Daya Cerna Protein Produk Kedelai

9 mengandung 78.5 glisinin dan 21.5 faseolin sedangkan albumin mengandung 78.5 legumelin. Glisin dan legumelin ini sebagian besar terdiri dari gugus asam-asam amino esensial Circle 1950. Protein kedelai yang sebagian besar mengandung globulin tersebut mempunyai titik isoelektrik 4.1- 4.6. Globulin akan mengendap pada pH 4.1 sedangkan protein lainnya seperti proteosa, prolamin, dan albumin bersifat larut dalam air sehingga diperkirakan penurunan kadar protein dalam perebusan disebabkan terlepasnya ikatan struktur protein non-globulin karena panas yang menyebabkan terlarutnya komponen protein tersebut dalam air. Menurut Koswara 1992, globulin akan segera larut dengan penambahan garam seperti natrium klorida atau kalsium klorida. Globulin larut dalam larutan garam encer pada pH di atas atau di bawah titik isoelektriknya. Kelarutan minimum protein kedelai terjadi pada pH 3.8-5.2. sedangkan kelarutan maksimum pada sisi asam terjadi pada pH 1.5-2.5 dan pada sisi basa terjadi pada pH 6.3. Dibanding dengan kacang-kacangan lain, protein kedelai mempunyai nilai gizi yang paling tinggi. Kedelai mempunyai skor protein sebesar 73, dengan kekurangan dalam asam amino yang mengandung zat belerang Poerwosoedarmo dan Sediaoetomo 1977. Protein kedelai juga mempunyai sifat kimia dan fisika yang baik, seperti daya mengikat air, daya emulsi, pembentuk gel, pembentuk adonan, dan pengental Somaatmadja 1964.

2. Daya Cerna Protein Produk Kedelai

Protein yang terkandung dalam bahan pangan akan mengalami pencernaan setelah dikonsumsi menjadi unit-unit penyusunnya seperti asam-asam amino dan atau peptida Damodaran 1996. Proses pencernaan protein tersebut membutuhkan bantuan enzim protease, seperti tripsin, kimotripsin, pepsin, dan sebagainya. Asam-asam amino inilah yang selanjutnya akan diserap oleh usus, dan kemudian dialirkan ke seluruh tubuh untuk digunakan dalam pembentukan jaringan-jaringan baru dan mengganti jaringan tubuh yang rusak Winarno 1997. Daya cerna protein adalah kemampuan suatu protein untuk dicerna oleh enzim pencernaan protease Pellet dan Young 1980. Menurut Muchtadi 1989 daya cerna protein adalah kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan, di mana daya cerna protein tinggi berarti protein dapat dihidrolisis dengan baik menjadi asam-asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh tinggi, sedangkan daya cerna protein rendah berarti protein sulit untuk dihidrolisis menjadi asam amino sehingga jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses. Pada sistem pencernaan, protein makanan dicerna oleh enzim proteolitik. Pertama, oleh enzim pepsin yang terdapat di dalam lambung. Di dalam lambung enzim pepsin akan memecah protein menjadi peptida atau asam amino dengan bantuan asam lambung HCl. HCl memiliki pH sekitar 1.5 yang menyebabkan rantai protein terbuka terdenaturasi untuk memudahkan enzim pencernaan menyerang dan memutus ikatan peptida. Asam lambung inilah yang juga mengaktivasi enzim pepsin. Tidak seperti enzim pada umumnya, enzim pencernaan di lambung justru memiliki aktivitas optimum pada suasana asam. Selama perjalanan menuju usus halus, 70 protein terpecah menjadi tripeptida, dipeptida, maupun asam amino sederhana oleh enzim-enzim pencernaan protein yang disekresikan oleh pankreas pancreatic protease antara lain tripsin, kimotripsin, dan karboksipeptidase Grosvenor dan Smolin 2002. Tripsin dan kimotripsin merupakan endopeptidase yang akan memecah protein polipeptida menjadi polipeptida kecil. Tripsin dan kimotripsin disekresikan pankreas dalam bentuk prekursor in- aktif. Bentuk in-aktif tripsin disebut tripsinogen sedangkan bentuk in-aktif kimotripsin disebut kimotripsinogen. Keduanya akan diaktifkan apabila kontak dengan mukosa usus. Aktivasi tripsinogen dilaksanakan oleh enterokinase yang diproduksi kelenjar usus. Kemudian tripsin yang aktif tersebut 10 secara otokatalitik akan mengaktifkan tripsinogen dan kimotripsinogen lainnya. Hidrolisa tripsin sangat spesifik yaitu hanya memecahkan ikatan peptida lisin dan arginin Winarno 1980, sedangkan kimotripsin punya daya hidrolisa yang spesifik yaitu memecahkan ikatan peptida antara asam amino aromatis seperti tirosin, fenilalanin, dan triptofan Winarno 1980. Karboksipeptidase adalah enzim yang bertindak sebagai eksopeptidase. Ada dua macam karboksipeptidase, yaitu karboksipeptidase A yang akan menghidrolisis protein menjadi peptida kecil dan asam amino aromatik, dan karboksipeptidase B yang menghidrolisis protein menjadi peptida kecil dan asam amino basa Muchtadi et al. 2006. Di usus halus, larutan basa yang dihasilkan pankreas pH 8.00 akan menetralkan asam dari lambung agar enzim pencernaan berikutnya bisa bekerja dengan optimal sampai hampir semua protein menjadi asam amino Sizer dan Whitney 2000. Beberapa enzim protease yang disekresikan oleh mukosa usus misalnya aminopeptidase dan dipeptidase. Aminopeptidase akan menghidrolisis polipeptida dari ujung rantai asam amino bebas menjadi peptida kecil dan asam amino bebas, sedangkan dipeptidase akan menghidrolisis dipeptida menjadi asam amino Muchtadi et al. 2006. Asam-asam amino dan sejumlah kecil peptida sebagai hasil pemecahan protein, selanjutnya diabsorbsi melalui sel- sel mukosa usus brush border. Mekanisme absorbsi berlangsung secara spesifik untuk setiap asam amino netral, asam atau basa, serta peptida. Sebagian besar peptida yang diserap, dihidrolisis oleh sel-sel usus Muchtadi 1993. Menurut Muchtadi 1989, daya cerna protein adalah salah satu faktor yang menentukan nilai gizi protein karena menentukan ketersediaan asam amino secara biologis. Daya cerna yang rendah berarti protein yang masuk ke tubuh tidak dapat dicerna dengan sempurna sehingga asam-asam amino yang terkandung tidak dapat diserap dan digunakan oleh tubuh. Hal ini dapat menurunkan mutu protein suatu makanan serta menimbulkan malnutrisi protein bagi konsumennya. Penentuan daya cerna protein dapat dilakukan secara in vivo maupun in vitro. Metode in vivo seringkali dianggap mahal dan terlalu lama. Daya cerna protein yang ditetapkan secara in vivo dinyatakan sebagai perbandingan antara jumlah N yang diserap dengan jumlah N yang dikonsumsi, tanpa memperhatikan N yang terdapat dalam urin. Perhitungan daya cerna hanya memperhatikan nitrogen yang terdapat di dalam feses dan dianggap mencerminkan jumlah protein yang dapat dicerna oleh tubuh. Skema penggunaan nitrogen dari protein makanan belum termasuk penggunaan senyawa nitrogen yang tertahan oleh tubuh Hackler 1977 dapat dilihat pada Gambar 3. proses pencernaan Proses anabolik katabolik Gambar 3. Penggunaan nitrogen dari protein makanan Hackler 1977. Metode in vitro lebih praktis dan dengan cara menggunakan enzim-enzim pencernaan dan membuat kondisi yang mirip dengan yang sesungguhnya terjadi dalam pencernaan tubuh manusia. N dalam urea N yang diserap N yang terdapat dalam urin N yang tertahan oleh tubuh N yang dikonsumsi 11 Beberapa macam enzim protease yang telah digunakan antara lain pepsin, pankreatin, tripsin, kimotripsin, peptidase, atau campuran dari beberapa macam enzim tersebut multi-enzim. Daya cerna protein secara in vitro dapat diamati dari terbentuknya asam amino pada proses hidrolisis protein oleh enzim-enzim protease pencernaan tersebut. Semakin tinggi daya cerna suatu protein ditunjukan oleh semakin banyaknya asam amino yang dihasilkan dalam waktu tertentu. Jumlah asam amino yang terbentuk dapat diamati secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada hidrolisis ikatan peptida oleh enzim protease akan dibebaskan ion-ion hidrogen sehingga menyebabkan penurunan pH. Oleh karena itu penentuan daya cerna protein secara in vitro salah satunya dapat dilakukan dengan analisa penurunan pH protein yang terjadi setelah reaksi hidrolisis. Salah satu metode pengukuran daya cerna protein berdasarkan perubahan pH tersebut adalah metode Hsu et al. yang digunakan pada penelitian ini. Daya cerna protein dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksogenus dan endogenus Guo et al. 2007. Faktor eksogenus misalnya interaksi protein dengan polifenol, fitat, karbohidrat, lemak, dan protease inhibitor Duodu et al. 2003; Ikeda et al. 1986. Sedangkan faktor endogenus terkait dengan karakterisasi struktur protein seperti struktur tersier, kuartener, serta struktur yang dapat rusak oleh panas dan perlakuan reduksi Deshpande dan Damodaran 1989; Ikeda et al. 1991; Vaintraub et al. 1979. Menurut Fennema 1996, daya cerna protein dipengaruhi oleh konformasi protein, ikatan antar protein dengan metal, lipid, asam nukleat, selulosa atau polisakarida lainnya, faktor anti nutrisi, ukuran dan luas permukaan partikel protein dan pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali. Konformasi protein dapat berhubungan dengan proses pengolahan produk. Pemanasan merupakan suatu proses termal yang dapat mengubah konformasi protein Fennema 1996. Proses pemanasan, seperti perebusan kedelai atau pengeringan dapat meningkatkan daya cerna protein karena dapat mendenaturasi protein senyawa anti-nutrisi anti-protease. Proses perubahan sifat fisikokimia protein dengan adanya pemanasan dapat dibedakan menjadi 4 tahap yaitu: pra-denaturasi, denaturasi, agregasi, dan degradasi Muchtadi 1993. Menurut Muchtadi 1993, mekanisme denaturasi protein adalah pada suhu tinggi butiran protein terurai dari bentuk globular menjadi bentuk memanjang. Hal ini disebabkan oleh terputusnya ikatan ionik, disulfida, hidrogen dan vander wals. Beberapa molekul akan terpisah dengan sub-sub unitnya yang bersifat tidak larut. Selanjutnya terjadi penggabungan molekul-molekul tersebut dan membentuk agregat. Menurut Lehninger 1982, denaturasi protein menyebabkan hilangnya aktifitas biologi juga dapat disebabkan oleh pH ekstrim maupun oleh beberapa pelarut organik. Jika suatu protein terdenaturasi maka susunan rantai polipeptida terganggu dan molekul ini terbuka menjadi struktur acak, tanpa adanya kerusakan pada struktur kerangka kovalen. Namun yang perlu diperhatikan juga, pemanasan yang berlebihan justru dapat menyebabkan reaksi Maillard yang dapat merusak dan mengurangi ketersediaan asam amino, sehingga dapat menurunkan daya cerna protein Lembono 1989. Protein merupakan senyawa yang reaktif, dimana sisi aktif beberapa asam amino dalam protein dapat bereaksi dengan komponen lain misalnya gula pereduksi, polifenol, lemak dan produk oksidasinya, serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang dioksida atau hidrogen peroksida Muchtadi 1993. Asam amino yang terikat pada senyawa lain dapat menurunkan daya cerna proteinnya karena senyawa gabungan tersebut bisa saja lebih susah dicerna enzim-enzim pencernaan. Hubungan antara luas dan ukuran protein terhadap daya cerna adalah semakin kecil ukuran protein maka luas permukaannya semakin besar sehingga daya cernanya dapat meningkat karena enzim protease akan lebih mudah untuk menghidrolisis protein Fennema 1996. Perlakuan pengeringan pada sampel dapat memperluas luas permukaan protein. Hal ini terjadi karena proses pengeringan akan mengeluarkan air dari protein serta membuat protein memiliki luas permukaan yang lebih luas dari 12 sebelumnya dikarenakan partikel protein yang menjadi lebih kecil ketika dikenakan proses pengeringan. Akibatnya, daya cerna protein akan tinggi. Perlakuan dengan alkali dapat menyebabkan terjadinya rasemisasi asam amino bentuk L menjadi bentuk D dan juga reaksi antar asam amino, misalnya terbentuknya lisinolalanin dari lisin dan alanin. Asam-asam amino D tidak dapat diserang oleh enzim. Pembentukkan ikatan peptida L-D, D-L, atau D-D akan tahan terhadap serangan enzim proteolitik Muchtadi 1993. Kesemuanya ini dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat menurunnya daya cerna protein dan menurunnya ketersediaan availabilitas asam-asam amino esensial Friedman et al. 1981. Pengolahan pangan menggunakan alkali mempunyai tujuan khusus, misalnya di dalam pembuatan isolat protein kedelai digunakan alkali untuk mengekstrak protein. Alkali juga digunakan untuk memperbaiki sifat fungsional protein. Susu dimasak didalam larutan alkali untuk meningkatkan daya larutnya. Adanya faktor anti-nutrisi dapat mempengaruhi daya cerna protein Muchtadi 1989; Nielsen 1991. Beberapa faktor antinutrisi yang dapat menurunkan daya cerna protein pada kedelai adalah : a. Protease inhibitor Protease inhibitor adalah senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim proteolitik, enzim yang diperlukan untuk mencerna protein dalam lambung. Protease inhibitor misalnya adalah anti- tripsin, anti-kimotripsin, dan lain-lain. Telah diketahui bahwa paling sedikit ada lima atau enam macam inhibitor protease pada kedelai, tetapi yang paling banyak dipelajari adalah inhibitor Kunitz, inhibitor yang pertama kali diisolasi dan dikarakterisasi oleh Kunitz. Inhibitor Kunitz mudah terdenaturasi oleh panas, asam, atau alkali Kunitz 1947; Brandon et al. 1988. Pada pH rendah, inhibitor ini dapat dihirolisa secara lambat oleh ezim pepsin. Disamping itu terdapat pula inhibitor Bowman Birk yang tidak terpengaruh oleh perlakuan pemanasan, asam, alkali, atau enzim pepsin dan papain Birk 1985. Mekanisme penghambatan protease inhibitor adalah terbentuknya ikatan kompleks antara enzim dan inhibitor tersebut sehingga enzim tidak dapat menghidrolisis substrat protein Nielsen 1991. Salah satu protease inhibitor yaitu anti-tripsin dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat dan hipertrofi pankreas pada hewan percobaan. Aktivitas anti-tripsin pada kedelai dapat dihilangkan dengan cara perendaman yang diikuti dengan pemanasan basah, yaitu perebusan ataupun pengukusan Yoshida et al. 1988; Soetrisno 1982; Phillips et al. 1983; El-Hady dan Habiba 2003, dengan germinasi Sembiring et al. 1984 dan fermentasi Osman 2004. Menurut Liener 1958, anti-tripsin dapat dihilangkan dengan pemanasan, dan kecepatan penghancuran oleh panas tersebut merupakan fungsi dari suhu, lama pemanasan, ukuran partikel bahan, dan kadar air bahan. Percobaan Liener 1976 terhadap tujuh jenis kacang-kacangan yang mengandung tripsin inhibitor juga telah membuktikan bahwa kacang yang telah dipanaskan mempunyai daya cerna protein yang lebih tinggi daripada kacang mentah. b. Hemaglutinin Kedelai mentah yang diberikan pada tikus percobaan akan mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan. Terhambatnya pertumbuhan tikus tersebut 40 disebabkan karena anti-tripsin, sedangkan sisanya disebabkan rendahnya daya cerna protein kedelai yang belum terdenaturasi dan oleh adanya faktor-faktor anti gizi lain, salah satunya adalah hemaglutinin Muchtadi 1989. Percobaan Jaffe dan Camejo 1962 juga telah menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar hemaglutinin kacang kedelai hitam pada diet tikus, maka semakin rendah daya cerna proteinnya secara in vivo. Aktivitas hemaglutinin dapat dihilangkan dengan cara perendaman bahan dalam air diikuti dengan perlakuan panas perebusan atau pengukusan dan dengan germinasi Nielsen dan Liener 1988. c. Tanin Selain dapat menurunkan ketersediaan dan penyerapan mineral, tanin juga dapat menurunkan daya cerna protein. Tanin akan berikatan dengan protein untuk menghambat pencernaan protein 13 Nielsen 1991; Alipour dan Rouzbehan 2010. Kompleks tanin-protein dapat menurunkan daya cerna pada kedelai hitam baik secara in vitro maupun in vivo Aw dan Swanson 1985. Adanya tanin juga dapat menurunkan daya cerna protein secara in vivo pada pakan dari kedelai Alipour dan Rouzbehan 2010. Percobaan Rehman dan Shah 2005 dengan menggunakan black grams, chick peas, lentils, red dan white kidney beans menunjukkan bahwa pengurangan kadar tanin dapat meningkatkan daya cerna protein kacang-kacangan tersebut. Kadar tanin dapat dikurangi dengan cara fermentasi Osman 2004, perendaman El-Hady dan Habiba 2003, dan germinasi Ghavidel dan Prakash 2007. d. Asam fitat Asam fitat termasuk senyawa anti-gizi karena dapat mengkelat elemen mineral terutama seng, kalsium, magnesium, dan besi sehingga akan mengurangi ketersediaan mineral-mineral tersebut secara biologis. Namun selain mengkelat logam, ternyata asam fitat juga dapat bereaksi dengan protein membentuk senyawa kompleks sehingga kecepatan hirolisis protein oleh enzim-enzim proteolitik dalam sistem pencernaan menjadi terhambat karena adanya perubahan konfigurasi protein Nielsen 1991. Fitat dapat membentuk kompleks dengan protein melalui interaksi ionik de Rham dan Jost 1979. Interaksi yang dapat terjadi pada suasana asam dan basa ini mengakibatkan penurunan kelarutan protein. Protein dalam kompleks fitat-protein ini lebih sulit dihidrolisis enzim proteolitik Cheryan 1980; Serraino et al. 1985. Pengurangan kadar fitat pada kacang-kacangan dapat meningkatkan daya cerna proteinnya El-Hag et al. 2002; Rehman dan Shah 2005; Ghavidel dan Prakash 2007 Kandungan fitat dalam biji kedelai terdistribusi merata dalam semua bagian biji, dan Sudarmaji dan Markakis 1977 menemukan kadar fitat dalam kacang kedelai mentah sebesar 1.4. Menurut Erdman 1979, kedelai atau kedelai tanpa lemak dan kulit mengandung asam fitat sekitar 1.4 hingga 1.6 berat kering, sedangkan Okubo et al. 1975 menemukan kadar fitat sebesar 2 pada bungkil kedelai tanpa lemak. Asam fitat dapat dihidrolisis oleh enzim fitase menjadi inositol dan asam fosfat. Enzim fitase dalam kedelai dapat diaktifkan dengan perendaman dalam air hangat, perkecambahan, dan fermentasi Muchtadi 1989; El-Hag et al. 2002; Osman 2004; Ghavidel dan Prakash 2007. Kandungan fitat pada kedelai dan kacang-kacangan lainnya dapat juga dikurangi dengan perebusan, penyangraian, dan hidrolisis dengan asam Clysdesdale 1983; Shimelis dan Rakhsit 2007. 14 III. METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan