D. Manfaat Penelitian
Manfaat suatu penelitian yang penting adalah memberikan kontribusi terhadap pihak-pihak terkait, baik secara teoritis maupun praktis, manfaat tersebut adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini dapat membuka wawasan dan paradigma berfikir
dalam memahami serta mendalami permasalahan hukum khususnya pemahaman tentang eksekusi putusan Mahmakah Agung atas tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh terpidana DL. Sitorus; dan 2.
Secara praktis, bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum yakni: Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, Kementerian Kehutanan RI, lembaga
atau instansi terkait misalnya DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang peranannya sebagai institusi yang
diharapkan dalam pelaksanaan putusan Mahkamah Agung RI atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terpidana DL. Sitorus serta melakukan
koordinasi lebih lanjut secara terpadu.
E. Keaslian Penulisan
Keaslian penelitian ini dibuat bertujuan untuk menghindari terjadinya duplikasi penelitian terhadap judul dan permasalahan yang sama. Oleh sebabnya,
terlebih dahulu telah dilakukan penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum USU. Hasil dari
penelusuran tidak ditemukan satupun judul dan masalah yang sama dengan penelitian ini. Sebab, pelaksanaan eksekusi barang sitaan berupa aset tidak bergerak hasil tindak
Universitas Sumatera Utara
pidana korupsi studi kasus: putusan Mahkamah Agung RI nomor: 2642 KPid2006 tanggal 12 Februari 2007 an. terpidana Darianus Lungguk Sitorus baru pertama kali
dilakukan penelitian tentang judul dan permasalahan dimaksud. Sehingga dengan demikian, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini adalah asli dan tidak
mengandung unsur plagiat terhadap karya tulis milik orang lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Tindak pidana korupsi merupakan suatu tindakan yang melanggar norma- norma hukum yang berlaku seperti mengabaikan rasa kasih sayang dan tolong-
menolong dalam kehidupan bernegara atau bermasyarakat dengan mementingkan diri pribadi atau keluarga atau kelompok atau golongannya dan yang tidak mengikuti atau
mengabaikan pengendalian diri sehingga kepentingan lahir dan batin, jasmani dan rohaninya tidak seimbang, tidak serasi, dan tidak selaras. Mengutamakan kepentingan
lahir berupa meletakkan nafsu duniawi yang berlebihan sehingga merugikan keuangan atau kekayaan negara danatau kepentingan masyarakat atau negara, baik
secara langsung maupun tidak langsung.
29
Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh DL. Sitorus, PT. Torus Ganda PT. Torganda, Pengurus Koperasi Persadaan Masyarakat Ujung Batu Parsub, dan
pengurus Koperasi Perkebunan Kelapa Sawit KPKS Bukit Harapan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait atas kawasan hutan Negara hingga sampai
±
29
Juniadi Soewartojo, Op. cit., hal. 11.
Universitas Sumatera Utara
47.000 Ha menyebabkan berkurangnya luas areal hutan Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH,
Dana Reboisasi DR, menimbulkan kerugian rehabilitasi yang harus ditanggung oleh Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.
30
Dalam Pasal 23 Bab VIII UUD 1945 tentang “Hal Keuangan”, pengaturan keuangan negara dalam UUD 1945 yang sangat singkat tersebut menjadi titik awal
pengaturan keuangan negara di Indonesia. Meskipun rumusannya sangat singkat, tidak berarti pasal tersebut tidak mengandung makna secara filosofis, yuridis, maupun
historis. Dengan demikian perbuatan tersebut
menyebabkan kerugian keuangan negara.
31
30
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 2642 KPid2006, Op. Cit, hal. 44 dari 107 halaman.
Definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, maka yang
dimaksud keuangan negara adalah APBN, apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian
seterusnya dengan Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum. Dengan kata lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD,
Perusahaan Jawatan, Perusahaan Negara maupun Perum dan sebagainya. Keuangan
31
Arifin P. Soeria Atmadja, “Hukum Keuangan Negara Pasca 60 Tahun Indonesia Merdeka: Masalah dan Prospeknya Bagi Indonesia Inc.”, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas
Hukum Universitas Indonesia MaPPI-FHUI, hal. 2. Lihat juga: A.K. Pringgodigdo, Tiga Undang- Undang Dasar, Cet., 4, Jakarta: PT. Pembangunan, 1974, hal. 79.
Universitas Sumatera Utara
negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.
32
Memperhatikan bahwa kerugian yang ditimbulkan dari kawasan hutan Negara yang dikelola DL. Sitorus hingga sampai
± 47.000 Ha tersebut dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut merugikan keuangan negara. Pendekatan yang digunakan diambil
dari teori keuangan negara yang dikemukakan Erman Rajagukguk dalam merumuskan keuangan negara meliputi sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan. Sisi
obyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam
bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh obyek adalah dimiliki oleh
negara danatau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negaradaerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.
Keuangan negara jika dipandang dari sisi prosesnya mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas
mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Keuangan negara dari sisi tujuannya meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan danatau
32
Hilman Tisnawan, “Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia”, Buletin Hukum Perbankan dan Kebansentralan 42 Volume 3
Nomor 3, Desember 2005, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan obyek. Erman Rajagukguk mendefinisikan keuangan negara demikian luas.
33
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya
segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
34
a. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga Negara, baik ditingkat pusat maupun di daerah; b.
Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggung jawaban Badan Usaha Milik NegaraBadan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan
perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
M. Solly Lubis, berpendapat sama bahwa yang termasuk keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala
sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
35
33
Erman Rajagukguk, “Pengerian Keuangan Negara dan Kerugian Keuangan Negara”, Makalah yang Disampaikan pada Diskusi Publik “Pengertian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana
Korupsi”, Makalah pada Komisi Hukum Nasional KHN RI, Jakarta 26 Juli 2006, hal. 4.
Pendapat M. Solly Lubis tersebut mirip dengan pengertian keuangan negara secara yuridis dalam Pasal 1
Ayat 1 UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara selanjutnya disebut dengan UU Keuangan Negara, secara tegas dinyatakan, ”keuangan negara adalah
semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
34
Ibid., hal. 3. Lihat juga: Efi Laila Kholis, Op. cit., hal. 65-66.
35
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: CV. Mandar Maju, 1994, hal. 27.
Universitas Sumatera Utara
Lebih jelasnya keuangan negara diperluas dalam Pasal 2 UU Keuangan Negara, meliputi:
a. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman; b.
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. Kekayaan negarakekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negaraperusahaan daerah;
h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan tugas pemerintahan danatau kepentingan umum; i.
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Menurut Arifin P. Soeria Atmadja, defenisi keuangan negara dapat dipahami dan ditafsirkan sebagai berikut:
36
a. Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, yang hanya meliputi
keuangan yang bersumber dari APBN; dan b.
Keuangan negara dalam arti luas, yang meliputi keuangan negara berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan
negara merupakan sebagai suatu sistem keuangan negara.
Apabila tujuan dalam menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan dan pertanggungjawabannya, maka pengertian
keuangan negara itu adalah sempit, selanjutnya untuk mengetahui sistem pengawasan dan pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara adalah
dalam arti luas, yakni termasuk di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN,
36
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum: Teori, Praktik dan Kritik, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum universitas Indonesia, 2005, hal. 86.
Universitas Sumatera Utara
APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan objek pemeriksaan dan pengawasan.
37
Oleh karena keuangan negara termasuk semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatunya baik berupa uang maupun berupa
barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat 1 dan Pasal 2 UU Keuangan
Negara, maka terhadap perbuatan yang menanami sawit tanpa ijin dari instansi terkait di kawasan hutan Negara hingga sampai
± 47.000 Ha Padang Lawas menyebabkan kerugian keuangan negara yang dapat dinilai dengan uang berupa potensi lahan seluas
± 47.000 sebagai milik negara. Kerugian keuangan negara tersebut berupa berkurangnya luas areal hutan
Negara Kawasan Hutan Produksi Padang Lawas, hilangnya perolehan Provisi Sumber Daya Hutan PSDH, Dana Reboisasi DR, menimbulkan kerugian rehabilitasi yang
harus ditanggung oleh Pemerintah Cq. Departemen Kehutanan RI.
38
Sebagai pihak eksekutor terhadap putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 KPid2006 yang telah berkekuatan hukum tetap ini adalah pihak Kejaksaan. UU
No.6 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia UU Kejaksaan Terhadap aset
negara berupa barang yang tidak bergerak yang provisinya hilang akibat tindak pidana korupsi, maka melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap harus dilakukan eksekusinya.
37
Ibid.
38
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 KPid2006, hal. 44 dari 107 halaman.
Universitas Sumatera Utara
mengamanahkan kepada Jaksa untuk melaksanakan putusan tersebut. Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan menegaskan “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenag
oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang”. Dalam pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut, Pasal 33 UU Kejaksaan menegaskan pula bahwa Kejaksaan harus membina
hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainya.
Tim yang dibentuk untuk pelaksanaan sosialisasi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 KPid2006 yang akan mendampingi Jaksa pelaksana eksekusi
ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.599Menhut-II2010 tertanggal 21 Oktober 2010 tentang Pembentukan Tim Pendamping Pelaksanaan
Eksekusi Fisik Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 KPid2006 yang terdiri dari: a.
Penanggung Jawab: Menteri Kehutanan RI, Gubernur Sumatera Utara, dan Bupati Padang Lawas Utara;
b. Tim Pusat:
1 Staf Ahli Bidang Antar Lembaga, Kementerian Kehutanan selaku
koordinator; 2
Staf Ahli Bidang Keamanan Hutan, Kementerian Kehutanan; 3
Direktur Upaya Hukum, Eksekusi dan Eksaminasi Jampidsus Kejagung RI;
4 Kepala Pusat Pembinaan Operasi Mabes Polri;
Universitas Sumatera Utara
5 Direktur Penyidikan dan Perlindungan Hutan, Direktorat Jenderal PHKA,
Kementerian Kehutanan. c.
Tim Daerah: 1
Kepala Kejaksaan tinggi Sumatera Utara, selaku koordinator; 2
Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara; 3
Panglima Komando Daerah Militer I Bukit Barisan; 4
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Sumatera Utara; 5
Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Sumatera Utara; 6
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam KSDA Sumatera Utara;
7 Kepala Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan;
8 Kepala Kepolisian Resor Tapanuli Selatan;
9 Komandan Kodim 121 Tapanuli Selatan;
10 Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Padang Lawas Utara; dan
11 Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Padang Lawas Utara.
Hukum harus mampu dipakai di tengah masyarakat, jika instrumen pelaksanaannya dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan dalam bidang
penegakan hukum. Hukum tersusun dari sub sistem hukum yakni, struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum. Struktur hukum menekankan kepada kinerja
aparatur hukum serta sarana dan prasarana hukum itu sendiri, substansi hukum menyangkut segala aspek pengaturan hukum atau peraturan perundang-undangan,
dan budaya hukum menyangkut perilaku penegak hukum dan masyarakatnya. Sub-
Universitas Sumatera Utara
sub sistim sebagai faktor penentu apakah suatu sistem hukum dapat berjalan dengan baik atau tidak.
39
Indonesia seolah-olah terpaksa menggunakan konsep tujuan hukum barat, walaupun saat ini hukum di Indonesia sudah mulai berkembang ke arah konsep
menciptakan hukum yang harmonis dalam masyarakat, namun dengan adanya perundang-undangan yang masih tetap berlaku, menunjukkan fakta bahwa Indonesia
tetap mengadopsi tujuan hukum barat yakni ”kepastian”.
40
Achmad Ali, mangatakan, harus ada dua unsur yang harus dimiliki aparatur dalam sistim hukum untuk menciptakan hukum yang pasti itu.
41
Tujuan hukum di negara Indonesia memiliki kesamaan dengan konsep tujuan hukum barat, sebab
sistim hukum yang berlaku adalah civil law hal ini dikenal dengan adanya asas konkordansi dalam penciptaan hukum yang ”pasti”.
42
Koordinasi dan keterikatan masing-masing instansi dalam proses penegakan hukum membutuhkan profesionalisme. Kelambatan, kekeliruan, tidak profesional,
dan tidak memiliki kepemimpinan, pada satu instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi penegakan hukum. Konsekuensinya
39
Lawrence M. Friedman, dalam Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta: Tatanusa, 2001, hal. 9. Lihat juga: Achmad Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory dan
Teori Peradilan Judicialprudence Termasuk Interpretasi Undang-Undang Legisprudence, Jakarta: Kencana, 2009, hal. 204.
40
Wishnu Basuki, Ibid., hal. 213.
41
Achmad Ali, Ibid, hal. 204. Yakni: pertama, profesionalisme, mencakup kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok aparat penegak hukum; dan kedua, kepemimpinan,
mencakup kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum.
42
Ibid., hal. 212-213.
Universitas Sumatera Utara
adalah instansi yang bersangkutan dalam menangani perkara atau melaksanakan putusan pengadilan yang tidak berjalan, akan memikul tanggung jawab.
Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia. Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak bisa diabaikan
karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan.
43
Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan dalam mendukung program Pemerintah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi ini. Pasal 41
ayat 1 UUPTPK menegaskan kepada pihak masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasakan
ketentuan Pasal 41 ayat 1 UUPTPK ini dalam hal pemberantasan, masyarakat harus Warga masyarakat Padang Lawas Utara sebagai pihak ketiga terikat
dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan DL. Sitorus dkk menolak dan tidak setuju dilakukan eksekusi terhadap lahan
± 47.000 Ha beserta bangunan yang ada di atasnya. Namun, demikian tidak berarti putusan Mahkamah Agung RI Nomor:
2642 KPid2006 tertanggal 12 Februari 2007 dihentikan eksekusinya. Keberatan apapun yang muncul dari pihak ketiga tidak berarti bahwa putusan tersebut tidak
dieksekusi. UU No.31 Tahun 1999 jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi UUPTPK menegaskan pula dalam Pasal 19 ayat 3 bahwa
keberatan dari pihak ketiga tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
43
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Rajawali, 1983, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
turut serta membantu kelancaran program Pemerintah yang baik dan bersih Good Goverment melalui eksekusi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 KPid2006
tersebut seharusnya warga yang bertempat tinggal dan sebagai karyawan PT. Torganda milik DL. Sitorus harus menyadari bahwa lahan
± 47.000 Ha tersebut bukan milik DL. Sitorus karena telah diputuskan oleh Hakim Mahkamah Agung RI.
Walaupun demikian faktanya, pada eksekusi putusan Mahkamah Agung Nomor: 2642 KPid2006 tersebut Pemerintah tetap memperhatikan Hak Asasi
Manusia dalam pelaksanaan seperti yang dilakukan pada tahap sosialisasi I, II, dan III yang disampaikan bahwa eksekusi itu dilakukan tidak akan berakibat atau membuat
perekonomian warga atau karyawan yang bekerja di PT. Torganda menjadi terhenti sebab Pemerintah tetap memberikan kesempatan kepada warga untuk memperoleh
hasil dari sawit-sawit yang ditanami tersebut dengan ketentuan bahwa Pemerintah tetap memperhatikan pula hak-hak yang menjadi milik Negara.
Apabila dianalisis dari sisi teori-teori keadilan bahwa para penganut paradigma hukum alam berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan ”keadilan”.
44
Kenyataannya, keadilan bukan satu-satunya istilah yang digunakan untuk menunjukkan tujuan hukum. Karena dalam suatu negara hukum
modern, tujuan hukum adalah untuk mewujudkan kesejahteraan welfare state.
45
44
E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar Baru, 1975, hal. 20.
45
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, Tanpa Tahun, hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
Plato, mengatakan keadilan sebagai nilai kebijakan yang paling tertinggi.
46
H.L.A. Hart, mengatakan keadilan itu sebagai nilai kebajikan yang paling legal.
47
Para filosof Yunani memandang bahwa keadilan sebagai suatu kebijakan individual. Oleh karena itu, apabila terjadi tindakan yang tidak adil unfair prejudice
di dalam kehidupan, maka sektor hukumlah yang sangat berperan untuk menemukan kembali keadilan yang telah hilang, inilah yang disebut Aristoteles sebagai keadilan
korektif.
48
John Rawls mengistilahkannya dengan keadilan yang mesti dikembalikan oleh hukum. Menurutnya, keadilan akan diperoleh jika dilakukan maksimum
penggunaan barang secara merata dengan memperhatikan kepribadian masing- masing, prinsipnya: terpenuhinya hak yang sama dan perbedaan perekonomian sosial
harus diatur sehingga akan terjadi kondisi yang positif yaitu: terciptanya keuntungan maksimum yang reasonable untuk setiap orang termasuk bagi setiap yang lemah; dan
terciptanya kesempatan bagi semua orang.
49
Keadilan menurut utilitarian adalah jika mesin diukur dari manfaatnya utility, maka institusi sosial, termasuk institusi hukum pun harus diukur dari
manfaatnya itu.
50
46
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2007, hal. 92.
Menyangkut bahwa keuangan negara termasuk semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatunya baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat
47
Ibid.
48
Ibid, hal. 93.
49
Ibid, hal. 94.
50
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
1 dan Pasal 2 UU Keuangan Negara, maka secara umum, keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau
orang dan berlaku bagi seluruh makhluk hidup maupun bagi benda-benda yang ada di alam semesta. Hal ini dikarenakan oleh adanya keterikatan yang terjadi secara
alamiah, sehingga seluruh makhluk harus berlaku adil kepada yang lainnya, sebagai salah satu jalan mempertahankan keseimbangan yang alami tersebut.
2. Landasan Konsepsional