Biografi Imam Al-Ghazali Perbandingan Pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Miskawaih Tentang Pendidikan Agama Islam Pada Anak

c. Al Wajiz Surat-surat Wasiat d. Khulashatul Mukhthashar Intisari Ringkasan Karangan e. Al Mustasfa Pilihan f. Al Mankhul Adat Kebiasaan g. Syifakhul ‘Alil fi Qiyas wat Ta’lil Penyembuh yang Baik dalam Qiyas dan Ta’lil h. Adz-Dzari’ah ila Makarimis Syari’ah Jalan kepada Kemulian Syari’ah 3. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf, yang meliputi: a. Ihya ‘Ulummuddin Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama b. Mizanul Amal Timbangan Amal c. Kimiyaus Sa’adah Kimia Kebahagiaan d. Minhajul ‘Abidin Pedoman Beribadah e. Ad-Dararul Fakhirah fi Kasyfi Ulumil Akhllrah Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat f. Al-‘Ainis fil Wahdah Lembut-lembut dalam Kesatuan g. Al-Qurbah Ilallahi Azza Wa Jalla Mendekatkan Diri Kepada Allah h. Akhlak Al-Abrar Wan Najat minal Asrar Akhlak yang Luhur dan Menyelamatkan dari Keburukan i. Bidayatul Hidayah Permulaan dan Tujuan j. Talbis Al-Iblis Tipu Daya Iblis k. Nasihat Al-Mulk Nasihat untuk Raja-raja l. Al ‘Ulum Al-Laduniyyah Ilmu-ilmu Laduni m. Al Risalah Al-Qudsiyah Risalah Suci n. Al-Ma’khadz Tempat Pengambilan o. Al-Amali Kemuliaan 4. Kelomok Ilmu Tafsir yang meliputi: a. Yaaquutut Ta’wil fi Tafsirit Tanzil Metodelogi Ta’wil di Dalam Tafsir yang Diturunkan b. Jawahir Al-Qur’an Rahasia yang Terkandung dalam Al-Qur’an Sebenarnya masih banyak kitab al-Ghazali yang tidak tersebut di atas karena masih ada kitab-kitab karangannya yang musnah, hilang ataupun yang belum ditemukan. 9

B. Konsep Al-Ghazali Tentang Pendidikan Agama Islam Bagi Anak-Anak

1. Pendidikan Keimanan bagi anak-anak

Al-Ghazali mengatakan iman adalah mengucapkan dengan lidah, mengakui benarnya dengan hati dan mengamalkan dengan anggota tubuh. 10 Al-Ghazali menganjurkan tentang asas pendidikan keimanan ini agar diberikan kepada anak- anak sejak dini: Akidah keyakinan sebaiknya didahulukan kepada anak-anak pada masa pertumbuhannya, supaya dihafalkan dengan baik, kemudian senantiasa terbuka pengertiannya nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah dewasa. Jadi permulaan dengan menghafal, lalu memahami, kemudian beri’tikad, mempercayai dan membenarkan. 11 Al-Ghazali mengatur cara berangsur-angsur untuk menanmkan keimanan melalui membaca, menghafal, memahami, mempercayai, dan membenarkan, kemudian tertanam sangat kuatnya pada jiwanya setelah dewasa. Seperti pengertian iman itu sendiri pendidikan keimanan harus dimulai dengan mengucapkan dengan lisan atau bahkan dihafalkan ayat-ayat maupun hadis-hadis yang berhubungan dengan keimanan, kemudian memahami pengertiannya dan mencamkan dalam pikirannya kemudian diakui kebenarannya dalam hati, agar dapat meresap secara mendalam, serta yang terakhir mengamalkan ajaran yang terkandung di dalamnya dengan cara yang sebenar-benarnya. Sedangkan pendidikan keimanan pada anak-anak dimulai dengan membaca dan menghafal dan belum mencakup pengertian yang mendalam, serta 9 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, h. 19-21 10 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991 h. 97 11 Zainuddin, dkk, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara, 1991, h. 98 pembiasaan ibadah sehari-hari tanpa pengertian yang mendalam pula karena pengertian yang mendalam akan dia dapatkan ketika dewasa nanti. Pendidikan keimanan harus ditanamkan pada anak usia dini karena berkaitan dengan fitrah manusia. Anak didik yang menerima pendidikan aspek keimanan akan berhati-hati menjalani kehidupan di masyarakat, 12 oleh karena itu pedidikan keimanan adalah hal pertama yang harus ditanamkan dalam setiap individu agar menjadi pondasi dari ilmu pengetahuan dan aspek pendidikan lainnya serta merupakan pedoman dan pandangan hidup seorang muslim.

2. Pendidikan Akhlak bagi Anak-anak

Al-Ghazali adalah seorang tokoh Moralis yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap pendidikan akhlak pada anak-anak. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam Ihya Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan akhlak dan pembiasaannya, yang dibagi menjadi dua bagian penting yaitu Riyadhatun Nafs latihan pribadi umum dan Riyadhatus Shibyan latihan pekerti anak-anak. Pertama-tama Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak- anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah swt kepada orang tuanya. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebaikan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya, gurunya serta pendidikannya pun ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dibiasakan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa, 12 Hasan Basri, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h. 228 dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tuanya, walinya atau siapa saja yang bertanggung jawab atas pendidikannya. 13 Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka pendidikan akhlak harus dimulai sejak dini sekali. Sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti diasuh dan disusui oleh wanita yang shalihah, kuat dalam melaksanakan ajaran agama, dan tidak makan kecuali yang halal saja. 14 Kemudian pada saat kemampuan membedakan antara yang baik dan buruk tamyiz mulai muncul dalam diri anak, perhatian harus lebih ditingkatkan lagi untuk memastikan bahwa ia mengaitkan nilai kebaikan dengan hal-hal yang memang baik dan nilai keburukan kepada hal-hal yang memang buruk asosiasi nilai. Sedangkan metode yang digunakan sama dengan metode yang digunakan untuk orang dewasa. Namun titik berat pada kedua metode itu berbeda. Pada orang dewasa membiasakan diri merupakan metode dasar mencapai akhlak yang baik dan oleh sebab itu mendapat tekanan lebih besar ketimbang pergaulan tetapi dalam kasus anak-anak sebaliknya, melindungi mereka dari pergaulan buruk dianggap sebagai dasar latihan bagi anak-anak untuk berakhlak yang baik. Hal ini karena sebagian besar pengajaran untuk mereka adalah peniruan. Pengetahuan tentang manfaat dan mudharat dari sifat-sifat baik dan buruk bagi akhirat tidak relevan dalam latihan moral pada kanak-kanak. Karena akal mereka belum bisa memikirkan hal seperti itu. Hadiah dan hukuman dari orang tua dan pujian serta cercaan dari orang lainlah yang harus dipergunakan sebagai alat membiasakan diri mereka jadi baik dan mencegah mereka dari perbuatan yang buruk. 15 Adapun pemikiran Al-Ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak- anak adalah sebagai berikut: a. Akhlak Terhadap Allah 13 Al-Ghazali, Ihya Al-Ghazali, Terj. Ismail Ya’kub, Jakarta: Cv. Faisan, 1986, Jilid IV, h. 193 14 Ibid, h. 193 15 M. Abul Quasem, Op.Cit.., h. 102-103 Al-Ghazali menjelaskan bahwa seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan shalat. Juga mulai diperintahkan berpuasa beberapa hari di bulan Ramadhan. 16 Al-Ghazali sangat menganjurkan sejak dini orang tua membiasakan anak- anaknya untuk beribadah, seperti shalat, berdoa, berpuasa di bulan Ramadhan dan lain-lain, sehingga secara berangsur-angsur tumbuh rasa senang melakukan ibadah tersebut, kemudian dengan sendirinya anak akan terdorong untuk melakukannya tanpa perintah dari luar motivasi eksternal tetapi dorongan itu timbul dari dalam dirinya motivasi internal dengan penuh kesadaran. Anak harus berangsur-angsur dapat mengabstraksikan, memahami bahwa beribadah itu harus sesuai dengan keyakinannya sendiri, keyakinan dengan sadar bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan kata lain, anak yang banyak mendapatkan kebiasaan dan latihan keagamaan pada waktu dewasanya akan semakin merasakan kebutuhan terhadap pentingnya agama dalam kehidupan. 17 Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan perlunya anak-anak pada usia tamyiz diajarkan tentang hukum syari’at yang diperlukan. b. Akhlak Terhadap Orang Tua Al-Ghazali menegaskan bahwa seorang anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada kedua orang tuanya, gurunya serta yang bertanggung jawab atas pendidikannya. Dan hendaklah ia menghormati mereka serta siapa saja yang lebih tua dari padanya. Dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersenda gurau di hadapan mereka. 18 Setelah menekankan pentingnya menanamkan rasa hormat anak terhadap orang tua, Al-Ghazali juga menjelaskan perlunya menerapkan hukuman dan hadiah. Mengenai hal ini Al-Ghazali berkata: 16 Al-Ghazali, Op.Cit, h. 197 17 Zaenuddin, Op.Cit, h. 166 18 Al-Ghazali, Op.Cit, h. 197 19 “Apabila seorang anak berkelakuan baik dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah ia diberi hadiah dan dipuji di depan orang banyak kemudian jika suatu saat ia melakukan hal-hal yang berlawanan dengan itu, sebaiknya kita berpura-pura tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila anak berupaya merahasiakannya, membicarakan hal itu justru akan menimbulkan kenekatannya sehingga ia tidak peduli lagi dengan kecaman siapapun. Setelah itu, apabila ia mengulangi lagi perbuatannya itu, maka sebaiknya ia ditegur secara rahasia dan memberitahuannya tentang akibat buruk dari perbuatannya itu. Sehingga dapat memalukannya sendiri dengan orang-orang sekitarnya. Akan tetapi, janganlah berlebihan dalam mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa dan dapat mendorongnya ke arah perbuatan yang lebih buruk lagi. Dan ketika itu mungkin telinganya menjadi kebal dalam mendengar kecaman-kecaman yang ditujuka n padanya.” 20 Di samping itu Al-Ghazali juga menjelaskan hendaklah orang tua selalu menjaga kewibawaannya dalam berbicara kepada anak-anaknya. Untuk itu, janganlah ia memarahinya kecuali pada waktu-waktu yang sangat diperlukan saja. Sementara itu, ibu mempertakutinya dengan amarah ayahnya dan mencegahnya dari segala perbuatan buruk. 21 c. Akhlak Kepada Diri Sendiri 1 Adab Makan Menurut al-Ghazali sifat yang mula-mula menonjol pada anak-anak ialah kerakusannya terhadap makanan. Karena itu, hendaklah ia diajarkan 19 Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘ulumuddin, Darul Fikri, Jilid 3, h. 66 20 Ibid, h. 195 21 Ibid