Universitas Sumatera Utara
memang ia kehendaki. Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan tersebut ia katakan mempunyai suatu
kesengajaan.
35
Van Bemmelen mengatakan bahwa yang dinamakan dolus eventualis adalah kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak
pernah lebih banyak dikehendaki kemungkinan matinya orang lain itu misalnya. Seseorang yang menghendaki matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia
menghendaki supaya orang tersebut mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu perbuatan dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat menyebabkan
matinya orang lain, hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang tersebut.
36
Berdasarkan uraian mengenai dolus ventualis di atas, dapat disimpulkan bahwa pelaku perbuatan pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat
mungkin akan menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia menyadarinya, sikap yang muncul alam dirinya bukannya
menjauhi perbuatan itu, melainkan justru tetap melakukannya. Dalam hbubungan ini, dolus eventualis disebut dengan inklauf theorie atau teori apa boleh buat.
37
c. Kealpaan
KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan culpa, sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud
35
Lamintang, Dasar-Dasar hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 301
36
Leden Marpaung, Asas-Teori...op.cit., hlm 18.
37
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaruan, UMM Press, Malang, 2008, hlm. 276.
Universitas Sumatera Utara
dengan kealpaan. Kealpaan terjadi apabila seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat diduganya
akibat itu lebih dahulu oleh pelaku merupaka syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya
sebagai kealpaan.
38
Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gecompliceered, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan
seseorang secara lahiriah, dan disisi lain mengarah padakeadaan batin orang itu. Dengan pengertian tersebut, maka di dalam kealpaan culpa terkandung makna
kesalahan dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara kesengajaan ddan kealpaan, dimana dalam kesengajaan terapat suatu sifat
positif, yaitu kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan perbuatan yang dilarang, sedangkan kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.
39
Dilihat dari bentuknya, Moldderman mengatakn bahwa terdapat dua bentuk kealpaan culpa, yaitu kelapaan yang disadari bewuste culpa dan
kealpaan yang tidak disadari onbewuste culpa. Dia mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum
dengan tidak menginsyafi sama sekali dan corak kelapaan yang lebih berat dinamakan dengan bewuste shuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan
menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya
38
Ibid
39
Moeljatno, Asas...op.cit, hlm 217
Universitas Sumatera Utara
atau diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak timbul.
40
Keadaan kealpaan yang disadari bewuste culpa, pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, tetapi ia percaya dan berharap
bahwa akibat buruk itu tidak akan terjadi. Pelaku telah membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk
mencegah, akibat itu terjadi juga.
41
Sedangkan dalam kealpaan yang tidak disadari onbewuste culpa, pelaku tidak membayangkan atau menduga akan timbulnya
akibat yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, padahal ia seharusnya memperhitungkan adanya kemungkinan akan timbulnya akibat itu.
42
Berdasarkan pengertian kealpaan di atas dapat disimpulkan bahwa dikatakan culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh,
teledor, atau kurang hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi.
43
Jika dalam kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang tidak ada niat kesengajaan sedikit pun untuk melakukan suatu perbuatan pidana
yang dilarang hukum. Meskupin demikian, ia patut dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang dilarang hukum karena sikapnya yang ceroboh
tersebut. Hal ini karena nilai-nilai kepatutan yang ada dalam kehidupan masyarakat mengharuskan setiap orang berhati-hati dalam bertindak.
44
40
Ibid., hlm. 227.
41
Tongat, op.cit., hlm 289
42
Ibid., hlm 290
43
Mahrus Ali, op.cit., hlm 178
44
Ibid., hlm 178
Universitas Sumatera Utara d. Kemampuan bertanggungjawab
Kemampuan bertanggungjawab adalah unsur dari kesalahan. Oleh karena itu, tidak adanya kemampuan bertanggungjawab mengakibatkan tidak adanya pula
kesalahan, dan oleh karena itu pulalah tidak ada tindakan pemidanaan, dengan demikian berlaku asas tidak ada pidana tanpa ada kesalahan.
45
Menurut KUHP, tidak ada batasan tentang “mampu bertanggungjawab” torekeningsyat baarheid. Yang ada dalam KUHP adalah sebaliknya, yaitu
pengertia n negatif yakni “tidak dapat dipertanggungjawabkan” yang disebut
dalam pasal 44 KUHP, yaitu “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau
jiwanya terganggu karena penyakit”. Atas penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk adanya
kemampuan bertanggungjawab harus ada dua hal, yaitu : pertama, kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan buruk, yang sesuai
hukum dan yang melawan hukum. Kedua, kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tadi.
46
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat. Akalnya apat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan
perbuatan yang tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda- bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan menyebabkan
yang bersangkutan dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan tinak pidana. Dapat dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat
45
Roeslan Saleh, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Penjelasannya, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, 1978, hlm. 78
46
Moeljatno Asas-Asas...op.cit., hlm 165
Universitas Sumatera Utara
dapat membimbing kehendaknya untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk selalu berbuat sesuai dengan yang
ditentukan hukum.
47
Dapat dipertanggungjawabkan pembuat dalam hal ini berarti pembuat memenuhi syarat untuk
dipertanggungjawabkan. Mengingat asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan atau mampu bertanggungjawab, merupakan sesuatu yang berada diluar pengertian kesalahan.
48
Mampu bertanggungjawab adalah syarat kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri.
Oleh karena itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggungjawab merupakan unsur pertanggugjawaban pidana sekaligus syarat kesalahan.
49
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi pidana.
Berarti, ketika
ditemukan tanda
seseorang tidak
mampu bertanggungjawab dan karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana, maka proses pertanggungjawaban berhenti. Orang itu hanya dapat dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak perlu
diperiksa apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya. Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya dapat
47
Choirul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hlm 89
48
Mahrus Ali, op.cit., hlm 172
49
M. Abdul Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2002, hlm 129
Universitas Sumatera Utara
berakibat pengurangan pidana, tetapi tidak dimaksud untuk menghapuskan pidana.
50
e. Tidak Ada Alasan Pemaaf