Konsep Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak

Ibu Miskawaih menjelaskan: hendaklah anak-anak diajarkan bahwa warna pakaian paling baik dan terhormat adalah putih, atau yang serupa dengan itu, hingga tampak seperti layaknya orang yang mulia. Pakaian warna-warni penuh aksesoris hanya cocok untuk perempuan yang berhias demi tampil baik dan menarik. Di depan laki-laki dan di mata pelayan laki- laki dan perempuan. Jika seorang anak dibesarkan dengan ajaran-ajaran ini cegahlah jangan sampai ia bergaul dengan orang-orang yang menyatakan kepadanya hal sebaliknya, lebih-lebih kalau itu teman sebaya, sepermainannya. 55 Jadi jelaslah bahwa Ibnu Miskawaih sangat menganjurkan untuk berpakaian sederhana, tetapi tetap menjaga wibawa kemuliaan. Di samping itu ia juga mengajurkan untuk menjauhi emas dan perak seperti yang dikatakannya: “Didiklah agar mereka membenci emas dan perak, dan agar mereka takut pada keduanya melebihi takutnya pada harimau, ular, kalajengking atau binatang berbisa lainnya sebab mencintai emas dan perak lebih berbahaya dari pada racun.” 56 c. Kesederhanaan Tidur Ibnu Miskawaih berpendapat bahwasannya anak-anak jangan dibiarkan tidur terlalu lama, karena menyebabkan otak menjadi bebal, serta mematikan pikirannya jangan dibiasakan tidur siang, dan jangan dibiasakan dengan tempat tidur yang empuk dan sarana mewah lainnya. Supaya dia terbiasa dengan kehidupan yang sulit. 57 Tidur terlalu lama menyebabkan anak-anak menjadi bodoh, sedangkan tidur pada waktu siang membuat anak menjadi pemalas, karena waktu siang bagi anak-anak adalah waktu bermain dan bergaul dengan teman-teman sebayanya atau bahkan digunakan untuk belajar atau dilatih kerja. Maka 55 Ibid, h. 76 56 Ibid. h. 79-80 57 Ibid, h 78-79 Ibnu Miskawaih menganjurkan para orang tua untuk melarang anak- anaknya tidur terlalu lama dan mencegah anak-anaknya tidur pada waktu siang. Selain itu Ibnu Miskawaih juga menganjurkan untuk tidak memanjakan anak-anak dengan tempat tidur yang empuk dan sarana-sarana mewah lainnya. d. Adab Berjalan Ibnu Miskawaih menjelaskan hendaklah anak-anak jangan diperbolehkan berjalan tergesa-gesa, jangan diperbolehkan bersikap angkuh, tetapi supaya mensedekapkan tangannya ke dada. 58 e. Adab Berbicara Ibnu Miskawaih menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk diam, tidak banyak berbicara selain menjawab pertanyaan, jika bersama- sama dengan orang yang lebih dewasa. Hendaklah dia mendengarkan kata- katanya, jangan diperbolehkan bicara kotor, hina sumpah serapah menuduh yang bukan-bukan dan bicara tidak senonoh, biasakan dia dengan kata-kata yang baik dan anggun. 59 Dengan demikian jelaslah, hendaknya anak-anak dibiasakan untuk berbicara yang baik –baik saja, hendaklah dijaga agar tidak membuang- buang waktunya untuk pembicaraan yang sia-sia, tetapi dilatih untuk bisa memanfaatkan waktu dengan hal-hal berguna. Ibnu Miskawaih juga sangat menganjurkan agar anak-anak didik untuk berbicara dengan orang-orang yang lebih tua darinya. f. Hal-hal Yang Dilarang Dipelajari Oleh Anak-anak Ibnu Miskawaih menegaskan, perintahanlah anak-anak untuk menghafalkan tradisi-tradisi yang baik dan syair-syair yang bisa 58 Ibid, h. 79 59 Ibid. membuatnya terbiasa melakukan moral terpuji. 60 Salain itu Ibnu Miskawaih juga menegaskan hal hal yang dilarang untuk dipelajari seorang anak, seperti yang dikatakannya: “Upayakan agar anak-anak jangan sekali-kali memilih syair-syair cengeng murahan yang cuma melontarkan kata-kata buaian yang melafalkan, dan jangan sampai mengenal penulis-penulisnya dan ungkapan-ungkapan palsu yang oleh penulisnya ditampilkan seakan itu suatu bentuk keanggunan dan kemuliaan karena syair itu bakal merusak jiwanya”. 61 g. Bersikap Mandiri Menurut ibnu Miskawaih, anak-anak haruslah dilatih untuk belajar melayani diri sendiri, gurunya atau orang lain yang lebih dewasa dari dia. 62 Selain mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatan- perbuatan yang baik, Ibnu Miskawaih juga menganjurkan agar mendidik anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela, serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam. h. Larangan Bersumpah Ibnu Miskawaih menjelaskan anak-anak jangan diperbolehkan bersumpah, baik sungguh-sungguh maupun bohong-bohongan, sebab bersumpah itu buruk bagi orang dewasa, kendati pada saat saat tertentu mereka membutuhkannya juga, tetapi tidak diperlukan anak-anak Selain melarang anak-anak bersumpah Ibnu Miskawaih juga melarang anak-anak untuk berbohon g seperti yang dikatakan “anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak berbohong. 63 60 Ibid, h. 76-77 61 Ibid h, 77 62 Ibid 63 Ibid, h.79 i. Larangan Meminta Ibnu Miskawaih menjelaskan, hendaklah orang tua memberikan hadiah bagi anak-anaknya jika mereka berbuat baik agar anak tidak meminta-minta pada temannya. 64 Jadi anak harus dibiasakan untuk tidak meminta minta, ia harus terbiasa mencukupkan diri dengan apa yang dimilikinya, bahkan dibiasakan untuk suka memberi jika hal ini dilatih terus-menerus sehingga dewasa nanti akan terbentuk pribadi yang sederhana sekaligus dermawan. j. Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi Ibnu Miskawaih menegaskan, anak-anak jangan diperbolehkan untuk melakukan sesuatu yang dia sembunyikan sebab tidak mungkin berbuat begitu kecuali bisa dipastikan bahwa perbuatannya buruk. k. Larangan Bersikap Lemah Ibnu Miskawaih berpendapat biasakan anak-anak untuk tidak mengaduh atau mengeluh apabila dihukum oleh gurunya, dan jangan diperbolehkan meminta perlindungan orang lain, karena tindakan seperti itu cuma pantas dilakukan para budak, hamba sahaya serta orang-orang lemah. Menganjurkan anak-anak untuk bersikap sabar dan tabah dalam menjalani hukuman dari gurunya, selain itu Ibnu Miskawaih mengingatkan para orang tua untuk tidak selalu sering menakut-nakuti anak kecil. 4. Akhlak kepada orang lain a. Adab Duduk Bersama Orang Lain Ibnu Miskawaih menjelaskan anak-anak harus diajarkan untuk tidak membuang ingus ketika sedang bersama-sama orang lain, atau menguap dan menggeliat ketika datang orang lain dan mengangkat sebelah kaki lalu 64 Ibid. meletakannya di atas sebelah kaki yang lain, dan jangan diperbolehkan bertopang dagu dan menyandarkan kepala pada kedua tangannya. Sebab itu menunjukkan bahwa dia pemalas dan secara tidak langsung tidak menghormati orang yang di hadapannya. 65 Dengan demikian di samping mengajarkan tentang kesopanan duduk dengan orang lain, Ibnu Miskawaih juga mengajarkan anak-anak untuk menjaga kebersihan b. Bersikap tawadhu’ Ibnu Miskawaih menegaskan hendaklah jangan diperbolehkan membanggakan harta orang tuanya, makanannya, pakaiannya dan lain- lainnya jangan diperbolehkan sombong dan keras hati akan tetapi upayakan agar dia menundukkan kepala pada setiap orang dan menghormati mereka yang bergaul dengannya. Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak-anak bertujuan untuk mendidik anak untuk cinta pada kebajikan dan kemuliaan, serta untuk tumbuh berkembang dengan kebajikan dan kemuliaan tersebut. Sehingga mereka mudah untuk menjauhi kehinaan dan keburukan, terbiasa mengekang diri dari rayuan hawa nafsu dan mudah mengikuti ajaran filsafat dan syari’at agama.

E. Analisis Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan

Akhlak Pada Anak 1. Persamaan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak. a. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memandang bahwa pada dasarnya seseorang anak dilahirkan dalam keadaan berjiwa lurus dan mempunyai fitrah suci, akan tetapi Allah SWT menjadikan sempurna melalui pendidikan terutama dalam pendidikan akhlak. 65 Ibid Al-Ghazali mengibaratkan jiwa seorang anak kecil bagaikan mutiara yang belum dibentuk, jika ia dibiasakan untuk berbuat baik, diberi pendidikan yang baik, maka ia akan tumbuh di atas kebaikan. Sebaliknya jika ia dibiasakan kepada perbuatan buruk dan ditelantarkan pendidikannya, maka akibatnya ia akan tumbuh sebagaimana manusia yang rusak akhlaknya. 66 Dari sini, dapat dilihat betapa beliau memandang penting untuk menerapkan metode pembiasaan dalam mendidik akhlak anak-anak. Meskipun menurutnya pokok dari pendidikan akhlak pada anak anak adalah menjauhkan mereka dari lingkungan yang buruk. 67 Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka harus diterapkan kepadanya pendidikan akhlak sedini mungkin. Sejak awal harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti dirawat dan disusui oleh wanita baik-baik. Pada tahapan ini al-Ghazali melihat betapa penting peran ibu dalam mendidik akhlak anak-anak. Kemudian Ibnu Miskawaih juga berpendapat bahwa jiwa anak kecil masih sederhana dan belum menerima gambar apapun, dan belum memiliki tekad atau pendapat yang mengubahnya dari satu hal ke hal lain oleh karenanya jika jiwa seorang anak telah menerima gambar tertentu, anak tersebut akan tumbuh sesuai dengan gambar itu dan menjadi terbiasa. 68 Menurut Ibnu Miskawaih jiwa manusia mengalami proses evolusi, mengalami perubahan secara pelan dan terus-menerus dari tingkat yang terendah, kemudian meninggi sehingga mencapai tingkat kesempurnaan sebagai jiwa yang baik dan cerdas. 69 Untuk itulah seorang anak harus 66 Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali Terj. Ismail Ya’qup, Jakarta: CV. Faizin, 1986 Jilid IV, h 193 67 Ibid, h 197 68 Ibnu Miskawaih, Tahzibul Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung: Mizan, 1998 Cet. IV., h. 76 69 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Jakarta: Bina Aksara , 1983 h. 132 mendapatkan pendidikan yang baik dan dihindarkan dari lingkungan dan orang-orang berakhlak buruk. b. Mengenai penanaman akhlak kepada Allah, al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih berpendapat tentang perlunya membiasakan anak-anak melaksanakan kewajiban ibadah. Menurut al-Ghazali pada usia tamyiz anak-anak harus dididik untuk melaksanakan kewajiban ibadah. Beliau memberikan rincian mengenai betuk-bentuk ibadah yang harus dibiasakan kepada anak-anak seperti shalat dan puasa di bulan Ramadhan, serta menyarankan agar anak-anak dididik untuk tidak meninggalkan thaharah bersuci. Selain itu pada tahapan itu al- Ghazali memandang perlu mengajarkannya ilmu-ilmu syariat yang diperlukannya. Sedangkan Ibnu Miskawaih hanya menegaskan perlunya membiasakan anak-anak untuk melaksanakan kewajiban agama, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Tujuan membiasakan anak-anak melaksanakan ibadah adalah agar sejak pertumbuhannya anak belajar tentang hukum-hukum semua ibadah dan terbiasa melaksanakannya sejak dini sehingga ia terdidik untuk taat kepada Allah, melaksanakan hak-haknya, mensyukurinya, dan menyerahkan diri hanya kepada-Nya sehingga di dalam ibadah-ibadah ini juga mendapat kesucian rohaninya, kesehatan fisiknya, terlatih akhlaknya dan perbaikan bagi segala ucapan dan tindakannya. 70 Adanya keharusan bagi orang tua untuk mendidik anak-anaknya untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan firman Allah dalam QS Luqman ayat 17 dalam ayat tersebut tercermin kewajiban bagi pada orang tua agar mendidik anaknya untuk melaksanakan ibadah shalat. c. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menegaskan agar anak-anak dididik untuk taat dan menghormati orang tua. 70 Abdullah Nashih Ulwan, Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Anak, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996, Cet, III, h. 148 Menurut al-Ghazali sekurang-kurangnya ada empat hal yang harus diajarkan kepada anak-anak berkaitan dengan penanaman akhlak terhadap orang tua, yaitu anak-anak hendaklah dididik untuk taat kepada orang tua dan para pendidiknya, menghormati mereka, senantiasa bersikap sopan kepada mereka dan tidak bersenda gurau di hadapan mereka. Sedangkan Ibnu Miskawaih hanya menyebutkan dua hal, yaitu taat dan menghormati orang tua dan para pendidiknya. d. Al-Ghazali maupun Ibnu Miskawaih menjadikan nilai-nilai kesederhanaan dan kedermawanan sebagai nilai utama yang harus dibiasakan pada anak sejak awal, baik dalam hal makanan maupun pakaian dan sebagainya, mereka menekankan supaya anak-anak dijauhkan dari emas dan perak. Al- Ghazali dan Ibnu Miskawaih mengingatkan agar orang tua tidak mengajarkan anak dan membiarkannya bersenang-senang dalam kenikmatan dan kemewahan. Menurut al-Ghazali hal itu akan menyebabkan mereka menyia-nyiakan umurnya untuk mengerjakan kenikmatan tersebut sedangkan menurut Ibnu Miskawaih hal itu akan merusak jiwa anak. e. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sepakat tentang pentingnya memanfaatkan waktu luang anak-anak untuk mempelajari hal hal yang baik karena salah satu faktor mendasar yang sering mengakibatkan penyimpangan pada anak anak ialah tidak dimanfaatkannya waktu luang mereka. Menurut al-Ghazali di antara cara-cara yang dapat digunakan untuk menjauhkan anak-anak dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak bermakna adalah mengisi waktu luangnya dengan menyibukkannya di madrasah, membiasakan banyak membaca al-Quran hadits dan hikayat orang-orang shahih serta keadaan mereka agar tertanam di dalam hatinya kecintaan kepada orang-orang saleh. 71 71 Al-Ghazali, Op. Cit, h 195 Ibnu Miskawaih menyarankan agar anak-anak dididik untuk mempercerdas diri dengan banyak menghafal cerita-cerita yang baik dan puisi-puisi yang akan membantu terhadap hidup utama. 72 Sebaliknya al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menyarankan untuk menjauhkan anak-anak dari bacaan-bacaan yang berkecenderungan akan merusak kejiwaan mereka. f. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memandang perlu untuk melarang anak- anak bersikap sembunyi-sembunyi, sebab tidak mungkin dia berbuat begitu, kecuali bisa dipastikan bahwa perbuatannya buruk. Maka sudah seharusnyalah orang tua dan para pendidik menanamkan kesadaran para pendidik menanamkan kesadaran diri anak akan pengawasan Allah terhadap semua makluknya termasuk manusia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di manapun, di langit maupun di bumi. g. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menjadikan permainan sebagai sarana yang ikut membantu pendidikan dan pengajaran anak di samping sebagai medium bagi anak dalam mengungkapkan fitrahnya. Permainan juga berfungsi sebagai sumber pengaman yang dapat menghanyutkan setumpuk kelelahan pada dirinya ketika menghadapi pelajaran. Menurut al-Ghazali, melarang anak-anak bermain dan mendesaknya agar terus-menerus belajar dapat membuat hatinya mati, berkurang kecerdasannya dan akhirnya terasa olehnya sangat benar sehingga ia mencari jalan untuk melepaskan diri darinya. 73 Permainan menurutnya memiliki tiga fungsi pokok dalam perkembangan fisik dan rasio anak secara sama, yaitu 1 Permainan dapat membantu melatih fisiknya serta menguatkan anggota- anggota tubuhnya, yang pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan fisik yang sehat. 72 Sudarsono, Op. Cit, h 142 73 Al-Ghazali, Op. Cit, h 179