kerugian tidak dapat dimintakan banding, namun Hakim Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti rugi.
b. Pertimbangan Hakim
Menurut Pasal 45 A ayat 2 a Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No.3 Tahun 2009, maka terhadap pra peradilan tidak dapat
diajukan kasasi, dengan demikian permohonan kasasi pra peradilan yang diajukan Pemohon kasasi tidak dapat diterima.
Berdasarkan dasar Permohonan kasasi dari Pemohon maka Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat diterima.
Oleh karena permohonan pra peradilan dinyatakan tidak dapat diterima, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Pemohon
KasasiTermohon I Praperadilan.
c. Putusan MA No. 1262KPid2014
Mahkamah Agung menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Negara Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan
Tinggi Jawa Tengah Cq. Kejaksaan Negeri Semarang tersebut tidak dapat diterima dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat Kasasi ini sebesar Rp. 2.500.000,- dua juta lima ratus rupiah;
B. Analisa Kasus
Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan Pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak-
Universitas Sumatera Utara
pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya.Sebab dengan putusan Hakim tersebut pihak-pihak yang
bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.Grustav Radbruch mengemukakan bahwa ada
tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Ketiga hal inilah yang diharapkan terdapat
dalam suatu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim.
51
51
Sudirman, Antonius, Hati Nirani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 44
Suatu putusan yang dikelurkan oleh Hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum sehingga menghasilkan putusan
yang adil bagi masyarakat.Hal ini dapat terwujud apabila hakim dalam memutuskan suatu permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat benar-
benar memenuhi rasa keadilan sense of justice.Namun dalam mewujudkan putusan Hakim yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ternyata tidak
mudah.Bahkan dalam beberapa putusan Pengadilan justru bermasalah dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.Hal ini melahirkan putusan
yang sesat dan merugikan masyarakat. Putusan sesat yang dikeluarkan oleh Hakim disebabkan oleh kesesatan Hakim dalam mengadili dengan memeriksa
perkara atau orang yang diadili untuk mengambil keputusan yang dilakukan Pengadilan dengan salah jalan, salah prosedurnya, salah menerapkan
aturannya dan menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa. Kesesatan hakim dalam kehidupan hukum sering disebut dengan peradilan sesat.
Universitas Sumatera Utara
Peradilan sesat berasal dari frasa Rechterlijke Dwaling yang kadang dalam bahasa Indonesia disebut dengan kesesatan Hakim. Kata “rechterlijke”
dibahasa Indonesiakan dengan kata “Hakim”. Dapat dimengerti sepenuhnya karena peradilan identik dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses
peradilan. Sehingga jika proses peradilan yang dikendalikan oleh hakim yang memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias sesat dan menghasilkan
putusan yang merugikan orang yang diadili – menghasilkan putusan sesat, maka dapat pula disebut kesesatan Hakim.
52
“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas Dengan diputus bebasnya perkara pidana Sri Mulyati binti Kardjo oleh
Mahkamah Agung maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya meminta ganti rugi kepada Negara dengan mengajukan permohonan ganti
kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum
sehingga Sri Mulyati binti Kardjo mengalami kerugian baik secara materil maupun inmateril. Kerugian yang didapatkan ini dapat diajukan permohonan
ganti kerugian. Ganti kerugian khususnya dalam kasus pidana di Indonesia
mempunyai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 butir 22 dan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
KUHAP. Pasal 1 butir 22 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP menyatakan bahwa;
52
E.A Pamungkas, Peradilan Sesat, Navilla Idea, Yogyakarta, 2010, hlm. 5
Universitas Sumatera Utara
tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur didalam Undang-Undang ini”
Sedangkan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyatakan bahwa;
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Persoalan ganti kerugian dalam kasus pidana diperjelaskan kembali dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
pelaksanaan KUHAP yaitu dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77
huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- lima ribu rupiah dan setinggi-tingginya Rp.
1.000.000,- satu juta rupiah. Peraturan ini kemudian kembali diperbaharui dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 dimana salah satu
poin penting perubahan itu adalah kenaikan nilai ganti kerugian yang dapat diajukan dalam hal terjadi pelanggaran atas prosedur KUHAP yang
sebelumnya paling rendah lima ribu rupiah dan paling tinggi satu juta rupiah menjadi Rp500.000 hingga Rp100.000.000,- dan Rp25.000.000,- hingga
Rp300.000.000,- jika tindakan aparat penegak hukum dimaksud
mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan. Bahkan bisa naik lagi hingga rentang nilai Rp50.000.000,- hingga
Universitas Sumatera Utara
Rp600.000.000,- jika perbuatan menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili berakibat pada matinya seseorang. Dalam kasus yang menimpa Sri
Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dijalankan dikarenakan peristiwa ini terjadi pada tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah
ini baru ada pada tahun 2015. Penetapan Nomor 15Pid.Gr2012PN.SMG yang diadili oleh Pengadilan
Negeri Semarang mengikuti acara Praperadilan, Penetapan ini mengenai ganti kerugian terhadap diri Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo yang mana Pemohon
adalah terdakwa atas kasus tindak pidana “Mengekploitasi Ekonomi Atau Seksual Anak Dengan Maksud Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain” yang
diputus bebas oleh MA dalam perkara Nomor 1176KPid.Sus2012 tanggal 24 Juli 2012 atas tindakan dari pada Termohon I Kepolisian Resor Besar Kota
Semarang dan Termohon II Kejaksaan Negeri Semarang yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa.
Terdapat 5 lima alasan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian: 1.
Tindakan penangkapan yang tidak sah Tindakan penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I pasal I butir 20 dan Bab V bagian kesatu pasal 16 sd 19.
2. Tindakan penahanan yang tidak sah
Tindakan penahanan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dan atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I
pasal 1 butir 21 dan Bab V Bagian kedua pasal 20 sd 30 dan perundang-
Universitas Sumatera Utara
undangan lain, termasuk penahanan yang lebih lama dari pada pidana hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan penjelasan pasal 95 ayat 1
KUHAP 3.
Tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-undang Dalam pasal 95 ayat 1 KUHAP yang dimaksud dengan tindakan lain
yaitu pemasukan rumah yang tidak sah menurut hukum, penggeledahan yang tidak sah, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.
4. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang sah
Dalam pasal 81 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghentian penyidikan dan sahnya penghentian penuntutan.
5. Dituntut dan diadili tanpa alasan Undang-undang
Tanpa alasan berdasarkan Undang-undang pada prinsipnya mempunyai makna yang sama dengan penerapan hukum yang tidak tepat atau
kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan. Korban dalam hal ini Sri Mulyati binti Kardjojelas telah mengalami poin
1, 2, dan 5. Hal-hal tersebut memang merupakan kejadian yang paling sering menimbulkan tuntutan ganti rugi yang diakibatkan karena aparat Penegak Hukum.
Hal ini menyangkut orang yang pernah ditangkapditahan, selain itu terdakwa yang diadili tetapi kemudian dibebaskan karena kekeliruan penerapan hukumnya
Penetapan Nomor 15Pid.Gr2012PN.SMG mengenai pengajuan ganti kerugian terhadap diri Pemohon telah menimbulkan kerugian yang besar bagi diri
Universitas Sumatera Utara
si Pemohon. Dimana kerugian tersebut sesungguhnya dapat dilihat dari putusan MA Nomor 1176KPid.Sus2012 yang menyatakan bahwa pemohon tidak
terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan dan didakwakan oleh Termohon I Kepolisian Resor Besar Kota Semarang dan Termohon II
Kejaksaan Negeri Semarang yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa.
Putusan bebas yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atas Sri Mulyati binti Kardjotersebut telah menguatkan posisi dirinya sebagai korban salah tangkap
yang diambil secara paksa kebebasannya, dengan adanya penahanan selama berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut
Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI
Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem pidana bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut harus mendapat
ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyatakan bahwa;
“Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Mekanisme permohonan ganti kerugian dilakukan dengan mengikuti acara Praperadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana KUHAP yang dimana salah satu yang merupakan ranah dari praperadilan adalah permintaan ganti rugi. Berdasarkan hal tersebut maka apa
yang dilakukan Sri Mulyati binti Kardjo dengan melakukan praperadilan adalah
Universitas Sumatera Utara
sudah tepat. Timbul permasalahan yaitu bahwa dalam Penetapan Nomor
15Pid.Gr2012PN.SMG yang menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo.Hal telah mencederai keadilan terhadap pemohon
karena tidak dapat dibantahkan bahwa pemohon adalah korban dari pada kesalahan prosedural sistem peradilan oleh Kepolisian Resor Besar Kota
Semarang dan Termohon II Kejaksaan Negeri Semaranghal ini berdasarkan Putusan MA Nomor 1176KPid.Sus2012 yang menyatakan bahwa Pemohon
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JaksaPenuntut Umum.
Pertimbangannya Hakim dalam Penetapan PN No. 15Pid.Gr2012PN.SMG ini mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang
telah diajukan oleh Para Termohon, Pemohonlah yang diduga keras melakukan tindak pidana tersebut, oleh karena itu Hakim berpendapat bahwa tidak terdapat
kekeliruan penerapan hukum, padahal dengan jelas diketahui bahwa Putusan MA Nomor 1176KPid.Sus2012 menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JaksaPenuntut Umum.
Dalil-dalilalasan-alasan pengajuan ganti kerugian yang diberikan oleh Pemohon antara lain karena :
1. Pemohon meminta imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- satu
juta rupiah, karena terdapat kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh Termohon I dan Termohon II, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 95 ayat 1 KUHAP jo Pasal 9 ayat 1 PP 271983;
2. Pemohon meminta pengembalian uang denda yang telah dibayar oleh
Pemohon dalam proses perkara pidana yang dialami oleh Pemohon sebesar Rp. 2.000.000,- dua juta rupiah dan biaya Rp. 2.500,- dua ribu
lima ratus rupiah; 3.
Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk mengganti penghasilan Pemohon yang hilang akibat adanya kekeliruan
dalam menerapkan hukum sebesar Rp. 12.708.438,- dua belas juta tujuh ratus delapan ribu empat ratus tiga puluh delapan rupiah;
4. Meminta Para Termohon untuk membayar uang pengganti immaterril
sebesar Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah untuk memulihkan atau mengganti harkat dan martabat Pemohon yang telah jatuh secara sosialn
maupun psikologis. Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk dapat
mengganti penghasilan Pemohon yang hilang selama Pemohon menjalani proses perkara pidananya, namun didalam Persidangan Pemohon tidak membuktikan
apakah Pemohon telah kehilangan penghasilannya. Namun walaupun Pemohon tidak memberikan bukti pada dasar permohonan ini, seharusnya Majelis Hakim
telah mengetahui hal tersebut, karna dengan jelas Pemohon memaparkan jangka waktu proses perkara pidana yang telah dialaminya yang mengakibatkan
hilangnya penghasilan saat Pemohon menjalani proses perkara Pidana tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Pemohon juga meminta uang pengganti immateril kepada Para Termohon untuk memulihkan harkat dan martabat Pemohon, dan pada putusannya Majelis
Hakim menolak petitum tersebut dikarenakan Pemohon tidak dapat membuktikan kerugian immateril tersebut di persidangan. Pada dasarnya ruang lingkup ganti
kerugian dalam hukum perdata lebih luas dari pada ganti kerugian dalam hukum pidana, dalam perdata ganti kerugian mengacu kepaa Pasal 1365 KUHAPerdata
yaitu “mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi”. Ganti kerugian dalam hukum
perdata dapat dimintakan setinggi-tingginya, dikarenakan tidak ada dasar hukum yang mengatur jumlah minimum dan maksimum ganti kerugian tersebut dan
mencakup kerugian secara materiil maupun immateriil. Kerugian materiil yaitu kerugian yang bisa dihitung atau dijumlahkan
dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yaitu kerugian moril yang tidak bisa dinilai dengan uang misalnya rasa ketakutan yang dideritanya atau kehilangan
kesenangan hidup serta rasa sakit yang dideritanya. Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya diatur terhadap ongkos atau biaya yang telah korban
keluarkan pada proses perkara tersebut, tidak ada dasar untuk memberikan ganti rugi secara immateriil dalam proses perkara pidana, artinya uang pengganti
immateriil tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana. Namun jika Pemohon menuntut uang denda yang telah ia bayarkan dalam
proses perkara pidananya, sedangkan dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana tersebut, seharusnya Majelis Hakim mengabulkannya
Universitas Sumatera Utara
karena sudah jelas diketahui bahwa Pemohon tidak bersalah, hal itu berdasarkan Putusan MA Nomor 1176Pid.Sus2012.
Setelah Praperadilan Pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang tentunya mencederai keadilan dan tidak sesuai dengan
pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP.Pemohon mengajukan banding atas Praperadilan tersebut kepada Pengadilan Tinggi
Semarang, dengan Nomor Perkara 49PID2013PT.SMG. Hal tersebut sangat mencederai hukum di Indonesia, sebab tidak ada dasar hukum untuk melakukan
pemeriksaan banding oleh Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, terhadap Pra peradilan permohonan ganti kerugian ini.
Sementara didalam Putusannya tersebut Hakim Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan PemohonPembanding untuk sebagian, yaitu
memerintah Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada PemohonPembanding sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah, serta
memerintah negara untuk mengembalikan uang denda yang telah disetorkan kepada pemohon dalam proses perkara pidananya sebesar Rp. 2.000.000,- dua
juta rupiah dan biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- lima ribu rupiah. Sehingga jelas dalam Pasal 95 KUHAP yang megatur tentang ganti kerugian, dijelaskan
bahwa pemeriksaan terhadap ganti rugi dilakukan dengan mengikuti acara Pra peradilan. Sampai saat ini, tidak ada hukum yang mengatur bahwa dalam acara
Pra peradilan dapat dimintakan banding. Penggunaan instrumen Pra peradilan guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer.
Secara etimologis, penggalan kata “pra” pada kata “peradilan” yang dimaknai
Universitas Sumatera Utara
sebelum adanya peradilan pokok perkara memang terkesan agak kurang relevan konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang inkracht
atas pokok perkara. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas wewenang mengadilinya dikarenakan Majelis Hakim telah
melakukan kekeliruan yang nyata yaitu tidak menerapkan hukum secara semestinya. Seharusnya permohonan ganti kerugian tidak dapat dimintakan
banding, namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memeriksa dan bahkan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti kerugian tersebut.
Saat perkara ini berlangsung jumlahnominal ganti kerugian dalam hukum pidana diatur didalam Pasal 9 PP Nomor 27 Tahun 1983, disebutkan bahwa:
1 Ganti Kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- lima ribu rupiah dan
setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah. 2
Apabila penangkapan, penahanan, dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit
atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,-
tiga juta rupiah. Dalam perkara ini Majelis Hakim memerintahkan Negara untuk memberi
imbalan ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah, dengan pertimbangan bahwa PemohonPembanding telah dirugikan dengan
adanya PemohonPembanding dalam tahanan, dan pertimbangan Hakim tersebut
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Pasal 95 ayat 1 KUHAP Jo. Pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983.
Hal ini jelas merupakan ketimpangan Hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, sudah jelas kita ketahui bahwa jumlah ganti
kerugian pada Pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 ialah serendah- rendahnya sebesar Rp. 5.000,- lima ribu rupiah dan setinggi-tingginya sebesar
Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah, sementara Majelis Hakim memberi imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah. Maka jelas bahwa
Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dengan mengadili tidak berdasarkan Undang-Undang, dan dalam hal ini dapat dilihat bahwa Majelis Hakim telah
memasukkan pendapat non yuridis dalam putusan yang dijatuhkannya. Sebab, dalam kasus yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah yang
baru yaitu PP No. 92 Tahun 2015 ini tidak dapat dijalankan karena peristiwa ini terjadi pada Tahun 2012.
Namun sampai pada saat ini, uang ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang belum diperoleh
oleh Sri Mulyati binti Kardjo. Kuasa Hukum Sri Mulyati sudah mengajukan permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri Semarang agar bersurat ke Kementrian
Hukum dan HAM untuk memberikan dana ganti rugi tersebut. Tapi, sampai saat ini Ketua Pengadilan Negeri Semarang belum merespon surat yang telah diajukan
pihak Sri Mulyati dengan alasan sedang dipelajari. Mekanisme pencairan ganti kerugian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan
No. 983KMK.011983 tentang Tata Cara pembayaran Ganti Kerugian memiliki
Universitas Sumatera Utara
proses yang sangat panjang dan berbelit-belit. Dapat dibayangkan kembali betapa sulit dan terjalnya jalur yang harus dilewati kembali oleh pihak Pemohon ganti
kerugian apabila mengikuti birokrasi yang ada. Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, Jaksa
Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Nomor Perkara 1262 KPid2014. Dalam Kasasinya Jaksa
Penuntut Umum menilai bahwa Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangan mengadilinya, dan telah keliru dalam mengadili perkara
tersebut. Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan pertimbangan bahwa perkara pra
peradilan tidak dapat diajukan kasasi. Namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang sudah jelas-jelas telah
keliru dalam mengadili perkara banding permohonan ganti kerugian ini. Seharus Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut karena sudah jelas Mahkamah
Agung mengetahui bahwa pra peradilan permohonan ganti kerugian ini tidak dapat diajukan banding apalagi untuk mengajukannya secara kasasi, kerena
memang tidak ada peraturan atau dasar hukum yang mengatur hal tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka telah terjadi pelanggaran-pelanggaran yang
dilakukan oleh penegak hukum yang dimana seharusnya mereka lah yang menjadi tonggak dalam penegakan hukum. Ada sebuat motto dari B.M.Taverne yang
menyatakan berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik
Universitas Sumatera Utara
maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpu.
53
Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau
menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, pada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang
berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran interpretasi.
54
53
Krisna Harahap, Paradigma Baru Konsep Hakim Transformatif :Perspektif Agenda Reformasi Peradilan. Buletin Komisi Yudisial, Jakarta, 2010, hlm.18
54Abdul Wahid dan Moh.Muhibbi, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 253
Tetapi dapat mengikuti hati nurani dan keadilan.
Hakim merupakan kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana criminal justice system.Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam
penegakan hukum dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan, walaupun ada rekayasa di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat
memahami dan mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan produk berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali
kepercayaan publik terhadap dunia peradilan sehingga peristiwa yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo tidak terjadi lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Pasal 1 ayat 22 KUHAP menjelaskan bahwa ganti kerugian adalah hak
seseorang untuk mendapat pemenuhan berupa materi karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Bagi masyarakat yang terlanjur diambil kebebasannya melalui
proses penahanan, tentu saja “surga” yang dinantikan mereka ialah putusan bebas dari palu Hakim. Namun, seringkali putusan bebas yang
dinantikan tersebut tidak serta merta dapat memulihkan kembali kondisi para korban salah tangkap ini seperti sedia kala. Dalam praktiknya para
korban salah tangkap ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti kehilangan pendapatan maupun pekerjaan, serta siksaan dan tekanan batin
saat didalam penjara, untuk mengembalikan kerugian yang telah diderita sebagaimana posisi semula itulah yang menjadi persoalan besar selama
ini.Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang mengatur tentang ganti kerugian dalam hukum pidana cukup membantu
bagi pencari keadilan di Indonesia ini. Namun, aturan tersebut belum berjalan efektif. Pasalnya masih dibutuhkan penyesuaian dengan peraturan
lainnya yang menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah tersebut. Salah satu contoh ialah Keputusan Menteri Keuangan No. 983KMK.011983 tentang
Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian, Keputusan Menteri Keuangan
77
Universitas Sumatera Utara
tersebut menjadi mimpi buruk bagi pencari keadilan. Hal itu disebabkan mekanismenya cukup berbelit. Bahkan memiliki jangka waktu yang tidak
pasti.
2. Permohonan ganti kerugian mengikuti acara pra peradilan, sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 92 Tahun 2015 jo Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 yaitu tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan
dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Acara pra peradilan dalam permohonan ganti
kerugian tidak dapat dimintakan banding apalagi untuk dimintakan kasasi hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 83 ayat 1 KUHAP. Dalam
perkara ini, setelah ditolaknya Permohonan Pra peradilan ganti kerugian yaitu Penetapan PN Semarang No. 15Pid.GR2012PN.SMGPemohon
mengajukan banding, Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutus Permohonan Banding tersebut serta mengabulkan untuk sebagian
permohonan banding dari PemohonPembanding dengan nomor perkara 49PID2013PT.SMG, hal ini sangat mencederai ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, karna sudah jelas bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangannya.
Setelah banding pihak lawan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor perkara 1262KPID2014. Hakim Mahkamah Agung
menolak permohonan Kasasi tersebut dikarenakan sesuai dengan peraturan yang ada, Permohonan Ganti Kerugian tidak dapat dimintakan Banding
Universitas Sumatera Utara
ataupun Kasasi, namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan Putusan Banding ganti kerugian tersebut.
B. Saran
1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang pemenuhan hak-hak
mereka terutama hak mereka untuk menuntut ganti kerugian dan juga pengenalan tentang Peraturan Pemerintah yang baru saja keluar yaitu PP
Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang
berisikan ketentuan-ketentuan mengenai ganti kerugian dalam pidana.
2. Selain itu, diperlukan proses yang tidak lama, sederhana, dan biaya ringan
dalam menuntut ganti kerugian agar mantan tersangka tersebut dapat menuntut pemenuhan haknya atas kerugian yang telah dialaminya akibat
tindakan aparat penegak hukum yang tidak sah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat awam dapat menggunakan hak mereka dengan sebaik-baiknya.
3. Perlu adanya pengaturan yang sistematis, rinci, dan jelas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya pengaturan mengenai praperadilan, sehingga terdapat dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan
ketentuan perundang-undangan agar tidak terjadi celah penyalahgunaan wewenang
.
Universitas Sumatera Utara
BAB II PENGATURAN GANTI KERUGIAN MENURUT HUKUM ACARA
PIDANA DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Macam-Macam Ganti Kerugian
1.Dasar Hukum Ganti Kerugian
Dasar hukum dari pemberian ganti kerugian adalah sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatakan bahwa; “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.”
Dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal-pasal
KUHAP yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Sebagaimana ketentuan umumnya
yang ada dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP yang berbunyi:
“Ganti Kerugian adalah hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan uang karena ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.” Pengaturan tentang ganti kerugian dalalam Pasal 95 KUHAP dari apa yang
diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 95 ayat 1 KUHAP berbunyi;
24
Universitas Sumatera Utara
“Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tidakan lain, tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan”
Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat 1 KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksakan hukum lainnya seperti
pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini
dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan
hukum.
21
a Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau
penghentian penuntutan. Didalam Pasal 95 ayat 2 KUHAP berbunyi:
“Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasrkan undang-undang
atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud didalam ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri
diputus sidang praperadilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 77” Pasal 77 KUHAP berbunyi:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam undang-undang ini tentang:
b Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Seperti yang disebutkan bahwa di dalam Pasal 95 ayat 2 dan
dihubungkan dengan Pasal 77, maka tuntutan ganti kerugian tidak hanya dapat
21
Moch. Fasial Salam., Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.334-335
Universitas Sumatera Utara
diajukan terhadap perkara yang telah diajukan kemuka Pengadilan, tetapi juga apabila perkara tersebut tidak diajukan ke Pengadilan, dalam arti dihentikan baik
dalam tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan.
22
Pasal 101 KUHAP terasebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi gugat menggugat biasa dapat berlaku ketentuan yang ada didalam HIR.
Sedangkan Pasal 101 KUHAP menyebutkan hahwa;
“Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam Undang-Undang ini tidak diatur lain”
23
a. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam Pasal 95
KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima. Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perubahan tentang ganti kerugian dalam pelaksanaan KUHAP, diantaranya;
1. Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;
b. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang
dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dildalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka dalam jangka waktu 3
tiga bulandihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan.
2 Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut;
a. Besaranya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana yang dimaksud
didalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 lima ratus ribu rupiah dan yang paling banyak
Rp100.000.000,00 seratus juta rupiah.
b. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit
22
Moch. Fasial Salam, Op. Cit. hlm 335
23
Moch. Fasial Salam, Loc. Cit.
Universitas Sumatera Utara
Rp25.000.000,00 dua puluh lima juta rupiah dan paling banyak Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah.
c. Besarnya ganti kerugian berdarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak
Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah.
3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana
dimaksud didalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 tiga hari setelah putusan diucapkan.
b. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
a. Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10.
b. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14
empat belas hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang keuangan.
5. Diantara Pasal 39A dan Pasal 40 disisipkan 2 dua pasal yakni Pasal 39B dan
Pasal 39C, sehingga berbunyi sebagai berikut; a.
Pasal 39B Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku:
1. Pemohon yang telah mengajukan ganti kerugian namun belum
mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian yang diterima, putusan atau penetapan
pengadilan mengenai besaran ganti kerugian mengacu pada Peraturan Pemerintah ini; dan
2. Pemohon ganti kerugian yang telah mendapatkan petikan putusan atau
penetapan pengadilan namun belum menerima ganti kerugian dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang
keuangan, besaran gantu keruguian dibayarkan sesuai dengan petikanputusan atau penetapan pengadilan.
b. Pasal 39C
Pada saat peraturan pemerintahan ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari
Peraturan Pemerintahan ini yang mengatur mengenai ganti kerugian wajib disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka
waktu paling lama 6 enam bulan terhitung sejak tanggak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
Universitas Sumatera Utara
2.Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti kerugian dan rehabilitasi sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman No. 141970. Sejak diundangkannya Udang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti
rugi ke pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan karena adanya argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 141970 belum mengatur
tata cara pelaksanaannya.
24
Yahya Harahap, di dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” memberikan suatu contoh ilustrasi tentang
peristiwa yang menimpa diri keluarga temannya yang merupakan seorang jaksa dikota Medan. Beliau memiliki seorang anak yang masih duduk dibangku kuliah.
Pada suatu malam si anak kita sebut saja namanya Achmad sedang asyik menonton keramaian di Medan Fair 1976, kemudian tiba-tiba polisi datang dan
menangkap achmad dengan tuduhan pembunuhan, penangkapan dilakukan atas dasar keyakinan bahwa foto buronan yang ditangan polisi tersebut sangat mirip
dengan wajah achmad, padahal namanya jelas berbeda dan tempat tinggalnya juga berbeda. Achmad dan ayahnya sudah menjelaskan perbedaan tersebut kepada
pihak kepolisian, namum polisi tidak mau ambil peduli dan tetap menahan achmad. Sialnya untuk mendapat pengakuan achmad, kakinya dihantam dengan
kayu boroti, sehingga patah dan cacat seumur hidup. Penahanan sudah hampir berlangsung dua tahun dan Achmad sudah cacat seumur hidup, barulah polisi
24
M. Yahya Harahap.,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan dalam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 44
Universitas Sumatera Utara
berhasil menangkap pelaku tindak pidana yang sebenarnya. Berarti kepolisian telah melakukan kekeliruan mengenai orangnya, dan jelas bertentangan dengan
hukum.
25
Atas kejadian ini orang tua Achmad mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata ke Pengadilan Negeri yang ditujukan terhadap Negara c.q. Kepolisian
Negara sebagai Tergugat I, dan oknum polisi pelaku sebagai tergugat selebihnya. Namun Pengadilan tidak dapat menerima gugatan ganti rugi mengenai Tergugat I
Kepolisian Negara, tapi hanya mengabulkan gugatan kepada oknum kopral yang melakukan penangkapan dan pemukulan atas Achmad. Hal ini disebabkan karena
pada saat itu belum adanya pengaturan tentang tata cara pelaksanaan ganti kerugian.
26
Alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi:
27
1. Ganti kerugian yang disebabkan penangkapan atau penahanan:
2. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum
3. Penangkapan atau penahanan dilakukan karena tidak berdarkan
undang-undang 4.
Penahanan atau penangkapan yang dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut
hukum. 5.
Penahanan atau penangkapan yang dilakukan tidak mengenai orangnya salah tangkap. Artinya adalah orang yang
ditangkapditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan
25
Ibid., hlm. 44-45
26
Ibid.
27
H.M.A. Kuffal, Op Cit, hal 306.
Universitas Sumatera Utara
sudah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkapditahan, bukan dia. Namun walaupun demikian tetap juga dia ditahan, dan
kemudian benar-benar terjadi kekeliruan penangkapanpenahanan itu.
6. Ganti rugi akibat penggeledahanpenyitaan
7. Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum yaitu
tanpa adanya perintah dan surat izin dari ketua pengadilan
3. Macam-Macam Ganti Kerugian Istilah ganti kerugian tidak ditemui pada hukum pidana materil. Hal ini
muncul pada hukum pidana formil yakni pada Pasal 95 sampai Pasal 101 KUHAP, didalam Hukum Pidana terdapat berbagai macam ganti kerugian yaitu:
1. Ganti Kerugian Karena Seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun
diadili Tanpa Alasan yang Berdasarkan Undang-Undang atau Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Salah dalam Menerapkan Hukum.
28
Salah satu landasan pokok dari KUHAP ialah jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dengan memperhatikan asas-asas penting seperti asas
praduga tak bersalah. Hak asasi seseorang harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai harkat dan martabatnya, sehingga dengan demikian penggunaan upaya
paksa harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditetapkan. Misalnya
28
.Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 207
Universitas Sumatera Utara
untuk dapat menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, maka diisyaratkan harus ada bukti permulaan yang cukup.
29
Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenangnya oleh aparat penegak hukum. Dalam hal penahanan,
penegak hukum juga harus mempunyai dasar menurut hukum dan dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang. Dasar menurut hukum disini maksudnya
adalah harus terdapatnya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Dasar menurut keperluan untuk
menahan seseorang ialah adanya kekhawatiran bahwa TersangkaTerdakwa akan melarikan diri, atau merusakmenghilangkan bukti-bukti, atau akan mengulangi
tindak pidana tersebut.
30
Pasal 95 KUHAP dikatakan, bahwa alasan bagi TersangkaTerdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian, selain dari pada adanya penangkapan,
penahanan, penuntutan atau diadilinya orang tersebut, juga apabila dikenakan tindakan-tindakan lain yang secara tanpa alasan yang berdasarkan Undang-
Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. “Tindakan-tindakan lain” maksudnya adalah tindakan-tindakan upaya paksa
lainnya, seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan-penyitaan yang secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Dalam pasal inilah
kita melihat adanya alasan bagi suatu permintaan ganti kerugian oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan.
31
29
Djoko prakoso., Op Cit. hlm. 98
30
Ibid., hlm. 98-99
31
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
2. Ganti Kerugian kepada Pihak Ketiga atau Korban Victim of Crime atau
Beledigde Partij. Bentuk ganti kerugian ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII
KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP yang tidak dimasukkan ke dalam pengertian ganti
kerugian.Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pihak ketiga dalam perkara pidana maupun perdata juga dikenal di Prancis, yang ternyata pihak ketiga
itu luas artiannya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga bisa muncul gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran
izin usaha, perpajakan, dan lain-lain.
32
Dapatkah diterapkan di Indonesia ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP tersebut? Apakah juga ada kemungkinan pihak ketiga yang lain
selain korban delik yang langsung itu juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian? Menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, hal tersebut dapat dilakukan,
dengan alasan sebagai berikut.
33
1. Pasal 98 KUHAP mengatakan “...menimbulkan kerugian bagi orang
lain...” dijelaskan didalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pihak
korban. Jadi, korban delik bukan satu-satunya “orang lain” itu. Tidak limitatif pada korban delik saja.
2. Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata diterapkan bagi
gugatan ganti kerugian ini sepanjang KUHAP tidak menentukan lain.
32
Andi Hamzah, Op. Cit. hlm 207
33
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dan kita mengetahui bahwa gugatan perdata itu mempunyai ruang lingkup yang luas. Jadi, semua pihak yang merasa dirugikan oleh
pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan. Hukum pidana Soviet pun mengenal semacam ganti kerugian kepada
pihak yang dirugikan yang dinamai perbaikan kerusakan reparation of damage. Bahkan dicantumkan sebagai hukum pidana menurut Pasal 32 Criminal Code of
RSFSR Rusia.Pidana perbaikan ini dapat diterapkan sebagai pidana pokok, misalnya kerusakan sebagai akibat perbuatan yang disengaja, terhadap milik
sosialis, dan pidana tambahan, jika kerusakan yang disengaja terhadap milik pribadi warga negara. Pidana tersebutr dapat diterapkan dalam tiga cara yatu:
34
1. Mewajibkan terpidana memperbaiki kerusakan itu, kalau pengadilan
memandang terpidana dapat melakukannya; 2.
Mewajibkan terpidana untuk membayar kerusakan-kerusakan itu, jika kerusakan-kerusakan itu tidak lebih dari seratus rubel;
3. Mewajibkan terpidana meminta maaf di muka umum kepada korban
atau anggota-anggota kolektif, menurut cara yang ditentukan oleh pengadilan, apabila delik itu ditujukan kepada martabat atau integritas
seseorang atau kepada aturan kehidupan masyarakat sosialis dan tidaka ada kerusakan materiil yang ditimbulkan oleh delik tersebut.
Apabila terpidana tidak memperbaiki kerusakan itu menurut cara dan dalam batas waktu yang ditentukan oleh Pengadilan, Pengadilan dapat mengubah
34
Ibid., hlm 210
Universitas Sumatera Utara
pidana itu menjadi kerja paksa, denda, pemecatan dari tugas khusus atau ditegur dimuka umum.Meskipun dalam peraturan lama HIR tidak diatur tentang
penggabungan perkara pidana, tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan pidana bersyarat seperti diatur di penggabungan perkara yang diatur dalam KUHAP
tersebut. Pasal-pasal di dalam KUHP dimungkinkannya suatu syarat khusus, yaitu misalnya terpidana dipidana pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian
kepada korban, maka tercapai juga penyelesainan secara perdata, namun perlu diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana bersyarat yang pada umumnya
mengenai perkara-perkara yang tidak berat. Sekarang pun penyelesaian melalui pidana bersyarat ini masih dapat dilaukan. Dalam hal ini korban delik tidak perlu
mengajukan gugatan khusus.
35
3. Ganti Kerugian Kepada Terpidana Setelah Peninjauan Kembali
Pasal 266 ayat 2 butir b yang berbunyi: “Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung memebatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dengan menjatuhkan putusan yang berupa:
1.
Putusan bebas; 2.
Putusan lepas dari segala tuntutan; 3.
Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4.
Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.” Jelaslah bahwa yang disebutkan pada butir 1 sampai dengan 3 membawa
akibat terpidana tidak dijatuhi hukuman pidana dalam peninjauan kembali itu. yang menjadi masalah ialah bagaimana caranya menuntut ganti kerugian, yang
dalam Bagian Kedua Bab XVIII tentang peninjauan kembali itu tidak disebut- sebut, hal ini merupakan kelemahan KUHAP. Sedangkan peraturan yang lama
35
Ibid., hlm 211
Universitas Sumatera Utara
yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Reglement op de Strafvordering dan juga Ned.Sv. mengatur tentang hal ganti kerugian di bagian peninjauan kembali
herziening.
36
Oemara Seno Adji mengadakan perbandingan antara kedua peraturan tersebut, dimana terdapat persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Menurut
beliau persamaannya adalah sebagai berikut.
37
1. Ganti kerugian kedua pasal itu merupakan bagian ketentuan tentang
peninjauan kembali dan keduanya merupakan pasal terajhir bab tentang peninjauan kembali.
2. Kedua pasal itu menentukan bahwa ganti kerugian diberikan menurut
pertimbangan hakim berdasarkan keadilan. 3.
Kedua pasal itu menentukan bahwa pemberian ganti kerugian bersifat imperatif. Sedangkan ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan
yang tidak sah bersifat fakultatif. Perbedaannya adalah didalam Pasal 481 Ned. Sv. Menghubungkan ganti
kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah yang fakultatif itu, sedangkan R. Sv. Tidak menyebutkan tentang ganti kerugian yang disebabkan
oleh penahanan yang tidak sah. Jadi, terdapat kesenjangan dalam KUHAP mengenai ganti kerugian setelah
peninjauan kembali ini. Apakah masalah ganti kerugian setelah peninjauan kembali dapat dipertautkan dengan ketentuan tentang ganti kerugian yang diatur
36
Ibid., hlm 212
37
Oemar Seno., Hukum Acara Pidana dalam Propeksi, Erlangga, Jakarta, 1976, hlm 69.
Universitas Sumatera Utara
didalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP ganti kerugian yang disebabkan oleh penangkapan, penahanan, penuntutan, danmengadili yang tidak sah terhadap
tersangka? Hal ini masih menjadi masalah yang menunggu pemecahannya dan perlu diuji pula dengan yurisprudensi yang akan datang KUHAP sama sekali tidak
menyebutnya baik dalam perumusan pasal-pasal maupun dalam
penjelasannya.
38
B. Prosedur Permohonan Ganti Kerugian Menurut KUHAP