihat pada Lampiran 2. Kadar air terbesar terdapat pada bubuk pewarna 3 : 15, sedangkan kadar air terkecil terdapat pada bubuk pewarna 3 : 20. Diagram kadar air bubuk pewarna (metode tray drying) dapat dilihat pada Gambar 17. Pada waktu pengeringan yang sama ( 4 jam) jumlah air yang tertinggal pada ekstrak tidak sama mengingat kadar air awal pun berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai laju pengeringan ekstrak dengan tray dryer. Kadar air bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying lebih besar dari pada bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying. Hal ini dapat disebabkan suhu pengeringan pada spray dryer jauh lebih tinggi dari pada pada tray dryer, selain itu pada spray dryer

sampel semprotkan sehingga membentuk aerosol yang lebih mudah dikeringkan. Hasil uji statistik (Lampiran 6) menunjukkan bahwa kadar air bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin sebesar 3 : 15 tidak berbeda nyata dengan bubuk pewarna yang 3 : 17.5, namun berbeda nyata dengan bubuk pewarna yang menggunakan maltodekstrin 3 : 20.

Gambar 17. Diagram kadar air bubuk pewarna rosela (metode tray drying) Hasil penelitian terhadap kadar abu menunjukkan kadar abu tertinggi adalah 2.34 % yaitu pada bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 15. Kadar abu terendah adalah 1.41 % yaitu bubuk pewarna rosela dengan proporsi total padatan terhadap maltodekstrin 3 : 20.

8.40 8.60 8.80 9.00 9.20 9.40 9.60 9.80 10.00 10.20 10.40

3 : 15 3 : 17.5 3 : 20

10.31

9.81

9.12

K

a

d

a

r A

ir

(

%)

Total padatan ekstrak : Maltodekstrin (a)

(a)


(48)

33 Seharusnya semakin tinggi kandungan maltodekstrin biasanya mempunyai kadar abu yang lebih tinggi. Namun hasil analisis kadar abu pada produk bubuk pewarna rosela yang dibuat dengan metode tray drying memperlihatkan hasil analisis yang sebaliknya. Hal ini dapat terjadi karena rentang waktu produksi dan analisis kadar abu berbeda, sehingga produk yang dianalisis dengan rentang waktu produksi-analisis lebih lama lebih banyak menyerap air dari udara. Sampel yang bersifat sangat higroskopis dapat menyerap uap air dari udara. Adanya uap air yang terserap mengakibatkan bobot sampel yang ditimbang tidak menunjukkan bobot sampel yang sebenarnya atau bobot bubuk pewarna kering yang sebenarnya lebih rendah dari pada yang ditimbang. Dengan demikian kandungan abu yang ada menjadi lebih rendah. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 15 dan 3 : 17.5 dianalisis kadar abunya lebih awal dari pada bubuk pewarna proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 20. Diagram perbandingan kadar abu dapat dilihat pada Gambar 18. Berdasarkan hasil uji statistik (Lampiran 7), kadar abu pada ketiga produk berbeda nyata.

Gambar 18. Diagram kadar abu bubuk pewarna rosela (metode tray drying)

Berdasarkan uji kelarutan bubuk pewarna, diperoleh nilai kelarutan tertinggi adalah 99.23 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 15, sedangkan nilai kelarutan terendah adalah 98.26 % yaitu bubuk pewarna dengan proporsi total padatan

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50

3 : 15 3 : 17.5 3 : 20

2.34 1.97 1.41 K a d a r A b u ( %) b a si s ke ri n g

Total padatan ekstrak : maltodekstrin (c) (b)


(49)

34 ekstrak terhadap penambahan maltodekstrin 3 : 20. Diagram kelarutan bubuk pewarna dapat dilihat pada Gambar 19. Berdasarkan uji statistik (Lampiran 8), konsentrasi maltodekstrin tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan produk. Kelarutan bubuk pewarna yang dibuat dengan metode tray drying tidak berbeda nyata dengan bubuk pewarna yang dibuat dengan metode spray drying

yaitu di atas 98 %.

Gambar 19. Diagram kelarutan bubuk pewarna rosela (metode tray drying) Proses pemanasan dapat mengakibatkan penurunan total antosianin. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna dapat dilihat pada Tabel 4. Bubuk pewarna dengan proporsi total padatan 3 : 15 memiliki kadar antosianin yang paling tinggi karena jumlah padatannya yang lebih rendah.

Tabel 4. Kadar antosianin dalam bubuk pewarna rosela (metode tray drying) proporsi total padatan

ekstrak terhadap maltodekstrin

Total Antosianin (mg/ g bahan kering)

3 : 15 0.92

3 : 17.5 0.76

3 : 20 0.61

Pada penelitian ini, dilakukan perbandingan jumlah antosianin sebelum dan setelah dikeringkan dengan tray dryer. Dalam 300 ml ekstrak antosianin (Total padatan 3 %) mengandung 147 mg antosianin. Ekstrak tersebut dievaporasi hingga dicapai volume ekstrak 45 ml (total padatan 20 %). Setiap 45 ml ekstrak tersebut ditambahkan maltodekstrin dengan proporsi total

80.00 85.00 90.00 95.00 100.00

3 : 15 3 : 17.5 3 : 20

99.23 99.20 98.26

%

ke

la

ru

ta

n

Total padatan ekstrak : Maltodekstrin


(1)

98

Lampiran 26. Penentuan energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai L Metode Spray Drying

T (K) 1/T k ln k Ea/R Ea (KJ) Ea (Kkal)

308 0.0032 0.0011 -6.8124

16104 133.89 32.00 318 0.0031 0.0025 -5.6268

323 0.0031 0.0075 -4.2616

Kontrol 0.0017 -6.2659

Metode Tray Drying

T (K) 1/T k ln k Ea/R Ea (KJ) Ea (Kkal)

308 0.0032 0.0006 -7.4186

16326 135.73 32.44 318 0.0031 0.0036 -5.9915

323 0.0031 0.0141 -4.8929

Kontrol 0.0019 -6.2659

y = -16104x + 45.36 R² = 0.9424

y = -16326x + 45.528 R² = 0.984 -8

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0

0.0031 0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033

ln

(

k)

1/T (K-1) Metode Spray Drying


(2)

99

Lampiran 27. Penentuan energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a

Metode Spray Drying

T (K) 1/T k ln k Ea/R Ea (KJ) Ea (Kkal)

308 0.0032 0.0022 -6.1193

12187 101.32 24.22 318 0.0031 0.0036 -5.6268

323 0.0031 0.0169 -4.0804

Kontrol 0.0020 -6.2146

Metode Tray Drying

T (K) 1/T k ln k Ea/R Ea (KJ) Ea (Kkal)

308 0.0032 0.0034 -5.6840

14823 123.24 29.45 318 0.0031 0.0047 -5.3602

323 0.0031 0.0437 -3.1304

Kontrol 0.0050 -5.2983

y = -12187x + 33.265 R² = 0.777 y = -14823x + 42.152 R² = 0.6731

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0

0.0031 0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033

ln

(

k

)

1/T (K-1) Metode Spray Drying


(3)

100

Lampiran 28. Penentuan energi aktivasi (Ea) berdasarkan perubahan nilai a/L

Metode Spray Drying

T (K) 1/T k ln k Ea/R Ea (KJ) Ea (Kkal)

308 0.0032 0.0035 -5.6550

11735 97.56 23.32 318 0.0031 0.0060 -5.1160

323 0.0031 0.0245 -3.7091

Kontrol 0.0039 -5.5468

Metode Tray Drying

T (K) 1/T k ln k Ea/R Ea (KJ) Ea (Kkal)

308 0.0032 0.0040 -5.5215

16091 133.78 31.97 318 0.0031 0.0083 -4.7915

323 0.0031 0.0578 -2.8508

y = -11735x + 32.285 R² = 0.8078 y = -16091x + 46.5 R² = 0.8047

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0

0.0031 0.0031 0.0032 0.0032 0.0033 0.0033

ln

(

k)

1/T (K-1) Metode Spray Drying


(4)

101

Lampiran 29. Penentuan umur simpan berdasarkan perubahan nlai a/L Metode Spray Drying

Suhu (°C) a/L Batasan ln[a/L]t Slope(k) intercept umur simpan

(hari)

Kontrol 0.45 -0.7985 0.0039 -0.6833 30

35 0.45 -0.7985 0.0035 -0.7111 25

45 0.45 -0.7985 0.0060 -0.7137 14

50 0.45 -0.7985 0.0245 -0.6920 4

Metode Tray Drying

Suhu (°C) a Batasan ln[a/L]t Slope(k) intercept

umur simpan (hari)

Kontrol 0.24 -1.4271 0.0070 -1.1237 43

35 0.24 -1.4271 0.0040 -1.2382 47

45 0.24 -1.4271 0.0083 -1.2145 26

50 0.24 -1.4271 0.0578 -1.1954 4

Prediksi umur simpan pada suhu 4 C, 15 C , dan 25 C Sampel

a/L

batasan Slope (k)

Umur simpan

(Hari)

Umur Simpan (Bulan) Suhu

penyimpanan (°C) Metode 4

SD 0.45 4.2E-05 3466 116

TLD 0.24 9.3E-06 24108 804

15 SD 0.45 2.1E-04 687 23

TLD 0.24 8.5E-05 2622 87

25 SD 0.45 2.2E-03 542 18

TLD 0.24 5.5E-04 402 13


(5)

102

Lampiran 30. Dokumentasi Pembuatan Bubuk Pewarna Rosela

Rosela kering Penghancuran rosela

Hancuran rosela + air Ekstrak rosela sebelum disaring (maserasi)

Penyaringan ekstrak rosela Ekstrak rosela setelah disaring

Spray Dryer Bubuk pewarna rosela


(6)

103

Evaporasi ekstrak dengan rotavapour Tray Dryer (TD)

Lapisan ekstrak dikeringkan dengan TD Lapisan tipis ekstrak rosela

setelah pengeringan dengan TD

Bubuk pewarna rosela (metode tray drying)