4.4. Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia
Perkembangan Perekonomian Indonesia dapat dilihat antara lain dari aspek pertumbuhan ekonomi. Mulai tahun 1994 sampai dengan 1996 laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia relatif tinggi dan stabil yaitu sekitar 6 persen. Namun mulai tahun 1997 pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami penurunan bahkan
mencapai nilai yang negatif di tahun 1998 yaitu -13,13 persen. Pertumbuhan ekonomi yang rendah pada saat itu disebabkan ketidakmampuan Indonesia dalam
menghadapi krisis yang melanda Asia pada pertengahan 1997 silam. Setelah mengalami kontraksi yang besar pada tahun 1998, perekonomian
Indonesia perlahan mulai bangkit lagi. Pada tahun 1999 perekonomian tumbuh sekitar 0,79 persen; tahun 2000 sebesar 4,92 persen; tahun 2001 sebesar 3,4
persen; tahun 2002 3,66 persen; tahun 2003 4,78 persen; tahun 2004 5,03 persen; tahun 2005 5,58 persen; dan di tahun 2006 sebesar 5,50. Pada tahun-tahun
berikutnya pertumbuhan ekonomi menunjukkan peningkatan trend yang cukup positif, di tahun 2007 sebesar 6,28; tahun 2008 6,06; dan di tahun 2009
mengalami penurunan menjadi 4,58 persen yang tidak lain disebabkan efek krisis keuangan yang terjadi di Amerika dan di Eropa, dan di tahun 2010 kembali
meningkat menjadi 6,10 persen. Kemampuan Indonesia untuk meningkatkan kembali pertumbuhan pasca krisis ini tidak lain disebabkan oleh tingginya tingkat
konsumsi masyarakat. Bahkan sampai tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh tingkat konsumsi masyarakat dan bukan
investasi. Selanjutnya, perekonomian Indonesia dapat dilihat dari nilai PDB-nya.
Dalam hal ini dapat dilihat dari nilai PDB berdasarkan harga berlaku dan nilai
PDB berdasarkan harga konstan 1993 maupun harga konstan 2000, seperti dapat dibaca pada Tabel 4.7 berikut ini.
Tabel 4.7. PDB Indonesia Atas Dasar Harga Berlaku dan Konstan 1993 di Tahun 1993-2000 dan konstan 2000 di Tahun 2001-2010 dalam
miliar rupiah
Tahun Harga Berlaku
Harga Konsatan 1993 dan 2000
1993 329.775,8
296.861,4 1994
382.219,9 320.652,5
1995 454.514,2
350.290,2 1996
532.567,5 378.871,2
1997 627.695,9
398.675,7 1998
955.753,9 341.992,6
1999 1.099.731,8
345.419,2 2000
1.264.918,7 363.758,8
2001 1.467.655,5
1.442.984,6 2002
1.821.833,4 1.506.124,4
2003 2.013.674,6
1.577.171,3 2004
2.295.826,2 1.656.516,8
2005 2.784.960,4
1.750.656,1 2006
3.339.216,8 1.847.126,7
2007 3.949.321,4
1.963.091,8 2008
4.948.688,4 2.082.456,1
2009 5.603.871,2
2.177.741,7 2010
6.422.918,2 2.310.689,8
Sumber :
Statistik Indonesia:
Statistical Yearbook
of Indonesia
2000,2004,2007,2009,2011 .BPS. Hal 538-539, 542-544, 545-547, 564-566,
550-551
Pada Tabel 4.7 terlihat adanya perbedaan nilai PDB atas harga berlaku dengan konstan 1993 maupun 2000 yang cukup tinggi. Berdasarkan harga
berlaku, nilai PDB tiap tahunnya terus mengalami peningkatan bahkan pada masa krisis melanda 1998 nilai PDB terus mengalami peningkatan. Untuk PDB atas
dasar harga konstan 1993, terlihat pada tahun 1993 hingga tahun 1997 nilai PDB mengalami peningkatan, namun pada saat krisis 1998 melanda nilai PDB
mengalami penurunan sebanyak 57 triliun lebih walaupun di tahun-tahun selanjutnya kembali mengalami peningkatan.
Keberhasilan dari pembangunan yang dilakukan oleh sebuah negara tidak hanya dilihat dari angka pertumbuhan ekonominya yang tinggi maupun besarnya
PDB yang diperolehnya. Keberhasilan yang sebenarnya dari pembangunan sebuah negara dan yang merupakan tujuan akhir dari bernegara yaitu kesejahteraan
masyarakatnya. Salah satu indikator yang paling dekat dalam merepresentasikan tingkat kesejahteraan ini yaitu dapat dilihat dari pembangunan manusianya, dalam
hal ini Indeks Pembangunan Manusia IPM. Pada Tabel 4.8 dapat dilihat sebanyak 5 provinsi di tahun 1996 IPM-nya
sama dengan IPM Indonesia secara keseluruhan, bahkan 11 provinsi memiliki IPM yang lebih tinggi dari IPM Indonesia dan DKI Jakarta menduduki peringkat
pertama. Setelah satu tahun Indonesia dilanda krisis keuangan 1999 IPM Indonesia mengalami penurunan dan ini tentu saja diikuti oleh penurunan IPM
masing-masing provinsi. Penurunan IPM provinsi ini tidak terlalu buruk, terbukti dengan adanya peningkatan jumlah provinsi yang nilai IPM-nya di atas IPM
Indonesia yakni menjadi 15 provinsi. Setelah empat tahun krisis melanda Indonesia 2002, IPM Indonesia kembali mengalami peningkatan dan DKI
Jakarta masih memiliki nilai IPM yang paling tinggi. Di tahun 2009 nilai IPM Indonesia kembali mengalami peningkatan di angka 71,1 dan sekali lagi DKI
Jakarta menempati nilai tertinggi di angka 77,3.
Tabel 4.8. Indeks Pembangunan Manusia tiap Provinsi di Indonesia Provinsi
Indeks Pembangunan Manusia 1996
1999 2002
2005 2009
NAD 69
65,3 66,0
69,0 71,3
Sumatera Utara 71
66,6 68,8
72,0 73,8
Sumatera Barat 69
65,8 67,5
71,2 73,4
Riau 71
67,3 69,1
73,6 75,6
Jambi 69
65,4 67,1
70,9 72,4
Sumatera Selatan 68
63,9 66,0
70,2 72,6
Bengkulu 68
64,8 66,2
71,0 72,5
Lampung 68
63,0 65,8
68,8 70,9
DKI Jakarta 76
72,5 75,6
76,0 77,3
Jawa Barat 68
64,6 65,8
69,9 71,6
Jawa Tengah 67
64,6 66,3
69,7 72,1
DIY 72
68,7 70,8
73,5 75,2
Jawa Timur 66
61,8 64,1
68,4 71,0
Kal. Barat 64
60,6 62,9
66,2 68,7
Kal. Tengah 71
66,7 69,1
73,2 74,3
Kal. Selatatan 66
62,2 64,3
67,4 69,3
Kal. Timur 71
67,8 69,9
72,9 75,1
Sul. Utara 72
67,1 71,3
74,2 75,6
Sul. Tengah 66
62,8 64,4
68,4 70,0
Sul. Selatan 66
63,6 65,3
68,0 70,2
Sul. Tenggara 66
62,9 64,1
67,5 69,0
Bali 70
65,7 67,5
697 70,9
NTB 57
54,2 57,8
62,4 64,1
NTT 61
60,4 60,3
63,5 66,1
Maluku 68
67,2 66,5
69,2 70,3
Papua 60
58,8 60,1
63,4 65,8
Indonesia 68
64,3 65,8
69,5 71,1
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 177
Untuk melihat indikasi lain dari taraf kesejahteraan dapat dilihat dari jumlah penduduk miskin Tabel 4.9. Sampai dengan tahun 2010, jumlah
penduduk miskin per provinsi yang memiliki persentase tertinggi pada tahun 2007 terdapat di Provinsi Papua, Papua Barat, Maluku, Gorontola, Nusa Tenggara
Timur, dan NAD, yakni rata-rata di atas 30 persen.
Tabel 4.9. Persentase Penduduk Miskin tiap Provinsi di Indonesia Provinsi
Persentase penduduk miskin 2007
2008 2009
2010
NAD 26,65
23,53 21,80
21,0 Sumatera Utara
13,90 12,55
11,51 11,3
Sumatera Barat 11,90
10,67 9,54
9,5 Riau
11,20 10,63
9,48 8,7
Jambi 10,27
9,32 8,77
8,3 Sumatara Selelatan
19,15 17,73
18,28 14,2
Bengkulu 22,13
20,64 18,59
17,5 Lampung
22,19 20,98
20,22 16,9
Kep. Bangbel 9,54
8,58 7,46
5,8 Kep. Riau
10,30 9,18
8,27 7,4
DKI Jakarta 4,61
4,29 3,62
3,5 Jawa Barat
13,55 13,01
11,96 11,3
Jawa Tengah 20,43
19,23 17,72
15,8 DIY
18,99 18,32
17,23 16,1
Jawa Timur 19,98
18,51 16,68
14,2 Banten
9,07 8,15
7,64 6,3
Bali 6,63
6,17 5,13
4,2 NTB
24,99 23,81
22,78 19,7
NTT 27,51
25,65 23,31
21,2 Kalimantan Barat
12,91 11,07
9,30 8,6
Kalimantan Tengah 9,38
8,71 7,02
6,6 Kalimantan Selatan
7,01 6,48
5,12 5,3
Kalimantan Timur 11,04
9,51 7,73
6,8 Sulawesi Utara
11,42 10,10
9,79 8,5
Sulawesi Tengah 22,42
20,75 18,98
15,8 Sulawesi Selatan
14,11 13,34
12,31 10,3
Sulawesi Tenggara 21,33
19,53 18,93
14,6 Gorontalo
27,35 24,88
25,01 18,8
Sulawesi Barat 19,03
16,73 15,29
13,9 Maluku
31,14 29,66
28,23 23,0
Maluku Utara 11,97
11,28 10,36
9,2 Papua Barat
39,31 35,12
35,71 31,9
Papua 40,78
37,08 37,53
32,0 INDONESIA
16,58 15,42
14,15 12,5
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2008,2009,2011. BPS.Hal 585,182,172
Dibanding pada tahun 2007, persentase penduduk miskin pada tahun 2008 di semua provinsi relatif mengalami penurunan. Pada tahun 2008 ini terdapat empat
provinsi yang masih dapat digolongkan sebagai provinsi dengan persentase
penduduk miskin relatif besar, yaitu lebih dari 25 persen. Keempat provinsi tersebut yaitu: Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Pada
tahun 2009 provinsi dengan persentase penduduk miskin relatif besar menurun menjadi tiga provinsi yaitu: Papua, Papua Barat, dan Maluku. Pada pada tahun
2010 hanya Provinsi Papua dan Papua Barat yang memiliki persentase penduduk miskin relatif besar. Sedangkan provinsi dengan jumlah persentase penduduk
miskin paling sedikit dari tahun 2007-2010 adalah DKI Jakarta. Penurunan jumlah provinsi dengan jumlah persentase penduduk miskin
relatif besar juga diikuti dengan penurunan jumlah persentase penduduk miskin di Indonesia. Pada tahun 2007 persentase penduduk miskin di Indonesia sebesar
16,58, pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 15,42, pada tahun 2009 kembali mengalami penurunan menjadi 14,15, dan di tahun 2010 kembali
mengalami penurunan menjadi 12,5.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Deaerah Berdasarkan Pendekatan Klassen
Typology
Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisis mengenai klasifikasi pertumbuhan ekonomi provinsi-provinsi di Indonesia sebelum otonomi daerah.
Analisis ini dilakukan dengan menggunakan alat analisis Klassen Typology pendekatan parsial yang akan menentukan provinsi yang termasuk ke dalam
kategori daerah yang maju dan tumbuh pesat Kuadran I, daerah yang masih dapat berkembang dengan pesat Kuadran II, daerah yang maju tetapi tertekan
Kuadran III, dan daerah yang relatif tertinggal Kuadran IV. Berdasarkan Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa sebelum otonomi daerah
1995-1999, daerah yang cepat maju dan cepat tumbuh Kuadran I adalah Provinsi Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Irian Jaya. Kondisi ini
menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan PDRB ke empat provinsi tersebut lebih tinggi dari pada rata-rata laju pertumbuhan nasional, sedangkan
rata-rata besarnya PDRB per kapita kedelapan provinsi tersebut juga lebih tinggi dari besaran angka PDB per kapita nasional pada periode amatan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terjadinya krisis keuangan pada tahun 1998 relatif tidak berpengaruh secara besar bagi empat provinsi tersebut, sehingga laju pertumbuhan
maupun PDRB per kapita delapan provinsi tersebut masih lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan dan PDRB per kapita nasional.
Kuadran kedua merupakan daerah maju tapi tertekan, provinsi yang di kuadran ini adalah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Hal ini menunjukkan laju
pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Jawa Timur lebih rendah dari pada laju