Logam berat pada sedimen laut

Berdasarkan penyebarannya sedimen laut dapat dibagi menjadi dua kelompok Supangat dan Muawanah NA; Sanusi 2006. Kelompok pertama, sedimen yang tersebar sampai batas paparan benua continental shelf margin yang disebut sedimen laut dangkal near shore sediment dan sedimen laut dalam deep sea sediment yang tersebar di bawah paparan benua. Sedimen laut dangkal khususnya di perairan pesisir dan estuari diketahui merupakan ”storage system” berbagai unsur dan senyawa kimia Supangat dan Muawanah; Sanusi 2006. Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida Hutagalung 1984. Hutagalung 1991 menyatakan logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, hal ini sejalan dengan penelitian Harahap 1991 dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak 2006 Tabel 9 yang menyatakan kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di air. Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas manusia. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen. 2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar. 3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan. Tabel 9. Hasil analisis kisaran kadar logam berat ppm dalam air laut dan sedimen di perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember 2005 No Parameter Air Laut Sedimen Juli Nopember Juli Nopember I Pb 0,001-0,005 0,001-0,003 9,42-34,40 10,32-37,50 2 Cd 0,001-0,001 0,001-0,001 0,02-0,03 0,04-0,150 3 Cu 0,001-0,001 0,001-0,004 8,15-34,59 5,08-34,30 4 Zn 0,001 0,001-0,003 33,96-115,40 43,88-172,78 5 Ni 0,001-0,003 0,001-0,003 4,44-8,46 3,80-8,60 Sumber: Rochyatun, Kaisupy dan Rozak 2006 Sanusi 2006 mengemukakan sifat fisik dan kimia material padatan tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air. Selanjutnya dikatakan bahwa deposisi padatan tersuspensi dalam perairan selain mengakibatkan mengendapnya material organik dalam sedimen juga akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut dalam sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen. Penjelasan tersebut, memperlihatkan bahwa kualitas fisik kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Menurut Hutagalung 1984 pengendapan logam berat dalam suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Menurut Hutagalung 1991 besarnya konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi yakni: 1. Sumber dari mineral sedimen baik sumber alami maupun sumber yang berasal dari aktivitas manusia 2. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen 3. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar 4. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan Tabel 10. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen Parameter Kadar alamiah ppm RNO 1 EPA 2 Hg 0,002-0.35 0,2 Cd 0,1-2 1 Pb 10-70 5 Sumber: 1 RNO 1981 dalam Razak 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990 dalam Novotny dan Olem 1994. Tabel 11. Baku mutu logam berat dalam sedimen Parameter Level target Level limit Level tes Level intervensi Level bahaya Hg 0,3 0,5 1,6 10 15 Cd 0,8 2 7,5 12 30 Pb 85 530 530 530 1000 Sumber: IADC International Association of Drilling Contractors CEDA Central Dredging Association 1997 Keterangan : a. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. b. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. c. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. d. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. e. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya, maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen. Logam berat dalam substratsedimen secara alami menggambarkan hubungannya dengan partikel tersuspensi dan sedimen, karena sedimen lebih stabil atau kurang mobile dibandingkan dengan kolom air. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen menurut RNO 1981 dalam Razak 1986 dan EPA 1990 dalam Novotny dan Olem 1994 dapat dilihat pada Tabel 10. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADCCEDA 1997 mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, dapat dilihat pada Tabel 11. 2.6. Beban Pencemaran Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung pada aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut Suharsono 2005. Selain dipengaruhi oleh aktivitas di sekitar sungai, nilai beban pencemar juga sangat tergantung pada keadaan pasang dan surut. Pada kondisi pasang, beban masukan limbah kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air di pantai, sedangkan pada saat surut, beban masukan limbah ke kawasan pantai akan lebih besar, karena aliran sungai yang membawa bahan pencemar dapat masuk ke perairan estuaria atau pantai tanpa terhalang oleh massa air laut Rafni 2004. Perhitungan beban pencemar dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan aliran debit sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran sungai Mezuan 2007.

2.7. Kerang Hijau

Kerang hijau Gambar 5 merupakan organisme yang termasuk golongan biota yang bertubuh lunak mollusca, bercangkang dua bivalvia, insang berlapis lamellibrachiata, berkaki lapak pelecypoda dan hidup di laut Asikin 1982. Taksonomi kerang hijau menurut Asikin 1982 Filum : Mollusca Kelas : Pelecypoda Lamellibranchia, Bivalvia Ordo : Filibrachia Famili : Pernaidae Genus : Perna Spesies : Perna viridis L. Gambar 5. Kerang hijau Perna viridis L. http:greenmussel.ifas.ufl.edugm-pviridis.jpg Kerang hijau Perna viridis L merupakan biota yang hidup pada wilayah litoral pasang surut dan sub litoral yang dangkal. Kerang hijau dapat tumbuh pada perairan teluk, estuari, sekitar mangrove dan muara, dengan kondisi perairan yang memiliki subtrat pasir berlumpur, dengan cahaya dan pegerakan yang cukup, serta kadar garam yang tidak telalu tinggi Setyobudiandi 2000. Perna memiliki empat baris insang yang bermanfaat sebagai organ respirasi dan organ filter feeder. Perna memakan fitplankton, zooplankton dan detritus Korringa 1976; Sivalingam 1977; Yap et al. 1983 dalam Vakily 1989. Sivalingam 1977 dalam Vakily 1989 menyatakan bahwa kerang hijau merupakan selective filter feeder, hal ini ditandai dengan spesies plankton yang mendominasi 99 pada perut kerang hijau, yaitu Coscinodiscus nodilufer. Menurut Bryan 1976 karena sifatnya yang sessile dan cara makan yang filterfeeder, kelas bivalvia telah digunakan sebagai bioindikator dari limbah berat, organochlorin dan minyak hidrokarbon. Perna viridis merupakan salah satu kerang yang terbaik untuk dijadikan biota tes dalam biopollution Phillips 1980. Goldberg et al. 1978 dalam Jose dan Deepthi 2005 menyatakan bahwa bivalva seperti kerang hijau memiliki keunggukan sebagai bioindikator untuk memonitor substansi organik yang terdapat di laut karena memiliki distribusi yang luas, hidup menetap, mudah disampling, memiliki toleransi terhadap salinitas yang luas, resisten terhadap stress dan berbagai bahan kimia yang terakumulasi dengan jumlah besar merupakan konsep ‘mussel watch’. Kerang hijau memiliki distribusi yang luas pada Wilayah Asia Pasifik dan memiliki nilai komersial sebagai seafood yang telah terkenal di belahan dunia Vakily 1989. Jose dan Deepthi 2005 dan Boonyatumanond et al. 2002 menambahkan kerang hijau telah digunakan sebagai biological indocator untuk memonitor kandungan residu pestisida organochlorine pada beberapa Negara Asia seperti Thailand Siriwong et al. 1991; Ruangwises et al. 1994, India Ramesh et al. 1990 dan Hong Kong Phillips 1985. Verlecar et al. 2006a lebih mendalam menyatakan bivalva moluska P.viridis digunakan sebagai bioindikator dan atau bio monitoring karena insangnya yang merupakan organ respirasi dan kelenjar digestif dipergunakan sebagai spesimen eksperimen pengukur respon perubahan oksidatif. Verlecar et al. 2006b juga menyatakan bivalva termasuk kerang hijau memiliki kemampuan ketahanan terhadap perubahan suhu dan kandungan logam beracun yang terkandung dalam perairan, sehingga dapat disimpulkan, bivalva merupakan model yang representatif untuk studi pengaruh dalam mekanisme pertahanan menggunakan antioksidan. Penelitian Phillips 1985 menggunakan P.viridis menghasilkan kesimpulan, kerang hijau merupakan excellent bioindikator untuk studi tembaga Cu dan timah Pb. P.viridis digunakan untuk mengamati kandungan kadmium, merkuri dan seng. Pada jaringan insang P.viridis , terjadi regulasi metabolisme parsial sehingga mengakumulasi seng. Hal yang sama terjadi pada akumulasi logam berat lain Phillips 1985.