Konsep Al-Ghazali Tentang Pendidikan Agama Islam Bagi Anak-Anak
19
“Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika
suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila
anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga ia tidak peduli lagi dengan kecaman
siapapun. Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat
buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam
mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat
mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman
yang ditujuka
n padanya.”
20
Di samping itu Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu,
janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya
dari segala perbuatan buruk.
21
c. Akhlak Kepada Diri Sendiri
1 Adab Makan
Menurut al-Ghazali sifat yang mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah ia diajarkan
19
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul
Fikri, Jilid 3, h. 66
20
Ibid, h. 195
21
Ibid
tentang adab makan dan minum. Umpamanya ia harus diajar membaca basmallah sebelum makan, tidak mengambil makanan kecuali dengan
tangan kanannya, memulai dengan makanan yang lebih dekat dengannya, tidak memulai makan sebelum orang lain memulainya, tidak memusatkan
pandangan ke arah makanan dan tidak pula ke arah orang-orang yang sedang makan, mengunyah makanan dengan baik, tidak memasukkan
makanan ke dalam mulut sebelum menelan suapan sebelumnya, tidak menyisakan makanan, tidak mengotori tangan dan pakaiannya dengan
makanan, hendaklah ia kadang-kadang dibiasakan makan roti tanpa lauk agar dapat menganggap adanya lauk tidak sebagai suatu keharusan.
Kemudian setalah meranjak sedikit dewasa di kenalakan bahwa makanan itu adalah obat. Yang dimaksud obat ialah untuk menguatkan manusia agar
dapat beribadah kepada Allah SWT.
22
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa anak-anak mempelajari adab atau sopan santun pada waktu makan adalah dengan contoh, latihan dan
pembiasaan yang berangsur-angsur dalam waktu yang lama, bukan hanya dengan keterangan dan penjelasan yang membosankan. Di samping itu, al-
Ghazali sangat menganjurkan agar orang tua menanamkan dalam diri anak nilai-nilai kesederhanaan. Bahkan, ia membolehkan untuk memberikan
sekedar teguran dan pujian, sebagaimana dikatakannya:
22
Ibid, h. 194
23
Sifat petama yang menonjol pada anak-anak itu, ialah rakus kapda makanan. Maka sebaiknya ia dididik tentang itu, misalnya tidak
mengambi makanan selain dengan tanangan kanannya. Membaca bismillah ketika mengambilnya. Bahwa ia makan makanan yan gekat
dengan dia. Tidak tergesa-gesa ke pada suatu makanan sebelum orang lain. Bahwa ia tidak menitik perhatian kepada suatu makanan dan
kepada orang yang memakannya, bahwa ia tidak makan cepat-cepat. Bahwa ia mengunyah makanannya dengan baik tidak memasukan
makanan kemulut terus menerus. Tidak mengotorkan tangan dan pakaian dengan makanan. Membiasakan roti kering pada sebagian
waktu. Sehingga ia memandang jelek banyak makan, dengan diserupai orang yang banyak makan itu dengan binatang ternak dan dicelanya
anakk-anak dihadapannya yang banyak makan. sebaiknya dipuji anak- anak yang sopan dan sedikit makan. Disukakan kepadanya
mengutamakan makanan itu untuk orang lain dan kurang memperhatikan kepada makanan itu. Dan merasa cukup dengan makan
apa saja yang ada.
24
Jelas sekali bahwa al-Ghazali melarang anak-anak hidup mewah dan berlebihan dalam segala hal. Terutama makan karena sifat nafsu yang
muncul pada anak dalah sifat rakus pada makanan. Maka harus dilatih tidak dibiasakan makanan yang enak dan tidak dibiasakan makan banyak.
Memandang sifat konsutif itu berbahaya dan menyamakan seperti binatang, merasa cukup dengan apa yang ada. Bahkan al-Ghazali memandang bahwa
anak-anak harus dibiasakan juga makan seadanya dan memakan makanan yang kurang lezat
2 Adab Berpakaian
Al-Ghazali menegaskan bahwa anak-anak harus diajarkan untuk menyukai pakaian-pakaian yang berwarna putih dan polos saja, bukan yang
berwarna atau sutera, sebab kedua jenis pakaian seperti itu hanya layak untuk perempuan atau orang-orang yang menyerupakan dirinya dengan
23
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul
Fikri, Jilid 3, h. 66
24
Ibid
perempuan banci dan karenanya, laki-laki tidak pantas mengenakannya.
25
Keterangan seperti ini, hendaknya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakannya ayah mengecamnya dan menegaskan
lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya. Hendaklah ia dijauhkan dari anak-anak yang terbiasa hidup dalam kemewahan dan
berpakaian mahal-mahal. Juga melarangnya bergaul dengan anak-anak yang membiasakan dirinya bersenang-sengan, bermewah-mewah dan memakai
pakaian yang membanggakan.
26
Dengan demikian jelaslah, bahwa orang tua harus benar-benar menjaga anaknya untuk tidak gemar berhias, mengejar kesenangan, kemewahan dan
pemborosan. Karena jikalau ini dilakukan, maka hal itu akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan jiwanya nanti, misalnya kurang
memiliki sikap sabar, tabah dan tahan menderita. Di samping itu, Al-Ghazali menjelaskan bahaya senang terhadap emas dan perak, yaitu:
27
“Hendaklah anak-anak sejak kecilnya disadarkan buruknya perilaku kecintaan kepada emas dan perak, serta ketamakan untuk memilikinya.
Dan agar ditanamkan rasa takut dari keduanya melebihi rasa takut dari ular dan kalajengking. Sebab, bahaya kecintaan kepada emas dan perak
lebih besar dari pada bahaya racun, terhadap anak-anak maupun orang
dewasa.”
28
Jauhkanlah anak dari kemewahan karena jika anak sejak kecil dibiasakan hidup mewah akan timbul kecintaannya terhadap benda-benda
yang mewah dan manjadikannya sebuah keharusan dalam hidup. Dalam
25
Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1976, h. 38
26
Ibid
27
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul
Fikri, Jilid 3, h. 66
28
Ibid, h. 196
kenyataan sekarang banyak orang-orang kaya yang tiba-tiba miskin mereka menyerah dan tidak bisa hidup dengan kemiskinannya. Atau orang miskin
yang bergaya sangat modis dan mewah menggunakan barang barang mahal padahal rumahnya masih mengontrak karena sejak kecil dibiasakan hidup
mewah tanpa diperkenalkan kemewahan itu berbahaya. 3
Kesederhanaan Tidur Al-Ghazali menegaskan sebaiknya anak-anak dilarang untuk tidur pada
waktu siang, karena menyebabkan malas. Tetapi jangan dilarang untuk tidur pada malam hari.
29
Larangan anak-anak tidur di kasur yang empuk, biar anggota badannya kuat dan ototnya subur dan supaya tubuhnya jangan
lamban dan lemah.
30
Kebiasaan tidur siang pada anak-anak menyebabkan anak menjadi pemalas, karena sebagian waktu siang bagi anak-anak adalah untuk bermain
dan bergaul dengan teman sebaya atau bahkan digunakan untuk belajar atau berlatih kerja.
4 Sabar dan Berani
Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang dihukum atau dipukul oleh gurunya, hendaklah tidak berteriak-teriak dan tidak meminta
pertolongan kepada orang lain, agar diselamatkan dari hukuman. Tetapi seharusnya ia tetap tabah dan sabar, karena begitulah sikap orang-orang
jantan dan berani, sedangkan menangis dan berteriak-teriak adalah sikap para budak atau perempuan.
31
Jadi anak-anak dididik untuk sabar dan tabah dalam menerima hukuman akan berbentuk menjadi pribadi-pribadi yang sabar dan pemberani. Selain
mendidik akhlak anak-anak dengan membiasakan perbuatan-perbuatan yang
29
Ibid, h. 195-196
30
Nashruddin Thaha, Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam Di Zaman Jaya, Jakarta: Mutiara, 1976, h. 38
31
Ibid, h. 197
baik, Al-Ghazali juga menganjurkan agar mendidik anak-anak dengan pembiasaan dan latihan untuk menghindarkan dari perbuatan yang tercela
serta tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat atau ajaran agama Islam, antara lain:
5 Adab Berjalan
Al-Ghazali menjelaskan, anak-anak hendaklah jangan diperbolehkan berjalan telalu cepat, tidak menjatuhkan kedua tangan ke bawah, tetapi
diletakkan kedua tangan itu pada dada.
32
6 Larangan Bersumpah
Al-Ghazali berkata bahwa anak-anak jangan diperbolehkan sama sekali untuk bersumpah, baik ia benar maupun bohong.
33
Membiasakan anak-anak untuk tidak bersumpah dimaksudkan agar kelak ketika dewasa, ia tidak
mudah bersumpah dan dengan seenaknya melanggar sumpah tersebut. 7
Larangan Mencuri Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak haruslah diajarkan untuk
tidak sekali-kali mengambil barang yang bukan miliknya walaupun mungkin sangat diinginkannya. Jika ia berasal dari keluarga yang terhormat,
diberitahukan kepadanya bahwa kemuliaan seseorang dapat diraih dengan memberi dan bukannya dengan mengambil. Dan bahwasanya mengambil
sesuatu yang bukan miliiknya, adalah perbuatan yang rendah, hina dan busuk. Dan apabila ia berasal dari keluarga miskin, maka hendaklah
diyakinkan kepadanya bahwa ketamakan dan keinginan kuat untuk mengambil sesuatu atau diberi sesuatu oleh orang lain adalah suatu sifat
yang menghinakan dan tidak terhormat. Bahwa hal itu sama seperti perilaku
32
Al-Ghazali , Op. Cit, h. 196
33
Ibid
anjing, yang menggerak-gerakkan ekornya ketika menunggu sepotong makanan yang diinginkannya.
34
Dengan demikian Al-Ghazali menganjurkan agar anak-anak dibiasakan untuk suka memberi bukan suka menerima, apalagi mengambil sesuatu yang
bukan miliknya mencuri. Hal ini apabila dilatih terus menerus sehingga dewasa nanti akan menjadi seorang dermawan yang suka membantu dan
menolong orang lain. 8
Larangan Bersikap Sembunyi-Sembunyi Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak harus dijaga agar tidak
melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi. Sebab ia tidak akan melakukan sesuatu perbuatan dengan sembunyi-sembunyi kalau ia meyakini
bahwa perbuatannya itu jahat. Kalau ia dibiarkan berlaku demikian, maka ia akan membiasakan perbuatan jahat.
35
. Adanya larangan untuk melakukan perbuatan secara sembunyi-
sembunyi dimaksudkan untuk menghindarkan anak yang telah mengetahui bahwa perbuatan itu buruk, tetapi ia tetap melakukannya secara sembunyi-
sembunyi karena takut ditegur, dimarahi atau bahkan dihukum oleh orang tuanya atau pendidiknya apabila perbuatan tersebut diketahuinya.
9 Larangan Membuka Aurat
Menurut al-Ghazali, anak-anak hendaklah dibiasakan untuk tidak membuka aurat di hadapan orang lain.
36
d. Akhlak Kepada Orang Lain
Al-Ghazali memberikan beberapa nasihat agar para orang tua membiasakan anaknya untuk berbuat hal-hal yang patut dan sesuai dengan norma-norma
34
Ibid
35
Ibid
36
Ibid.
masyarakat yang berlaku, sebaliknya menghindarkan perbuatan yang tidak pantas dipandang umum. Nasihat-nasihat Al-Ghazali itu antara lain:
1 Adab Duduk
Al-Ghazali berkata hendaklah anak-anak diajarkan cara duduk yang baik, tidak meletakkan kaki yang sebelah di atas kaki yang sebelahnya lagi.
Demikian pula tidak meletakkan telapak tangannya di bawah dagu topang dagu dan tidak menegakkan kepala dengan tangannya. Sebab yang
demikian itu menandakan kemalasan.
37
Maksud dari nasihat Al-Ghazali tersebut, di samping mengajarkan sopan santun pada waktu duduk, juga menghindarkan sikap malas pada
anak-anak. 2
Adab Duduk Bersama Orang Lain Al-Ghazali menegaskan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak
meludah pada tempat yang bukan semestinya, tidak menguap dan membuang ingus di hadapan orang lain. Dan tidak membelakangi orang
lain.
38
Dengan demikian jelaslah bahwa di samping mendidik sopan santun di hadapan orang lain, al-Ghazali juga mengajarkan untuk menjaga kebersihan.
Selain itu, al-Ghazali juga mengajarkan untuk menghormati orang yang lebih tua, seperti dijelaskannya:
“Dan hendaklah anak-anak dibiasakan untuk tidak memulai pembicaraan, tetapi hanya menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, dan sekedar
memberikan jawaban secukupnya. Dan diajarkan kepada mereka agar pandai-pandai mendengarkan orang lain apabila ia berbicara, terutama
jika usianya lebih tua dari mereka. Dan agar berdiri untuk menghormati kedatangan orang lain yang lebih tua, memberinya tempat duduk, setelah
itu duduk dengan sopan di hadapannya.
39
37
Ibid.
38
Ibid.
39
Ibid
3 Adab Berbicara
Al-Ghazali berkata: anak-anak dijaga dari perkataan yang sia-sia, keji, mengutuk, memaki dan bergaul dengan orang yang lidahnya selalu berbuat
demikian karena tidak dapat dibantah bahwa yang demikian itu akan menjalar dari teman-teman yang jahat.
40
4 Tawadhu’
Menurut Al-Ghazali seorang anak hendaklah dilarang membanggakan diri di depan teman-temannya, disebabkan sesuatu yang dimiliki oleh orang
tuanya, tentang makanan, pakaian atau peralatan sekolahnya. Akan tetapi dibiasakan bersikap tawadhu’ dan memuliakan setiap orang yang bergaul
dengan dia, dan berkata lemah lembut.
41
Sangatlah penting menjauhkan anak dari sifat konsutif dan senang dengan kemewahan yang sangat terlihat di masyarakat kita saat ini, sifat sederhana dan
tidak memandang rendah terhadap orang yang ada di bawah. Tidak menjadikan gaya hidup mewah sebuah keharusan.
Dengan demikian jelaslah bahwa segala pengalaman yang dilalui anak dengan berbagai contoh pembiasaan, latihan, anjuran dan larangan, kemudian
diberikan penjelasan dan pengertian sesuai dengan taraf pemikirannya tentang norma dan nilai-nilali kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan. Kemudian
tumbuhkan tindakan, sikap, pandangan, pendirian, keyakinan, dan kesadaran serta kepercayaan untuk berbuat sesuatu yang bertanggung jawab akhirnya terbentuklah
kata hati kerohanian yang luhur pada anak pada masa dewasanya.
42
Jadi pembinaan pribadi anak adalah dengan menanamkan dan membina nilai-nilai kemasyarakatan, kesusilaan dan keagamaan yang disatupadukan,
sehingga terwujud sikap, mental, akhlak dan kepribadian yang sesuai dengan ajaran agama Islam.
40
Ibid
41
Ibid
42
Ibid, h. 197-198