1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI, anak adalah keturunan kedua. Dalam konsideran Undang-undang No. 23 Tahun 2002 yang
telah diubah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dikatakan
bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan. Oleh karena itu agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak
mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya
perlakuan tanpa diskriminasi.
1
Perlindungan terhadap anak pada suatu masyarakat bangsa merupakan tolak ukur peradaban bangsa tersebut, karenanya wajib diusahakan sesuai dengan
kemampuan nusa dan bangsa. Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat perlu adanya penjaminan hukum bagi anak.
1
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Sinar Grafika, Jakarta Timur, 2013, hal. 8-9
Universitas Sumatera Utara
Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif yang tidak
diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak. Kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek, yang pertama berkaitan dengan kebijakan
dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak- hak anak dan aspek kedua menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-
peraturan tersebut.
2
Anak sesuai sifatnya masih memiliki daya nalar yang belum cukup baik untuk membedakan hal-hal baik dan buruk.
3
Mungkin terbukti anak melakukan tindak kenakalan, anak melanggar hukum positif, atas kelakuannya mungkin akan
mengganggu tertib sosial karena kenakalannya membuat marah publik, dan karena ulahnya ada pihak yang dirugikan, bahkan karena kenakalannya akan
mendatangkan kematian dan siksa orang lain. Namun, apapun alasannya, sesungguhnya dia adalah korban. Dia korban dari perlakuan salah orangtuanya,
dia korban dari pendidikan guru-gurunya, dia korban kebijakan pemerintah lokal, dan dia korban dari lingkungan sosial yang memberi tekanan psikis sehingga
anak-anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Bahkan karena ada nilai-nilai yang terinternalisasi sejak usia dini, dia tidak tahu bahwa apa yang
dilakukan adalah sebuah pelanggaran hukum.
4
Sistem pemidanaan sedang serius-seriusnya mengatur mengenai perlindungan hukum pidana terhadap anak yang apabila anak sebagai pelaku
2
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 3
3
M. Joni, dkk, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 1
4
Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2010, hal. 91-92
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana maka pengenaan pelaksanaan pemidanaan kepadanya tentu tidak dapat disamakan dengan orang dewasa sebagai pelaku kejahatan.
5
Tindak pidana yang dilakukan oleh anak pada umumnya adalah merupakan proses meniru
ataupun terpengaruh bujuk rayu dari orang dewasa. Sistem peradilan pidana formal yang pada akhirnya menempatkan anak dalam status narapidana tentunya
membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana
formal dengan memasukkan anak ke dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang
proses tumbuh-kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin profesional dalam melakukan tindak kejahatan.
6
Sistem Peradilan Pidana Anak berbeda dengan Sistem Peradilan Pidana bagi orang dewasa dalam berbagai segi. Peradilan Pidana Anak meliputi segala
aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara yang menyangkut kepentingan anak. Dalam Peradilan Pidana Anak terdapat beberapa unsur yang saling terkait
yaitu: Penyidik Anak, Penuntut Umum Anak, Hakim Anak, dan Petugas Permasyarakatan Anak. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Peradilan Pidana Anak, hak-hak anak merupakan dasar pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Ini berarti bahwa peradilan
pidana anak yang adil memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak, baik sebagai tersangka, terdakwa, maupun sebagai terpidananarapidana, sebab
5
Nandang Sambas, Pembaharuan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010, hal. 25
6
M. Joni, dkk, Op.cit, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
perlindungan terhadap hak-hak anak ini merupakan tonggak utama dalam Peradilan Pidana Anak.
7
Lahirnya Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberi peneguhan terkait dengan perlindungan terhadap anak di
Indonesia. Undang-undang inilah yang memperkenalkan konsep diversi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan masyarakat pada umumnya sebagai sebuah bentuk pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan
ke proses di luar peradilan pidana demi mewujudkan keadilan restoratif restorative justice. Sedangkan keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakukorban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Upaya penanggulan kejahatan dengan pendekatan nonpenal
merupakan bentuk upaya penanggulan berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan
dan pemidanaan melalui media massa. Konsep diversi dan restorative justice merupakan bentuk penyelesaian tindak pidana yang diarahkan kepada
penyelesaian secara informal dengan melibatkan semua pihak yang terkait dalam tindak pidana yang terjadi. Penyelesaian dengan konsep diversi dan restorative
7
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2013, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
justice merupakan suatu bentuk penyelesaian tindak pidana yang telah berkembang di beberapa negara dalam menanggulangi kejahatan.
8
Anak yang berkonflik dengan hukum di Indonesia cukup memprihatinkan. Angka kejahatan seperti pencurian yang dilakukan anak di Indonesia setiap tahun
berjumlah sekitar 7.000 anak. Sembilan dari sepuluh anak-anak ini akhirnya menginap di hotel prodeo penjara atau rumah tahanan karena pada umumnya
anak yang berhadapan dengan hukum tidak mendapat dukungan dari pengacara maupun pemerintah, dalam hal ini dinas sosial.
9
KOMNAS Anak pada Tahun 2011 menerima 1.851 pengaduan anak yang berhadapan dengan hukum anak sebagai pelaku tindak pidana yang diajukan ke
pengadilan. Angka ini meningkat dibanding pengaduan pada tahun 2010, yakni 730 kasus. Hampir 52 persen dari angka tersebut adalah kasus pencurian diikuti
dengan kasus kekerasan, perkosaan, narkoba, perjudian, serta penganiayaan dan hampir 89,8 persen kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada
pemidanaan atau diputus pidana
.
10
Pelaksanaan diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem
peradilan pidana. Upaya pengalihan atau ide diversi ini, merupakan penyelesaian yang terbaik yang dapat dijadikan formula dalam penyelesaian beberapa kasus
yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Dengan langkah kebijakan
8
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 17
9
Steven Allen , “Kata Pengantar,” dalam Purnianti, et.al. Analisa Situasi Sistem Peradilan
Pidana Anak Juvenile Justice System di Indonesia, Jakarta: Unicef, 2003, hal. 1 dikutip dari: Hadi Supeno, Op.cit, hal. 70
10
Komisi Nasional Anak, 21-12- 2011. “Catatan Akhir Tahun 2011 Komisi Nasional
Perlindungan Anak”. www.komnasanak.com, diakses tanggal 21 Desember 2015 pkl. 11.35 wib
Universitas Sumatera Utara
non penal anak pelaku kejahatan, yang penanganannya dialihkan di luar jalur sistem peradilan pidana anak, melalui cara-cara pembinaan jangka pendek atau
cara lain yang bersifat keperdataan atau administratif.
11
Menurut Setya
Wahyudi, Diversi
sebagai bentuk
pengalihan penyampingan penanganan kenakalan anak dari proses peradilan anak
kovensional, ke arah penanganan anak yang lebih bersifat pelayanan kemasyarakatan, dan diversi dilakukan untuk menghindarkan anak pelaku dari
dampak negatif praktek penyelenggaraan peradilan anak.
12
Konsep diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigmasi terhadap anak atas tindakan yang dilakukannya seperti anak
dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.
13
Mengembangkan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana guna mewujudkan perlindungan hukum bagi anak, diperlakukan mengerti
permasalahannya menurut proporsi yang sebenarnya secara meluas, dimensional dan terpadu. Sebab pengembangan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana
adalah suatu hasil interaksi adanya interrelasi antara berbagai fenomena yang saling terkait dan saling mempengaruhi.
14
11
Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, UMM Press, Malang, 2009, hal. 58-59
12
Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2011, hal. 59
13
Maidin Gultom, Op.cit, hal. 11
14
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 69
Universitas Sumatera Utara
Tahun 2015 terbitlah Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12
Dua Belas Tahun yang menjadi kebutuhan dalam rangka pelaksanaan Undang- undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis termotivasi untuk menulis dan membahas skripsi dengan judul
“Pelaksanaan Diversi Dalam Peradilan Pidana Anak”
B. Perumusan Masalah