Daya Cerna Protein in Vitro

29 karakteristik produk pangan. Kadar karbohidrat pada sampel berbeda-beda karena selain tergantung dari jenis kedelai yang digunakan juga dapat tergantung dari bahan pengisi sampel yang digunakan, seperti maltodekstrin, sukrosa, FOS, dan lain-lain. Tabel 12. Perbandingan hasil analisis kadar lemak dengan nutrition fact Sampel Kadar Lemak batch I bb Kadar lemak yang seharusnya tercantum dalam nutrition fact a Nutrition fact pada kemasan Hasil Olah Data Nutrition fact dalam kesesuaian Takaran saji g Kadar lemak g A 25.94 26 100 28.1 28.10 92.53 B 26.59 27 100 28 28 96.43 C 22.30 22 100 28 28 78.57 D 25.43 25 100 28 28 89.28 E 24.26 24 30 8 26.67 89.99 F 21.06 21 42 9 21.43 97.99 G 18.74 19 38.5 8 20.78 91.43 H 8.75 9 35 3 8.6 104.65 I 0.48 35 0 0 100 J 15.51 16 20 11 55 29.09 K 3.14 3 50 1 2 150 L 2.41 2.50 25 1 4 - M 22.83 23 30 8 26.67 86.24 N 4.18 4 20 1 5 80 O 17.43 17 20 3.62 18.10 93.92 P 22.59 23 20

4.5 22.50 102.22

Q 3.09 3 6 0.2 3.33 90.09 R 19.75 20 48 10 20.83 96.02 S b 20.36 20 - - - - T b 13.26 13 - - - - a Berdasarkan aturan pelabelan BPOM RI 2005 b Sampel tidak mencantumkan nutrition fact pada label

2. Daya Cerna Protein in Vitro

Nilai gizi protein suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar protein yang dikandungnya, tetapi juga oleh ketersediaan atau dapat tidaknya protein tersebut digunakan oleh tubuh. Dengan demikian, penilaian suatu bahan pangan tidak dapat dilakukan hanya dengan cara melihat komposisi gizinya. Hal ini dikarenakan daftar komposisi gizi suatu bahan pangan tidak memberi gambaran apakah protein tersebut dapat digunakan oleh tubuh atau tidak. Diperlukan suatu uji untuk mengetahui protein yang terdapat pada bahan pangan tersebut benar-benar dimanfaatkan oleh tubuh atau tidak. Oleh karena itulah evaluasi daya cerna protein menjadi penting untuk dilakukan sehingga dapat diketahui berapa banyak protein yang dapat dicerna oleh tubuh. Kemampuan suatu protein untuk dihidrolisa menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan protease dikenal dengan istilah daya cerna protein atau nilai kecernaan protein. Jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh dalam jumlah tinggi ditunjukkan 30 oleh suatu protein yang mudah dicerna. Sebaliknya suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam-asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah, karena sebagian besar akan dibuang oleh tubuh bersama feses Muchtadi 1993. Pengukuran daya cerna protein penelitian ini menggunakan kadar protein basis kering atau bebas air karena kadar air dapat mempengaruhi kadar protein. Misalnya saja pada saat penyimpanan seringkali dilaporkan adanya kenaikan kadar protein padahal kenaikan tersebut disebabkan karena penurunan kadar air. Pada metode ini mula-mula sampel protein dilarutkan dalam air destilata, lalu pH-nya diatur menjadi pH 8.00 dengan menambahkan larutan NaOH encer atau HCl encer. Hidrolisis dilakukan dalam penangas air 37 C selama 10 menit. Pengaturan pH menjadi pH 8.00 dan suhu inkubasi 37 C ini untuk membuat kondisi yang mirip dengan kondisi pencernaan protein di dalam tubuh. Enzim yang digunakan adalah campuran enzim tripsin, kimotripsin, dan peptidase. Waktu ke nol adalah pada saat enzim ditambahkan ke dalam larutan sampel dan pH kembali diukur tepat pada menit ke-10. Pemberian waktu inkubasi selama 10 menit untuk memberikan kesempatan enzim bekerja memecah protein. Jika terjadi penurunan pH larutan maka dapat dikatakan telah terjadi pencernaan hidrolisis protein oleh enzim-enzim protease. Hidrolisis protein oleh enzim protease akan menghasilkan asam-asam amino, peptida-peptida, dan juga mengakibatkan lepasnya ion-ion hidrogen yang bermuatan positif sehingga dapat menyebabkan penurunan pH. Oleh karena itu, semakin besar penurunan pH maka daya cerna protein semakin tinggi. Hal ini terjadi karena semakin banyaknya ion H + yang dilepaskan akibat dari banyaknya ikatan peptida yang terhidrolisis. Hasil analisis daya cerna protein dua puluh minuman bubuk komersial berbasis kedelai batch I dan II dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil batch I dan II tersebut telah diuji menggunakan uji independent T-test Lampiran 4 dan menunjukkan bahwa daya cerna protein antara sampel batch I dan II tidak berbeda nyata pada taraf α = 0.05 untuk semua sampel, sehingga hasil batch I dan II dapat digabungkan dan dicari rataannya sebagai hasil daya cerna protein rata-rata Tabel 13. Daya cerna protein yang dipakai selanjutnya adalah daya cerna protein rata-rata dari dua batch tersebut. Penelitian ini juga mengukur kelarutan dua puluh sampel minuman bubuk berbasis kedelai. Kelarutan dua puluh sampel batch I dan II telah diuji menggunakan T-test dan didapat bahwa kelarutan batch I dan II tidak berbeda nyata pada taraf α = 0.05 Lampiran 5, sehingga hasil kelarutan batch I dan II dapat digabungkan dan dicari rataannya sebagai kelarutan rata-rata Tabel 14. Nilai kelarutan yang dipakai selanjutnya adalah kelarutan rata-rata dari dua batch tersebut Besarnya nilai kelarutan dipengaruhi oleh bahan pengisi atau bahan tambahan pada produk. Menurut Baldwin 1973 kelarutan produk dapat ditingkatkan dengan cara penambahan komponen lain pada produk seperti garam atau gula, dan suhu air pelarut yang lebih tinggi. Sampel yang mengandung gula akan lebih tinggi kelarutannya karena molekul gula mempunyai gugus OH yang bisa berikatan dengan H dari air. Demikian pula dengan penambahan dekstrin. Dekstrin memiliki kelarutan dalam air yang lebih besar dibanding sifat pati asalnya Whistler 1970, sehingga kecenderungan peningkatan kelarutan produk dapat disebabkan oleh sifat dekstrin tersebut. Semakin tinggi konsentrasi dekstrin, nilai kelarutan produk pun akan semakin tinggi Whistler 1970. Padahal sudah dibahas sebelumnya bahwa adanya dekstrin justru dapat menurunkan daya cerna protein karena kemungkinan adanya interaksi antara molekul dekstrin dengan protein yang akan menghambat hidrolisis protein. 31 Tabel 13. Daya cerna protein dua puluh minuman bubuk komersial berbasis kedelai Sampel Daya cerna protein SD RSD Horwitz RSD analisis A 85.92 0.26 2.05 0.30 B a 85.64 0.13 2.05 0.15 C 87.73 0.21 2.04 0.24 D 86.68 0.37 2.04 0.43 E 85.92 0.39 2.05 0.46 F 85.55 0.26 2.05 0.30 G 87.54 0.26 2.04 0.29 H 81.07 0.97 2.06 1.20 I 85.73 0.30 2.05 0.34 J 84.29 0.47 2.05 0.55 K 88.50 0.65 2.04 0.74 L 89.04 0.27 2.04 0.30 M 75.82 0.23 2.08 0.30 N 85.33 0.48 2.05 0.56 O 84.24 0.37 2.05 0.44 P 84.92 0.23 2.05 0.28 Q 87.23 0.27 2.04 0.31 R 85.78 0.52 2.05 0.61 S 84.20 0.38 2.05 0.45 T 85.19 0.26 2.05 0.30 a Sampel tidak dapat dijumpai lagi di pasar sehingga analisis untuk batch II tidak dilakukan Tabel 14. Kelarutan dua puluh sampel minuman bubuk komersial berbasis kedelai Sampel Kelarutan SD RSD Horwitz RSD analisis A 96.47 0.38 2.01 0.40 B a 95.21 0.87 2.01 0.91 C 96.00 0.15 2.01 0.16 D 95.80 0.30 2.01 0.31 E 96.64 0.20 2.01 0.20 F 96.18 0.30 2.01 0.31 G 95.79 0.17 2.01 0.17 H 95.94 0.41 2.01 0.42 I 97.28 0.31 2.01 0.32 J 33.09 0.15 2.36 0.47 K 96.98 0.65 2.01 0.67 L 86.73 0.49 2.04 0.56 M 52.37 0.28 2.20 0.54 N 36.72 0.29 2.32 0.79 O 32.57 0.32 2.37 0.98 P 33.26 0.22 2.36 0.66 Q 87.02 0.20 2.04 0.23 R 96.74 0.27 2.01 0.28 S 88.33 0.35 2.38 0.39 T 79.32 0.27 2.07 0.34 a Sampel tidak dapat dijumpai lagi di pasar sehingga analisis untuk batch II tidak dilakukan 32 Dua puluh sampel pada penelitian selanjutnya dikelompokkan berdasarkan usia konsumen, yaitu sampel yang ditujukan untuk dikonsumsi konsumen usia 0-1 tahun, 1-3 tahun, dan lebih dari 3 tahun. Sampel untuk konsumen di atas 3 tahun dikelompokkan lagi menjadi 2, yaitu sampel untuk konsumen golongan khusus dan konsumen biasa. Pengelompokkan sampel berdasarkan usia konsumen beserta kadar protein, daya cerna protein, dan kelarutannya dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 memperlihatkan bahwa semua sampel yang ditujukan untuk dikonsumsi oleh konsumen usia 0-1 tahun dan 1-3 tahun mempunyai kadar protein yang lebih rendah dibanding sampel untuk konsumen berusia lebih dari 3 tahun. Hal ini disebabkan karena bayi memiliki keterbatasan kerja organ. Kadar protein yang terlalu tinggi jika diasup oleh bayi dapat menyebabkan beban osmolar, akibatnya bayi jadi sering buang air kecil dan mempunyai beban berat pada ginjal Pudjiati 1983. Bayi pun dapat mengalami gagal ginjal. Tabel 15. Pembagian sampel berdasarkan usia konsumen beserta kadar protein, kelarutan, dan daya cerna proteinnya Usia Konsumen Sampel Kadar protein bb Kelarutan Daya cerna protein 0-1 tahun A 13.31 + 0.17 bc 96.47 + 0.38 cd 85.92 + 0.26 a B t 13.55 + 0.20 cd 95.21 + 0.87 a 85.64 + 0.13 a C 12.79 + 0.17 a 96.00 + 0.15 bc 87.73 + 0.21 b D 13.15 + 0.31 b 95.80 + 0.30 ab 86.68 + 0.37 c E 13.72 + 0.09 d 96.64 + 0.20 d 85.92 + 0.39 a 1-3 tahun F 13.70 + 0.14 e 96.18 + 0.30 e 85.55 + 0.26 d G 13.30 + 0.14 f 95.79 + 0.17 f 87.54 + 0.26 e 3 tahun ke atas H 15.55 + 0.28 g 95.94 + 0.41 g 81.07 + 0.97 f konsumen J 40.89 + 0.23 h 33.09 + 0.15 h 84.29 + 0.47 g Biasa M 32.09 + 0.13 i 52.37 + 0.28 i 75.82 + 0.23 i N 35.68 + 0.19 j 36.72 + 0.29 j 85.33 + 0.48 h O 34.31 + 0.23 k 32.57 + 0.32 k 84.24 + 0.37 g P 36.62 + 0.26 l 33.26 + 0.22 h 84.92 + 0.23 gh S 6.12 + 0.26 m 95.94 + 0.35 l 84.20 + 0.38 g T 14.61 + 0.16 n 97.28 + 0.27 m 85.19 + 0.26 h 3 tahun ke atas I u 21.87 + 0.11 o 97.28 + 0.31 n 85.73 + 0.30 j konsumen K u 20.36 + 0.15 p 96.98 + 0.65 n 88.50 + 0.65 k Golongan L u 31.72 + 0.60 q 86.73 + 0.49 o 89.04 + 0.27 k Khusus Q u 78.16 + 1.26 r 87.02 + 0.20 o 87.23 + 0.27 l R v 11.07 + 0.12 s 96.74 + 0.27 n 85.78 + 0.52 j a-s Sampel dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada α=0.05 t Sampel tidak dapat dijumpai lagi di pasar sehingga analisis untuk batch II tidak dilakukan u Sampel ditujukan untuk konsumen yang sedang berdiet v Sampel berupa susu formula lanjutan untuk anak berusia 3 tahun ke atas Berdasarkan hasil pada Tabel 15 dapat dilihat pula bahwa daya cerna protein produk yang ditujukan untuk konsumen berusia 0-1 tahun dan 1-3 tahun cenderung lebih tinggi 85.55 - 87.73 dibanding daya cerna protein produk untuk konsumen berusia lebih dari 3 tahun golongan konsumen biasa 75.82 - 85.33 . Lebih tingginya daya cerna pada produk untuk bayi 0-3 33 tahun disebabkan karena organ pencernaan bayi masih belum dapat bekerja maksimalsempurna sehingga membutuhkan makanan yang mudah dicerna. Semakin bertambahnya usia bayi, maka kerja organ pencernaan akan semakin baik. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan Gonzales et al. 2003 terhadap daya cerna protein infant formula yang hasilnya adalah daya cerna protein secara in vitro soy-based formula memiliki rentang antara 85.5 - 88.9 . Percobaan Gonzales et al. 2003 tersebut juga memakai metode penurunan pH dan menggunakan campuran enzim tripsin, kimotripsin, dan peptidase. Sampel I, K, L, dan Q adalah produk untuk konsumen di atas 3 tahun, namun produk- produk tersebut ditujukan untuk konsumen yang sedang berdiet. Sedangkan sampel R adalah susu formula lanjutan untuk anak di atas 3 tahun yang masih dalam tahap pertumbuhan. Daya cerna protein sampel-sampel yang ditujukan untuk golongan khusus tersebut menunjukkan hasil yang relatif lebih tinggi 85.73 - 89.04 dibanding sampel yang ditujukan untuk konsumen biasa 75.82 - 85.33 . Daya cerna tinggi diperlukan bagi produk bagi konsumen yang sedang berdiet karena orang yang sedang berdiet mengkonsumsi lebih sedikit kalori dan asupan gizi lainnya sehingga jika produk tidak memiliki daya cerna yang tinggi dapat mengakibatkan malnutrisi bagi orang yang sedang berdiet tersebut. Hasil analisis kadar protein dengan ANOVA menunjukkan bahwa kadar protein antar kelompok sampel, yaitu sampel untuk usia 0-1 tahun, 1-3 tahun, di atas 3 tahun konsumen biasa, dan di atas 3 tahun golongan khusus berbeda nyata pada taraf α = 0.05 Lampiran 6a. Menurut uji lanjut Duncan Lampiran 6b-6e maka kelompok sampel untuk usia 0-1 tahun dan 1-3 tahun tidak saling memiliki perbedaan yang signifikan. Antar kelompok sampel untuk usia di atas 3 tahun konsumen biasa dan di atas 3 tahun golongan khusus juga tidak saling memiliki perbedaan yang signifikan. Hasil analisis daya cerna protein dengan ANOVA menunjukkan bahwa daya cerna protein antar antar kelompok sampel, yaitu sampel untuk usia 0-1 tahun, 1-3 tahun, di atas 3 tahun konsumen biasa, dan di atas 3 tahun golongan khusus berbeda nyata pada taraf α = 0.05 Lampiran 7a. Menurut uji lanjut Duncan Lampiran 7b-7e maka kelompok sampel untuk usia 0-1 tahun, 1-3 tahun, dan di atas 3 tahun golongan khusus tidak saling memiliki perbedaan yang signifikan. Namun kelompok sampel untuk usia di atas 3 tahun konsumen biasa memiliki perbedaan signifikan terhadap kelompok sampel lainnya. Hasil analisis kelarutan dengan ANOVA menunjukkan bahwa kelarutan antar antar kelompok sampel, yaitu sampel untuk usia 0-1 tahun, 1-3 tahun, di atas 3 tahun konsumen biasa, dan di atas 3 tahun golongan khusus berbeda nyata pada taraf α = 0.05 Lampiran 8a. Menurut uji lanjut Duncan Lampiran 8b-8e maka kelompok sampel untuk usia 0-1 tahun, 1-3 tahun, dan di atas 3 tahun golongan khusus tidak saling memiliki perbedaan yang signifikan. Namun kelompok sampel untuk usia di atas 3 tahun konsumen biasa memiliki perbedaan signifikan terhadap kelompok sampel lainnya. Secara umum, daya cerna yang tinggi sangat diperlukan untuk pangan yang ditujukan kepada golongan khusus seperti bayi, orang yang sedang sakit, ibu hamil dan menyusui, orang yang sedang berdiet, dan sebagainya karena golongan khusus tersebut umumnya memiliki kerja organ yang kurang sempurna atau membutuhkan lebih banyak nutrisi. Pada penelitian, kadar protein, daya cerna protein, dan kelarutan sampel minuman bubuk juga tidak lepas dari komposisi bahan ingredient. Komposisi sumber protein dan karbohidrat serta daya cerna protein kedua puluh sampel dapat dilihat pada Tabel 16. Komposisi bahan secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan Tabel 16 dapat dilihat bahwa sampel dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu sampel minuman bubuk yang sumber proteinnya dari isolat protein kedelai sampel A, B, C, D, E, F, G, H, L, Q, dan R atau yang difortifikasi dengan sumber 34 protein hewani H, I, dan Q dan sampel yang sumber proteinnya dari kedelai J, K, M, N, O, P, S, T. Hubungan sumber protein dengan kadar protein, daya cerna protein, serta kelarutan sampel dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Hubungan kadar protein, daya cerna protein, protein availability, dan kelarutan terhadap ingredient sumber protein sampel a-e Sampel berbeda nyata pada taraf α = 0.05 Gambar 4 memperlihatkan bahwa sampel yang bersumber protein dari kedelai memiliki rata-rata kadar protein yang lebih tinggi 27.59 dibanding yang terbuat dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani 15.79 . Hasil kadar protein antara kedua kelompok sampel tersebut menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf α = 0.05, walaupun ada satu data pencilan pada kelompok sampel yang berasal dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani. Sampel dari isolat protein kedelai secara logika seharusnya memiliki kadar protein lebih tinggi karena kadar isolat protein kedelai sendiri sangatlah tinggi minimal 90 dari berat kering. Hasil yang menunjukkan bahwa sampel dari isolat protein kedelai mempunyai kadar protein yang lebih rendah dikarenakan sampel dari isolat protein kedelai umumnya ditujukan untuk konsumen usia 0-3 tahun yang memerlukan asupan protein lebih rendah dibanding konsumen usia 3 tahun ke atas sehingga sampel tersebut kadar proteinnya sudah disesuaikan dengan asupan gizi konsumen usia 0-3 tahun. Akibatnya, untuk menyesuaikan asupan protein tersebut, isolat protein kedelai kemungkinan hanya ditambahkan dalam jumlah sedikit. Selain itu kadar protein yang rendah disebabkan karena adanya bahan campuran lain pada produk, seperti desktrin, sukrosa, dan lain-lain lihat Lampiran 9 yang menyebabkan kadar protein sampel menurun. Sedangkan sampel yang sumber proteinnya kedelai umumnya hanya terbuat dari kedelai saja dan tidak memiliki bahan campuran lainnya sehingga kadar proteinnya lebih tinggi. Gambar 4 memperlihatkan juga bahwa sampel yang bersumber protein dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani pada taraf α = 0.05 berbeda nyata dan memiliki rata-rata daya cerna yang lebih tinggi 86.15 dibanding sampel yang sumber proteinnya dari kedelai 84.05 . Hal ini disebabkan karena daya cerna protein isolat protein kedelai dan bahan pangan hewani yang umumnya lebih tinggi dibanding daya cerna protein kedelai. Selisih yang kecil antara daya cerna protein sampel yang bersumber protein dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani dengan sampel yang bersumber protein dari 35 kedelai saja dapat disebabkan karena adanya bahan campuran lainnya yang dapat berikatan dengan protein sehingga dapat menurunkan daya cerna proteinnya. Lebih lanjut lagi, berdasarkan hasil kadar protein dan daya cerna protein dapat dicari ketersediaan protein protein availability. Protein availability menunjukkan banyaknya protein yang tersedia untuk digunakan oleh tubuh Muchtadi 1993. Protein availability tergantung dari daya cerna protein karena semakin banyak jumlah protein yang tercerna, maka jumlah protein yang tersedia untuk digunakan juga semakin banyak. Protein availability dapat diketahui dengan mengalikan kadar protein dengan daya cerna protein. Berdasarkan Gambar 4 dapat dilihat bahwa protein availability dipengaruhi oleh jumlah protein yang masuk ke tubuh. Daya cerna protein sampel dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani lebih tinggi dibanding sampel dari kedelai, namun protein availability sampel dari kedelai justru lebih tinggi 23.19 dibanding sampel dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani 13.60 . Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi jumlah protein yang masuk ke tubuh, maka kemungkinan jumlah protein yang tersedia untuk digunakan untuk tubuh juga semakin banyak. Gambar 4 juga memperlihatkan bahwa rata-rata kelarutan sampel yang bersumber protein dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani lebih tinggi 94.65 dibanding sampel bersumber protein kedelai 56.58 . Hal ini disebabkan karena sampel yang bersumber protein dari isolat protein kedelai atau yang difortifikasi dengan sumber protein hewani mempunyai bahan pengisi seperti dekstrin dan gula yang dapat meningkatkan kelarutan, sedangkan sampel bersumber protein dari kedelai tidak memiliki bahan pengisi. Faktor lain yang mempengaruhi kelarutan adalah proses pengolahan minuman bubuk terebut, seperti suhu, pH, jenis pengering, adanya proses instanisasi, dan lain-lain. Kelarutan dapat mempengaruhi sensori suatu produk. Pada produk minuman bubuk berbasis kedelai, kelarutan yang rendah ditunjukkan dengan adanya endapan bubuk kedelai. Adanya endapan ini dapat menurunkan kualitas sensori minuman karena endapan menyebabkan tekstur berpasir pada minuman. Akibatnya, akan timbul rasa kurang nyaman atau nikmat pada konsumen ketika menelan minuman tersebut. Pada dasarnya protein hewani memiliki daya cerna yang lebih baik lebih tinggi dibandingkan dengan protein nabati. Hal ini dikarenakan pada protein nabati masih terdapat senyawa-senyawa anti-nutrisi yang dapat menghambat daya cerna protein itu sendiri. Pada kedelai senyawa-senyawa anti-nutrisi yang dapat menurunkan daya cerna protein antara lain protease inhibitor anti-tripsin, anti-kimotripsin, inhibitor Kunitz dan Bowman Birk, dan lain-lain, hemaglutinin, tanin, dan asam fitat. Selain itu daya cerna protein juga dipengaruhi oleh beberapa hal seperti konformasi protein, ikatan antar protein dengan komponen lainnya, ukuran dan luas partikel protein, serta pengaruh proses panas atau perlakuan dengan alkali Fennema 1996. 36 Tabel 16. Komposisi sumber protein dan karbohidrat sampel serta kadar protein, daya cerna protein, protein availability, dan kelarutannya Sampel Sumber Protein Sumber Karbohidrat Kadar Protein bb Daya Cerna Protein Protein Availability a Kelarutan A Isolat protein kedelai Sirup glukosa padat 13.31 85.92 11.44 96.47 B Isolat protein kedelai Sirup jagung padat 13.55 85.64 11.60 95.21 C Isolat protein kedelai Sukrosa, tepung jagung terhidrolisa 12.79 87.73 11.22 96.00 D Isolat protein kedelai Sirup jagung padat, sukrosa 13.15 86.68 11.40 95.80 E Isolat protein kedelai Sirup glukosa padat, sukrosa 13.72 85.92 11.79 96.64 F Isolat protein kedelai Sirup glukosa padat, sukrosa 13.70 85.55 11.72 96.18 G Isolat protein kedelai Sukrosa, tepung jagung terhidrolisa 13.30 87.54 11.64 95.79 H Isolat protein kedelai, susu skim Sukrosa, maltodekstrin 15.55 81.07 12.61 95.94 I Bubuk kedelai, susu skim - 21.87 85.73 18.75 97.28 J kedelai - 40.89 84.29 34.46 33.09 K kedelai Sukrosa, maltosa 20.36 88.50 18.02 96.98 L Isolat protein kedelai Fruktosa 31.72 89.04 28.24 86.73 M kedelai - 32.09 75.82 24.33 52.37 N kedelai - 35.68 85.33 30.44 36.72 O kedelai - 34.31 84.24 28.90 32.57 P kedelai - 36.62 84.92 31.10 33.26 Q Isolat protein kedelai, whey protein - 78.16 87.23 68.18 87.02 R Isolat protein kedelai Sirup glukosa padat, sukrosa 11.07 85.78 9.50 96.74 S kedelai Madu 6.12 84.20 5.15 88.33 T kedelai Gula, tepung mata beras 14.61 85.19 12.45 79.32 a Berdasarkan hasil perhitungan kadar protein dikalikan daya cerna protein 37 D. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan