Dampak Sosial Dampak Konversi
67
berdam pingan dengan pribumi.Istilah ini digunakan untuk membedakan dengan Chinezen, atau Tionghoa non-Muslim.Dunia baru yang bernama Muslim
Peranakan muncul di Batavia.VOC merespons kecenderungan ini dengan mengeluarkan kebijakan passenstelsel.
129
Passenstelsel berkembang menjadi politik segregasi.Tionghoa ditempatkan sebagai kelompok eksklusif.Penduduk lokal yang telah berbaur dengan orang
Tionghoa atau orang Tionghoa yang telah berbaur dengan orang lokal dipisahkan.Tionghoa harus membayar pajak jauh lebih mahal dari pribumi karena
statusnya sebagai orang asing, sedangkan Tionghoa yang telah memeluk Islam diidentifikasi
Belanda sebagai
pribumi.The Encyclopedia
of Chinese
Overseas mencatat konversi ke Islam terus terjadi sampai pengujung abad ke-18. Di Batavia, Madura, dan kota-kota lain di Jawa, etnis Tionghoa potong taucang
kuncir, menanggalkan
celana komprang,
dan mengenakan
pakaian pribumi.Akibatnya, pendapatan pajak kepala ke kas pemerintah kolonial
menurun.Belanda bertindak cepat dengan mengeluarkan regulasi baru yang melarang keras konversi dan pembauran dengan penduduk pribumi.
130
Belanda menuduh konversi dilakukan etnis Tionghoa untuk menghindari pajak yang tinggi dan mendapatkan akses berdagang lebih luas. Sebagai
Chinezen, orang Tionghoa hanya bisa berdagang di lingkungannya.Etnis Tionghoa yang terlanjur memeluk Islam dan berbaur dikeluarkan dari
permukiman pribumi
dan dikembalikan
ke permukiman
129
surat jalan bagi penduduk Tionghoa yang hendak ke luar kota untuk mengontrol aktivitas Tionghoa dan menghentikan pembauran dengan penduduk lokal.
130
Amen Budiman, Masyarakat Islam Tionghoa di Indonesia.Semarang:Tanjung Sari, 1979.Hal 32.
68
Tionghoa. Wijk permukiman Tionghoa dipecah menjadi dua yaitu Muslim dan non-Muslim dengan masing-masing dipimpin seorang kapten.Politiek Verslag
Madoera 1865 mencatat 80 persen dari 5.302 penduduk Tionghoa di Madura memeluk Islam.Mereka tersebar di Sumenep, Sampang, dan Pamekasan.Residen
Madura saat itu terpaksa mengangkat dua kapten untuk Muslim dan non- Muslim.
131
Di Batavia,
Belanda mengangkat Kommandant
der Parnakkans
Chineezen atau komandan kapten Tionghoa Peranakan. Kapten pertama adalah Dossol.Lalu, diteruskan oleh anaknya Tamien Dossol dan kapten ketiga adalah
Aleimuddin.Ada pula yang mengatakan kapten ketiga Muslim Tionghoa di Batavia adalah Mohamad Japar.Beberapa tahun sebelum Perang Jawa, populasi
Muslim Tionghoa di Batavia dan kota-kota lain di Jawa mengalami titik paling rendah. Saat Perang Jawa, tepatnya tahun 1827, Belanda melakukan reorganisasi
permukiman etnis Tionghoa dengan menghapus posisi kapten Muslim Tionghoa.
132
Situasi menjadi lebih sulit bagi etnis Tionghoa, ketika Pangeran Diponegoro melakukan kebijakan nonkompromi kepada seluruh etnis
Tionghoa.Raden Ayu Yudakusuma, salah satu panglima Pangeran Diponegoro, secara terus-menerus menyerang etnis Tionghoa; tidak peduli Muslim atau
bukan.Serangan terhadap Tionghoa harus dilihat sebagai strategi perang. Pangeran Diponegoro melihat Tionghoa sebagai sumber dana dan logistik bagi
Belanda dan harus dihancurkan. Strategi yang berjalan nyaris sempurna.Namun,
131
Skinner, G. William. Golongan Minoritas Tionghoa, hal. 110.
132
Johan Fabricius,Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19. Terj, Mansup Jakarta 2008.Hal 105.
69
Pangeran Diponegoro tidak benar-benar menjalankan kebijakan nonkompromi terhadap Tionghoa.Banyak prajuritnya yang terlibat sejak awal perang berasal
dari etnis Tionghoa, memeluk Islam, dan telah menjadi Jawa.Peter Carey menolak bukti ini, tapi Ong Tae Hae seorang petualang Cina abad ke-19 dalam laporannya
menemukan banyaknya etnis Tionghoa yang menanggalkan identitas mereka, mengenakan pakaian Jawa, memeluk Islam, dan belajar Alquran.Carey justru
melihat Perang Jawa menyebabkan Tionghoa yang telah menjadi Muslim kembali ke kepercayaan leluhur.
133
Sampai abad ke-20, posisi Muslim Tionghoa terus memudar.Mereka terserap kembali ke dalam masyarakat induk dan menjadi Tionghoa seutuhnya.
Kalaupun ada Tionghoa yang dengan sadar memeluk Islam, menurut The Siauw Giap dalam Islam and Chinese assimilation in Indonesia and Malaysia, mereka
tidak lagi disebut peranakan, tapi mualaf.Pribumi tidak sepenuhnya bisa menerima mereka, bahkan, mualaf menjadi abusive word karena pribumi tetap
mencurigai mereka.
134