Konsep Al-Ghazali Tentang Pendidikan Agama Islam Bagi Anak-Anak

19 “Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun. Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman yang ditujuka n padanya.” 20 Di samping itu Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk. 21 c. Akhlak Kepada Diri Sendiri 1 Adab Makan Menurut al-Ghazali sifat yang mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah ia diajarkan 19 Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul Fikri, Jilid 3, h. 66 20 Ibid, h. 195 21 Ibid tentang adab makan dan minum. Umpamanya ia harus diajar membaca basmallah sebelum makan, tidak mengambil makanan kecuali dengan tangan kanannya, memulai dengan makanan yang lebih dekat dengannya, tidak memulai makan sebelum orang lain memulainya, tidak memusatkan pandangan ke arah makanan dan tidak pula ke arah orang-orang yang sedang makan, mengunyah makanan dengan baik, tidak memasukkan makanan ke dalam mulut sebelum menelan suapan sebelumnya, tidak menyisakan makanan, tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan makanan, hendaklah ia kadang-kadang dibiasakan makan roti tanpa lauk agar dapat menganggap adanya lauk tidak sebagai suatu keharusan. Kemudian setalah meranjak sedikit dewasa di kenalakan bahwa makanan itu adalah obat. Yang dimaksud obat ialah untuk menguatkan manusia agar dapat beribadah kepada Allah SWT. 22 Yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak-anak mempelajari adab atau sopan santun pada waktu makan adalah dengan contoh, latihan dan pembiasaan yang berangsur-angsur dalam waktu yang lama, bukan hanya dengan keterangan dan penjelasan yang membosankan. Di samping itu, al- Ghazali sangat menganjurkan agar orang tua menanamkan dalam diri anak nilai-nilai kesederhanaan. Bahkan, ia membolehkan untuk memberikan sekedar teguran dan pujian, sebagaimana dikatakannya: 22 Ibid, h. 194 23 Sifat petama yang menonjol pada anak-anak itu, ialah rakus kapda makanan. Maka sebaiknya ia dididik tentang itu, misalnya tidak mengambi makanan selain dengan tanangan kanannya. Membaca bismillah ketika mengambilnya. Bahwa ia makan makanan yan gekat dengan dia. Tidak tergesa-gesa ke pada suatu makanan sebelum orang lain. Bahwa ia tidak menitik perhatian kepada suatu makanan dan kepada orang yang memakannya, bahwa ia tidak makan cepat-cepat. Bahwa ia mengunyah makanannya dengan baik tidak memasukan makanan kemulut terus menerus. Tidak mengotorkan tangan dan pakaian dengan makanan. Membiasakan roti kering pada sebagian waktu. Sehingga ia memandang jelek banyak makan, dengan diserupai orang yang banyak makan itu dengan binatang ternak dan dicelanya anakk-anak dihadapannya yang banyak makan. sebaiknya dipuji anak- anak yang sopan dan sedikit makan. Disukakan kepadanya mengutamakan makanan itu untuk orang lain dan kurang memperhatikan kepada makanan itu. Dan merasa cukup dengan makan apa saja yang ada. 24 Jelas sekali bahwa al-Ghazali melarang anak-anak hidup mewah dan berlebihan dalam segala hal. Terutama makan karena sifat nafsu yang muncul pada anak dalah sifat rakus pada makanan. Maka harus dilatih tidak dibiasakan makanan yang enak dan tidak dibiasakan makan banyak. Memandang sifat konsutif itu berbahaya dan menyamakan seperti binatang, merasa cukup dengan apa yang ada. Bahkan al-Ghazali memandang bahwa anak-anak harus dibiasakan juga makan seadanya dan memakan makanan yang kurang lezat 2 Adab Berpakaian Al-Ghazali menegaskan bahwa anak-anak harus diajarkan untuk menyukai pakaian-pakaian yang berwarna putih dan polos saja, bukan yang berwarna atau sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu hanya layak untuk perempuan atau orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan 23 Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul Fikri, Jilid 3, h. 66 24 Ibid perempuan banci dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya. 25 Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakannya ayah mengecamnya dan menegaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya. Hendaklah ia dijauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpakaian mahal-mahal. Juga melarangnya bergaul dengan anak-anak yang membiasakan dirinya bersenang-sengan, bermewah-mewah dan memakai pakaian yang membanggakan. 26 Dengan demikian jelaslah, bahwa orang tua harus benar-benar menjaga anaknya untuk tidak gemar berhias, mengejar kesenangan, kemewahan dan pemborosan. Karena jikalau ini dilakukan, maka hal itu akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya nanti, misalnya kurang memiliki sikap sabar, tabah dan tahan menderita. Di samping itu, Al-Ghazali menjelaskan bahaya senang terhadap emas dan perak, yaitu: 27 “Hendaklah anak-anak sejak kecilnya disadarkan buruknya perilaku kecintaan kepada emas dan perak, serta ketamakan untuk memilikinya. Dan agar ditanamkan rasa takut dari keduanya melebihi rasa takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan kepada emas dan perak lebih besar dari pada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun orang dewasa.” 28 Jauhkanlah anak dari kemewahan karena jika anak sejak kecil dibiasakan hidup mewah akan timbul kecintaannya terhadap benda-benda yang mewah dan manjadikannya sebuah keharusan dalam hidup. Dalam 25 Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1976, h. 38 26 Ibid 27 Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul Fikri, Jilid 3, h. 66 28 Ibid, h. 196 kenyataan sekarang banyak orang-orang kaya yang tiba-tiba miskin mereka menyerah dan tidak bisa hidup dengan kemiskinannya. Atau orang miskin yang bergaya sangat modis dan mewah menggunakan barang barang mahal padahal rumahnya masih mengontrak karena sejak kecil dibiasakan hidup mewah tanpa diperkenalkan kemewahan itu berbahaya. 3 Kesederhanaan Tidur Al-Ghazali menegaskan sebaiknya anak-anak dilarang untuk tidur pada waktu siang, karena menyebabkan malas. Tetapi jangan dilarang untuk tidur pada malam hari. 29 Larangan anak-anak tidur di kasur yang empuk, biar anggota badannya kuat dan ototnya subur dan supaya tubuhnya jangan lamban dan lemah. 30 Kebiasaan tidur siang pada anak-anak menyebabkan anak menjadi pemalas, karena sebagian waktu siang bagi anak-anak adalah untuk bermain dan bergaul dengan teman sebaya atau bahkan digunakan untuk belajar atau berlatih kerja. 4 Sabar dan Berani Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaklah tidak berteriak-teriak dan tidak meminta pertolongan kepada orang lain, agar diselamatkan dari hukuman. Tetapi seharusnya ia tetap tabah dan sabar, karena begitulah sikap orang-orang jantan dan berani, sedangkan menangis dan berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan. 31 Jadi anak-anak dididik untuk sabar dan tabah dalam menerima hukuman akan berbentuk menjadi pribadi-pribadi yang sabar dan pemberani. Selain mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang 29 Ibid, h. 195-196 30 Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1976, h. 38 31 Ibid, h. 197 baik, Al-Ghazali juga menganjurkan agar mendidik anak-anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam, antara lain: 5 Adab Berjalan Al-Ghazali menjelaskan, anak-anak hendaklah jangan diperbolehkan berjalan telalu cepat, tidak menjatuhkan kedua tangan ke bawah, tetapi diletakkan kedua tangan itu pada dada. 32 6 Larangan Bersumpah Al-Ghazali berkata bahwa anak-anak jangan diperbolehkan sama sekali untuk bersumpah, baik ia benar maupun bohong. 33 Membiasakan anak-anak untuk tidak bersumpah dimaksudkan agar kelak ketika dewasa, ia tidak mudah bersumpah dan dengan seenaknya melanggar sumpah tersebut. 7 Larangan Mencuri Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak haruslah diajarkan untuk tidak sekali-kali mengambil barang yang bukan miliknya walaupun mungkin sangat diinginkannya. Jika ia berasal dari keluarga yang terhormat, diberitahukan kepadanya bahwa kemuliaan seseorang dapat diraih dengan memberi dan bukannya dengan mengambil. Dan bahwasanya mengambil sesuatu yang bukan miliiknya, adalah perbuatan yang rendah, hina dan busuk. Dan apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka hendaklah diyakinkan kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau diberi sesuatu oleh orang lain adalah suatu sifat yang menghinakan dan tidak terhormat. Bahwa hal itu sama seperti perilaku 32 Al-Ghazali , Op. Cit, h. 196 33 Ibid anjing, yang menggerak-gerakkan ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang diinginkannya. 34 Dengan demikian Al-Ghazali menganjurkan agar anak-anak dibiasakan untuk suka memberi bukan suka menerima, apalagi mengambil sesuatu yang bukan miliknya mencuri. Hal ini apabila dilatih terus menerus sehingga dewasa nanti akan menjadi seorang dermawan yang suka membantu dan menolong orang lain. 8 Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak harus dijaga agar tidak melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi. Sebab ia tidak akan melakukan sesuatu perbuatan dengan sembunyi-sembunyi kalau ia meyakini bahwa perbuatannya itu jahat. Kalau ia dibiarkan berlaku demikian, maka ia akan membiasakan perbuatan jahat. 35 . Adanya larangan untuk melakukan perbuatan secara sembunyi- sembunyi dimaksudkan untuk menghindarkan anak yang telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia tetap melakukannya secara sembunyi- sembunyi karena takut ditegur, dimarahi atau bahkan dihukum oleh orang tuanya atau pendidiknya apabila perbuatan tersebut diketahuinya. 9 Larangan Membuka Aurat Menurut al-Ghazali, anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak membuka aurat di hadapan orang lain. 36 d. Akhlak Kepada Orang Lain Al-Ghazali memberikan beberapa nasihat agar para orang tua membiasakan anaknya untuk berbuat hal-hal yang patut dan sesuai dengan norma-norma 34 Ibid 35 Ibid 36 Ibid. masyarakat yang berlaku, sebaliknya menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum. Nasihat-nasihat Al-Ghazali itu antara lain: 1 Adab Duduk Al-Ghazali berkata hendaklah anak-anak diajarkan cara duduk yang baik, tidak meletakkan kaki yang sebelah di atas kaki yang sebelahnya lagi. Demikian pula tidak meletakkan telapak tangannya di bawah dagu topang dagu dan tidak menegakkan kepala dengan tangannya. Sebab yang demikian itu menandakan kemalasan. 37 Maksud dari nasihat Al-Ghazali tersebut, di samping mengajarkan sopan santun pada waktu duduk, juga menghindarkan sikap malas pada anak-anak. 2 Adab Duduk Bersama Orang Lain Al-Ghazali menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak meludah pada tempat yang bukan semestinya, tidak menguap dan membuang ingus di hadapan orang lain. Dan tidak membelakangi orang lain. 38 Dengan demikian jelaslah bahwa di samping mendidik sopan santun di hadapan orang lain, al-Ghazali juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan. Selain itu, al-Ghazali juga mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti dijelaskannya: “Dan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan sekedar memberikan jawaban secukupnya. Dan diajarkan kepada mereka agar pandai-pandai mendengarkan orang lain apabila ia berbicara, terutama jika usianya lebih tua dari mereka. Dan agar berdiri untuk menghormati kedatangan orang lain yang lebih tua, memberinya tempat duduk, setelah itu duduk dengan sopan di hadapannya. 39 37 Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid 3 Adab Berbicara Al-Ghazali berkata: anak-anak dijaga dari perkataan yang sia-sia, keji, mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat demikian karena tidak dapat dibantah bahwa yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman yang jahat. 40 4 Tawadhu’ Menurut Al-Ghazali seorang anak hendaklah dilarang membanggakan diri di depan teman-temannya, disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh orang tuanya, tentang makanan, pakaian atau peralatan sekolahnya. Akan tetapi dibiasakan bersikap tawadhu’ dan memuliakan setiap orang yang bergaul dengan dia, dan berkata lemah lembut. 41 Sangatlah penting menjauhkan anak dari sifat konsutif dan senang dengan kemewahan yang sangat terlihat di masyarakat kita saat ini, sifat sederhana dan tidak memandang rendah terhadap orang yang ada di bawah. Tidak menjadikan gaya hidup mewah sebuah keharusan. Dengan demikian jelaslah bahwa segala pengalaman yang dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan, anjuran dan larangan, kemudian diberikan penjelasan dan pengertian sesuai dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilali kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Kemudian tumbuhkan tindakan, sikap, pandangan, pendirian, keyakinan, dan kesadaran serta kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang bertanggung jawab akhirnya terbentuklah kata hati kerohanian yang luhur pada anak pada masa dewasanya. 42 Jadi pembinaan pribadi anak adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan yang disatupadukan, sehingga terwujud sikap, mental, akhlak dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam. 40 Ibid 41 Ibid 42 Ibid, h. 197-198

C. Biografi Ibnu Miskawaih

Nama lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad Ya’qub ibn Miskawaih. Ia lahir dikota ray Iran pada 320 H 932 M dan wafat di Asfahan pada 9 safar 421 H 16 Februari 1030M. 43 Di sini penulis menggunakan tahun 320 H sebagai kelahirannya, dengan berdasarkan alasan bahwa ia pernah mengabdi kepada al-Mahallabi yang menjabat sebagai wazir pada tahun 339 H 950 M dan meninggal pada 421 H1030 M yang paling tidak ia telah berusia sembilan belas tahun. 44 Perihal kemajusiannya, sebelum Islam banyak dipersoalkan oleh pengarang. Jurji Zaidan misalnya ada pendapat bahwa ia adalah Majusi, lalu memeluk Islam. Sedangkan Ya’qub dan pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah kurang setuju pendapat itu. Menurut mereka, neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam, sebagai terlihat dari nama bapaknya Muhammad. 45 Ibn Miskawaih hidup pada masa pemerintahan dinasti Buwaihi 320-450 H932- 1062 M. Pada zaman raja „Adhudiddaulah, Ibn Miskawaih mendapat kepercayaan besar dari raja sebagai penjaga khazin perpustakaan yang besar, di samping sebagai penyimpan rahasia raja dan utusan ke pihak-pihak yang diperlukan. Dan diduga Ibn Miskawaih penganut syiah karena hidupnya dihabiskan mengabdi pada menteri syiah. 46 Sebagaimana diketahui, setelah khilafah Baghdad mengalami kemunduran sejak permulaan abad ketiga hijriyah, lahirnya negera-negara kecil yang melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, walaupun dari segi de jure mengaku takluk kepadanya. Pada abad keempat lahirlah negara Bani Buwaih di wilayah Dailam dan kemudian menaklukkan Persia, Ray dan Asfahan, sehingga mereka mampu menempatkan khalifah di Baghdad di bawah kekuasaan mereka. Dan pada 43 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1994, Cet. VII, h. 84 44 M.M. Syarif, Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1994, Cet. VII, h. 84 45 Hasimsyah Nasution, Op.Cit., h. 56 dikutip dari Muhammad Yusuf Musa, Falsafah Al-Akhlak Fi Al-Islam dan Ibrahim Zaky Khursyid Dairah Al- Ma’arif Al-Islamiyah 46 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, h. 56 zaman „Adhudiddaulah, Irak dan Baghdad diletakkan di bawah kekuasaan pemerintahnya. Para menteri Bani Buwaih sangat gemar memajukan ilmu pengetahuan. Mereka meniru apa yang dilakukan oleh para khalifah Abbasiyyah pada masa keemasannya, terutama pada masa Harun Rasyid, al-Amin dan al- Ma’mun. Karena itu, ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat di kawasan kekuasaan mereka, dan para penguasa sering merupakan sarjana dan sastrawan yang gemar sekali menyemarakkan istananya dengan majelis diskusinya dengan sejumlah ulama, sarjana, dan sastrawan. Demikian situasi zaman di mana Ibnu Miskawaih menghabiskan sebagian besar umurnya, sehingga ia mampu memanfaatkan keadaan itu untuk memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan. 47 Ia belajar sejarah terutama tarikh al-Thabar kepada Abu Bakr Ahmad ibn Kamil al-Qadhi 350960 M. Ibn Miskawaih mengkaji alkimia bersama abu al-Thayyib al-Razi, seorang ahli alkimia. Perhatiannya lebih besar diberikan kepada masalah akhlak sehingga ia dikenal sebagai pemikir dalam bidang akhlak. Sebagai seorang filosof muslim di samping sebagai seorang ilmuwan, Ibnu Miskawaih memiliki karya-karya dalam beberapa bidang 1. Bidang metafisika a. Kitab Al-Fauz Al-Ashghar 2. Bidang Etika b. Kitab Al-Fauz Al-Akbar c. Kitab Thaharah An-Nafs d. Kitab Tahdzibul Akhlaq wa Tath-hir Al-A’raq 3. Bidang Politik dan Hukum a. Kitab Tartib Al-Sa’adah Tentang Akhlak dan Politik b. Kitab Jawizan Khirad Koleksi Ungkapan Bijak 4. Bidang Kedokteran dan Hidangan: 47 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1986, h. 56-57 a. Kitab Al-Jami’ b. Kitab Al-Adwiyah c. Kitab Al-Asyribah d. Tentang Komposisi Bajat 5. Bidang Estetika dan Sastra: a. Kitab Al-Mustafa b. Kitab Uns Al-farid 6. Bidang Psikologi: a. Maqalat fi An-Nafsi wal ‘Aqli 7. Sejarah dan Naskah-naskah yang Lain: a. Tajarib Al-Umam Sebuah Sejarah Tentang Banjir Besar yang menuturkan peristiwa-peristiwa sejarah setelah air bah Nabi Nuh as hingga masa 369 H yang ditulis pada tahun 369 H979 M. c. Risalah Fi Al-Ladzat Wa ‘Al-Alam Fi Jauhar Al-Nafs d. Ajribah wa As ‘ilah fin-Nafs wal’Aq e. Al-Jawab fi Al-Massail ast-Tsalast f. Risalah Al-Jawwad fi suaal Ali bin-Muhammad Abu Hayyan al- Shufi fi Haqiqat Al- ‘aql. 48

D. Konsep Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak

Dalam Pendidikan Agama Islam pada anak-anak Ibnu Miskawaih bertumpu pada pembiasaan akhlak yang baik dan pemberian contoh yang baik. Ibnu miskawaih memandang bahwa pendidikan akhlak pada anak harus ditanamkan sejak anak usia dini karena perkembangan mental anak berevolusi, berkembang menuju kesempurnaan menyimpaan pesan-pesan masa lalu dan merasuk ke dalam jiwa berfikir. 49 Ibnu Miskawaih menaruh perhatian besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak-anak tertuang dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak. 48 Sudarsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Reneka Citra, 1991, h. 118-119 49 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h. 228 Ibnu Miskawaih mengawali pembahasan tentang pendidikan akhlak pada anak-anak dengan urutannya tentang kejiwaan anak-anak. Menurutnya kejiwaan anak-anak adalah mata rantai antara jiwa Adapun pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep pendidikan akhlak pada anak-anak adalah sebagai berikut: 1. Akhlak kepada Allah Ibnu Miskawaih menjelaskan hendaklah anak-anak dididik membiasakan diri melaksanakan kewajiban agama. 50 Dengan demikian jelaslah bahwa anak-anak harus dibiasakan untuk melaksanakan kewajiban agama sehingga akan tumbuh rasa senang melaksanakan ibadah tersebut. Anak-anak yang terlatih untuk melaksanakan kewajiban agama, kelak akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang taat terhadap perintah Allah . 2. Akhlak Kepada Orang Tua Ibnu Miskawaih menegaskan biasakan anak-anak supaya taat pada kedua orang tuanya, guru-guru serta para pendidiknya dan menghormati mereka. 51 Sebaliknya bagi orang tua Ibnu Miskawaih memberikan nasehat sebagai berikut: “Setelah itu hormati dan pujilah dia sekiranya dia menunjukkan moral dan perilaku yang baik. Bila suatu ketika anda dapati dia melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan apa yang kami ungkapkan ini, maka yang pertama sekali harus anda lakukan adalah jangan cerca dia jangan anda katakan terus terang padanya bahwa dia telah melakukan perbuatan buruk. Pura-puralah tidak memperhatikannya, seolah-olah dia tak sengaja melakukan hal itu, atau bahkan katakan saja sebetulnya hal itu bukan kehendaknya. Ini khususnya diperlukan bila anak menutup-nutupinya atau bersikeras menyembunyikan dari mata umum apa yang telah dilakukannya lagi maka diam-diam celalah. Tunjukkan betapa fatal apa yang telah dia lakukan itu dan peringatkan agar tak lagi mengulanginya. Karena kalau anda terbiasa mencela dan membeberkan kesalahannya secara terang-terangan, maka secara tidak langsung anda telah menyeretnya ke dalam keburukan. Tanpa sengaja anda telah menyudutkannya untuk mengulangi kembali 50 Ibnu Miskawaih, Op.Cit, h. 76 51 Ibid, h. 80 perbuatan buruk yang telah dilakukannya. Akibatnya, dia tak mau mengindahkan nasihat dan cercaan anda”. 52 3. Akhlak Kepada Diri Sendiri a. Adab Makan Menurut Ibnu Miskawaih mendidik jiwa harus dimulai dengan membentuk sikap makan yang baik. Pertama-tama harus ditegaskan bahwa tujuan makan adalah demi kesehatan. Bukan demi kenikmatan semata-mata dan bahwa seluruh makanan yang diciptakan dan disediakan untuk kita hanyalah sarana agar badan kita sehat dan demi kelangsungan hidup kita. Maka lapar dan nyeri yang diakibatkan lapar, sebagaimana tujuan obat, bukanlah untuk sekedar bersenang-senang atau pemuas hawa nafsu. Demikian halnya maka yang tidak sepantasnya dimakan kecuali sekedar menjaga kesehatan badan, menolak nyeri lapar, dan agar tidak sakit. Bila ini sudah diyakininya dengan sendirinya dia akan memandang rendah nilai makanan yang biasa diagungkan oleh orang-orang yang rakus. Dia juga akan memandang hina mereka yang rakus yang jika makan selalu di luar batas yang diperlukan tubuh dan tenggelam dalam apa yang tidak cocok bagi mereka. Dengan demikian dia akan merasa puas dengan makanan sekedarnya. Bila ia duduk bersama orang lain. Dia bukan yang pertama makan atau terus menerus memperhatikan bermacam-macam makanan tetapi akan puas dengan makanan di dekatnya. Jangan sampai terburu-buru kalau makan. Jangan besar-besar kalau memotong, dan jangan ditelan sebelum dikunyah dengan baik jangan diperbolehkan mengotori tangan dan bajunya, jangan sampai dia memandangi gerakan lengan mereka yang tengah makan. Latihlah supaya dia membiasakan diri memberi orang lain makanan yang ada di dekatnya walau itu lebih di dekatnya. Didiklah agar ia mengekang hawa nafsunya, hingga dia puas dengan makanan yang sedikit dan rendah nilainya sekalipun, dan kadang-kadang roti kering saja. Sikap 52 Ibid, h. 77