BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maksud diadakannya hukum pidana adalah untuk melindungi masyarakat. Secara umum hukum pidana berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat
sehingga tercipta dan terpeliharanya ketertiban umum didalam hidup berbangsa dan bernegara. Manusia dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan
kehidupannya yang berbeda-beda terkadang mengalami pertentangan antara satu dengan yang lainnya yang dapat menimbulkan kerugian dan mengganggu
kepentingan orang lain. Untuk mencegah hal tersebut, makahukum memberikan aturan-aturan yang membatasi perbuatan manusia, sehingga manusia tidak dapat
berbuat sekehendak hatinya.
1
Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan ataupun mendekati kebenaran materiil. Kebenaran materiil ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum,
serta selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Demikian pula setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan segala upaya hukum telah dilakukan dan
akhirnya putusan mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka hukum acara
1
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, USU Press, Medan, 2013, hlm. 10-11.
1
Universitas Sumatera Utara
mengatur pula pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan dari putusan tersebut.Apa saja yang telah diatur dalam hukum acara pidana adalah cara-cara
yang harus ditempuh dalam menegakkan ketertiban hukum di dalam kehidupan masyarakat, namun juga bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi tiap individu,
baik yang menjadi korban maupun si pelanggar hukum.
2
Aparat penegak hukum terkadang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bertindak tidak berdasarkan prosedur sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang. Misalnya, dalam melakukan tindakan upaya paksa Hak Asasi Manusia HAM merupakan hak mendasar yang kodratnya
melekat pada diri manusia itu sendiri, hak tersebut bersifat universal dan permanen, oleh karena itu Hak Asasi Manusia harus dilindungi, dihormati,
dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, serta dikurangi ataupun dirampas oleh orang lain. Indonesia yang merupakan negara hukum menghendaki agar hukum
itu ditegakkan, artinya ialah hukum itu harus dihormati dan ditaati oleh siapapun baik warga masyarakat maupun oleh pemerintah itu sendiri.
Penegakkan hukum merupakan salah satu usaha untuk mencapai atau menciptakan tata tertib, keamanan, dan ketentraman dalam masyarakat, baik
merupakan usaha pencegahan maupun pemberantasan atau penindakkan setelah terjadinya pelanggaran hukum. Apabila Undang-Undang yang telah menjadi dasar
hukum bagi gerak langkah serta dari tindakkan aparat penegak hukum tersebut tidak sesuai dengan dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia,
maka sudah otomatis penegak hukum tidak mencapai sasarannya.
2
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian Dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 7.
Universitas Sumatera Utara
kepada tersangka seperti melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan, atau penggeledahan yang tidak berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana KUHAP. Hal initerjadi karena tidak adanya profesionalisme diantara penegak hukum. Profesionalisme tersebut dapat dilihat dengan banyaknya kasus
yang dikerjakan serampangan. Hal ini bisa dilihat dan tersangka yang dipaksa mengakui sesuatu yang tidak mereka lakukan. Hukum bukan lagi sebagai alat
mencari keadilan, melainkan sekedar mencari kesalahan, apabila tidak ditemukan benang merahnya untuk menghubungkan seseorang sebagai sasaran bidik untuk
dijadikan tersangka, diobrak-abrik lagi disisi lain yang sebenarnya hubungannya dipaksa-paksakan. Maka tak mengherankan bahawa kemudian pengadilan sesat
terjadi.
3
3
Pamungkas. E.A, Peradilan Sesat Membongkar Kesatuan Hukum di Indonesia, Nevila, Yogyakarta, 2010, hlm.11
Sudah menjadi rahasia umum, hukum seringkali diperjual belikan. Inilah yang menyebabkan hukum bisa direkayasa. Aspek moral baik pada persoalan
ketidakpekaan aparat penegak hukum terhadap rasa keadilan masyarakat. Kasus- kasus yang akhir-akhir ini menunjukkan betapa keadilan masyarakat terkoyak.Bab
III Kitab Undang-Undang Acara Pidana KUHAP dinyatakan bahwa kepada hak- hak asasi manusia dalam keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka
KUHAP mempunyai perbedaan yang fundamental dengan HIR, terutama tentang perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Universitas Sumatera Utara
Adapun mengenai perbedaan tersebut, terlihat dengan diaturnya hal-hal berikut :
4
1. Hak-hak tersangkaterdakwa.
2. Bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan.
3. Dasar hukum bagi penangkapanpenahanan dan pembatasan jangka waktu.
4. Ganti kerugian dan rehabilitasi.
5. Penggabungan perkara perdata dan pidana dalam hal ganti rugi
6. Upaya hukum
7. Koneksitas
8. Pengawasan Pelaksanaan Putusan Pengadilan.
Dapat dimengerti bahwa perbedaan tersebut dapat terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya produk
hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian rupa dengan tujuan untuk menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini pihak penjajah.
Perkembangan dan kemajuan zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era kemerdekaan Republik Indonesia, sistem yang dianut oleh HIR
dirasakan telah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional. Seiring dengan tuntutan dan kebutuhan yang asasi dari setiap negara
yang lebih maju, termasuk tuntutan pada dasar-dasar pemikiran pada beberapa lembaga hukum tertentu dalam hukum acara pidana yang dikaitkan dengan
kebutuhan asasi dalam pergaulan masyarakat, yang senantiasa berkembang dan mencari permasalahan beserta pemecahannya atas dasar pokok pemikiran yang
diciptakan oleh pembuat Undang-Undang bagi tata tertib yang sesuai dengan situasi dan kondisi di negara RI sebagai negara hukum.
5
4
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 8
5
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Pada era KUHAP tersebut, telah dipikirkan bagaimana pokok pemikiran yang didasari pada pikiran tertentu itu dapat diterapkan dan dilaksanakan di
negara kita, berdasarkan pada jangkauan keseluruhan sistem peradilan pidana, sehingga peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam
KUHAP dapat mencapai sasaran dan tujuannya serta dapat mewujudkan suatu penyelesaian yang baik dan luhur bagi kepentingan masyarakat indonesia, sebagai
salah satu usaha guna menciptakan tata tertib,keamanan, ketentraman dalam keseluruhan sistem peradilan pidana sebagai suatu rangkaian yang terpadu.
6
Oleh karena itu, apabila KUHAP dapat memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata penyelesaian perkara pidana secara normatif, maka didalam
implementasinya secara faktual sangat diperlukan adanya suatu pedoman dalam pelaksanaannya. Dan apabila KUHAP secara tegas dan prinsipil, telah
menentukan adanya pembagian fungsi, tugas dan wewenang masing-masing instansi penegak hukum. Seperti Kepolisian RI, Kejaksaan, Pengadilan dan
Lembaga Pemasyarakatan, maka dalam pelaksanaannya diisyaratkan pula adanya keserasian hubungan serta kordianasi antara instansi penegak hukum.
7
penuntutan, pemutusan perkara sampai pada penyelesaian di Lembaga Pemasyarakatan.
Atas dasar itulah didalam pelaksanaanya diperlukan adanya konsepsi “integrated criminal justice system” yang memandang bahwa proses penyelesaian
perkara pidana adalah satu rangkai kesatuan, mulai dari tahap penyidikan,
8
6
Ibid., hlm. 8-9
7
Ibid., hlm. 9
8
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Namun pada kenyataannya KUHAP lebih baik dari sistem HIR dalam memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam keseimbangan
kepentingan individu atau kepentingan masyarakatnya, pembaharuan ini dapat dilihat antara lain dengan dimuatnya ketentuan mengenai hak tersangka atau
terdakwa dalam menuntut ganti kerugian, karena ditahan tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan. Dengan demikian jelaslah bahwa latar belakang munculnya KUHAP
adalah dilandasi oleh spirit untuk memberikan jaminan perlindungan HAM yang lebih baik dibandingkan dengan suatu acara pidana yang ada sebelumnya.
Sehingga penegakkan hukum di Indonesia terlaksana denga jujur dan adil. Guna mengungkapkan kebenaran agar dapat menegakkan keadilan, para
aparat hukum tidak dapat terlepas dari dukungan masyarakat yang memiliki kadar kesadaran hukum yang mantap. Dalam GBHN 1993, dirumuskan sebagai
berikut:
9
Hakim menjatukan putusan berdasarkan hasil musyawarah Majelis Hakim, terdakwa akan diputus bebas jika kesalahan terdakwa atas perbuatan yang
didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Jika Pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, tetapi
“.................sehingga setiap anggota masyarakat menyadari dan menghayati secara serasi hak dan kewajibannya sebagai warga negara serta terbentuknya perilaku
warga negara yang taat hukum”.
9
Leden Marpaung, Ganti Kerugian dan Rehabilitasi dalam Hukum Pidana,Manajemen PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 3
Universitas Sumatera Utara
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Dalam hal ini terdakwa diputus bebas atau lepas dari
segala tuntutan hukum, jika Terdakwa dalam status tahanan, Hakim Ketua majelis memerintahkan agar terdakwa dibebaskan seketika itu juga. Dalam keadaan
seperti inilah seseorang dapat menuntut haknya kepadaNegara. Perkara salah tangkap bukan cerita baru dalam dunia hukum di Indonesia,
contohnya dalam kasus pembunuhan Asrori di Jombang yang sempat menghentakkan dunia hukum Indonesia. Dalam Perkara ini Maman Sugianto,
Kemat, dan David dituduh melakukan pembunuhan terhadap seorang pria di kebun tebu Desa Barakan. Pria tersebut awalnya diduga bernama Asrori,Majelis
Hakim PN Jombang menjatuhkan vonis terhadap Kemat dan David, masing- masing 17 tahun penjara dan 12 tahun penjara pada bulan Mei 2008, sementara
terdakwa Maman Sugianto diputus bebas oleh Majelis Hakim pada tanggal 24 November 2008. Namun di tengah persidangan terdakwa Maman Sugianto, Verry
Idham Henyansyah alias Ryan mengaku sebagai pembunuh Asrori, dan jenazahnya dikuburkan di belakang rumah orangtuanya Ryan di Desa Jatiwates
Jombang.Kemat dan David mengajukan Peninjauan Kembali PK terhadap Mahkamah Agung, dan Majelis Hakim mengabulkan permohonan PK tersebut.
Muncul bukti-bukti baru berupa Pengakuan Ryan dan hasil tes DNA yang dilakukan Laboratorium Pusdokkes Polri yang menyebutkan korban pembunuhan
di kebun tebu bukan Asrori sebagaimana dakwaan jaksa serta putusan Pengadilan Negeri PN Jombang. Hasil tes DNA itu membuktikan korban pembunuhan itu
adalah Fauzin Suyino. Hal itu juga dikuatkan dengan hasil tes DNA yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh petugas forensik Polda Jawa Timur yang sebelumnya telah mengangkat kerangka mayat Asrori dari belakang rumah orangtua Ryan. Sedang
mayat di kebun tebu Desa Brakan sesuai hasil tes DNA adalah mayat Fauzin Suyanto, warga Kelurahan Ploso, Nganjuk. Dua pelakunya, Rudi Hartono alias
Rangga dan Joni Kristanto pun sudah tertangkap dan kini telah ditahan di Mapolda Jatim. Berdasarkan bukti-bukti tersebut akhirnya Mahkamah Agung
memulihkan hak, kedudukan, harkat, dan martabat kedua terpidana. Kemat dan David sebelumnya terpaksa mengakui perbuatan pembunuhan itu karena adanya
tekanan saat menjalani pemeriksaan di Mapolsek Bandar Kedungmulyo. Kemat dan David telah menjalani hukuman selama satu tahun lebih sejak Oktober
2007.Kendati sudah mendapat kepastian hukum dan dinyatakan tidak bersalah dalam kasus ini dan menjadi korban salah tangkap, namun pihak keluarga tidak
mengajukan tuntutan apapun kepada Negara. Kasus ini membuktikan bahwa di Indonesia masih banyak masyarakat
awam yang belum mengetahui tentang adanya hak tersangka atau terdakwa dalam hal menuntut ganti kerugian pada perkara pidana, dan juga banyak masyarakat
yang tidak tahu bagaimana proses atau prosedur bagi tersangka ataupun terdakwa yang telah diputus bebas dan ingin menuntut ganti kerugian,maka atas dasar
tersebutlah penulis berinisiatif untuk meneliti lebih lanjut mengenai penerapan permohonan ganti kerugian atas putusan bebas dalam perkara pidana serta
melakukan analisis terhadap Penetapan PN Semarang No. 15Pid.GR2012PN.SMG, Putusan PT Semarang No. 49PID2013PT.SMG, dan
Putusan MA No. 1262KPID2012. Penulis menuangkannya dalam sebuah karya
Universitas Sumatera Utara
ilmiah dengan judul “PENERAPAN PERMOHONAN GANTI KERUGIAN ATAS PUTUSAN BEBAS DALAM PERKARA PIDANA”.
B. Rumusan Masalah