1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kondisi perekonomian Indonesia yang tidak stabil telah mempengaruhi aktivitas dan kinerja perusahaan.Seperti yang telah diketahui sebelumnya, krisis
perekonomian global kini semakin akut.Indonesia dan negara-negara berkembang di dunia saat ini tengah terkena imbas negatif gejolak keuangan global.Menurut
Managing Director IMF Christine Lagarde 2015 Indonesia saat ini telah terperangkap di sisi yang salah dari beberapa pergeseran ekonomi global.Sisi
pertama yang mempengaruhi ekonomi Indonesia adalah perlambatan ekonomi China yang semakin memperkeruh perekonomian nasional. China merupakan
salah satu mitra dagang utama Indonesia, sehingga perlambatan ekonomi dan pengetatan likuiditas China akan saat berpengaruh terhadap perekonomian negara
berkembang. Pada saat yang sama, kenaikan harga komoditas telah mencapai puncak
dan hal tersebut menyebabkan harga akan cenderung terus menurun. Kedua faktor diatas mengindikasikan bahwa barang - barang asal Indonesia masih akan terus
melemah sampai beberapa tahun kedepan. Pelemahan harga komoditas ini memiliki dampak pada investasi di Indonesia karena para investor menarik
investasinya pada komoditas. Ketidakstabilan perekonomian negara maju juga menjadi salah satu
penyebab terjadinya krisis di negara berkembang. Saat perekonomian Amerika
Universitas Sumatera Utara
2
6,08 5,58
5,02 4,73
2 4
6 8
2012 2013
2014 2015
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Tingkat Pertumbuhan
Ekonomi
Serikat lesu, maka dapat dipastikan perdagangan dengan negara tersebut juga mengalami kesulitan. Bukan hanya itu, arus investasi dari Amerika Serikat juga
dapat dipastikan akan berkurang. Beberapa implikasi krisis keuangan global terhadap ekonomi Indonesia dapat berupa resesi, menurunnya pertumbuhan
ekonomi, perubahan tingkat bunga, devaluasi mata uang, tingkat inflasi, ketidakstabilan moneter dan perubahan kebijakan fiskal.
Disamping itu, pemulihan perekonomian Amerika Serikat juga merupakan faktor lain yang semakin memperburuk perekonomian nasional. Saat
perekonomian negara maju mulai mengalami pemulihan, hal ini berarti akan berdampak pada kenaikan suku bunga . Kenaikan suku bunga ini akan
menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang, termasuk juga Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami
perlambatan. Berikut adalah grafik yang menunjukan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun 2012-2015:
Gambar 1.1 Grafik Tingkat Pertumbuhan Ekonomi
Sumber :www.bps.go.id , data diolah
Menurut Sukirno 2006 pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai “perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang
Universitas Sumatera Utara
3
dan jasa yang diproduksikan dalam masyarakat bertambah.” Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang disajikan diatas dilihat berdasarkan Produk Domestik
Bruto PDB.Grafik diatas menunjukkan penurunan dan perlambatan pertumbuhan ekonomi beberapa tahun terakhir. PDB pada tahun 2013 sebesar
5,58 , turun sekitar 8,2 dari tahun 2012. Penurunan juga berlanjut pada tahun 2014, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,02 saja. Tingkat pertumbuhan
terendah terjadi pada tahun 2015 menjadi dibawah 5 persen yaitu hanya 4,73 . Hal ini merupakan level terendah untuk pertama kalinya sejak krisis keuangan
global. Krisis juga berdampak pada perusahaan kecil maupun perusahaan besar
yang ada di Indonesia. Beberapa perusahaan di Indonesia terpaksa bangkrut akibat ketidakstabilan ekonomi yang melanda. Hal ini dikarenakan nilai tukar rupiah
terhadap dolar Amerika yang semakin terpuruk. Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2015 sedikitnya ada lima perusahaan yang
mengalami kebangkrutan beberapa tahun terakhir. Lima perusahaan tersebut yakni, PT Kirin Dinamika, PT Delta Inova, PT Agro Pantes, PT Gunaparamita
dan PT Panasonic. Selain lima perusahaan yang kini telah bangkrut, ada beberapa perusahaan lainnya yang terancam pailit. Beberapa perusahaan seperti PT Graha
Adi Karya Logam, PT Tempo Scan Pasific, PT Kawasaki dan PT Madurasa sudah melakukan tindakan efisiensi seperti pengurangan tenaga kerja.
Selain perusahaan diatas, tercatat juga beberapa perusahaan manufaktur yang terpaksa harus delisting akibat dari krisis yang melanda perekonomian dalam
negeri. Pranowo 2010 mengungkapkan bahwa “perusahaan bisa didelisting dari
Universitas Sumatera Utara
4
Bursa Efek Indonesia BEI disebabkan karena perusahaan tersebut berada pada kondisi financial distress atau sedang mengalami kesulitan keuangan.” Menurut
Brahmana 2007 suatu perusahaan dapat dikategorikan sedang mengalami financial distress
dimana “jika perusahaan tersebut memiliki kinerja yang menunjukan laba operasinya negatif, laba bersih negatif, nilai buku ekuitas
negatif, dan perusahaan yang melakukan merger.” PT. Bursa Efek Indonesia BEI dalam 5 lima tahun terakhir tercatat
telah mendelisting 20 dua puluh saham yang tercatat di BEI. Proses delisting dilakukan apabila perusahaan tersebut mengalami kepailitan dan sudah lama
melakukan penghentian perdagangan sementara. Menurut Direktur Utama BEI 2013 bursa akan mendelisting jika perusahaan tersebut tidak lagi memenuhi
persyaratan sesuai dengan Peraturan Bursa Nomor I-I tentang Penghapusan Pencatatan Delisting dan Pencatatan Kembali Relisting serta Ketentuan
III.3.1.1 yang mengatur bahwa Bursa menghapus pencatatan saham Perusahaan Tercatat apabila Perusahaan Tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi
atau peristiwa, yang secara signifikan berpengaruh negatif keberlangsungan usaha perusahaan tercatat sebagai emiten terbuka, dan perusahaan tercatat tidak dapat
menunjukan indikasi pemulihan yang memadai. Berikut adalah grafik yang menunjukan tingkat saham yang telah di-delisting dari Bursa Efek Indonesia
tahun 2011-2015 :
Universitas Sumatera Utara
5
Gambar 1.2 Grafik Saham Delisting 2011-2015
Sumber : www.sahamok.com, data diolah
Grafik diatas menjelaskan pada tahun 2011 BEI telah men-delisting 5 perusahaan yang terdiri dari perusahaan New Century Development Tbk, Aqua
Golden Mississippi Tbk, Dynaplast Tbk, Anta Express Tour and Travel Services Tbk, dan Alfa Retailindo Tbk. Di tahun 2012 BEI men-delisting 4 perusahaan
yang terdiri dari perusahaan Multibreeder Adirama Indonesia Tbk, Katarina Utama Tbk, Suryainti Permata Tbk, dan Surya Intirindo Makmur Tbk. Tahun
2013, BEI kembali men-delisting 7 perusahaan yang terdiri dari perusahaan Indo Setu Bara Resources Tbk, Indosiar Karya Media Tbk, Amstelco Indonesia Tbk,
Dayaindo Resources Internasional Tbk, Panasia Filamen Inti Tbk, Panca Wirasakti Tbk dan Surabaya Agung Industri Pulp dan Kertas Tbk. Pada tahun
2014 terjadi penurunan tingkat delisting saham perusahaan tercatat, hal ini dikarenakan BEI hanya men-delisting 1 perusahaan saja yaitu perusahaan Asia
Natural Resources Tbk. Dan di tahun 2015, BEI men-delisting 3 perusahaan yaitu Davomas Abadi Tbk, Bank Ekonomi Raharja Tbk, dan Unitex Tbk. Dari data-data
2 4
6 8
2011 2012 2013 2014 2015
Saham delisting
Saham delisting
Universitas Sumatera Utara
6
diatas secara keseluruhan pada tahun 2011-2015 Bursa Efek Indonesia sudah men-delisting 9 perusahaan manufaktur yang disebabkan karena perusahaan
tersebut tidak memiliki keberlangsungan usaha going concern. Berikut adalah tabel perusahaan manufaktur yang di-delisting dari BEI periode 2011-2015 :
Tabel 1.1 Perusahaan Manufaktur yang di
de-listing dari BEI 2011-2015 No Nama Perusahaan
IPO Delisting
1 Aqua Golden Mississippi Tbk
01 Maret 1990 01 April 2011
2 Dynaplast Tbk
05 Agustus 1991 27 Juli 2011
3 Karwell Indonesia Tbk
17 Mei 2001 03 Mei 2012
4 Multibreeder Adirama Indonesia
Tbk 28 Februari 1994
02 Juli 2012 5
Surya Intrindo Makmur Tbk 28 Maret 2000
03 Desember 2012 6
Pan Asia Filament Inti Tbk 01 Januari 2000
14 Maret 2013 7
Surabaya Agung Industri Pulp Kertas Tbk
03 Mei 1993 31 Oktober 2013
8 Davomas Abadi Tbk
22 Desember 1994 21 Januari 2015
9 Unitex Tbk
16 Juni 1989 07 Desember 2015
Sumber :www.sahamok.com, data diolah Tabel diatas menjelaskan dalam kurun waktu 5 tahun terdapat 9 sembilan
perusahaan manufaktur yang harus di-delisting dari Bursa Efek Indonesia.Penyebab perusahaan – perusahaan diatas di-delisting ada banyak
faktor, salah satu contohnya seperti yang dialami perusahaan Davomas Abadi Tbk. Davomas merupakan emiten produsen coklat yang terpaksa harus di-
delisting karena terlambat menyampaikan laporan keuangannya selama dua tahun
berturut-turut.Keterlambatan pelaporan ini dikarenakan kinerja perusahaan yang semakin terpuruk dalam dua tahun terakhir akibat mengalami kerugian.
Disamping itu, perusahaan juga dilanda permasalahan gagal bayar obligasi senilai
Universitas Sumatera Utara
7
US198 juta, yang telah jatuh tempo pada 2014 lalu dengan kupon sebesar 11. Hal tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa perusahaan telah mengalami
financial distress. Kebangkrutan suatu perusahaan dapat dilihat dan diukur melalui laporan
keuangannya.Agar informasi laporan keuangan yang tersaji menjadi lebih bermanfaat dalam pengambilan keputusan, maka data keuangan harus dikonversi
menjadi informasi yang berguna dalam pengambilan keputusan ekonomis. Untuk membuktikan bahwa laporan keuangan bermanfaat maka perlu dilakukan
penelitian. Salah satu penelitian yaitu dengan cara menggunakan rasio-rasio keuangan untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan seperti kebangkrutan
dan financial distress. Menurut Platt dan Platt 2002 financial distress yaitu “suatu proses
menurunnya posisi financial perusahaan yang dialami sebelum perusahaan bangkrut ataupun mengalami likuidasi.” Menurut Brahmana 2007 kesulitan
keuanganterjadi karena kurangnya kemampuan entitas dalam mengerjakan dan menjaga stabilitas kinerja keuangan sehingga mengakibatkan suatu entitas berada
dalam kondisi kerugian operasional dan bersih untuk periode bersangkutan.Dalam penelitian Triwahyuningtias 2012 menjelaskan kondisi financial distress dapat
dimulai dari kesulitan likuiditas jangka pendek sebagai indikasi financial distress
yang paling ringan, sampai kepernyataan kebangkrutan yang merupakan financial distress
yang paling berat.
Universitas Sumatera Utara
8
Dengan mengetahui kondisi financial distress perusahaan sejak dini diharapkan dapat dilakukan tindakan-tindakan untuk mengantisipasi kondisi yang
mengarah pada kebangkrutan.Analisa laporan keuangan dapat menjadi salah satu alat yang dapat digunakan untuk memprediksi kebangkrutan.Laporan keuangan
dapat dijadikan dasar untuk mengukur kesehatan suatu perusahaan melalui rasio- rasio keuangan yang ada. Kesehatan perusahaan akan mencerminkan kemampuan
perusahaan dalam menjalankan usahanya, distribusi aktivannya, keefektifan penggunaan aktivanya, hasil usaha atau pendapatan yang telah dicapai, beban-
beban tetap yang harus dibayar, serta potensi kebangkrutan yang akan dialami. Oleh karena itu, rasio keuangan bermanfaat dalam memprediksi kebangkrutan
bisnis untuk periode satu sampai lima tahun sebelum bisnis tersebut benar-benar bangkrut Nasser dan Aryati, 2000.
Platt dan Platt 2002 menyatakan kegunaaninformasijikasuatuperusahaanmengalamifinancialdistressadalah:
1.Dapat mempercepat tindakan manajemen untuk mencegah masalah sebelumterjadi kebangkrutan.
2.Pihak manajemendapat mengambil tindakan merger atau takeover agar perusahaan lebih mampu untuk membayar hutang dan mengelola
perusahaan dengan lebih baik. 3.Memberi tanda peringatan diniawal adanya kebangkrutan pada masa
yang akan datang.
Penelitian yang dilakukan oleh Altman 1968 dalam Luciana 2003 merupakan penelitian awal yang mengkaji pemanfaatan analisis rasio keuangan
sebagai alat dalam memprediksi kebangkrutan perusahaan.Altman menggunakan
Universitas Sumatera Utara
9
teknik statistik analisis diskriminan berganda - multiple discriminant analysis untuk menghasilkan alat yang merupakan fungsi linier dari beberapa variabel
penjelas.Alat prediksi ini menggolongkan atau memprediksi kemungkinan bangkrut atau tidak bangkrutnya perusahaan.
Altman menemukan adanya lima rasio keuangan yang dapat digunakan dalam mendeteksi kebangkrutan perusahaan dua tahun sebelum perusahaan
tersebut bangkrut. Kelima rasio tersebut terdiri dari : cash flow to total debt, net income to total assets, total debt to total assets, working capital to total assets ,
dan current ratio. Masing –masing rasio tersebut mencerminkan tingkat likuiditas, usia perusahaan dan profitabilitas kumulatif, profitabilitas, struktur keuangan, dan
tingkat perputaran modal. Altman menyatakan jika perusahaan memiliki indeks kebangkrutan 2,99 atau lebih maka perusahaan tidak termasuk dalam kategori
yang akan mengalami kebangkrutan. Sedangkan perusahaan yang memiliki indeks kebangkrutan 1,81 atau kurang maka perusahaan termasuk dalam kategori
perusahaan bangkrut. Pada penelitian Almilia dan Kristijadi 2003 telah menjelaskan beberapa
cara yang telah dilakukan penelitian terdahulu untuk menguji apakah suatuperusahaanmengalamifinancialdistress yaitu dapatditentukandengan cara,
seperti : 1.
Lau 1987 dan Hill et al. 1996 menggunakan adanya pemberhentian tenaga kerja atau menghilangkan pembayaran deviden.
Universitas Sumatera Utara
10
2. Asquith, Gertnerdan Scharfstein 1994 menggunakan interest coverage
ratio untuk mendefinisikanfinancial distress.
3. Whitaker1999mengukurfinancialdistressdengancaraadanya arus kas
yang lebih kecil dari utang jangka panjang saat ini. 4.
John, Langdan Netter 1992 mendefinisikan financial distress sebagai perubahan harga ekuitas.
Padasisilain,PlattdanPlatt2002melakukanpenelitian terhadap24perusahaanyangmengalamifinacialdistressdan6
perusahaanyangtidakmengalamifinacialdistress, dengan menggunakan model logit
mereka berusaha untuk menentukan rasio keuangan yang paling dominan untuk memprediksi adanya financialdistress. Temuandaripenelitianadalah:
Variabelnet incomesales memilikihubungan negatifterhadapkemungkinan perusahaanakanmengalami financialdistress.Semakinbesarrasio ini maka semakin
kecil kemungkinan perusahaan mengalami financial distress.Sedangkan variabel current liabilities total assets
memilikihubungan positif terhadap kemungkinan perusahaanakanmengalami financialdistress. Semakinbesarrasio ini maka
semakin besar kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Selain menggunakan rasio keuangan perusahaan, faktor lain yang dapat
digunakan untuk memprediksi terjadinya kondisi financial distress pada perusahaan yaitu dengan menggunakan struktur corporate governance yang ada
didalam perusahaan. Menurut Monks dan Minow 2001 corporate governance merupakan “tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai
partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan.” Hal
Universitas Sumatera Utara
11
ini menjelaskan bahwa kinerja dan nilai perusahaan dapat ditingkatkan melalui penerapan corporate governance yang baik didalam perusahaan.Karena salah
satu faktor yang dapat menyebabkan perusahaan berada dalam kondisi financial distress
yaitu kegagalan strategi corporate governance yang diterapkan dalam perusahaan tersebut.
Beberapa hasil penelitian terdahulu telah menunjukkan hasil yang berbeda-beda mengenai pengaruh rasio keuangan dan struktur corporate
governance dalam memprediksi kondisi financial distress seperti penelitian yang
dilakukan oleh Hapsari 2012 yang meneliti mengenai rasio keuangan dalam memprediksi kondisi financial distress perusahaan manufaktur di BEI
menunjukan hasil bahwa rasio likuiditas current ratio dan rasio profitabilitas profit margin on sales tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial
distress perusahaan sedangkan rasio profitabilitas return on assets dan rasio
leverage current liabilities total asset berpengaruh negatif dan signifikan
terhadap kondisi financial distress perusahaan. Disamping itu, penelitian lainnya yang dilakukan Triwahyuningtyas 2012 yang meneliti tentang pengaruh struktur
kepemilikan, ukuran dewan, komisaris independen, likuiditas dan leverage terhadap terjadinya kondisi financial distress menunjukkan hasil bahwa struktur
kepemilikan, ukuran dewan direksi, likuiditas dan leverage memiliki pengaruh signifikan terhadap kemungkinan financial distress. Sedangkan ukuran dewan
komisaris dan komisaris independen tidak memiliki pengaruh terhadap financial distress.
Universitas Sumatera Utara
12
Penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Merkusiwati 2014 yang meneliti mengenai pengaruh mekanisme corporate governance , likuiditas,
leverage, dan ukuran perusahaan pada financial distress menunjukan hasil bahwa
ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif dan signifikan pada financial distress.
Sedangkan mekanisme corporate governance, likuiditas, dan leverage tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap financial distress.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto 2013 yang meneliti mengenai pengaruh struktur corporate governance dan financial
indicators terhadap kondisi financial distress telah menunjukan hasil yang
berbeda pula. Penelitian ini menunjukan hasil bahwa ukuran dewan direksi, kepemilikan manajerial, kepemilikan intitusional, leverage, dan operating
capacity berpengaruh terhadap financial distress.Sedangkan ukuran dewan
komisaris, komisaris independen, ukuran komite audit, likuiditas, dan profitabilitas tidak berpengaruh terhadap financial distress.
Berdasarkan perbedaan hasil penelitian terdahulu dan masalah yang terjadi yang telah dijelaskan diatas, penulis merasa tertarik meneliti kembali dan
mengambil serta menggabungkan beberapa variabel dari peneliti terdahulu yang paling berpengaruh dalam memprediksi kemungkinan terjadinya financial distress
kemudian mereplikasinya, selanjutnya penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul :
“Pengaruh Rasio Keuangan, Struktur Corporate Governance dan
Ukuran Perusahaan terhadap Financial Distress Studi Empiris pada
Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Periode 2011-2014”.
Universitas Sumatera Utara
13
1.2. Perumusan Masalah