tahun  2004  hingga  2006  relatif  stabil  di  angka  0,350  yang  menandakan  mulai tahun 2003 hingga 2006 ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada di
taraf  sedang.  Tahun  2007  nilai  indeks  Williamson  kembali  turun  menjadi  0,339, 0,335  dan  0,327  di  tahun  2008  dan  2009.  Sedangkan  di  tahun  2010  kembali
mengalami kenaikan menjadi 0,336 pada Tahun 2010. Pada  Tabel  5.2,  menunjukkan  bahwa  di  luar  DKI  Jakarta  nilai  rata-rata
indeks  Williamson,  setelah  otonomi  daerah  lebih  tinggi  dibanding  sebelum otonomi  daerah.  Sebelum  otonomi  daerah  sebesar  0,315  dan  setelah  otonomi
daerah  sebesar  0,337.  Walaupun  demikian  nilai  tersebut  lebih  rendah  jika dibandingkan nilai rata-rata indeks Williamson DKI Jakarta  yaitu 0,580 sebelum
otonomi  daerah  dan  0,759  setelah  otonomi  daerah.  Perlu  dingat  disini  bahwa sebagaimana  diungkapkan  dalam  studi  Williamson  bahwa  indeks  ini  sensitif
terhadap ukuran wilayah yang digunakan.
57
Ini berarti bahwa bila ukuran wilayah yang  digunakan  berbeda,  maka  hal  ini  akan  berpengaruh  pada  hasil  perhitungan
indeks  ketimpangan.  Dengan  demikian,  analisa  perlu  dilakukan  secara  hati-hati bila  pembahasan  menyangkut  dengan  perbandingan  indeks  ketimpangan  antar
wilayah dimana ukuran wilayahnya berbeda satu sama lainnya.
5.4   Analisis Trend Ketimpangan Pendapatan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.
Trend ketimpangan dalam suatu wilayah dapat dilihat dalam bentuk grafis.
Hasil perhitungan nilai indeks Williamson sebelum dan setelah otonomi daerah di DKI  Jakarata  berada  pada  rentang  0,547-0,834.  Berdasarkan  Gambar  5.1    pada
tahun  1993-1997,  trend  ketimpangan  DKI  Jakarta  mengalami  kenaikan  yang
57
Ibid, h. 108.
relatif kecil. Selanjutnya peningkatan trend  yang relatif besar terjadi pada Tahun 1998  hingga  mencapai  0,624.  Pada  Tahun  1999  indeks  Williamson  DKI  Jakarta
kembali  mengalami  peningkatan  menjadi  0,633  yang  merupakan  angka  terbesar dalam  periode  sebelum  otonomi  daerah.  Hal  tersebut  mengindikasikan  bahwa
krisis  moneter  yang  terjadi  di  Indonesia  pada  akhrir  tahun  1997,  dengan  cepat menggangu stabilitas ekonomi di DKI Jakarta.
Berdasarkan analisis pada Tahun 2000 walaupun berada pada ketimpangan taraf    tinggi,  trend  ketimpangan  di  DKI  Jakarta  mengalami  penurunan.  Akan
tetapi di tahun-tahun berikuntnya trend ketimpangan antar wilayah di DKI Jakarta kembali  mengalami  peningkatan.  Pada  Tahun  2001,2002,  dan  2003  kembali
mengalami  peningkatan  masing-masing  menjadi  0,672,  0,697,  dan  0,766.  Pada tahun  2004  kembali  mengalami  penurunan  yang  relatif  kecil  yaitu  sebesar  0,010
dan mulai Tahun 2005 tiap tahunnya mengalami peningkatan hingga Tahun 2010. Trend
ketimpangan  pada  periode  analisis  tertinggi  terjadi  di  Tahun  2010  yaitu sebesar  0,834.  Naik  turunnya  ketimpangan  di  suatu  wilayah  disebabkan  oleh
PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing wilayah. Kenaikan atau penurunan yang  tidak  merata  dari  kedua  faktor  tersebut  di  masing-masing  wilayah  akan
menimbulkan ketimpangan yang semakin tinggi antar wilayah. Selanjutnya,  trend  ketimpangan  anatr  provinsi  di  Indonesia  di  luar  DKI
Jakarta  sebelum  dan  setelah  otonomi  daerah  berada  pada  rentang  0,303-0,361. Pada  tahun  1993  hingga  1997    trend  ketimpangan  antar  provinsi  di  luar  DKI
Jakarta  mengalami  peningkatan  dan  penurunan  kecil,  yaitu  pada  rentang  0,303 sampai 0,309. Selanjutnya pada Tahun 1998, trend ketimpangan antar wilayah di
luar  DKI  Jakarta  mengalami  peningkatan  yang  relatif  tinggi  menjadi  0,342  yang
merupakan  angka  tertinggi  pada  periode  sebelum  otonomi  daerah.  Pada  tahun 1999 mengalami penurunan yang relatif kecil menjadi 0,336.
Pada  tahun  2000  dan  2001  kembali  mengalami  penurunan  menjadi  0,324 dan  0,308.  Selanjutnya  peningkatan  trend  kembali  merangkak  ke  tingkat  yang
lebih tinggi. Pada tahun 2002 trend ketimpangan kembali mengalami peningkatan dan  berlanjut  pada  Tahun  2003  yang  merupakan  ketimpangan  tertinggi  pada
periode analisis, yaitu sebesar 0,361. Sedangkan di tahun 2004 trend ketimpangan di  luar  DKI  Jakarta  kembali  mengalami  penurunan  dan  tidak  berubah  di  angka
0,350 di Tahun 2005. Pada tahun 2006 kembali mengalami kenaikan relatif kecil yaitu  0,351  dan  di  tahun-tahun  berikutnya  mengalami  penurunan  hingga  tahun
2009,  sebelum  kemudian  mengalami  peningkatan  di  Tahun  2010  menjadi  0,336. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena adanya peningkatan maupun penurunan
pada nilai PDRB dan jumlah penduduk di masing-masing provinsi di Indonesia di luar DKI Jakarta. Kenaikan atau penurunan yang merata dari kedua faktor tersebut
di masing-masing wilayah akan menimbulkan pemerataan antar wilayah.
Sumber: BPS, diolah
Gambar 5.3 Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.
0,26 0,28
0,3 0,32
0,34 0,36
0,38
199 3
199 4
199 5
199 6
199 7
199 8
199 9
200 200
1 200
2 200
3 200
4 200
5 200
6 200
7 200
8 200
9 201
Trend Ketimpangan Luar DKI Jakarta
Indeks Williamson
0,1 0,2
0,3 0,4
0,5 0,6
0,7 0,8
0,9
199 3
199 4
199 5
199 6
199 7
199 8
199 9
200 200
1 200
2 200
3 200
4 200
5 200
6 200
7 200
8 200
9 201
Trend Ketimpangan DKI Jakarta
Indeks Williamson
Dari  gambar  5.1  dapat  dilihat  perbandingan  antara  trend  ketimpangan  di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta, dapat diambil kesimpulan bahwa ketimpangan
antar  wilayah  sebelum  dan  setelah  otonomi  daerah,  DKI  Jakarta  lebih  besar dibanding  di  luar  DKI  Jakarta.  Trend  ketimpangan  di  DKI  Jakarta  sebelum
maupun  setelah  otonomi  daerah  cenderung  mengalami  kenaikan  di  setiap tahunnya.  Sedangkan Trend ketimpangan antar wilayah di Luar DKI Jakarta lebih
berfluktuatif  jika  disbanding  di  DKI  Jakarta.  Selanjutnya  rata-rata  ketimpangan antar  wilayah  di  DKI  Jakarta  berada  di  taraf  tinggi,  sedangkan  rata-rata
ketimpangan antar wilayah di luar DKI Jakarta berada pada taraf rendah.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN