Hak Komunal dalam Perlindungan Hak Cipta di Indonesia

penegakan hukum atas hak penyewaan atas karya sinematografi, diharapkan bahwa aparat penegak hukum dapat bertindak proaktif dalam arti tidak terpaku kepada adanya pengaduan saja.

D. Hak Komunal dalam Perlindungan Hak Cipta di Indonesia

Dengan ikut sertanya Indonesia sebagai anggota WTO dan turut serta meratifikasi perjanjian multilateral GATT pada Putaran Uuguay tahun 1994 yang implementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah Indonesia di satu sisi melakukan penyesuaian terhadap UU Hak Cipta untuk memenuhi kewajiban dalam persetujuan TRIP’s. Berdasarkan Persetujuan TRIP’s tersebut, bahwa kendala dalam penegakan UU Hak Cipta diantaranya terkait faktor budaya masyarakat Indonesia yang belum mengenal adanya perlindungan hak cipta sebagai bagian dari HKI. 69 Setiap budaya-budaya yang dihasilkan masyarakat Indonesia bukanlah suatu budaya yang diakui secara hak individu sebagaimana yang tertuang dalam UU tentang HKI tersebut, akan tetapi budaya masyarakat Indonesia masih bersifat komunal. Mengacu pada UU Hak Cipta bahwa ciptaan yang mendapatkan perlindungan hukum ada dalam lingkup seni sastra, dan ilmu pengetahuan. Melalui UU Hak Cipta yang tertuang pada Pasal 12 ayat 1, bahwa ketiga ruang lingkup tersebut di rinci lagi, diantaranya: 69 Perlindungan Hak Cipta Dalam TRIPS, www.pikiran rakyat.com diakses tanggal 27 Desember 2013. Universitas Sumatera Utara 1. buku, program komputer, pamflet, perwajahan lay out karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; 2. ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu ; 3. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; 4. lagu atau musik dengan atau tanpa teks; 5. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim; 6. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; 7. arsitektur; 8. peta; 9. seni batik; 10. fotografi; 11. sinematografi; 12. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.” Sebagaimana yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto, yang menyatakan bahwa “berjalan tidaknya suatu aturan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor : 70 1. Undang-Undang 2. Penegak hukum 3. Faktor sarana atau fasilitas 4. Faktor kebudayaan 70 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hukum, Edisi ke 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm.. 5. Universitas Sumatera Utara Terkait dengan budaya masyarakat Indonesia yang komunal, bahwa suatu budaya yang melekat pada masyarakat merupakan salah satu komponen yang membentuk suatu sistem hukum. Oleh sebab itu, maka dengan keberadaan budaya yang ada pada masyarakat menjadi sangat penting dan menentukan dalam rangka penegakan hukum. karena tanpa adanya kesesuaian budaya maupun kebiasaan di masyarakat akan melemahkan dan menghilangkan suatu aturan hukum tersebut. Berdasarkan pernyataan yang tersebut diatas, berkaitan dengan pengaturan HKI yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 mengenai pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization atau pengesahan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, bahwa pengaturan HKI tersebut memberikan hak monopoli didasarkan atas kemampuan individual untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dari kekayaan intelektual yang dimilikinya. Sehingga, pengaturan HKI tersebut lahir dalam masyarakat dimana hak kepemilikan dimiliki oleh individu atau perusahaankapitalis. Dalam hal ini masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat kapitalis Barat. Berdasarkan uraian diatas, bahwa masyarakat Indonesia tidak memahami filosofi dasar HKI, karena masyarakat Indonesia tidak menganggap pengetahuan tradisional yang komunal tersebut sebagai miliknya secara individu. Masyarakat Indonesia sebagai pemilik kebudayaan karena karya-karya kebudayaan diciptakan, dikembangkan, dan dipraktikkan oleh masyarakat tradisional itu sendiri secara berkelompok sehingga terdapat banyak orang dalam kelompok tersebut yang memberikan sumbangsih terhadap budaya yang dihasilkan dan kelompok masyrakat tersebut tidak berniat untuk mementingkan hak individu atas Universitas Sumatera Utara karya-karya budaya tersebut. Pada intinya, bahwa budaya bangsa Indonesia berbasis pada nilai-nilai komunal yang menekankan pada hak-hak sebagai milik bersama, harus dijaga dan dipelihara oleh setiap generasinya secara turun-tenurun dengan tujuan untuk memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan. Disebutkan juga mengenai ketentuan karya ciptaan mendapatkan perlindungan hukum secara otomatis yang sebagaimana tertuang dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta secara tersirat, yakni pada Pasal 35 ayat 4 yang menentukan bahwa pendaftaran suatu ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban. Berdasarkan ketentuan tersebut pendaftaran Hak Cipta bersifat tidak mutlak, pendaftaran. Berkaitan dengan pendaftaran otomatis tersebut, bahwa keaslian dari suatu wujud Ciptaan sebagai lingkup konsep perlindungan hak cipta, juga perlindungan hukum terhadap hasil karya cipta diperoleh oleh Pencipta secara otomatis, artinya tanpa melalui proses pendaftaran terlebih dahulu Pencipta secara otomatis sudah mendapat perlindungan hukum atas karya ciptaanya tersebut sudah diwujudkan dalam bentuk karya nyata. Dalam hal ini pencipta sebaiknya mendaftarkan karya-karya ciptaanya kepada Direktorat Jenderal HKI. Namun pada kenyataanya dilapangan hasil ciptaan tersebut sangat sedikit di daftarkan. Adapun faktor yang menyebabkan sedikitnya orang mendaftarkan karya ciptaannya selain disebabkan oleh ketidaktahuan, juga disebabkan oleh konsep budaya hukum yang berbeda yang melandasi konsep berfikir masyarakat Indonesia yakni bersifat komunal, artinya karya yang dihasilkan dipahami sebagai milik bersama yang dimiliki oleh Universitas Sumatera Utara keluarga atau masyarakat adatnya. Lain halnya dengan budaya hukum yang melatar belakangi masyarakat negara-negara barat yang lebih mengedepankan kepentingan hak-hak individu dengan watak kapitalis. Pengaturan hukum HKI tidak berasal dari budaya hukum dan sistem hukum nasional Indonesia yang lebih menekankan pada hak komunal, melainkan pengaturan hukum HKI yang berasal dari dunia Barat, yang cendrung memiliki konsep hukum kepemilikan dengan bersifat individual dan monopolikapitalis. Dalam kaitannya dengan perlindungan hak komunal tersebut, bahwa sebenarnya budaya-budaya Indonesia yang komunal perlindungannya dituangkan dalam UU Hak Cipta diatur secara tidak tersirat tertuangkan pada Pasal 10 yang dinyatakan pada ayat 1, 2, 3 dan 4, adalah sebagai berikut : 1 Negara memegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan benda budaya nasional lainnya. 2 Negara memegang Hak Cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya. 3 Untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaan tersebut pada ayat 2, orang yang bukan warga negara Indonesia harus terlebih dahulu mendapat izin dari instansi yang terkait dalam masalah tersebut. 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai Hak Cipta yang dipegang oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur dengan Peraturan Pemerintah. Universitas Sumatera Utara Dalam penjelasannya, Pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa : Ayat 1 : Cukup jelas Ayat 2 : Dalam rangka melindungi folklor dan hasil kebudayaan rakyat lain, Pemerintah dapat mencegah adanya monopoli atau komersialisasi serta tindakan yang merusak atau pemanfaatan komersial tanpa seizin negara Republik Indonesia sebagai Pemegang Hak Cipta. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari tindakan pihak asing yang dapat merusak nilai kebudayaan tersebut. Folklor dimaksudkan sebagai sekumpulan Ciptaan tradisional, baik yang dibuat oleh kelompok maupun perorangan dalam masyarakat, yang menunjukkan identitas sosial dan budayanya berdasarkan standar dan nilai-nilai yang diucapkan atau diikuti secara turun temurun, termasuk: a. cerita rakyat, puisi rakyat; b. lagu-lagu rakyat dan musik instrumen tradisional; c. tari-tarian rakyat, permainan tradisional; d. hasil seni antara lain berupa: lukisan, gambar, ukiran- ukiran, pahatan, mosaik, perhiasan, kerajinan tangan, pakaian, instrumen musik dan tenun tradisional. Ayat 3 : Cukup jelas. Ayat 4 : Cukup jelas. Berdasarkan pada Pasal 10 ayat 2 UU Hak Cipta berarti bahwa negara menjadi wakil bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam menguasai kekayaan tradisional yang ada. Perwakilan oleh negara dimaksudkan untuk menghindari sengketa penguasaan atau pemilikan yang mungkin timbul di antara individu atau kelompok masyarakat tertentu. Selain itu penguasaan oleh negara menjadi penting khususnya apabila terjadi pelanggaran hak cipta atas budaya yang komunal tersebut dilakukan oleh warga negara asing dari negara lain karena akan menyangkut negara dalam sistem penyelesaian sengketanya. Universitas Sumatera Utara 78

BAB V PENUTUP