melalui proses pasang surut, namun pengaruh air laut ini tidak mengakibatkan tingginya pH sedimen. Hal ini diduga karena bahan organik yang terdapat pada perairan sungai
jauh lebih besar yang berakibat rendahnya nilai pH seperti yang dinyatakan oleh Adeyemo et al. 2008, oleh karena itu maka air laut yang masuk ke dalam sungai
tidak mampu menetralkan suasana asam akibat proses penguraian bahan organik dalam sedimen.
pH sedimen di sekitar bagan tancap mendekali netral. Berbeda dengan
sedimen sungai, sedimen yang berada di lokasi bagan tancap yang lokasinya di laut diduga karena laut yang mempunyai banyak mineral mempunyai kemampuan
menetralkan buffering system yang tinggi. Selain itu pada air laut juga terdapat
mineral yang jumlahnya tinggi, sehingga relatif mampu menyangga terjadinya penurunan pH pada sedimen.
4.2.2.1.Logam Berat di Sedimen
Supangat dan Muawanah NA menyatakan semua senyawa yang masuk ke perairan akan menjadi sedimen. Nordberg et al. 1986; Hutagalung 1991; Novotny
dan Olem 1994, Volesky 1990 dan Asonye et al. 2007 menyatakan bahwa logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-
kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan
tersebut dalam sedimen Sanusi 2006 dan Adeyemo et al. 2008. Berdasarkan
penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kualitas fisik dan kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan.
4.2.2.1.1. Merkuri Hg
Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat Hg pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu level
limit yang ditetapkan oleh IADCCEDA 1997. Oleh karena itu maka konsentrasi Hg yang ada di lokasi penelitian berpotensi untuk membahayakan lingkungan dan
organisme perairan yang hidup pada ekosistem tersebut. Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi merkuri di sedimen lebih tinggi dibandingkan pada air Kali Angke
dan di perairan daerah budidaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Harahap 1991 dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak 2006 yang juga dilakukan di tempat yang relatif
sama. Tingginya Hg pada sedimen diduga karena Hg yang terdapat pada kolom air bereaksi dengan partikel organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan, dan
selanjutnya akan mengendap ke dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Selain itu rendahnya pH perairan juga diduga memicu tingginya merkuri dalam sedimen baik di
Kali Angke maupun di sekitar bagan tancap. Hal ini sesuai pernyataan Sanusi 2006 dan Asonye et al. 2007, Begum et al. 2009 serta Danazumi dan Bichi 2010 bahwa
pH merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg
2+
. Rendahnya pH pada sedimen juga akan memicu peningkatan toksisitas Hg bagi
organisme yang habitatnya di lokasi penelitian.
4.2.2.1.2. Kadmium Cd
Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam kadmium pada sedimen Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu level
limit yang ditetapkan oleh IADCCEDA 1997. Tingginya nilai Cd pada sedimen diduga karena beberapa faktor, yakni konsentrasi kadmium yang tinggi pada kedua
lokasi penelitian, tingginya partikel organik dan anorganik yang terlihat dari keruhnya perairan berwarna kecoklatan, serta rendahnya nilai pH akan memicu kemungkinan
proses adsorpsi logam berat lebih tinggi seperti yang dinyatakan oleh Asonye et al. 2007, Begum et al. 2009 serta Danazumi dan Bichi 2010 bahwa rendahnya nilai
pH dapat meningkatkan adsorpsi logam berat. Pada konsentrasi tersebut, Cd memiliki potensi bahaya bagi biota yang hidup di Kali Angke dan kerang hijau yang dibudidaya
di bagan tancap. Sama seperti merkuri, hasil analisis logam berat Cd juga menunjukan konsentrasi yang lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua
lokasi penelitian.
4.2.2.1.3. Timbal Pb
Hasil analisis logam timah hitam pada sedimen Kali Angke dan sedimen di daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu level limit yang
ditetapkan oleh IADCCEDA 1997. Adapun penyebabnya, diduga faktor yang sama mempengaruhi tingginya Hg dan Cd pada sedimen, yakni tingginya konsentrasi Pb
kedua perairan, banyaknya partikel organik dan anorganik di perairan serta rendahnya nilai pH yang memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi Asonye et
al . 2007; Begum et al. 2009, Danazumi dan Bichi 2010 serta Olubunmi dan Olorunsola
2010. pH perairan membuat timbal mengalami proses hidrolisi menjadi PbOH
+
terlarut Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009; Akan et al. 2010. Sama seperti
merkuri dan kadmium, hasil analisis logam berat timah hitam juga menunjukan hasil lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi.
4.2.3. Kerang Hijau 4.2.3.1. Morfologi
Jumlah contoh kerang hijau yang diambil serta hasil analisis morfologi berupa ukuran cangkang, berat tubuh serta volume daging kerang hijau hasil budidaya di Muara
Angke dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Sample kerang hijau dengan usia lebih dari 6 bulan dapat dikatakan sulit untuk didapatkan karena petani umumnya memanen
kerang hijau pada usia 4-6 bulan. Tabel 16. Ukuran cangkang panjang, lebar dan tebal kerang hijau di bagan tancap
kerang hijau, Muara Angke
Umur N
Ukuran cangkang cm Panjang
Lebar Tebal
1-2 bulan 240
2,03 ± 0,63 1,14 ± 0,22
0,66 ± 0,35 3-4 bulan
240 4,91 ± 1,26
2,01 ± 0,57 1,81 ± 0,57
5-6 bulan 240
8,51 ± 1,16 5,17 ± 1,60
3,46 ± 1,25 Tabel 17. Ukuran berat total, daging dan cangkang dan volume daging kerang hijau di
bagan tancap kerang hijau, Muara Angke
Umur N
Berat tubuh g Volume daging
ml Total
Daging Cangkang
1-2 bulan 240
0,96 ± 0,56 0,36 ± 0,23
0,60 ± 0,35 0,37 ± 0,23
3-4 bulan 240
8,61 ± 1,65 3,38 ± 0,90
5,22 ± 1,16 3,33 ± 0,92
5-6 bulan 240
17,08 ± 0,68 7,49 ± 1,23
9,60 ± 1,41 7,51 ± 1,27
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa panjang, lebar, dan tebal kerang hijau serta berat tubuh dan volume daging yang didapat pada penelitian ini
Tabel 16 dan Tabel 17 pada umumnya lebih rendah dibanding kerang hijau pada kondisi normal, yakni dalam kondisi panjang mm normal, pada umur 1-2 bulan adalah
2,13 ± 1,16; pada usia 3-4 bulan adalah 7,175 ± 0,59; pada usia 5-6 bulan adalah 8,79 ± 0,52 Seed 1976, Sivalingam 1977, Cheong dan Chen 1980, Beales dan Lindley 1982,
Valiky 1989, Mohamed et al. 2003. Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Riani 2009 yang mengatakan bahwa pertumbuhan kerang hijau dalam beberapa tahun
terakhir relatif sangat lambat, sehingga usia panen sebelum tahun 1990 adalah tiga bulan, namun saat ini diperlukan waktu tujuh bulan dari sejak dipasang tali nilon hingga
panen. Hal ini diduga terjadi karena ada pengaruh dari logam berat dalam lingkungan hidupnya Tabel 14 dan Tabel 15 yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan kerang
hijau. Rosell 1985 menyatakan akibat kontaminasi merkuri sebesar 100 ppb, Perna viridis
akan mengalami perlambatan kinerja fungsi tubuh. Beales dan Lindley 1982 menambahkan laju pertumbuhan P. viridis di tempat yang tidak tercemar 9 mmbulan,
sedangkan yang hidup di lokasi tercemar adalah 5,2 mmbulan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Garcia 2001 saat melakukan penelitian
pengaruh konsentrasi logam berat Cu dan Pb di lingkungan tempat hidupnya terhadap kerang hijau Perna viridis, yang memperlihatkan bahwa logam berat Cu dan Pb dapat
menghambat aktifitas enzim glycogen synthetase dan glycogen phosphorylase yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi daging
kerang. Adanya
hambatan terhadap
kedua jenis
enzim tersebut
mengakibatkan menurunnya
pertumbuhan kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling 1992 yang
menyatakan bahwa kerang hijau yang tubuhnya terkontaminasi oleh logam berat akan menyebabkan terganggunya sel-sel tubuh kerang hijau tersebut, karena sel-sel tersebut
pada umumnya mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyebab
terjadinya degenerasi sel tersebut disebabkan oleh terjadinya bioakumulasi logam berat pada vacuola dari organel lisosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore 1989 dan
Viarengo 1989 dalam Gosling 1992 yang mengatakan bahwa pencemaran logam Cu dan Cd mengakibatkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel yang
pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel. Selanjutnya dikatakan
bahwa logam Cu dan Cd tersebut juga akan mengganggu proses oksidasi, kerja enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Oleh karena itu maka proses fisiologis di
dalam sel menjadi terganggu, dan pada akhirnya akan mempercepat terjadinya degenerasi sel dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan kerang hijau.
4.2.3.2. Logam Berat di Kerang Hijau
Hasil analisis akumulasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal dapat dilihat pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18 dan 19 tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi
bioakumulasi logam berat yang berasal dari lingkungannya. Terjadinya bioakumulasi logam berat dalam tubuh kerang hijau ini sangat dimungkinkan mengingat logam berat
dapat dengan mudah dan cepat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup Baldwin et al. 1999. Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat tersebut masuk ke dalam sel tubuh
mahluk hidup melalui lapisan lipida dari dinding sel melalui proses endositosis, melalui sistem pemompaan dan sistem kelat organik. Oleh karenanya maka konsentrasi logam
berat yang terdapat pada kerang hijau baik yang berumur 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6 bulan tinggi Tabel 18 dan 19.
Tabel 18 menunjukan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau, selain hepatopankreas, insang dan tissue daging, juga termasuk di dalamnya gonad, kelenjar
dan saluran pencernaan, otot dan organ lainnya. Logam berat yang telah terakumulasi pada organ hepatopankreas, insang dan tissue daging Tabel 19 termasuk logam berat
yang tidak bisa dilepaskan kembali, karena telah berikatan dengan gugus sulfidril Manahan 1995, Vouk 1986, Mance 1990, Paasivirta 2000. Pada organ lain terdapat
kemampuan untuk mereduksi logam berat. Logam berat yang masuk ke saluran
pencernaan akan dibuang bersamaan dengan feses. Pada darah logam berat akan di fagositasi oleh sel darah putih.
Sebenarnya dalam hepatopankreas juga terdapat cytochrome
P450 yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan logam berat dari tubuh, tetapi karena jumlahnya terbatas, logam berat yang telah masuk dalam tubuh
akan disimpan dahulu, dengan cara di fagositasi oleh sel pada hepatopankreas, dan nantinya akan dibuang De-Faverney et al. 2001, Garza et al. 2006. Disisi lain, karena
afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan gugus sulfidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible Bryan
1976. Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik
yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada di luar ambang batas yang ditentukan. Logam berat mengalami peningkatan hingga bulan ke 5-6, namun demikian
konsentrasi logam berat yang relatif tinggi di Perairan Muara Angke tersebut tidak mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa