Analisis Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan

Ibnu Miskawaih menyarankan agar anak-anak dididik untuk mempercerdas diri dengan banyak menghafal cerita-cerita yang baik dan puisi-puisi yang akan membantu terhadap hidup utama. 72 Sebaliknya al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menyarankan untuk menjauhkan anak-anak dari bacaan-bacaan yang berkecenderungan akan merusak kejiwaan mereka. f. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memandang perlu untuk melarang anak- anak bersikap sembunyi-sembunyi, sebab tidak mungkin dia berbuat begitu, kecuali bisa dipastikan bahwa perbuatannya buruk. Maka sudah seharusnyalah orang tua dan para pendidik menanamkan kesadaran para pendidik menanamkan kesadaran diri anak akan pengawasan Allah terhadap semua makluknya termasuk manusia, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi di manapun, di langit maupun di bumi. g. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menjadikan permainan sebagai sarana yang ikut membantu pendidikan dan pengajaran anak di samping sebagai medium bagi anak dalam mengungkapkan fitrahnya. Permainan juga berfungsi sebagai sumber pengaman yang dapat menghanyutkan setumpuk kelelahan pada dirinya ketika menghadapi pelajaran. Menurut al-Ghazali, melarang anak-anak bermain dan mendesaknya agar terus-menerus belajar dapat membuat hatinya mati, berkurang kecerdasannya dan akhirnya terasa olehnya sangat benar sehingga ia mencari jalan untuk melepaskan diri darinya. 73 Permainan menurutnya memiliki tiga fungsi pokok dalam perkembangan fisik dan rasio anak secara sama, yaitu 1 Permainan dapat membantu melatih fisiknya serta menguatkan anggota- anggota tubuhnya, yang pada gilirannya akan menciptakan pertumbuhan fisik yang sehat. 72 Sudarsono, Op. Cit, h 142 73 Al-Ghazali, Op. Cit, h 179 2 Membantu untuk membawa kegembiraan dan gairah bagi anak, sekaligus menjadi faktor rekreasi yang tidak dapat diabaikan 3 Sebagai sumber yang memegang peranan memberi istirahat anak dari keletihan belajar yang selanjutnya akan mempermudah dalam belajarnya. 74 Sedangkan Ibnu Miskawaih tidak membahasnya secara detail. Ia hanya menyarankan untuk memberikan izin anak-anak untuk bermain sebagai pelepas setelah belajar. h. Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memberikan uraian yang sangat lengkap mengenai adab dan tata cara pergaulan sesama manusia. Dari pemikiran kedua tokoh ini dapat dilihat bahwa hampir tidak satupun terlupakan oleh mereka tentang rincian budi pekerti yang baik, perilaku yang terpuji dan sopan santun yang layak. Pembahasan mereka tentang pendidikan akhlak pada anak-anak tidak hanya sebatas akhlak pribadinya, atau tabiat dan kebiasaan kebiasaannya sebagai individu, tetapi mencakup juga dasar-dasar pendidikan yang sebenarnya tujuannya adalah bila sudah dewasa dan dapat mengungkap esensi segala masalah, ia dapat bergaul dengan sesamanya di tengah-tengah masyarakat dengan kebaikan yang maksimal dan simpatik, dengan cinta yang utuh dan dengan budi pekerti yang luhur. 75 2. Perbedaan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhak Pada Anak-Anak a. Dalam pemikiran al-Ghazali orang tua berkewajiban untuk menjaga kewibawaannya di hadapan anak-anak. Menurutnya tidak semestinya orang tua mencela anak-anaknya, kecuali pada waktu tertentu. Seorang ibu berkewajiban untuk menasihatkan anaknya agar ia merasa segan terhadap ayahnya dan turut serta menegurnya jika anak berbuat salah. Mengenai 74 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan, Studi Tentang Aliran Pendidikan Menurut Al-Ghazali , Dimas, Semarang, 1993, h 65 75 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Sosial Anak, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996, Cet. III, h . 101-102 idenya anak-anak diajarkan segan terhadap ayahnya dilihat dari fungsi bapak sebagai pusat kekuasaan dalam keluarga, kiranya pantas apabila ia menjadi pribadi yang dihargai dan diperhitungkan bukan sebagai lambang yang menakutkan. b. Dalam menanamkan kesadaran tentang kesederhanaan, al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih menggunakan cara-cara yang berbeda. Al-Ghazali menyerupakan orang-orang yang rakus terhadap makanan seperti halnya binatang ternak. Selain itu, ia menyarankan untuk menggunakan pujian dan celaan. Sedangkan menurut Ibnu Miskawaih sejak awal harus ditanamkan kesadaran pada diri anak akan tujuan makan, yaitu demi kesehatan. Beliau mengibaratkan makanan sebagaimana halnya obat, yang tidak sepantasnya dimakan kecuali sekedar menjaga kesehatan, menolak nyeri lapar dan agar tidak sakit. Bila ini sudah diyakininya, dengan sendirinya dia akan memandang rendah nilai makanan. Selain itu Ibnu Miskawaih melarang untuk memakan kue-kue, permen dan buah-buahan, karena mempercepat proses peruraian sekaligus membiasakan pemakannya menjadi rakus. Ibnu Miskawaih juga menyarankan agar anak-anak tidak dibiasakan untuk minum di sela-sela makannya menjauhi arak dan jenis-jenis minuman memabukkan, karena sangat membahayakan kesehatan tubuh, serta membuat peminumnya cepat marah, ceroboh dan tidak segan berbuat buruk. Di samping itu beliau menyarankan untuk menjauhkan anak anak dari orang –orang yang suka mabuk dan minuman keras. 76 c. Ibnu Miskawaih memandang perlu untuk menumbuhkan sikap mandiri pada anak-anak dengan cara melatihnya untuk melayani dirinya sendiri, gurunya maupun orang lain yang lebih dewasa dari dia. Adapun al-Ghazali tidak membahas permasalahan ini sama sekali. 76 Ibnu Miskawaih, Tahzibul Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, Cet. IV, 1998 h 77-78

F. Analisis Tentang Persamaan dan Perbedaan Pemikiran Al-Ghazali dan

Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Akhlak Pada Anak-Anak No Persamaan Pemikiran 1. Al-Ghazali: Anak seperti mutiara yang amat berharga dan masih halus kosong dari segala ukiran dan menerima segala ukiran kepadanya Ibnu Miskawaih: Jiwa seorang anak memiliki jiwa yang kosong dan pesan masa lalulah yang akan mengisinya 2 Al-Ghazali: Membiasakan anak sejak dini untuk beribadah, seperti shalat, berpuasa dan lain-lain Ibnu Miskawaih: Membiasakan anak melaksanakan kewajiaban agama 3 Al-Ghazali: Memandang buruk banyak makan, tidak terburu-buru ketika makan, bukan yang pertama menggambil makanan dan lain-lain Ibnu Miskawaih: Memandang hina yang ragkus, bukan yang pertama mengambil makanan, jagan tergesa-gesa ketika makan 4 Al-Ghazali: Hendaklah menjauhakan anak dari hidup dalam kemewahan seperti berpaikan mahal-mahal, tidak dibiarkan tidur dikasur yang empuk Ibnu Miskawaih Diajarkan kepada anak berpaikan sederhana Tidak dibiarkan anak tidur dikasur yang empuk, dan fasilitas mewah lainnya 5. Al-Ghazali: didik membenci dan takut terhadap emas dan perak melebihi ketakutannya terhadap hewan buas dan beracun. Ibnu Miskawaih: didik membenci dan takut terhadap emas dan perak melebihi ketakutannya terhadap hewan buas dan beracun. 6. Al-Ghazali: Diajarkan kepada anak sikap berani dan sabar tidak meminta pertolongan orang lain untuk diselamatkan dari hukuman, dilarang mengadukan jika di hukum guru Ibnu Miskawaih: Anak sabar dan tabah menjalani hukuman guru 7 Al-Ghazali: Menjauhkan anak-anak dari perkataan keji, memaki, mengutuk dan bargaul dengan orang yang lidahnya demikian Ibnu Miskawaih: Dibiasakan meninggalkan perkataan sia-sia, perkataan kotor, sumpah serapah. Perbedaan Pemikiran 1 Al-Ghazali: membahas pendidikan keimanan pada anak dengan terperinci Ibnu Miskawaih Tidak membahas pendidikan keimanan 2 Al-Ghazali: Meranjak dewasa baru diberi tahu bahwa makan itu sebagai obat Ibnu Miskawaih Sejak dini sudah diberi tahu bahwa makan sebagai obat 3 Al-Ghazali: Menjelaskan secara terpeinci cara dan mendidik anak Ibnu Miskawaih: Menjelaskan secara umum cara mendidik anak Setelah penulis mendiskripsikan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih tentang pendidikan akhlak pada anak-anak, terlihat jelas bahwa antara pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih memiliki banyak kesamaan. Namun pembahasan al-Ghazali mengenai pendidikan akhlak pada anak-anak lebih lengkap, karena disertai dengan argumentasi-argumentasi dan cara-cara untuk mencapainya. Kemiripan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sangat jelas, sehingga muncul pendapat bahwa sebagian besar pemikiran al-Ghazali merujuk pada pemikiran Ibnu Miskawaih, bahkan dalam pemikirannya tentang pendidikan akhlak pada anak-anak al-Ghazali memperoleh inspirasi dan berhutang pada Ibnu Miskawaih melalui karyanya Tahdzib Al Akhlaq, yang isinya disaring, disusun ulang dan dipresentasikan kembali oleh al-Ghazali dalam kerangka kerjanya sendiri yang ditambahkan penjelasan-penjelasannya kemudian disandingkan dengan hadis-hadis dan ayat-ayat yang berhubungan dengan penjelasannya untuk memperkuat argumennya. Sedangkan Ibnu Miskawaih sendiri banyak merujuk pada karya Brison. Brison adalah seorang filosof aliran New Pitogarian, dari abad pertama masehi. Hal ini terlihat jelas pada judul yang diberikan Ibnu Miskawaih yaitu” Pendidikan Remaja dan Anak-Anak Khususnya kebanyakan diambil dari buku Brison dan sangat sedikit menyandingkan ayat-ayat dan hadis untuk memperkuat argumennya. 77 77 Hasan Ashari., Op. Cit, h 81 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tentang “Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Dalam Pendidikan Agama Islam Pada Anak-Anak ”, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berukut: Pemikiran al-Ghazali tentang Pendidikan Agama Islam pada anak-anak berdasarkan atas dasar asumsi bahwa seorang anak dilahirkan dengan fitrah suci dengan potensi netral, karenanya ia siap menerima pengaruh apapun dari luar. Hal ini menjadikan pendidikan anak sebagai seni menjaga dan merawat serta sebuah proses penyediaan dorongan-dorongan yang membawa pada pertumbuhan dan perkembangan yang positif. Pendidikan Agama Islam pada anak-anak beliau menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang menekan nafsu yang pertama tumbuh pada diri anak. Ibnu Miskawaih tentang Pendidikan Agama Islam pada anak-anak berasumsi bahwa untuk anak-anak pendidikan akhlaklah yang menjadi pendidikan yang utama. Akhlak tidak bersifat natural atau pembawaan, tetapi hal itu perlu diusahakan agar akhlak menjadi baik. Perubahan pada akhlak dapat dilakukan secara bertahap melalui pendidikan, pembiasaan, dan bimbingan, Konsep pendidikan Agama Islam pada anak-anak menurut Ibnu Miskawaih maupun al-Ghazali sama-sama menitik beratkan pada pendidikan akhlak yang dibentuk melalui pembiasan, latihan, dan teladan yang baik. Pendidikan akhlak yang mereka jelaskan sama-sama memulai dari melatih dan menekan nafsu yang tumbuh pada anak-anak dengan pendidikan akhlak melalui bimbingan, teladan, dan pembiasaan. Untuk membentuk akhlak hal penting yang harus dilakukan menurut mereka adalah menghindarkan anak-anak dari pergaulan yang kurang baik, serta menghidari meraka dari syair-syair yang membuai, musik-musik yang syairnya tentang percintaan yang saat ini banyak dikonsumsi oleh anak-anak jaman sekarang, serta manjauhakn mereka dari bersifat konsutif dan matrealistis, anak-anak harus diajarkan kesederhanaan hidup. Persamaan pemikiran al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih sangat jelas dari konsep pendidikan agama islam pada anak-anak mereka berdua menitik beratkan pada pendidikan akhlak pada anak-anak, namun al-Ghazali lebih mendetail disertai hadis dan ayat-ayat yang berkaitan dangan penjelasannya. Al-Ghazali pun menganjurkan untuk mengajarkan iman sejak dini dengan cara menghafal ayat- ayat dan hadis-hadis yang berkaitan dengan keimanan, bersamaan dengan itu pendidikan akhlak harus juga diajarkan sejak dini sedangkan Ibnu Miskawaih tidak membahas pendidikan keimanan dengan mendetail seperti al-Ghazali, Ibnu Miskawaih hanya menganjurkan anak-anak harus dibiasakan beribadah dan pendidikan akhlak sejak dini.

B. Saran

Mengingat pentingnya pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian anak, maka semestinya pendidikan akhlak pada anak-anak dimulai sejak dini, sebelum karangka watak dan kepribadian seorang anak yang masih suci diwarnai oleh pengaruh lingkungan yang buruk, maka pentinglah pendidikan agama islam pada anak-anak agar menjadi pengarah kehidupanya di masa yang akan datang. Orang tua pendidik yang pertama dan yang utama bagi anak-anak memiliki yang sangat penting dalam pembentukan akhlak anaknya, untuk itu hendaklah para orang tua memiliki kesadaran akan tanggung jawabnya membekali diri dengan ajaran-ajaran agama serta mampu menjadi teladan yang baik dalam semua tingkah lakunya.