Analisa Kasus Penerapan Permohonan Ganti Kerugian Atas Putusan Bebas

kerugian tidak dapat dimintakan banding, namun Hakim Pengadilan Tinggi memeriksa dan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti rugi.

b. Pertimbangan Hakim

Menurut Pasal 45 A ayat 2 a Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang No.3 Tahun 2009, maka terhadap pra peradilan tidak dapat diajukan kasasi, dengan demikian permohonan kasasi pra peradilan yang diajukan Pemohon kasasi tidak dapat diterima. Berdasarkan dasar Permohonan kasasi dari Pemohon maka Permohonan praperadilan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi tidak dapat diterima. Oleh karena permohonan pra peradilan dinyatakan tidak dapat diterima, maka biaya perkara dalam tingkat kasasi ini dibebankan kepada Pemohon KasasiTermohon I Praperadilan.

c. Putusan MA No. 1262KPid2014

Mahkamah Agung menyatakan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Negara Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah Cq. Kejaksaan Negeri Semarang tersebut tidak dapat diterima dan menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Kasasi ini sebesar Rp. 2.500.000,- dua juta lima ratus rupiah;

B. Analisa Kasus

Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan Pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan atau dinanti-nantikan oleh pihak- Universitas Sumatera Utara pihak yang berperkara guna menyelesaikan sengketa diantara mereka dengan sebaik-baiknya.Sebab dengan putusan Hakim tersebut pihak-pihak yang bersengketa mengharapkan adanya kepastian hukum dan keadilan dalam perkara yang mereka hadapi.Grustav Radbruch mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.Ketiga hal inilah yang diharapkan terdapat dalam suatu putusan yang dikeluarkan oleh Hakim. 51 51 Sudirman, Antonius, Hati Nirani Hakim dan Putusannya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 44 Suatu putusan yang dikelurkan oleh Hakim sejatinya diadakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan hukum sehingga menghasilkan putusan yang adil bagi masyarakat.Hal ini dapat terwujud apabila hakim dalam memutuskan suatu permasalahan hukum yang terjadi di masyarakat benar- benar memenuhi rasa keadilan sense of justice.Namun dalam mewujudkan putusan Hakim yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat ternyata tidak mudah.Bahkan dalam beberapa putusan Pengadilan justru bermasalah dan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.Hal ini melahirkan putusan yang sesat dan merugikan masyarakat. Putusan sesat yang dikeluarkan oleh Hakim disebabkan oleh kesesatan Hakim dalam mengadili dengan memeriksa perkara atau orang yang diadili untuk mengambil keputusan yang dilakukan Pengadilan dengan salah jalan, salah prosedurnya, salah menerapkan aturannya dan menghasilkan putusan yang merugikan terdakwa. Kesesatan hakim dalam kehidupan hukum sering disebut dengan peradilan sesat. Universitas Sumatera Utara Peradilan sesat berasal dari frasa Rechterlijke Dwaling yang kadang dalam bahasa Indonesia disebut dengan kesesatan Hakim. Kata “rechterlijke” dibahasa Indonesiakan dengan kata “Hakim”. Dapat dimengerti sepenuhnya karena peradilan identik dengan hakim. Hakim sebagai pengendali proses peradilan. Sehingga jika proses peradilan yang dikendalikan oleh hakim yang memeriksa perkara dilakukan dengan salah jalan alias sesat dan menghasilkan putusan yang merugikan orang yang diadili – menghasilkan putusan sesat, maka dapat pula disebut kesesatan Hakim. 52 “Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas Dengan diputus bebasnya perkara pidana Sri Mulyati binti Kardjo oleh Mahkamah Agung maka Sri Mulyati binti Kardjo melalui kuasa hukumnya meminta ganti rugi kepada Negara dengan mengajukan permohonan ganti kerugian kepada Pengadilan Negeri Semarang dan menyatakan bahwa pihak Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum telah keliru dalam menerapkan hukum sehingga Sri Mulyati binti Kardjo mengalami kerugian baik secara materil maupun inmateril. Kerugian yang didapatkan ini dapat diajukan permohonan ganti kerugian. Ganti kerugian khususnya dalam kasus pidana di Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangannya. Hal ini tertuang dalam Pasal 1 butir 22 dan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP. Pasal 1 butir 22 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP menyatakan bahwa; 52 E.A Pamungkas, Peradilan Sesat, Navilla Idea, Yogyakarta, 2010, hlm. 5 Universitas Sumatera Utara tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur didalam Undang-Undang ini” Sedangkan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyatakan bahwa; “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Persoalan ganti kerugian dalam kasus pidana diperjelaskan kembali dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yaitu dalam Pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa Ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- lima ribu rupiah dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah. Peraturan ini kemudian kembali diperbaharui dengan terbitnya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 dimana salah satu poin penting perubahan itu adalah kenaikan nilai ganti kerugian yang dapat diajukan dalam hal terjadi pelanggaran atas prosedur KUHAP yang sebelumnya paling rendah lima ribu rupiah dan paling tinggi satu juta rupiah menjadi Rp500.000 hingga Rp100.000.000,- dan Rp25.000.000,- hingga Rp300.000.000,- jika tindakan aparat penegak hukum dimaksud mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan. Bahkan bisa naik lagi hingga rentang nilai Rp50.000.000,- hingga Universitas Sumatera Utara Rp600.000.000,- jika perbuatan menangkap, menahan, menuntut, dan mengadili berakibat pada matinya seseorang. Dalam kasus yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dijalankan dikarenakan peristiwa ini terjadi pada tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah ini baru ada pada tahun 2015. Penetapan Nomor 15Pid.Gr2012PN.SMG yang diadili oleh Pengadilan Negeri Semarang mengikuti acara Praperadilan, Penetapan ini mengenai ganti kerugian terhadap diri Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo yang mana Pemohon adalah terdakwa atas kasus tindak pidana “Mengekploitasi Ekonomi Atau Seksual Anak Dengan Maksud Menguntungkan Diri Sendiri Atau Orang Lain” yang diputus bebas oleh MA dalam perkara Nomor 1176KPid.Sus2012 tanggal 24 Juli 2012 atas tindakan dari pada Termohon I Kepolisian Resor Besar Kota Semarang dan Termohon II Kejaksaan Negeri Semarang yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa. Terdapat 5 lima alasan untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian: 1. Tindakan penangkapan yang tidak sah Tindakan penangkapan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I pasal I butir 20 dan Bab V bagian kesatu pasal 16 sd 19. 2. Tindakan penahanan yang tidak sah Tindakan penahanan yang dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dan atau bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam KUHAP Bab I pasal 1 butir 21 dan Bab V Bagian kedua pasal 20 sd 30 dan perundang- Universitas Sumatera Utara undangan lain, termasuk penahanan yang lebih lama dari pada pidana hukuman yang dijatuhkan oleh Pengadilan penjelasan pasal 95 ayat 1 KUHAP 3. Tindakan lain tanpa alasan berdasarkan Undang-undang Dalam pasal 95 ayat 1 KUHAP yang dimaksud dengan tindakan lain yaitu pemasukan rumah yang tidak sah menurut hukum, penggeledahan yang tidak sah, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. 4. Penghentian penyidikan atau penuntutan yang sah Dalam pasal 81 KUHAP menyatakan bahwa tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi sebagai akibat sahnya penghentian penyidikan dan sahnya penghentian penuntutan. 5. Dituntut dan diadili tanpa alasan Undang-undang Tanpa alasan berdasarkan Undang-undang pada prinsipnya mempunyai makna yang sama dengan penerapan hukum yang tidak tepat atau kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan. Korban dalam hal ini Sri Mulyati binti Kardjojelas telah mengalami poin 1, 2, dan 5. Hal-hal tersebut memang merupakan kejadian yang paling sering menimbulkan tuntutan ganti rugi yang diakibatkan karena aparat Penegak Hukum. Hal ini menyangkut orang yang pernah ditangkapditahan, selain itu terdakwa yang diadili tetapi kemudian dibebaskan karena kekeliruan penerapan hukumnya Penetapan Nomor 15Pid.Gr2012PN.SMG mengenai pengajuan ganti kerugian terhadap diri Pemohon telah menimbulkan kerugian yang besar bagi diri Universitas Sumatera Utara si Pemohon. Dimana kerugian tersebut sesungguhnya dapat dilihat dari putusan MA Nomor 1176KPid.Sus2012 yang menyatakan bahwa pemohon tidak terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan dan didakwakan oleh Termohon I Kepolisian Resor Besar Kota Semarang dan Termohon II Kejaksaan Negeri Semarang yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dan Terdakwa. Putusan bebas yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung atas Sri Mulyati binti Kardjotersebut telah menguatkan posisi dirinya sebagai korban salah tangkap yang diambil secara paksa kebebasannya, dengan adanya penahanan selama berbulan-bulan atas diri mereka, sehingga berbekal putusan bebas tersebut Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ganti kerugian kepada negara yang dalam hal ini diwakili oleh Kepolisian dan Kejaksaan RI Kesalahan pada semua tingkat pemeriksaan dalam suatu sistem pidana bagaimanapun juga dapat terjadi dan korban kesalahan tersebut harus mendapat ganti rugi. Hal ini sesuai dengan Pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang menyatakan bahwa; “Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili atau dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.” Mekanisme permohonan ganti kerugian dilakukan dengan mengikuti acara Praperadilan. Hal ini sesuai dengan pasal 1 angka 10 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana KUHAP yang dimana salah satu yang merupakan ranah dari praperadilan adalah permintaan ganti rugi. Berdasarkan hal tersebut maka apa yang dilakukan Sri Mulyati binti Kardjo dengan melakukan praperadilan adalah Universitas Sumatera Utara sudah tepat. Timbul permasalahan yaitu bahwa dalam Penetapan Nomor 15Pid.Gr2012PN.SMG yang menolak untuk seluruhnya permohonan Pemohon Sri Mulyati binti Kardjo.Hal telah mencederai keadilan terhadap pemohon karena tidak dapat dibantahkan bahwa pemohon adalah korban dari pada kesalahan prosedural sistem peradilan oleh Kepolisian Resor Besar Kota Semarang dan Termohon II Kejaksaan Negeri Semaranghal ini berdasarkan Putusan MA Nomor 1176KPid.Sus2012 yang menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JaksaPenuntut Umum. Pertimbangannya Hakim dalam Penetapan PN No. 15Pid.Gr2012PN.SMG ini mengatakan bahwa berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan oleh Para Termohon, Pemohonlah yang diduga keras melakukan tindak pidana tersebut, oleh karena itu Hakim berpendapat bahwa tidak terdapat kekeliruan penerapan hukum, padahal dengan jelas diketahui bahwa Putusan MA Nomor 1176KPid.Sus2012 menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan JaksaPenuntut Umum. Dalil-dalilalasan-alasan pengajuan ganti kerugian yang diberikan oleh Pemohon antara lain karena : 1. Pemohon meminta imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah, karena terdapat kekeliruan penerapan hukum yang dilakukan Universitas Sumatera Utara oleh Termohon I dan Termohon II, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 95 ayat 1 KUHAP jo Pasal 9 ayat 1 PP 271983; 2. Pemohon meminta pengembalian uang denda yang telah dibayar oleh Pemohon dalam proses perkara pidana yang dialami oleh Pemohon sebesar Rp. 2.000.000,- dua juta rupiah dan biaya Rp. 2.500,- dua ribu lima ratus rupiah; 3. Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk mengganti penghasilan Pemohon yang hilang akibat adanya kekeliruan dalam menerapkan hukum sebesar Rp. 12.708.438,- dua belas juta tujuh ratus delapan ribu empat ratus tiga puluh delapan rupiah; 4. Meminta Para Termohon untuk membayar uang pengganti immaterril sebesar Rp. 10.000.000,- sepuluh juta rupiah untuk memulihkan atau mengganti harkat dan martabat Pemohon yang telah jatuh secara sosialn maupun psikologis. Pemohon meminta Para Termohon secara tanggung renteng untuk dapat mengganti penghasilan Pemohon yang hilang selama Pemohon menjalani proses perkara pidananya, namun didalam Persidangan Pemohon tidak membuktikan apakah Pemohon telah kehilangan penghasilannya. Namun walaupun Pemohon tidak memberikan bukti pada dasar permohonan ini, seharusnya Majelis Hakim telah mengetahui hal tersebut, karna dengan jelas Pemohon memaparkan jangka waktu proses perkara pidana yang telah dialaminya yang mengakibatkan hilangnya penghasilan saat Pemohon menjalani proses perkara Pidana tersebut. Universitas Sumatera Utara Pemohon juga meminta uang pengganti immateril kepada Para Termohon untuk memulihkan harkat dan martabat Pemohon, dan pada putusannya Majelis Hakim menolak petitum tersebut dikarenakan Pemohon tidak dapat membuktikan kerugian immateril tersebut di persidangan. Pada dasarnya ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas dari pada ganti kerugian dalam hukum pidana, dalam perdata ganti kerugian mengacu kepaa Pasal 1365 KUHAPerdata yaitu “mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi”. Ganti kerugian dalam hukum perdata dapat dimintakan setinggi-tingginya, dikarenakan tidak ada dasar hukum yang mengatur jumlah minimum dan maksimum ganti kerugian tersebut dan mencakup kerugian secara materiil maupun immateriil. Kerugian materiil yaitu kerugian yang bisa dihitung atau dijumlahkan dengan uang, sedangkan kerugian immateriil yaitu kerugian moril yang tidak bisa dinilai dengan uang misalnya rasa ketakutan yang dideritanya atau kehilangan kesenangan hidup serta rasa sakit yang dideritanya. Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya diatur terhadap ongkos atau biaya yang telah korban keluarkan pada proses perkara tersebut, tidak ada dasar untuk memberikan ganti rugi secara immateriil dalam proses perkara pidana, artinya uang pengganti immateriil tersebut tidak termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana. Namun jika Pemohon menuntut uang denda yang telah ia bayarkan dalam proses perkara pidananya, sedangkan dalam putusannya Majelis Hakim menyatakan bahwa Pemohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana tersebut, seharusnya Majelis Hakim mengabulkannya Universitas Sumatera Utara karena sudah jelas diketahui bahwa Pemohon tidak bersalah, hal itu berdasarkan Putusan MA Nomor 1176Pid.Sus2012. Setelah Praperadilan Pemohon ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Semarang yang tentunya mencederai keadilan dan tidak sesuai dengan pasal 95 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHAP.Pemohon mengajukan banding atas Praperadilan tersebut kepada Pengadilan Tinggi Semarang, dengan Nomor Perkara 49PID2013PT.SMG. Hal tersebut sangat mencederai hukum di Indonesia, sebab tidak ada dasar hukum untuk melakukan pemeriksaan banding oleh Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, terhadap Pra peradilan permohonan ganti kerugian ini. Sementara didalam Putusannya tersebut Hakim Pengadilan Tinggi Semarang mengabulkan permohonan PemohonPembanding untuk sebagian, yaitu memerintah Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada PemohonPembanding sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah, serta memerintah negara untuk mengembalikan uang denda yang telah disetorkan kepada pemohon dalam proses perkara pidananya sebesar Rp. 2.000.000,- dua juta rupiah dan biaya perkara sebesar Rp. 5.000,- lima ribu rupiah. Sehingga jelas dalam Pasal 95 KUHAP yang megatur tentang ganti kerugian, dijelaskan bahwa pemeriksaan terhadap ganti rugi dilakukan dengan mengikuti acara Pra peradilan. Sampai saat ini, tidak ada hukum yang mengatur bahwa dalam acara Pra peradilan dapat dimintakan banding. Penggunaan instrumen Pra peradilan guna menuntut ganti kerugian bagi korban salah tangkap belum begitu populer. Secara etimologis, penggalan kata “pra” pada kata “peradilan” yang dimaknai Universitas Sumatera Utara sebelum adanya peradilan pokok perkara memang terkesan agak kurang relevan konteks gugatan ganti kerugian ini digunakan setelah ada putusan yang inkracht atas pokok perkara. Dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas wewenang mengadilinya dikarenakan Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan yang nyata yaitu tidak menerapkan hukum secara semestinya. Seharusnya permohonan ganti kerugian tidak dapat dimintakan banding, namun Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memeriksa dan bahkan memutus perkara pra peradilan permohonan ganti kerugian tersebut. Saat perkara ini berlangsung jumlahnominal ganti kerugian dalam hukum pidana diatur didalam Pasal 9 PP Nomor 27 Tahun 1983, disebutkan bahwa: 1 Ganti Kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP adalah berupa imbalan serendah-rendahnya berjumlah Rp. 5.000,- lima ribu rupiah dan setinggi-tingginya Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah. 2 Apabila penangkapan, penahanan, dan tindakan lain sebagaimana dimaksud Pasal 95 KUHAP mengakibatkan yang bersangkutan sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan atau mati, besarnya ganti kerugian berjumlah setinggi-tingginya Rp. 3.000.000,- tiga juta rupiah. Dalam perkara ini Majelis Hakim memerintahkan Negara untuk memberi imbalan ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah, dengan pertimbangan bahwa PemohonPembanding telah dirugikan dengan adanya PemohonPembanding dalam tahanan, dan pertimbangan Hakim tersebut Universitas Sumatera Utara berdasarkan Pasal 95 ayat 1 KUHAP Jo. Pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983. Hal ini jelas merupakan ketimpangan Hukum yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang, sudah jelas kita ketahui bahwa jumlah ganti kerugian pada Pasal 9 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 ialah serendah- rendahnya sebesar Rp. 5.000,- lima ribu rupiah dan setinggi-tingginya sebesar Rp. 1.000.000,- satu juta rupiah, sementara Majelis Hakim memberi imbalan ganti kerugian sebesar Rp. 5.000.000,- lima juta rupiah. Maka jelas bahwa Majelis Hakim telah melakukan kekeliruan dengan mengadili tidak berdasarkan Undang-Undang, dan dalam hal ini dapat dilihat bahwa Majelis Hakim telah memasukkan pendapat non yuridis dalam putusan yang dijatuhkannya. Sebab, dalam kasus yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo Peraturan Pemerintah yang baru yaitu PP No. 92 Tahun 2015 ini tidak dapat dijalankan karena peristiwa ini terjadi pada Tahun 2012. Namun sampai pada saat ini, uang ganti rugi sebesar Rp. 5.000.000,- yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang belum diperoleh oleh Sri Mulyati binti Kardjo. Kuasa Hukum Sri Mulyati sudah mengajukan permohonan ke Ketua Pengadilan Negeri Semarang agar bersurat ke Kementrian Hukum dan HAM untuk memberikan dana ganti rugi tersebut. Tapi, sampai saat ini Ketua Pengadilan Negeri Semarang belum merespon surat yang telah diajukan pihak Sri Mulyati dengan alasan sedang dipelajari. Mekanisme pencairan ganti kerugian sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri Keuangan No. 983KMK.011983 tentang Tata Cara pembayaran Ganti Kerugian memiliki Universitas Sumatera Utara proses yang sangat panjang dan berbelit-belit. Dapat dibayangkan kembali betapa sulit dan terjalnya jalur yang harus dilewati kembali oleh pihak Pemohon ganti kerugian apabila mengikuti birokrasi yang ada. Tidak puas dengan Putusan Pengadilan Tinggi Semarang tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Nomor Perkara 1262 KPid2014. Dalam Kasasinya Jaksa Penuntut Umum menilai bahwa Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangan mengadilinya, dan telah keliru dalam mengadili perkara tersebut. Mahkamah Agung dalam putusannya menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, dengan pertimbangan bahwa perkara pra peradilan tidak dapat diajukan kasasi. Namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang sudah jelas-jelas telah keliru dalam mengadili perkara banding permohonan ganti kerugian ini. Seharus Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut karena sudah jelas Mahkamah Agung mengetahui bahwa pra peradilan permohonan ganti kerugian ini tidak dapat diajukan banding apalagi untuk mengajukannya secara kasasi, kerena memang tidak ada peraturan atau dasar hukum yang mengatur hal tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka telah terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum yang dimana seharusnya mereka lah yang menjadi tonggak dalam penegakan hukum. Ada sebuat motto dari B.M.Taverne yang menyatakan berikan aku Hakim yang baik, Jaksa yang baik dan Polisi yang baik Universitas Sumatera Utara maka aku akan berantas kejahatan walau tanpa undang-undang secarikpu. 53 Motto ini untuk mengingatkan setiap hakim yang akan memimpin sidang atau menangani perkara supaya dirinya tidak dikalahkan oleh hukum yang di dalamnya terdapat kekurangan, pada pasal-pasal yang kabur, atau norma-norma yang berkategori lemah dan mengundang banyak penafsiran interpretasi. 54 53 Krisna Harahap, Paradigma Baru Konsep Hakim Transformatif :Perspektif Agenda Reformasi Peradilan. Buletin Komisi Yudisial, Jakarta, 2010, hlm.18 54Abdul Wahid dan Moh.Muhibbi, Etika Profesi Hukum, Rekonstruksi Citra Peradilan di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2009, hlm. 253 Tetapi dapat mengikuti hati nurani dan keadilan. Hakim merupakan kunci pelaksanaan sistem peradilan pidana criminal justice system.Atas hal tersebut hakim merupakan bagian terpenting dalam penegakan hukum dan mencerminkan wajah peradilan secara keseluruhan, walaupun ada rekayasa di Kepolisian, Kejaksaan ataupun tempat lain hakim dapat memahami dan mengetahui itu semuanya sehingga kemudian dapat mengeluarkan produk berupa putusan yang bermartabat dan kemudian dapat merebut kembali kepercayaan publik terhadap dunia peradilan sehingga peristiwa yang menimpa Sri Mulyati binti Kardjo tidak terjadi lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia. Universitas Sumatera Utara BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pasal 1 ayat 22 KUHAP menjelaskan bahwa ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan berupa materi karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Bagi masyarakat yang terlanjur diambil kebebasannya melalui proses penahanan, tentu saja “surga” yang dinantikan mereka ialah putusan bebas dari palu Hakim. Namun, seringkali putusan bebas yang dinantikan tersebut tidak serta merta dapat memulihkan kembali kondisi para korban salah tangkap ini seperti sedia kala. Dalam praktiknya para korban salah tangkap ini telah mengalami kerugian yang luar biasa seperti kehilangan pendapatan maupun pekerjaan, serta siksaan dan tekanan batin saat didalam penjara, untuk mengembalikan kerugian yang telah diderita sebagaimana posisi semula itulah yang menjadi persoalan besar selama ini.Namun dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang mengatur tentang ganti kerugian dalam hukum pidana cukup membantu bagi pencari keadilan di Indonesia ini. Namun, aturan tersebut belum berjalan efektif. Pasalnya masih dibutuhkan penyesuaian dengan peraturan lainnya yang menjadi pelaksana Peraturan Pemerintah tersebut. Salah satu contoh ialah Keputusan Menteri Keuangan No. 983KMK.011983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian, Keputusan Menteri Keuangan 77 Universitas Sumatera Utara tersebut menjadi mimpi buruk bagi pencari keadilan. Hal itu disebabkan mekanismenya cukup berbelit. Bahkan memiliki jangka waktu yang tidak pasti. 2. Permohonan ganti kerugian mengikuti acara pra peradilan, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 1 PP Nomor 92 Tahun 2015 jo Pasal 7 ayat 1 PP Nomor 27 Tahun 1983 yaitu tuntutan ganti kerugian hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu tiga bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Acara pra peradilan dalam permohonan ganti kerugian tidak dapat dimintakan banding apalagi untuk dimintakan kasasi hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 83 ayat 1 KUHAP. Dalam perkara ini, setelah ditolaknya Permohonan Pra peradilan ganti kerugian yaitu Penetapan PN Semarang No. 15Pid.GR2012PN.SMGPemohon mengajukan banding, Hakim Pengadilan Tinggi Semarang memutus Permohonan Banding tersebut serta mengabulkan untuk sebagian permohonan banding dari PemohonPembanding dengan nomor perkara 49PID2013PT.SMG, hal ini sangat mencederai ketentuan perundang- undangan yang berlaku, karna sudah jelas bahwa Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang telah melampaui batas kewenangannya. Setelah banding pihak lawan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dengan nomor perkara 1262KPID2014. Hakim Mahkamah Agung menolak permohonan Kasasi tersebut dikarenakan sesuai dengan peraturan yang ada, Permohonan Ganti Kerugian tidak dapat dimintakan Banding Universitas Sumatera Utara ataupun Kasasi, namun anehnya Mahkamah Agung tidak membatalkan Putusan Banding ganti kerugian tersebut. B. Saran 1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat tentang pemenuhan hak-hak mereka terutama hak mereka untuk menuntut ganti kerugian dan juga pengenalan tentang Peraturan Pemerintah yang baru saja keluar yaitu PP Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai ganti kerugian dalam pidana. 2. Selain itu, diperlukan proses yang tidak lama, sederhana, dan biaya ringan dalam menuntut ganti kerugian agar mantan tersangka tersebut dapat menuntut pemenuhan haknya atas kerugian yang telah dialaminya akibat tindakan aparat penegak hukum yang tidak sah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat awam dapat menggunakan hak mereka dengan sebaik-baiknya. 3. Perlu adanya pengaturan yang sistematis, rinci, dan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana khususnya pengaturan mengenai praperadilan, sehingga terdapat dasar hukum yang kuat dalam pelaksanaan ketentuan perundang-undangan agar tidak terjadi celah penyalahgunaan wewenang . Universitas Sumatera Utara BAB II PENGATURAN GANTI KERUGIAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Macam-Macam Ganti Kerugian 1.Dasar Hukum Ganti Kerugian Dasar hukum dari pemberian ganti kerugian adalah sebagaimana diatur didalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa; “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Dasar hukum yang diatur dalam Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tersebut kemudian dijabarkan melalui pasal-pasal KUHAP yaitu Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Sebagaimana ketentuan umumnya yang ada dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP yang berbunyi: “Ganti Kerugian adalah hak seorang untuk mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Pengaturan tentang ganti kerugian dalalam Pasal 95 KUHAP dari apa yang diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 95 ayat 1 KUHAP berbunyi; 24 Universitas Sumatera Utara “Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tidakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan” Tindakan-tindakan lain yang dimaksudkan pada Pasal 95 ayat 1 KUHAP ini ialah tindakan-tindakan paksakan hukum lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang, bukti surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan menimbullkan kerugian materil. Hal ini dikarenakan adanya pandangan bahwa hak-hak terhadap benda dan hak-hak privacy tersebut perlu dilindungi terhadap tindakan – tindakan yang melawan hukum. 21 a Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian, penyidikan atau penghentian penuntutan. Didalam Pasal 95 ayat 2 KUHAP berbunyi: “Tuntutan ganti kerugian oleh Tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasrkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana yang dimaksud didalam ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus sidang praperadilan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 77” Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam undang-undang ini tentang: b Ganti kerugian dan rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Seperti yang disebutkan bahwa di dalam Pasal 95 ayat 2 dan dihubungkan dengan Pasal 77, maka tuntutan ganti kerugian tidak hanya dapat 21 Moch. Fasial Salam., Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, 2001, hlm.334-335 Universitas Sumatera Utara diajukan terhadap perkara yang telah diajukan kemuka Pengadilan, tetapi juga apabila perkara tersebut tidak diajukan ke Pengadilan, dalam arti dihentikan baik dalam tingkat penyidikan maupun tingkat penuntutan. 22 Pasal 101 KUHAP terasebut dapat diambil kesimpulan bahwa bagi gugat menggugat biasa dapat berlaku ketentuan yang ada didalam HIR. Sedangkan Pasal 101 KUHAP menyebutkan hahwa; “Ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam Undang-Undang ini tidak diatur lain” 23 a. Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud Didalam Pasal 95 KUHAP hanya dapat diajukan dalam waktu paling lama 3 tiga bulan terhitung sejak tanggal petikan atau salinan putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diterima. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur perubahan tentang ganti kerugian dalam pelaksanaan KUHAP, diantaranya; 1. Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut; b. Dalam hal tuntutan ganti kerugian tersebut diajukan terhadap perkara yang dihentikan pada tingkat penyidikan atau tingkat penuntutan sebagaimana dimaksud dildalam Pasal 77 huruf b KUHAP, maka dalam jangka waktu 3 tiga bulandihitung dari saat tanggal pemberitahuan penetapan praperadilan. 2 Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut; a. Besaranya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 77 huruf b dan Pasal 95 KUHAP paling sedikit Rp500.000,00 lima ratus ribu rupiah dan yang paling banyak Rp100.000.000,00 seratus juta rupiah. b. Besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan luka berat atau cacat sehingga tidak bisa melakukan pekerjaan, besarnya ganti kerugian paling sedikit 22 Moch. Fasial Salam, Op. Cit. hlm 335 23 Moch. Fasial Salam, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara Rp25.000.000,00 dua puluh lima juta rupiah dan paling banyak Rp300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. c. Besarnya ganti kerugian berdarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 KUHAP yang mengakibatkan mati, besarnya ganti kerugian paling sedikit Rp50.000.000,00 lima puluh juta rupiah dan paling banyak Rp600.000.000,00 enam ratus juta rupiah. 3. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: a. Petikan putusan atau penetapan mengenai ganti kerugian sebagaimana dimaksud didalam Pasal 8 diberikan kepada pemohon dalam waktu 3 tiga hari setelah putusan diucapkan. b. Petikan putusan atau penetapan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diberikan kepada penuntut umum, penyidik, dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 4. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: a. Pembayaran ganti kerugian dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan berdasarkan petikan putusan atau penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. b. Pembayaran ganti kerugian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 14 empat belas hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan ganti kerugian diterima oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. 5. Diantara Pasal 39A dan Pasal 40 disisipkan 2 dua pasal yakni Pasal 39B dan Pasal 39C, sehingga berbunyi sebagai berikut; a. Pasal 39B Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku: 1. Pemohon yang telah mengajukan ganti kerugian namun belum mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian yang diterima, putusan atau penetapan pengadilan mengenai besaran ganti kerugian mengacu pada Peraturan Pemerintah ini; dan 2. Pemohon ganti kerugian yang telah mendapatkan petikan putusan atau penetapan pengadilan namun belum menerima ganti kerugian dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang keuangan, besaran gantu keruguian dibayarkan sesuai dengan petikanputusan atau penetapan pengadilan. b. Pasal 39C Pada saat peraturan pemerintahan ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintahan ini yang mengatur mengenai ganti kerugian wajib disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 enam bulan terhitung sejak tanggak Peraturan Pemerintah ini diundangkan. Universitas Sumatera Utara 2.Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi Sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti kerugian dan rehabilitasi sudah dituangkan sebagai ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 141970. Sejak diundangkannya Udang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke pengadilan. Namun tuntutan demikian selalu kandas di pengadilan karena adanya argumentasi bahwa Pasal 9 Undang-undang No. 141970 belum mengatur tata cara pelaksanaannya. 24 Yahya Harahap, di dalam bukunya yang berjudul “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP” memberikan suatu contoh ilustrasi tentang peristiwa yang menimpa diri keluarga temannya yang merupakan seorang jaksa dikota Medan. Beliau memiliki seorang anak yang masih duduk dibangku kuliah. Pada suatu malam si anak kita sebut saja namanya Achmad sedang asyik menonton keramaian di Medan Fair 1976, kemudian tiba-tiba polisi datang dan menangkap achmad dengan tuduhan pembunuhan, penangkapan dilakukan atas dasar keyakinan bahwa foto buronan yang ditangan polisi tersebut sangat mirip dengan wajah achmad, padahal namanya jelas berbeda dan tempat tinggalnya juga berbeda. Achmad dan ayahnya sudah menjelaskan perbedaan tersebut kepada pihak kepolisian, namum polisi tidak mau ambil peduli dan tetap menahan achmad. Sialnya untuk mendapat pengakuan achmad, kakinya dihantam dengan kayu boroti, sehingga patah dan cacat seumur hidup. Penahanan sudah hampir berlangsung dua tahun dan Achmad sudah cacat seumur hidup, barulah polisi 24 M. Yahya Harahap.,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan dalam KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 44 Universitas Sumatera Utara berhasil menangkap pelaku tindak pidana yang sebenarnya. Berarti kepolisian telah melakukan kekeliruan mengenai orangnya, dan jelas bertentangan dengan hukum. 25 Atas kejadian ini orang tua Achmad mengajukan gugatan ganti rugi secara perdata ke Pengadilan Negeri yang ditujukan terhadap Negara c.q. Kepolisian Negara sebagai Tergugat I, dan oknum polisi pelaku sebagai tergugat selebihnya. Namun Pengadilan tidak dapat menerima gugatan ganti rugi mengenai Tergugat I Kepolisian Negara, tapi hanya mengabulkan gugatan kepada oknum kopral yang melakukan penangkapan dan pemukulan atas Achmad. Hal ini disebabkan karena pada saat itu belum adanya pengaturan tentang tata cara pelaksanaan ganti kerugian. 26 Alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi: 27 1. Ganti kerugian yang disebabkan penangkapan atau penahanan: 2. Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum 3. Penangkapan atau penahanan dilakukan karena tidak berdarkan undang-undang 4. Penahanan atau penangkapan yang dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. 5. Penahanan atau penangkapan yang dilakukan tidak mengenai orangnya salah tangkap. Artinya adalah orang yang ditangkapditahan terdapat kekeliruan, dan yang bersangkutan 25 Ibid., hlm. 44-45 26 Ibid. 27 H.M.A. Kuffal, Op Cit, hal 306. Universitas Sumatera Utara sudah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkapditahan, bukan dia. Namun walaupun demikian tetap juga dia ditahan, dan kemudian benar-benar terjadi kekeliruan penangkapanpenahanan itu. 6. Ganti rugi akibat penggeledahanpenyitaan 7. Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum yaitu tanpa adanya perintah dan surat izin dari ketua pengadilan 3. Macam-Macam Ganti Kerugian Istilah ganti kerugian tidak ditemui pada hukum pidana materil. Hal ini muncul pada hukum pidana formil yakni pada Pasal 95 sampai Pasal 101 KUHAP, didalam Hukum Pidana terdapat berbagai macam ganti kerugian yaitu: 1. Ganti Kerugian Karena Seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili Tanpa Alasan yang Berdasarkan Undang-Undang atau Kekeliruan Mengenai Orangnya atau Salah dalam Menerapkan Hukum. 28 Salah satu landasan pokok dari KUHAP ialah jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, dengan memperhatikan asas-asas penting seperti asas praduga tak bersalah. Hak asasi seseorang harus dihormati dan dijunjung tinggi sesuai harkat dan martabatnya, sehingga dengan demikian penggunaan upaya paksa harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang telah ditetapkan. Misalnya 28 .Andi Hamzah, Op. Cit. hlm. 207 Universitas Sumatera Utara untuk dapat menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana, maka diisyaratkan harus ada bukti permulaan yang cukup. 29 Hal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan sewenang-wenangnya oleh aparat penegak hukum. Dalam hal penahanan, penegak hukum juga harus mempunyai dasar menurut hukum dan dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang. Dasar menurut hukum disini maksudnya adalah harus terdapatnya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana. Dasar menurut keperluan untuk menahan seseorang ialah adanya kekhawatiran bahwa TersangkaTerdakwa akan melarikan diri, atau merusakmenghilangkan bukti-bukti, atau akan mengulangi tindak pidana tersebut. 30 Pasal 95 KUHAP dikatakan, bahwa alasan bagi TersangkaTerdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian, selain dari pada adanya penangkapan, penahanan, penuntutan atau diadilinya orang tersebut, juga apabila dikenakan tindakan-tindakan lain yang secara tanpa alasan yang berdasarkan Undang- Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. “Tindakan-tindakan lain” maksudnya adalah tindakan-tindakan upaya paksa lainnya, seperti pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan-penyitaan yang secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Dalam pasal inilah kita melihat adanya alasan bagi suatu permintaan ganti kerugian oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan. 31 29 Djoko prakoso., Op Cit. hlm. 98 30 Ibid., hlm. 98-99 31 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2. Ganti Kerugian kepada Pihak Ketiga atau Korban Victim of Crime atau Beledigde Partij. Bentuk ganti kerugian ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian Pasal 98 sampai Pasal 101 KUHAP yang tidak dimasukkan ke dalam pengertian ganti kerugian.Penggabungan perkara gugatan ganti kerugian pihak ketiga dalam perkara pidana maupun perdata juga dikenal di Prancis, yang ternyata pihak ketiga itu luas artiannya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga bisa muncul gugatan dari asuransi kesehatan, pihak pemerintah dalam hal pelanggaran izin usaha, perpajakan, dan lain-lain. 32 Dapatkah diterapkan di Indonesia ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP tersebut? Apakah juga ada kemungkinan pihak ketiga yang lain selain korban delik yang langsung itu juga dapat mengajukan gugatan ganti kerugian? Menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, hal tersebut dapat dilakukan, dengan alasan sebagai berikut. 33 1. Pasal 98 KUHAP mengatakan “...menimbulkan kerugian bagi orang lain...” dijelaskan didalam penjelasan pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan kerugian bagi orang lain termasuk kerugian pihak korban. Jadi, korban delik bukan satu-satunya “orang lain” itu. Tidak limitatif pada korban delik saja. 2. Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata diterapkan bagi gugatan ganti kerugian ini sepanjang KUHAP tidak menentukan lain. 32 Andi Hamzah, Op. Cit. hlm 207 33 Ibid. Universitas Sumatera Utara Dan kita mengetahui bahwa gugatan perdata itu mempunyai ruang lingkup yang luas. Jadi, semua pihak yang merasa dirugikan oleh pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan. Hukum pidana Soviet pun mengenal semacam ganti kerugian kepada pihak yang dirugikan yang dinamai perbaikan kerusakan reparation of damage. Bahkan dicantumkan sebagai hukum pidana menurut Pasal 32 Criminal Code of RSFSR Rusia.Pidana perbaikan ini dapat diterapkan sebagai pidana pokok, misalnya kerusakan sebagai akibat perbuatan yang disengaja, terhadap milik sosialis, dan pidana tambahan, jika kerusakan yang disengaja terhadap milik pribadi warga negara. Pidana tersebutr dapat diterapkan dalam tiga cara yatu: 34 1. Mewajibkan terpidana memperbaiki kerusakan itu, kalau pengadilan memandang terpidana dapat melakukannya; 2. Mewajibkan terpidana untuk membayar kerusakan-kerusakan itu, jika kerusakan-kerusakan itu tidak lebih dari seratus rubel; 3. Mewajibkan terpidana meminta maaf di muka umum kepada korban atau anggota-anggota kolektif, menurut cara yang ditentukan oleh pengadilan, apabila delik itu ditujukan kepada martabat atau integritas seseorang atau kepada aturan kehidupan masyarakat sosialis dan tidaka ada kerusakan materiil yang ditimbulkan oleh delik tersebut. Apabila terpidana tidak memperbaiki kerusakan itu menurut cara dan dalam batas waktu yang ditentukan oleh Pengadilan, Pengadilan dapat mengubah 34 Ibid., hlm 210 Universitas Sumatera Utara pidana itu menjadi kerja paksa, denda, pemecatan dari tugas khusus atau ditegur dimuka umum.Meskipun dalam peraturan lama HIR tidak diatur tentang penggabungan perkara pidana, tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan pidana bersyarat seperti diatur di penggabungan perkara yang diatur dalam KUHAP tersebut. Pasal-pasal di dalam KUHP dimungkinkannya suatu syarat khusus, yaitu misalnya terpidana dipidana pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian kepada korban, maka tercapai juga penyelesainan secara perdata, namun perlu diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana bersyarat yang pada umumnya mengenai perkara-perkara yang tidak berat. Sekarang pun penyelesaian melalui pidana bersyarat ini masih dapat dilaukan. Dalam hal ini korban delik tidak perlu mengajukan gugatan khusus. 35 3. Ganti Kerugian Kepada Terpidana Setelah Peninjauan Kembali Pasal 266 ayat 2 butir b yang berbunyi: “Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung memebatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dengan menjatuhkan putusan yang berupa: 1. Putusan bebas; 2. Putusan lepas dari segala tuntutan; 3. Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; 4. Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.” Jelaslah bahwa yang disebutkan pada butir 1 sampai dengan 3 membawa akibat terpidana tidak dijatuhi hukuman pidana dalam peninjauan kembali itu. yang menjadi masalah ialah bagaimana caranya menuntut ganti kerugian, yang dalam Bagian Kedua Bab XVIII tentang peninjauan kembali itu tidak disebut- sebut, hal ini merupakan kelemahan KUHAP. Sedangkan peraturan yang lama 35 Ibid., hlm 211 Universitas Sumatera Utara yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu Reglement op de Strafvordering dan juga Ned.Sv. mengatur tentang hal ganti kerugian di bagian peninjauan kembali herziening. 36 Oemara Seno Adji mengadakan perbandingan antara kedua peraturan tersebut, dimana terdapat persamaan dan perbedaan diantara keduanya. Menurut beliau persamaannya adalah sebagai berikut. 37 1. Ganti kerugian kedua pasal itu merupakan bagian ketentuan tentang peninjauan kembali dan keduanya merupakan pasal terajhir bab tentang peninjauan kembali. 2. Kedua pasal itu menentukan bahwa ganti kerugian diberikan menurut pertimbangan hakim berdasarkan keadilan. 3. Kedua pasal itu menentukan bahwa pemberian ganti kerugian bersifat imperatif. Sedangkan ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah bersifat fakultatif. Perbedaannya adalah didalam Pasal 481 Ned. Sv. Menghubungkan ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah yang fakultatif itu, sedangkan R. Sv. Tidak menyebutkan tentang ganti kerugian yang disebabkan oleh penahanan yang tidak sah. Jadi, terdapat kesenjangan dalam KUHAP mengenai ganti kerugian setelah peninjauan kembali ini. Apakah masalah ganti kerugian setelah peninjauan kembali dapat dipertautkan dengan ketentuan tentang ganti kerugian yang diatur 36 Ibid., hlm 212 37 Oemar Seno., Hukum Acara Pidana dalam Propeksi, Erlangga, Jakarta, 1976, hlm 69. Universitas Sumatera Utara didalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP ganti kerugian yang disebabkan oleh penangkapan, penahanan, penuntutan, danmengadili yang tidak sah terhadap tersangka? Hal ini masih menjadi masalah yang menunggu pemecahannya dan perlu diuji pula dengan yurisprudensi yang akan datang KUHAP sama sekali tidak menyebutnya baik dalam perumusan pasal-pasal maupun dalam penjelasannya. 38

B. Prosedur Permohonan Ganti Kerugian Menurut KUHAP

Dokumen yang terkait

Analisis Juridis Penerapan Pidana Bersyarat dalam Tindak Pidana Perpajakan (Studi Putusan MA No. 2239 K/PID.SUS/2012)

2 88 115

Penerapan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Terhadap Tindak Pidana Permufakatan Jahat Jual Beli Narkotika (Analisis Putusan Pengadilan Negeri No. 675/Pid.B/2010/PN.Mdn dan Putusan No. 1.366/Pid.B/2011/PN.Mdn)

3 76 145

Analisis Hukum Terhadap Putusan Bebas Dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan No. 63 K/Pid/2007)

1 72 106

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan MA No. 1384 K/PID/2005)

1 65 124

Tinjauan Yuridis Mengenai Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK)/Herziening Yang Diajukan Oleh Jaksa (Analisa Terhadap Putusan MA RI No. 55 PK/Pid/1996, Putusan MA RI No. 109 PK/Pid/2007 dan Putusan MA RI No. 07 PK/Pidsus/2009)

2 111 125

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau dari UU No. 41 Tahun 1999 (Studi Putusan MA No. 68K/PID.SUS/2008)

4 78 338

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Hak Waris Anak Luar Nikah Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/Puu-Viii/2010 (Analisis Putusan No. 0156/Pdt.P/2013/Pa.Js)

1 7 90

ANALISIS DASAR PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI DI LAMPUNG TIMUR ( Studi Putusan MA No. 253 K/PID.SUS/2012 dan Putusan PN No. 304/PID.SUS/2011/PN.TK)

4 45 59

Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2730/Pid.B/2001/PN.Mdn)

0 2 130