Impact of Development In Dki Jakarta to Disparities In Dki Jakarta and Outside Dki Jakarta After and Before Regional Autonomy
DKI JAKARTA SEBELUM DAN SETELAH
OTONOMI DAERAH
OLEH SURYO AJI
HI4080112
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
(2)
JAKARTA AND OUTSIDE DKI JAKARTA AFTER AND BEFORE REGIONAL AUTONOMY
In the new order development policy is more centralized. The goal of that development strategy is referred to as the trickle-down effects. However, these strategies proved less successful wealth creation and distribution as expected. Besides economic development is more concentrated in Java, especially Jakarta thus providing a role for economic growth imbalances between Jakarta and outside Jakarta.
After the enactment of Act 22 of 1999 on Regional Autonomy has changed fundamentally in the Indonesian state ordinances. Many problems such as increasingly sharp inequalities and corruption are almost evenly distributed throughout the region, of course, can not be directly concluded that regional autonomy for the benefit and progress of the nation.
The purpose of this study are (1) to analyze the pattern of economic growth based approach Klassen Typology before and after decentralization, (2) the trend of inequality in Jakarta and the outside Jakarta and (3) the relationship between inequality Williamson index with GDP per capita growth rate both before and after decentralization.
The results of the analysis of the pattern of economic growth shows, the number of regions including the fast forward and fast-growing before more autonomy than before decentralization. Conversely the number of areas including the relatively lagging before decentralization is less than after decentralization. Inequality index Williamson in Jakarta is relatively large with an average of 0.7539 before and 0.7112 after the regional autonomy. While outside Jakarta relatively small limp levels by an average of 0.1518 before and 0.1765 after the regional autonomy.
These results indicate that a relatively advanced and ready to face regional autonomy, more capable of improving social welfare, seen from the decrease in the level of inequality is seen from Williamson's inequality index. While the Kuznets hypothesis describing the relationship between inequality indices Williamson with GDP per capita growth rates before and after decentralization (1993-2010), a U-shaped upside as any indication, do not apply in Jakarta and outside Jakarta.
(3)
SURYO AJI. Dampak Pembangunan Wilayah DKI Jakarta terhadap Disparitas DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI)
Pada masa orde baru kebijakan pembangunan lebih bersifat sentralistik. Strategi pembangunan tersebut diharapkan akan menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects. Akan tetapi strategi tersebut ternyata kurang berhasil menciptakan kesejahteraan dan pemerataan seperti yang diharapkan. Selain itu pembangunan ekonomi yang lebih terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta sehingga memberikan peran terhadap ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta.
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah telah mengubah secara fundamental tata cara bernegara di Indonesia. Banyaknya masalah seperti kian tajamnya kesenjangan dan praktek korupsi yang hampir merata di seluruh daerah, tentunya tidak dapat langsung disimpulkan bahwa otonomi daerah tidak memberi manfaat dan kemajuan bagi bangsa.
Tujuan penelitian ini adalah, (1) menganalisis pola pertumbuhan ekonomi berdasarkan pendekatan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi daerah,(2) trend ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta dan (3) hubungan antara tingkat ketimpangan Indeks Williamson dengan laju pertumbuhan PDRB per kapita baik sebelum dan setelah otonomi daerah.
Hasil analisis pola pertumbuhan ekonomi menunjukkan, jumlah daerah yang termasuk daerah cepat maju dan cepat tumbuh sebelum otonomi daerah lebih banyak dibanding sebelum otonomi daerah. Sebaliknya jumlah daerah yang termasuk daerah yang relatif tertinggal sebelum otonomi daerah lebih sedikit dibanding setelah otonomi daerah. Indeks ketimpangan Williamson di DKI Jakarta relatif besar dengan rata-rata 0,7539 sebelum otonomi daerah dan 0,7112 setelah otonomi daerah. Sedangkan diluar DKI Jakarta tingkat ketimpangannya relatif kecil dengan rata-rata 0,1518 sebelum otonomi daerah dan 0,1765 setelah otonomi daerah.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa daerah yang relatif maju dan siap dalam menghadapi otonomi daerah, lebih mampu meningkatkan kesejahteraan sosial, dilihat dari penurunan tingkat ketimpangan yang dilihat dari indeks ketimpangan Williamson. Sedangkan Hipotesis Kuznets yang menggambarkan hubungan antara tingkat ketimpangan indeks Williamson dengan laju pertumbuhan PDRB per kapita sebelum dan setelah otonomi daerah (1993-2010), yang berbentuk U-Terbalik sebagai indikasi, tidak berlaku di DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta.
(4)
OTONOMI DAERAH
Oleh SURYO AJI
H14080112
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
(5)
Nama : Suryo Aji
NIM : H14080112
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, SE. MS. DEA NIP. 19520408 1984031001. 03
Mengetahui,
Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec. NIP. 19641022 198903 1 003
(6)
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2012
Suryo Aji H14080112
(7)
Penulis dilahirkan di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 7 September 1988 dan merupakan anak kesembilan dari sepuluh bersaudara dari pasangan Siswo Harjono dan Sukinem.
Penulis mengawali pendidikannya pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2001 di SD Muhammadiyah 1 Senggotan. Selanjutnya meneruskan ke pendidikan lanjutan tingkat pertama dari tahun 2001 sampai tahun 2004 di SMP Negeri 16 Yogyakarta. Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan menengah umum di SMA Muhammadiyah 6 Yogyakarta dan lulus pada tahun 2007.
Pada tahun 2008, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN kemudian terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen (FEM) pada Departemen Ilmu Ekonomi dengan Program Studi Ekonomi dan Studi Pembangunan.
Selain menekuni dunia pendidikan, berbagai kejuaraan olahraga mahasiswa diikuti antaranya meraih Juara 3 Kejuaraan Softball Tingkat Nasional (2009), Juara 1 Kejuaraan Softball Tingkat Kota Bogor (2010), Juara 3 Futsal SPORTAKULER FEM IPB 2010, Juara 2 Futsal SPORTAKULER FEM IPB 2011, Juara 2 Voli Putra SPORTAKULER FEM IPB 2011, dan Juara 1 Futsal Mahasiswa Pencinta Alam se-Bogor (MAPALA se-Bogor) 2011.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di beberapa organisasi. Pada tingkat pertama penulis aktif di UKM Soof IPB, UKM Taekwondo IPB. Tingkat dua dan tingkat tiga penulis aktif di organisas Badan Pengawas HIPOTESA (BP-Hipotesa), dan Keluarga Ekonomi dan Manajemen Pencinta Alam (KAREMATA FEM IPB).
(8)
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW dan kita semua sebagai pengikutnya hingga akhir zaman. Skripsi yang berjudul
“Dampak Pembangunan Wilayah DKI Jakarta terhadap Disparitas DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah” ini merupakan hasil karya penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini terdapat banyak kekurangan yang dikarenakan oleh keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Namun pada akhirnya, karya ini berhasil penulis selesaikan atas bantuan dan dorongan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya.
2. Ayah dan Ibu tercinta yang selalui memberikan doa, dukungan, dan dorongan bagi penulis untuk menyelesaikan penelitian ini. Kakak dan adik yang memberikan semangat dan dukungan moral tanpa henti.
3. Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, sebagai dosen pembimbing atas masukan dan bimbingan dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Dr. Sri Mulatsih, sebagai penguji utama dan Salahuddin el Syyubi, MA, sebagai penguji komisi pendidikan atas kritik dan masukan yang positif dalam penyempurnaan penulisan.
5. Seluruh dosen khususnya staf dosen Ilmu Ekonomi yang tanpa pamrih memberikan ilmu serta pengalamannya dalam empat tahun penulis belajar di Institut Pertanian Bogor.
6. Kepala Tata Usaha beserta staf pelaksana Departemen Ilmu Ekonomi yang telah membantu dan bekerja sama dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Seluruh rekan-rekan di Ilmu Ekonomi 45, keluarga besar KAREMATA FEM IPB.
(9)
9. Semua pihak yang telah membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis mengharapkan masukan-masukan positif dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin ya Robbal’ alamin.
Bogor, September 2012
Suryo Aji H14080112
(10)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... i
DAFTAR TABEL ... iii
DAFTAR GAMBAR ... v
DAFTAR LAMPIRAN ... vi
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 17
1.3. Tujuan Penelitian ... 19
1.4. Manfaat Penelitian ... 19
II.TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN ... 21
2.1. Pembangunan Ekonomi ... 21
2.2. Pertumbuhan Ekonomi ... 28
2.3. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 34
2.4. Ketimpangan Distribusi Pendapatan ... 36
2.5. Indeks Williamson ... 40
2.6. Otonomi Daerah dan Desentralisasi ... 41
2.7. Penelitian Terdahulu ... 44
2.8. Kerangka Pemikiran ... 48
III.METODOLOGI PENELITIAN ... 51
3.1. Pengertian Metodologi Penelitian ... 51
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 51
3.3. Metode Analisis ... 52
3.3.1. Klassen Typology ... 52
3.3.2. Indeks Williamson ... 54
3.3.2. Analisi Trend Ketimpangan ... 55
IV. GAMBARAN UMUM ... 57
4.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi DKI Jakarta ... 57
(11)
4.3. Perekonomian DKI Jakarta ... 60
4.3.1. Pertumbuhan ekonomi ... 60
4.3.2. Struktur Ekonomi Menurut Lapangan Usaha ... 61
4.3.3. Struktur Ekonomi Menurut Komponen Pengeluaran ... 63
4.3.4. Perkembangan PDRB Per Kapita ... 64
4.3.5. Inflasi/Deflasi ... 65
4.4. Kondisi Perekonomian dan Pembangunan di Indonesia ... 66
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 72
5.1. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Sebelum Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Tipologi Klassen ... 72
5.2. Analisis Pola Pertumbuhan Ekonomi Parsial DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta Setelah Otonomi Daerah Berdasarkan Pendekatan Tipologi Klassen ... 75
5.3. Analisis Ketimpangan Wilayah di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta ... 80
5.3.1. Indeks Williamson DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah ... 80
5.3.2. Indeks Williamson Luar DKI Jakarta Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah ... 83
5.4. Analisis Trend Ketimpangan di DKI Jakarta dan Luar DKI Jakarta ... 85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
6.1. Kesimpulan ... 89
6.2. Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 92
(12)
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1.1.Distribusi Pembangian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini,
2006-2010 ... 4
1.2.PDRB, PDRB Per Kapita, Laju PertumbuhanEkonomi, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia ... 6
1.3.Jumlah Dana Simpanan Masyarakat per Provinsi (Rp 000), tahun 2008 ... 7
1.4.Ekspor dan Impor Non-Migas per Provinsi (dalam juta US$) ... 9
1.5.Perkembangan Sekilas Infrastruktur Daerah Pasca-Otonomi Daerah (dalam Persen) ... 12
2.1. Beberapa Indeks Ketimpangan Regional Dalam PDRB Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota ... 45
2.2. Indeks Ketimpangan Williamson Antar Wilayah Di Indonesia ... 46
2.3. Indeks Ketimpangan Pendapatan di Indonesia tahun 1996-2006 ... 50
3.1. Klasifikasi Tipologi Klassen Pendekatan Daerah ... 54
4.1. Luas Daerah dan Pembagian Daerah Administrasi Menurut Kabupaten/Kota Administrasi ... 57
4.2. Peduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Menurut Kabupaten/Kota Administrasi Hasil Sensus Penduduk 2000 dan 2010 ... 58
4.3. Peranan Sektor Ekonomi dalam PDRB atas Dasar Harga Berlaku 2005-2009 ... 62
4.4. Distribusi Persentase PDRB menurut Pengeluaran 2005-2009 ... 63
4.5. PDRB Per Kapita Provinsi DKI Jakarta 2006-2010 ... 64
4.6. Indikator Inflasi Indeks Harga Implisit PDRB DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha 2005-2009 ... 65
(13)
1993-200 dan Konstan 2000 di tahun 2001-2010 ... 67
4.8. Indeks Pembangunan Manusia tiap Provinsi di Indonesia ... 69
4.9. Persentase Penduduk Miskin tiap Provinsi di Indonesia... 70
5.1. Indeks Williamson Berdasarkan PDRB Per Kapita Tanpa Migas ADHK DKI Jakarta Tahun 1993-2010 ... 81 5.2. Indeks Williamson Berdasarkan PDRB Per Kapita Tanpa Migas
(14)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1.1. Distribusi Regional Simpanan Masyarakat di Perbankan ... 14
1.2. Distribusi Regional Penyaluran Kredit Perbankan ... 15
2.1. Teori Harrod-Domar dalam Grafik ... 33
2.2. Kurva Lorenz untuk Memperkirakan Koefisien Gini ... 37
2.4. Kerangka Pemikiran ... 50
4.1. Penduduk Berusia 15 Tahun Keatas Yang Bekerja dan Mencari Pekerjaa, 2005-2010 ... 59
4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi DKI Jakarta Tahun 2006-2010 ... 60
4.3. Peranan Sektor Andalan dalam PDRB atas Harga Berlaku Tahun 2000-2009 ... 61
5.1. Klassen Typology Indonesia Tahun 1995-1999 ... 74
5.2. Klassen Typology Indonesia Tahun 2006-2010 ... 77
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1993 ... 99
2. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1994 ... 99
3. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1995 ... 100
4. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1996 ... 100
5. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1997 ... 101
6. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1998 ... 101
7. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 1999 ... 102
8. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 ... 102
9. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 ... 103
10. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2002 ... 103
11. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2003 ... 104
12. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2004 ... 104
13. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2005 ... 105
14. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
(16)
15. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2007 ... 106
16. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2008 ... 106
17. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009 ... 107
18. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Kabupaten/Kota
di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 ... 107
19. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1993 ... 108
20. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1994 ... 109
21. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1995 ... 110
22. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1996 ... 111
23. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1997 ... 112
24. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1998 ... 113
25. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 1999 ... 114
26. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2000 ... 115
27. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2001 ... 116
28. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2002 ... 117
29. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2003 ... 118
30. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
(17)
31. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2005 ... 121
32. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2006 ... 123
33. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2007 ... 124
34. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2008 ... 126
35. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2009 ... 127
36. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di
(18)
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses
multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur
sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional, disamping
penanganan ketimpangan pendapatan dan pengentasan kemiskinan dengan tetap
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi.
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting dari
pembangunan nasional dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Pembangunan ekonomi memiliki berbagai acuan, salah satunya
adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan merupakan kondisi utama dan suatu keharusan bagi kelangsungan
pembangunan ekonomi.1 Kuznets mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara yang bersangkutan untuk
menyediakan barang-barang ekonomi kepada penduduknya.2
Pada awal pemerintahan orde baru para pembuat kebijakan dan perencana
pembangunan ekonomi di Indonesia lebih berorientasi kepada pertumbuhan
ekonomi yang tinggi. Pembangunan ekonomi yang awalnya terpusat di Jawa,
khususnya DKI Jakarta, diharapkan strategi pembangunan tersebut akan
menghasilkan apa yang dimaksud dengan trickle down effects atau efek menetes ke bawah. Yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan menimbulkan tetesan ke
1
Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia:Beberapa masalah penting (Jakarta:Ghalia Indonesia,2001), h. 39.
2
Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi Di Dunia Ketiga (Jakarta: Erlangga,2006), h. 99.
(19)
bawah bagi masyarakat secara menyeluruh. Kesejahteraan dan pemerataan akan
tercapai dengan sendirinya serta berjalan beriringan mengikuti pertumbuhan
ekonomi yang ada.
Pembangunan pada saat itu juga hanya terpusatkan pada wilayah dan
sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar untuk
menghasilkan nilai tambah tinggi. Adanya strategi tersebut diharapkan
menghasilkan pembangunan yang mampu “menetes” ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya. Akan tetapi strategi tersebut ternyata kurang berhasil
menciptakan kesejahteraan dan pemerataan seperti yang diharapkan. Oleh karena
itu, sejak Pelita III strategi pembangunan mulai berubah agar tidak lagi hanya
berfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada peningkatan pemerataan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sampai terjadinya krisis ekonomi
Tahun 1997, sudah banyak dilasanakan program-program pemerintah yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan
antar kelompok miskin dan kaya di tanah air.3
Berkaitan dengan masalah di atas, terdapat pertanyaan besar yang selama
pemerintahan orde baru hingga masa reformasi saat ini, walaupun pembangunan
ekonomi berjalan dengan baik dan Indonesia memiliki laju pertumbuhan yang
relatif tinggi, mengapa kesenjangan dalam distribusi pendapatan dan kemiskinan
tetap ada. Apakah Hipotesis Kuznets mengenai evolusi atau perubahan
kesenjangan pendapatan, dimana pada awal proses pembangunan, ketimpangan
pendapatan bertambah besar sebagai akibat dari proses urbanisasi dan
industrialisasi, namun setelah itu pada tingkat pembangunan yang lebih tinggi
3
(20)
atau akhir dari proses pembangunan ketimpangan menurun, tidak berlaku untuk
kasus di Indonesia.
Salah satu cara untuk menganalisa tentang ketimpangan pendapatan adalah
indeks Gini. Indeks Gini merupakan salah satu ukuran yang digunakan untuk
mengukur ketimpangan pendapatan yang didasarkan pada kurva Lorenz. Nilai
indeks Gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila nilainya 0 maka
menunjukkan kemerataan yang sempurna dan jika nilainya 1 maka menunjukkan
ketidakmerataan yang sempurna. Artinya, satu orang (atau satu kelompok
pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut.4
Berdakan Tabel 1.1, nilai indeks Gini di Indonesia dalam lima tahun terahir
relatif cukup stabil. Pada tahun 2006 nilai indeks Gini adalah sebesar 0,36, tahun
2007 mengalami kenaikan menjadi 0,38, Tahun 2008 turun menjadi 0,37, dan di
Tahun 2009 dan 2010 masing-masing nilainya adalah 0,37 dan 0,38. Pada saat
yang sama Indonesia mencatat angka pertumbuhan yang mengesankan, kurang
lebih rata-rata 6 persen. Dari data di atas menunjukkan bahwa ketimpangan
distribusi pendapatan di Indonesia belum berkurang walaupun pertumbuhan
ekonomi relatif tinggi.
Berdasarkan Tabel 1.1, pada Tahun 2006, 40 persen masyarakat
berpengeluaran rendah memperoleh sebesar 21,42 persen dari total distribusi
pengeluaran nasional. Menurut ukuran yang digunakan Bank Dunia angka
tersebut menunjukkan kondisi relatif merata. Pada tahun 2007 menjadi 18,74
persen, tahun 2008 menjadi 18,72 persen, dan di tahun 2009 dan 2010
4
(21)
masing distribusinya sebesar 18,96 dan 18,05 persen yang cenderung
menunjukkan makin kurang merata.
Tabel 1.1. Distribusi Pembagian Pengeluaran per Kapita dan Indeks Gini, 2006-2010
Daerah Tahun 40%
Berpengeluar-an Rendah
40%
Berpengeluar-an SedBerpengeluar-ang
20%
Berpengeluar-an Tinggi
Indeks Gini
Kota 2006 19,79 36,90 43,33 0,35
2007 19,08 37,13 43,80 0,37
2008 18,55 37,00 44,45 0,37
2009 18,49 36,58 44,93 0,37
1010 17,57 36,99 45,44 0,38
Desa 2006 23,42 39,04 37,53 0,28
2007 22,00 37,94 40,05 0,30
2008 22,06 38,58 39,36 0,30
2009 22,45 38,45 39,10 0,29
1010 20,98 38,78 40,24 0,32
Desa+ Kota
2006 21,42 37,65 41,26 0,36
2007 18,74 36,51 44,75 0,38
2008 18,72 36,43 44,86 0,37
2009 18,96 36,13 44,91 0,37
1010 18,05 36,48 45,47 0,38
Sumber: Statistik Indonesia: Statistical Yearbook of Indonesia 2008.BPS. Hal 478 Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS. Hal 469
Sedangkan 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi di Tahun 2006,
memperoleh 41,26 persen dari total distribusi pengeluaran nasional. Pada Tahun
2007 meningkat menjadi 44,75 persen, tahun 2008 kembali mengalami
peningkatan menjadi 44,86 persen, dan di tahun 2009 dan 2010 masing-masing
(22)
distribusi untuk 20 persen masyarakat berpengeluaran tinggi cenderung
mengalami peningkatan.
Walaupun bukan merupakan indikator yang bagus, kesejahteraan di suatu
wilayah dapat juga dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto atau PDRB per
kapita,5 laju pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan. Suatu wilayah yang
memiliki angka kemiskinan yang tinggi namun juga memiliki PDRB per kapita
dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi pula menunjukkan gejala bahwa
wilayah tersebut memiliki indeks ketimpangan yang cenderung tinggi. Tingkat
kemiskinan di suatu wilayah dapat dilihat dari jumlah persentase penduduk miskin
di wilayah tersebut.
Dengan beragamnya karakteristik dan potensi yang dimiliki oleh setiap
provinsi di Indonesia maka nilai PDRB, PDRB per kapita, dan angka kemiskinan
cukup bervariatif antar provinsi seperti ditunjukkan oleh Tabel 1.2. Provinsi yang
memiliki nilai PDRB terbesar adalah DKI Jakarta yang merupakan ibu kota
negara sekaligus sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan Indonesia,
sehingga nampak bahwa perekonomian cenderung terpusat di wilayah ini. Hal
tersebut menandakan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat secara rata-rata di
wilayah ini cukup tinggi, karena PDRB per kapita merupakan besaran yang
digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah, tanpa
melihat pendapatan antar golongan dalam masyarakat.
5
Maksudnya, indikator tersebut kurang dapat menunjukkan kondisi kesejahteraan yang sebenarnya. Bisa saja tingkat pendapatan di suatu wilayah tinggi namun sebagian besar(misalnya 50%) dari pendapatan total dinikmati hanya sebagian kecil (misal 20%) dari penduduknya. Dengan kata lain, selain indikator ini harus dilihat bagaimana distribusi pendapatan di wilayah tersebut. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarat:Ghalia Indonesia,2001, h.39.
(23)
Tabel 1.2. PDRB , PDRB Per Kapita, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi di Indonesia, 2010
Provinsi 1 2 3 4
NAD 33.071,1 7.358,3 2,64 21,0
Sumatera Utara 118.640,9 9.138,7 6,35 11,3
Sumatera Barat 38.860,1 8.017,5 5,93 9,5
Riau 97.701,6 17.640,9 4,17 8,7
Jambi 17.465,2 5.648,0 7,33 8,3
Sumatera Selatan 63.735,9 8.554,7 5,43 15,5
Bengkulu 8.330,3 4.855,9 5,14 18,3
Lampung 38.305,2 5.034,6 5,75 18,9
Kep. Bangbel 10.866,8 8.883,2 5,85 6,5
Kep. Riau 41.083,2 24.466,5 7,21 8,1
DKI Jakarta 395.664,4 41.181,6 6,51 3,5
Jawa Barat 321.875,8 7.476,1 6,09 11,3
Jawa Tengah 186.995,4 5.774,6 5,84 16,6
DIY 21.042,2 6.086,5 4,87 16,8
Jawa Timur 342.280,7 9.133,1 6,68 15,3
Banten 88.393,7 7.177,0 5,94 7,2
Bali 28.880,6 7.133,9 5,83 4,9
Kalimantan Barat 30.292,3 6.890,9 5,35 9,0
Kalimantan Tengah 18.788,9 8.493,8 6,47 6,8
Kalimantan Selatan 30.674,1 8.458,1 5,58 5,2
Kalimantan Timur 110.57,8 31.121,7 4,95 7,7
Sulawesi Utara 18.371,2 8.090,9 7,12 9,1
Sulawesi Tengah 17.437,1 6.486,1 7,79 18,1
Sulawesi Selatan 51.197,0 6.371,9 8,18 11,6
Sulawesi Tenggara 12.226,3 5.218,2 8,19 17,1
Gorontalo 2.917,4 2.804,8 7,62 23,2
Sulawesi Barat 4.744,3 4.094,7 11,91 13,6
NTB 20.056,7 4.456,9 6,29 21,6
NTT 12.531,6 2.675,5 5,13 23,0
Maluku 4.251,3 2.772,3 6,47 17,7
Maluku Utara 3.035,1 2.768,1 7,96 9,4
Papua Barat 8.685,6 9.307,7 26,82 34,9
Papua 22.620,2 8.600,9 (2,65) 36,8
Indonesia 2.310.689,8 9.723,4 6,10 13,3
Sumber: Statistik Indonesia: Staistical Yearbook of Indonesia 2011.BPS.Hal 172, 558, 562, dan hal 564.
Keterangan:
1: PDRB ADHK 2000 (miliar rupiah) 3: Laju Pertumbuhan Ekonomi 2: PDRB Per Kapita (ribu rupiah) 4: Persentase Kemiskinan
(24)
Tabel 1.3. Jumlah Dana Simpanan Masyarakat per Provinsi (Rp 000), tahun 2008.
Provinsi Giro Tabungan Deposito Subtotal
NAD 7.259.531 6.036.217 5.000.677 18.296.425
Sumatera Utara 14.172.780 28.556.509 34.398.209 77.127.498
Sumatera Barat 3.823.352 6.270.497 4.040.365 14.134.214
Riau 11.111.516 12.870.351 7.738.126 31.719.993
Jambi 2.444.936 4.719.675 3.088.946 10.253.557
Sumatera Selat 5.311.963 11.156.291 10.073.584 26.541.838
Bengkulu 1.628.706 2.048.665 635.694 4.313.065
Lampung 2.143.227 6.498.216 5.027.459 13.668.902
Kep. Bangbel 2.361.119 3.384.293 1.790.783 7.536.195
Kep. Riau 5.583.102 5.546.692 3.556.590 14.686.384
DKI Jakarta 167.355.042 125.569.193 434.862.205 727.786.440
Jawa Barat 23.461.739 49.612.782 56.182.719 129.257.240
Jawa Tengah 10.602.944 36.419.377 32.808.822 79.831.143
DIY 2.515.570 8.293.985 6.073.816 16.883.371
Jawa Timur 28.336.825 57.121.604 70.309.728 155.768.157
Banten 6.534.400 13.153.274 13.025.309 32.712.983
Bali 5.783.679 12.425.928 9.107.437 27.317.044
Kal. Barat 3.673.965 8.044.610 4.833.105 16.551.680
Kal. Tengah 3.209.144 3.194.966 1.141.977 7.546.087
Kal. Selatan 4.304.509 7.578.511 3.354.327 15.237.347
Kal. Timur 11.664.486 14.598.200 11.360.109 37.622.795
Sulawesi Utara 1.272.577 3.854.309 2.853.617 7.980.503
Sulawesi Tengah 1.430.170 2.774.504 1.049.741 5.254.415
Sulawesi Selatan 4.486.995 13.343.965 8.135.207 25.966.167
Sulawesi Tengg 1.289.042 2.380.913 727.915 4.397.870
Gorontalo 203.067 923.567 576.570 1.703.204
Sulawesi Barat 485.616 801.744 67.789 1.355.149
NTB 1.337.029 3.504.828 1.179.148 6.021.005
NTT 2.407.249 3.576.483 1.724.908 7.708.640
Maluku 1.228.372 1.961.493 1.299.098 4.488.963
Maluku Utara 863.944 1.244.241 483.644 2.591.827
Papua Barat 1.802.344 1.797.330 847.044 4.446.718
Papua 6.021.707 4.965.088 3.940.950 14.927.745
Indonesia 346.110.647 464.228.301 741.295.618 1.551.634.566 Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.
Hal 529
Selanjutnya indikator yang dapat menggambarkan proses pembangunan
ekonomi yang terpusat di Jawa, khususnya DKI Jakarta adalah kepemilikan dana
dan investasi. Semakin banyak perputaran uang di suatu wilayah dapat
(25)
menunjukkan jumlah dana simpanan masyarakat di semua provinsi di Indonesia.
Dari total Rp 1.551.634.566.000 dana simpanan masyarakat di perbankan
Indonesia di bulan September 2008, penguasaan semua provinsi di Pulau Jawa
sebesar 73,6 persen, sedangkan penguasaan di DKI Jakarta hampir setengah dari
total semua yaitu 46,9 persen. Dengan demikian dapat disimpulkan adanya
ketimpangan distribusi simpanan masyarakat antara DKI Jakarta dengan
wilayah-wilayah lain di Indonesia.
Perdagangan luar negeri merupakan salah satu aspek penting dalam
perekonomian setiap negara. Dewasa ini tidak ada satu negara pun dimuka bumi
yang tidak melakukan hubungan dengan pihak luar. Begitu juga dengan
Indonesia. Perdagangan luar negeri menjadi semakin penting, bukan saja dalam
kaitan dengan haluan pembangunan yang berorientasi ke luar, yakni membidik
masyarakat di negara-negara lain sebagai pasar hasil-hasil produksi dalam negeri,
tapi juga berkaitan dengan pengadaan barang-barang modal untuk memacu
industri dalam negeri.6
Data ekspor dan impor selama ini masih menunjukkan dominasi DKI
Jakarta sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional. Seperti yang terlihat
pada nilai ekspor dan impor non-migas per provinsi pada Tabel 1.4. Dimana pada
tahun 2006 dan 2007 nilai ekpor non-migas DKI menempati urutan pertama yaitu
sebesar 29.034,40 dan 31.280,90 atau 36,48 dan 33,92 persen dari nilai total
ekspor nasional. Begitu juga dengan nilai impor non-migas DKI Jakarta pada
tahun yang sama senilai 25.442,90 dan 33.019,00 atau 60,43 dan 62,84 persen dari
nilai total impor non-migas nasional. Angka ekspor dan impor yang sedemikian
6
(26)
tinggi di DKI Jakarta tidak menunjukkan kepemilikan. Sehingga terjadinya
ketimpangan data ekspor dan impor karena lokasi pelaksanaan ekspor dan
impornya saja. Namun hal tersebut mengidikasikan bahwa infrastuktur untuk
mendukung kegiatan ekspor dan impor tersedia hanya di wilayah-wilayah tertentu
saja.
Tabel 1.4. Ekspor dan Impor Non-Migas per Provinsi ( dalam juta US$)
No. Provinsi Ekspor Impor
2006 2007 2006 2007
1 DKI jakarta 29.034,40 31.280,90 25.422,90 33.019,00
2 Riau 10.242,40 13.259,20 1.158,30 1.470,00
3 Jawa Timur 9.301,90 11.617,90 6.864,30 9.003,10
4 Sumatera Utara 5.523,90 7.082,90 1.331,20 1.829,30
5 Kalimantan Timur 4.657,30 4.856,80 1.195,20 835,40
6 Papua 3.826,90 3.495,10 664,00 632,20
7 Jawa Tengah 2.899,30 3.122,50 1.033,00 1.504,80
8 Sulawesi Selatan 1.874,00 2.771,30 322,80 356,80
9 Kalimantan Selatan 2.361,20 2.749,50 812,90 227,20
10 Sumatera Selatan 1.883,00 2.293,90 282,60 162,90
11 Lampung 1.525,70 1.540,60 331,50 419,30
12 Sumatera Barat 1.074,10 1.512,80 36,80 95,90
13 NTB 1.219,50 1.068,00 278,50 225,50
14 Bangka Belitung 900,70 1.013,80 21,50 18,00
15 Kalimantan Barat 620,70 728,80 72,50 81,60
16 Jambi 574,50 694,40 162,40 178,00
17 Sulawesi Utara 191,10 514,60 45,90 19,90
18 Maluku Utara 197,40 493,30 1,70 4,10
19 Sulawesi Tenggara 350,70 413,90 45,90 0,00
20 Banten 528,50 388,70 1.873,30 2.148,70
21 Jawa barat 240,70 324,00 68,80 156,90
22 Bali 289,60 287,70 27,80 81,60
23 Sulawesi Tengah 202,00 207,20 9,30 0,00
24 Kalimantan Teng 179,20 165,00 27,10 42,70
25 Bengkulu 80,30 85,00 0,70 3,00
26 NAD 11,00 63,60 29,10 29,60
27 Maluku 49,50 25,90 14,00 7,40
28 Gorontalo 14,70 21,20 0,00 5,10
29 NTT 3,80 3,30 12,00 20,10
30 DI Yogyakarta 4,40 2,50 1,40 0,10
Non-Migas 79.589,10 92.012,30 42.102,60 52.540,60
Sumber: Departemen Perdagangan (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi
(27)
Permasalahan seperti pertumbuhan ekonomi regional yang tidak merata,
terpusatnya segala aktivitas ekonomi, bertambahnya rumah tangga miskin, dan
pengangguran yang semakin meningkat merupakan tantangan yang harus dihadapi
pemerintah Indonesia maupun masyarakat itu sendiri sebagai pelaku ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang kian membaik masih meninggalkan permasalahan
yang harus dihadapi. Salah satu realitas pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta
yang diakibatkan oleh adanya perbedaan laju pembangunan adalah terciptanya
disparitas/ketimpangan pembangunan DKI Jakarta dengan luar DKI Jakarta.
Berbagai penelitian dan kajian yang berdimensi regional, terutama
mengenai kualitas pembangunan regional dan distribusi sumber daya spasial, akan
selalu menjadi bahasan penting dan menarik di negara besar seperti Indonesia.
Terlebih setelah dipertegasnya pengakuan dan pelaksanaan pelimpahan otonomi
daerah dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 22 dan 25 tahun 1999
yang disempurnakan dengan Undang-Undang RI No. 33 tahun 2000 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang
mengunakan prinsip dasar yaitu fungsi pokok pelayanan publik dilaksanakan di
daerah, dengan dukungan pembiayaan pusat melalui penyerahan sumber-sumber
penerimaan kepada daerah. Undang-Undang No. 22/1999 tentang pemerintahan
daerah dan Undang-Undang No. 25/1999 tentang hubungan fiskal antar
pemerintah menjadi kerangka hukum untuk pengenalan desentralisasi fiskal di
Indonesia sedangkan Undang-Undang No. 32/2004 tentang pemerintah daerah
serta Undang-Undang No.33/2004 tentang desentralisasi fiskal kemudian
(28)
Secara konsep, otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukanlah hal baru
di Indonesia. Kedua hal tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang RI No.5
tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah. Namun selama
pemerintahan orde baru kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal belum
dilaksanakan secara konsisten. Pemerintah pusat kurang serius dalam
mendelegasikan wewenang ke daerah. Bahkan pemerintah daerah merupakan
hasil dari sistem yang sentralistik dari pemerintah pusat. Sehingga kebijakan
otonomi pada pemerintahan orde baru kurang berperan dalam mengurangi
kesenjangan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.7
Dengan adanya otonomi daerah dan desentralisasi diharapkan dapat
mempermudah pemerintah untuk mengetahui dan memahami kebutuhan
masyarakat. Dengan demikian, dalam pelaksanaan pembangunan (ekonomi) untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kesenjangan menjadi tujuan
utama, dapat lebih cepat tercapai. Bagi daerah, otonomi daerah dan desentralisasi
ini dimaksudkan untuk menentukan berapa uang yang digunakan pemerintah
daerah dalam pemberian pelayanan kepada mayarakat sehingga memberi
kewenangan yang lebih kepada daerah tersebut dalam pengelolaan dan
pembangunan wilayahnya.
Belum memadainya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah hanya
salah satu dari sekian banyak masalah dari otonomi daerah. Sejauh ini
pelaksanaan otonomi daerah masih menyisakan banyak persoalan yang harus
diatasi. Setidaknya ada beberapa masalah besar dan saling berkaitan dalam
pelaksanaan otonomi daerah. Antara lain semakin melebarnya ketimpangan
7
M. Ryaas Rasyid. Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah: Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Syamsuddin Haris, editor.(LIPI Press,2005), h. 4-5.
(29)
tingkat kemajuan pembangunan, kesejahteraan, dan kemampuan keuangan antar
daerah. Selain itu masih minimnya kemampuan daerah dalam mengelola diri
sendiri juga merupakan masalah yang dihadapi beberapa daerah di Indonesia.
Politisasi (otonomi daerah), terutama dalam kasus pemekaran wilayah yang
cenderung berlebihan hanya menyebabkan pemborosan uang negara. Demikian
pula maraknya korupsi di daerah, memunculkan fenomena “desentralisasi
korupsi”.8
Selain beberapa permasalahan tersebut, otonomi daerah juga memberikan
beberapa tanda-tanda adanya pemerataan pembangunan. Saat ini mulai muncul
tanda-tanda bahwa berbagai daerah yang pada masa lalu sangat pasif saat ini
mulai aktif. Bahkan tanda-tanda peningkatan infrastuktur daerah sudah mulai
terlihat pada gelombang pertama otonomi daerah.
Tabel 1.5.Perkembangan Sekilas Infrastruktur Daerah Pasca-Otonomi Daerah (dalam persen)
Pulau 1996 1999 2002
PLN¹ SD² Aspal³ PLN¹ SD² Aspal³ PLN¹ SD² Aspal³
Sumatera 38,69 85,54 53,83 48,93 86,37 53,31 53,41 87,53 58,58 Jawa & Bali 64,42 99,34 77,06 78,98 99,40 74,85 77,73 99,32 72,55 Kalimantan 44,80 90,41 29,91 52,08 93,75 30,60 56,57 92,24 32,40 Sulawesi 39,38 96,86 54,79 49,98 93,70 54,41 51,71 95,59 59,20 Maluku,
Papua, dan Nusa
Tenggara
29,25 91,53 43,81 37,08 89,86 41,21 36,63 88,34 41,33
Sumber: Usman (2007) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 523 Keterangan:
1) Jumlah rumah tangga pelanggan PLN dibagi jumlah rumah tangga;
8
Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia: Kajian dan Renungan Terhadap Masalah-masalah Struktural, Transformasi Baru, dan Prospek Perekonomian Indonesi (Jakarta:Pernada Media Grup, 2009), h. 484.
(30)
2) Jumlah SD dibagi jumlah desa; dan
3) Jumlah desa beraspal dibagi jumlah desa.
Pada Tabel 1.5 memperlihatkan, untuk infrastuktur trasportasi (jalan raya
beraspal) di Sumatera misalnya, pada tahun 1999 sekitar 53,31 persen jalan-jalan
di desa sudah beraspal. Angka ini lebih rendah daripada data di tahun 1996 yang
sudah mencapai 53,83 persen. Namun di tahun 2002 persentasenya meningkat
menjadi 58,58 persen. Peningkatan persentase jalan beraspal di pelosok perdesaan
pada periode 1999-2001 juga terjadi di Kalimantan, dari 30,6 menjadi 32,4
persen, Sulawesi dari 54,41 menjadi 59,20 persen. Adapun di Jawa dan Bali, pada
periode yang sama justru terjadi penurunan persentase jalan beraspal di perdesaan,
yakni dari 74,85 menjadi 72,55 persen.
Penurunan infrastruktur listrik (persentase rumah tanggga pelanggan PLN)
juga terjadi penurunan di Jawa dan Bali selama periode 1999-2002 (78,98 menjadi
77,73 persen). Hal serupa juga dialami oleh Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara,
dari 37,08 menjadi 36,63 persen. Adapun daerah-daerah lainya (meliputi
mayoritas daerah) di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi mengalami kenaikan
persentase rumah tangga pelanggan PLN sehingga kondisi infrastruktur listrik di
daerah ini mengalami perbaikan. Peningkatan yang paling signifikan terjadi di
Sumatera (48,93 menjadi 53,41 persen), di susul Kalimantan (52,08 sampai 56,57
persen), lalu Sulawesi (49,98 menjadi 51,71 persen).
Selain perbaikan infrastuktur di daerah, pembangunan daerah juga ditopang
oleh lebih meratanya kepemilikan dan peredaran uang di seluruh Indonesia. Pada
Gambar 1.1, menunjukkan di tahun 1997, 86,6 persen dari seluruh simpanan
(deposito) milik masyarakat di Indonesia ada di Pulau Jawa. Namun di Jawa pun
(31)
sebesar 67,3 persen dan sisanya dibagi ke semua provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Sumatera hanya sebesar 7,3 persen, dan yang paling menyedihkan seluruh
Indonesia bagian Timur hanya sebesar 6,2 persen. Kemudian tahun 2007, data
masyarakat di perbankan di Pulau Jawa turun menjadi 75,3 persen, walaupun DKI
Jakarta masih menguasai hampir setengah deposito masyarakat Indonesia.
Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009.
Hal 528
Gambar 1.1.Distribusi Regional Simpanan Masyarakat di Perbankan.
Perubahan yang lebih signifikan terjadi pada penyaluran simpanan
masyarakat itu oleh perbankan sebagai kredit. Pada Gambar 1.2, menunjukkan
bahwa penyaluran kredit ke Sumatera dan Kawasan Indonesia Timur selama
periode 1999-2007 masing-masing naik lebih dari dua kali lipat. Dalam kurun
waktu yang sama, DKI Jakarta yang semula menguasai dua pertiga (68,2 persen)
alokasi kredit perbankan nasional turun proporsinya menjadi sekitar sepertiganya
(36,2 persen) dari kredit perbankan nasional, meskipun angka ini masih
menunjukkan dominasi DKI Jakarta.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
Indonesia Timur
Jatim Jateng & DIY Jabar & Banten
Jakarta Sumatera
1997 2007
(32)
Lonjakan kredit tertinggi terjadi di Jawa Barat dan Banten yang mencapai
hampir tiga kali lipat. Namun provinsi lain di Jawa tengah, Jawa Timur, dan DIY
mengalami kenaikan kredit yang paling kecil. Secara keseluruhan pada tahun
2007, provinsi yang ada di Jawa masih menguasai 71,5 persen dari total kredit
perbankan nasional. Proporsi ini sebenarnya sudah berkurang dibanding pada
tahun 1997, sebelum otonomi daerah, ketika seluruh provinsi di Pulau Jawa
menunjukkan angka 86,6 persen dari total kredit perbankan nasional.
Sumber: Bank Indonesia (2008) dalam Faisal Basri. Lanskap Ekonomi Indonesia.2009. Hal 528
Gambar 1.2.Distribusi Regional Penyaluran Kredit Perbankan
Pelaksanaan otonomi daerah sejauh ini memang banyak menimbulkan akses
negatif. Para pengusaha mengeluh karena banyak pungutan yang tidak memiliki
landasan yang kuat. Praktik korupsi yang hampir merata di seluruh daerah.
Sementara itu pelayanan publik justru cenderung memburuk dan pembangunan
infrastruktur dikesampingkan.
0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80%
Indonesia Timur
Jatim Jateng & DIY Jabar & Banten
Jakarta Sumatra
1997 2007
(33)
Meskipun demikian, banyaknya masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah
tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk menyimpulkan bahwa otonomi
harus diakhiri. Dari segi gagasannya, otonomi daerah tetap lebih baik dari pada
sentralisme dan karenanya tetap layak diteruskan dan diperjuangkan.
Bagaimanapun, secara ideal otonomi daerah dapat berfungsi sebagai jangkar
pengaman untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kegiatan pemerintahan
yang efektif untuk meningkatkan kemakmuran rakyat secara keseluruhan.
Efektifitas pemerintahan antara lain diukur dari kemampuannya memenuhi
pelayanan masyarakat dan mendorong pendayagunaan seluruh potensi sumber
daya secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat.9
Selain beberapa keterbatasan pada pelaksanaannya, otonomi daerah telah
menunjukkan hasil dan kemajuan yang cukup mengembirakan. Bahwa manfaat
selama ini masih kurang jika dibanding dengan mudaratnya, kembali lagi bahwa
otonomi daerah merupakan proses pembelajaran. Demi memperoleh pemahaman
yang fair dan berimbang, perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk melihat apa saja kemajuan dan manfaat yang selama ini sudah di capai dari
otonomi daerah. Dalam hal ini masalah ketimpangan menjadi pokok bahasan
dalam penelitian ini, mengingat salah satu indikator bahwa otonomi daerah
memberikan manfaat atau tidak, dapat diamati dari tingkat ketimpangan antar
wilayah. Mengingat ketimpangan antar wilayah membawa implikasi terhadap
tingkat kesejahteraan masyarakat antar wilayah.
9
(34)
1.2 Perumusan Masalah
Salah satu penyebab ketimpangan antar wilayah adalah pola pengembangan
yang dilaksanakan pemerintah orde baru yang bersifat sentralistik. Sifat
pemerintahan yang sentralistik yang terjadi selama ini disamping telah
menyebabkan terpuruknya perekonomian nasional juga menimbulkan
ketimpangan pertumbuhan ekonomi antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta.
Ketimpangan tersebut mengakibatkan semakin melebarnya kesenjangan antara
kaya dan miskin, ketimpangan antar wilayah dan ketimpangan antar sektor
ekonomi. Belum optimalnya pemanfaatan sumber daya alam, rendahnya akses
pasar baik pasar regional, nasional maupun internasional, kapasitas sumberdaya
manusia, kelembagaan yang belum mendukung, infrastruktur yang kurang
memadai, dan pembangunan ekonomi yang terfokus di kota-kota besar juga
menyebahkan gap antar wilayah tersebut.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi harus dimbangi oleh
pemerataan pendapatan antar daerah. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi
ketimpangan yang dapat mengakibatkan masalah-masalah sosial, meskipun hal itu
bukan hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, tetapi juga faktor-faktor lainnya
yang tidak dapat dipisahkan seperti kehidupan sosial, politik, kebudayaan dan
sejarah. Contoh yang dapat di lihat di Indonesia, dimana ketimpangan pendapatan
menyebabkan pula munculnya manifestasi ketidakpuasan rakyat, yang akhirnya
dapat menimbulkan konflik horizontal. Serta ketidakpuasan daerah, yang
memunculkan konflik vertikal.10
10
Tadjoeddin et al. Aspirasi Terhadap Ketidakmerataan: Disparitas Regional dan konflik Vertikal di Indonesia (UNSFIR,2001), h. 7-8.
(35)
Setelah diberlakukannya Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah telah mengubah secara fundamental tata cara bernegara di
Indonesia. Kewenangan penuh pemerintah pusat hanya tersisa pada lima bidang
saja, yakni: pertahanan-keamanan, politik luar negeri, keuangan, agama, dan
kehakiman. Sisanya menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah. Saat ini
salah satu masalah utama otonomi daerah adalah kian tajamnya kesenjangan
antara daerah-daerah itu sendiri. Belum lagi praktek korupsi yang hampir merata
di seluruh daerah. Meskipun demikian, banyaknya masalah tentunya tidak
seharusnya kita berkesimpulan bahwa otonomi daerah tidak memberi manfaat dan
kemajuan bagi bangsa kita.
Berkaitan dengan masalah di atas muncul pertanyaan mengenai pola
pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta yang merupakan pusat perekonomian di
Indonesia, serta daerah-daerah lain di luar DKI Jakarta di masa otonomi daerah
maupun sebelum otonomi daerah. Apakah di masa otonomi daerah sekarang ini
ketimpangan di DKI Jakarta maupun luar DKI Jakarta sudah berkurang dan
apakah ada hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan berlaku.
Pada masa otonomi daerah ini seharusnya pemerintah daerah berlomba
meningkatkan perekonomian daerah dan mengurangi ketimpangan. Sehingga
pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat diimbangi oleh pemerataan pendapatan
antar daerah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah yang akan dikaji
(36)
1. Bagaimana klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar DKI
Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi daerah?
2. Bagaimana ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta
sebelum dan setelah otonomi daerah?
3. Bagaimanakah trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian di atas, maka tujuan dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis klasifikasi pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan luar
DKI Jakarta berdasarkan Klassen Typology sebelum dan setelah otonomi daerah.
2. Menganalisis ketimpangan pendapatan di DKI Jakarta dan luar DKI
Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah.
3. Menganalisis trend ketimpangan di DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta sebelum dan setelah otonomi daerah.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi para akademisi, sebagai
(37)
disparitas/ketimpangan antara DKI Jakarta dan luar DKI Jakarta dan
referensi bagi penelitian lebih lanjut dan mendalam.
2. Berguna untuk mengevaluasi kegiatan pembangunan dan sebagai
rekomendasi kebijakan bagi pemerintah dalam mengatasi masalah
(38)
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Pembangunan Ekonomi
Dalam kebanyakan literatur mengenai pembangunan ekonomi sebelum
tahun 1970-an, pada umumnya pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai:
Suatu proses yang menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat berketerusan dalam jangka panjang.11 Dengan meningkatnya pertumbuhan tersebut diyakini akan menciptakan lapangan pekerjaan dan
berbagai peluang ekonomi lain sehingga distribusi dari hasil-hasil pertumbuhan
ekonomi akan menjadi lebih merata dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai.
Itulah yang secara luas secara luas dikenal sebagai prinsip “efek menetes ke
bawah”.12
Dengan kata lain, tingkat pertumbuhan ekonomi merupakan unsur yang
lebih diutamakan dibanding dengan masalah kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan distribusi pendapatan.
Namun, selama dekade 1970-an keberhasilan untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara berkembang gagal untuk
memperbaiki taraf hidup sebagian besar penduduknya. Hal tersebut menunjukkan
ada yang salah dengan mendefinisikan pembangunan itu sendiri. Para ekonom dan
perumus kebijakan mulai beranggapan bahwa tingkat pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) yang tinggi bukanlah suatu indikator tunggal atas
terciptanya kemakmuran dan kriteria kinerja pembangunan. Sejak itu mulai
11
Sadono Sukirno, Ekonomi Pembangunan: Proses, masalah, dan Dasar Kebijakan (Jakarta: Kencana,2007), h. 11.
12
Efek e etes ke bawah erupaka salah satu topik pe ti g dala literatur e ge ai
pembangunan ekonomi pada tahun 1950-an sampai 1960-an. Dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainya. Lihat Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia: Beberapa masalah penting, Jakarta:Ghalia Indonesia,2001, h.82.
(39)
mempertimbangkan untuk mengubah strategi guna mengatasi berbagai masalah
mendesak seperti tingkat kemiskinan yang semakin parah, ketimpangan distribusi
yang semakin tinggi, dan tingkat pengangguran yang semakin besar.
Secara sederhana Sukirno mendefinisikan pembangunan ekonomi sebagai:
pertumbuhan ekonomi ditambah dengan perubahan13. Artinya, suatu pembangunan ekonomi dalam suatu negara tidak saja dilihat dari pertumbuhan
PDB, tetapi juga perlu diukur dari perubahan lain yang berlaku dalam beberapa
aspek kegiatan ekonomi seperti perkembangan pendidikan, perkembangan
teknologi, peningkatan dalam kesehatan, peningkatan dalam infrastruktur yang
tersedia, penurunan ketimpangan, peningkatan dalam pendapatan dan
kemakmuran masyarakat.
Sedangkan Todaro dalam mendefinisikan pembangunan menjelaskan
sebagai berikut:
Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan.14
Dengan demikian, pembangunan harus mencakup perubahan secara keseluruhan,
tanpa mengabaikan kebutuhan masyarakat yang beragam, untuk bergerak maju
untuk mecapai kondisi kehidupan yang lebih baik, secara material maupun
spiritual.
Mengacu pada definisi pembangunan diatas, maka para ekonom
memutuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan, Dudleey Seer dalam
Todaro merumuskan ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan bukan lagi
13
Sadono Sukirno, op cit, h. 11.
14
(40)
menciptakan tingkat pertumbuhan PDB setinggi-tingginya, melainkan dalam
pembangunan harus ada penanggulangan ketimpangan pendapatan atau ada
pemerataan dalam distribusi pendapatan, penghapusan atau setidaknya terdapat
penurunan tingkat kemiskinan disuatu negara, dan yang terahir harus ada
penurunan tingkat pengangguran dalam konteks perekonomian yang terus
berkembang.15
Walaupun memahami kekurangan-kekurangan dari data PDB maupun data
pendapatan per kapita (pendapatan rata-rata penduduk) sebagai alat untuk
mengukur tingkat kelajuan pembangunan ekonomi dan taraf kemakmuran
masyarakat, hingga saat ini data pendapatan per kapita selalu digunakan untuk
memberikan gambaran mengenai pembangunan ekonomi.
Salah satu teori pembangunan ekonomi yang populer adalah teori yang
dikemukakan oleh Walt Withman Rostow. Menurut Rostow, pembangunan
ekonomi atau proses transformasi suatu masyarakat tradisional menjadi
masyarakat moderen merupakan suatu proses yang multidimensional.
Pembangunan ekonomi juga bukan hanya berarti perubahan struktur ekonomi
suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peran sektor pertanian dan
meningkatnya sektor industri saja. Dalam pembangunan ekonomi Rostow ada
lima tahapan masyarakat dalam pembangunan ekonomi.16
Pertama, masyarakat tradisional (traditional society) yaitu masyarakat yang memiliki tingkat produksi per kapita dan produktivitas per pekerja masih sangat
terbatas. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar sumber daya masyarakat
digunakan untuk kegiatan dalam sektor pertanian. Terkadang dalam tahap
15
Ibid., Hal 19
16
Didin S. Damanhuri. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, kritik, dan Solusi bagi Indonesia dan Negara Sedang Berkembang (Bogor: IPB Press,2010), h. 31.
(41)
masyarakat tradisional terdapat sentralisasi dalam pemerintahan dan kekuasaan
politik masih di daerah yaitu oleh tuan-tuan tanah. Kedua, prasyarat tinggal landas (preconditions for take-off) atau biasa disebut masa transisi dimana masyarakat mempersiapkan dirinya untuk mencapai pertumbuhan dari kemampuannya
sendiri. Rostow mengartikan pembangunan ekonomi sebagai suatu proses yang
menyebabkan perubahan ciri-ciri penting dalam suatu masyarakat; yaitu
perubahan dalam sistem politiknya, struktur sosialnya, nilai-nilai masyarakatnya,
dan struktur kegiatan ekonominya. Proses pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan
berlaku, jika perubahan-perubahan tersebut muncul. Suatu masyarakat yang telah
mencapai taraf pertumbuhan ekonomi yang sering terjadi, sudah dapat dikatakan
berada dalam tahap prasyarat tinggal landas.17
Ketiga, tahapan tinggal landas (the take-off), dalam tahap ini ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar dalam masyarakat seperti revolusi politik, adanya
inovasi-inovasi yang besar dalam terciptanya kemajuan, dan pasar semakin luas.
Oleh karena itu ciri utama pada tahapan ini adalah adanya pertumbuhan ekonomi
yang selalu terjadi. Keempat, tahapan menuju kedewasaaan (drive to maturity) ditandai adanya penggunaan teknologi moderen dalam pengelolaan sumber daya
sehingga terjadi efektifitas yang tinggi. Kelima, tahap konsumsi massa yang tinggi (high mass-consumption) merupakan tahap terahir dalam teori pembangunan ekonomi menurut Rostow, pada tahap ini perhatian utama bukan
lagi kepada produksi, melainkan pada masalah konsumsi dan kesejahteraan
masyarakat.18
17
Ibid, h.32-34.
18
(42)
Dalam membedakan proses pembangunan ekonomi menjadi kelima tahap
seperti yang dijelaskan diatas, Rostow membuat penggolongannya berdasarkan
kepada ciri-ciri perubahan keadaan ekonomi, politik, dan sosial yang terjadi.
Menurut Rostow pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat
tradisional menjadi suatu masyarakat moderen merupakan suatu proses yang
memiliki banyak dimensi. Pembangunan ekonomi bukan saja berarti perubahan
dalam struktur ekonomi suatu negara yang menyebabkan peranan sektor pertanian
menurun dan peranan kegiatan industri meningkat. Akan tetapi pembangunan
ekonomi antara lain adalah proses yang menyebabkan:
1. Perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya
mengarah ke dalam menjadi berorientasi ke luar.
2. Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu
dari menginginkan banyak anak menjadi membatasi jumlah keluarga.
3. Perubahan dalam kegiatan penanaman modal masyarakat dari melakukan
penanaman modal yang tidak produktif menjadi penanam modal yang
produktif.
4. Perubahan sikap masyarakat dalam menentukan kedudukan seseorang dalam
masyarakat dari ditentukan oleh kedudukan keluarga atau suku bangsanya
menjadi ditentukan oleh kesanggupan melaksanakan pekerjaan.
5. Perubahan dalam pandangan masyarakat yang pada mulanya berkeyakinan
bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh keadaan alam sekitaranya dan
selanjutnya berpandangan bahwa manusia harus memanipulasi keadaan alam
sekitarnya untuk menciptakan kemajuan.19
19
(43)
Menurut Rostow perubahan-perubahan ini, dan banyak lagi perubahan yang
bercorak sosial, politik, dan kebudayaan, merupakan perubahan yang selalu
mengikuti tingkat perkembangan kegiatan ekonomi suatu masyarakat. Dengan
melihat perkembangan ekonomi dan perubahan-perubahan dalam struktur
ekonomi yang terjadi di Indonesia, muncul pertanyaan pada tahapan manakah
Indonesia saat ini? Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan tersebut haruslah
ada pengkajian yang lebih dalam sehingga dapat diterima oleh berbagai kalangan.
Teori selanjutnya adalah teori perubahan struktural. Teori ini fokus terhadap
mekanisme yang membuat negara-negara berkembang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dengan cara mentransformasikan struktur
perekonomiannya dari yang semula sektor pertanian yang bersifat tradisional
menjadi dominan ke sektor industri manufaktur yang lebih moderen dan sektor
jasa-jasa. Teori ini dirumuskan oleh W. Arthur Lewis. Menurut Lewis, proses
pembangunan di negara berkembang mengalami kelebihan penawaran tenaga
kerja yang dikenal dengan model dua-sektor Lewis (Lewis two-sector model). Model pembangunan ini menjelaskan bahwa perekonomian yang terbelakang
terdiri dari dua sektor. Pertama yaitu sektor tradisional, yaitu sektor perdesaan
subsistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal
tenaga kerja sama dengan 0. Kondisi ini yang melatarbelakangi Lewis untuk
mendefinisikan suplus tenaga kerja (surplus labor).20
Kedua, sektor industri perkotaan dengan tingkat produktivitas tinggi
sehingga dapat menampung tenaga kerja dari sektor subsistem. Perhatian utama
model ini terletak pada proses pengalihan tenaga kerja, pertumbuhan output, dan
20
(44)
peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor moderen. Sedangkan percepatan
terjadinya pertumbuhan output ditentukan oleh tingkat investasi di industri dan
akumulasi modal di sektor moderen. Dalam teori ini, Lewis menyimpulkan bahwa
trasformasi struktural perekonomian dengan sendirinya akan terjadi dan suatu
perekonomian pada akhirnya akan beralih dari perekonomiaan pertanian
tradisional yang berpusat di daerah pedesaan menjadi sebuah perekonomian
industri moderen yang beroriantasi pada pola kehidupan perkotaan. 21
Selanjutnya Lewis menunjukkan pula pentingnya pembangunan seimbang
di sektor produksi yang menghasilkan barang-barang kebutuhan dalam negeri dan
barang-barang untuk diekspor. Peranan sektor ekspor dalam pembangunan dapat
ditunjukkan dengan merujuk pada implikasi dari timbulnya perkembangan yang
tidak seimbang antara sektor dalam negeri dan sektor luar negeri. Untuk
menjelaskan hal tersebut perekonomian perlu dibedakan menjadi tiga sektor, yaitu
sektor pertanian, sektor industri, dan sektor ekspor. Apabila sektor industri
berkembang, permintaan di sektor pertaniaan akan meningkat. Apabila kenaikan
produksi sektor industri merupakan penggantian terhadap barang-barang impor,
maka devisa yang dihemat dapat digunakan untuk mengimpor barang sektor
pertanaian.
Akan tetapi jika sektor pertanian tidak berkembang, maka akan harga pada
sektor pertanian akan naik dan impor akan naik, sehingga meninbulkan defisit
neraca pembayaran. Tetapi jika sektor ekspor berkembang, defisit neraca
pembayaran dapat diatasi. Dengan demikian perkembangan sektor industri tanpa
diikuti oleh sektor pertanian dapat terus berlangsung hanya apabila sektor ekspor
21
(45)
juga mengalami perkembangan. Dengan pendekatan yang sama dapat ditunjukkan
bahwa perkembangan sektor pertanian tanpa diikuti perkembangan sektor
industri, akan terus berlangsung hanya jika sektor ekspor berkembang. Dari uraian
ini dapat disimpulkan bahwa menurut pandangan Lewis salah satu fungsi penting
dari sektor ekspor adalah untuk menjamin kelangsungan pembangunan apabila
tidak terdapat pembangunan yang seimbang di antara sektor-sektor dalam negeri,
yaitu sektor industri dan sektor pertanian.22
2.2. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi merupakan usaha-usaha untuk meningkatkan taraf
hidup suatu bangsa yang sering diukur dengan tinggi rendahnya pendapatan riil
per kapita. Tujuan pembangunan ekonomi disamping untuk menaikan pendapatan
nasional riil juga untuk meningkatkan produktivitas. Jadi dalam ekonomi
pembangunan tidak hanya menggambarkan jalannya pengembangan ekonomi
saja, tetapi juga menganalisis hubungan sebab akibat dari faktor-faktor
perkembangan tersebut. Kenaikan output per kapita dalam jangka panjang juga
dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi. Jadi persentase pertambahan
output itu haruslah lebih tinggi dari persentase pertambahan jumlah penduduk dan
ada kecenderungan dalam jangka panjang bahwa pertumbuhan itu akan berlanjut. 23
Schumpeter (1934), dalam Boediono menjelaskan makna pertumbuhan
ekonomi sebagai berikut:
22
Sadono Sukirno, Op cit, h. 280.
23
(46)
Pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan dalam proses produksi masyarakat tanpa adanya perubahan
“teknologi” dalam produksi itu sendiri. Sebagai contoh adalah kenaikan Growth Domestic Product (GDP) yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk atau oleh pertumbuhan stok kapital (dengan teknologi lama).24 Pertumbuhan digunakan sebagai ungkapan umum yang menggambarkan
tingkat perkembangan suatu negara yang diukur melalui persentase pertambahan
pendapatan nasional riil. Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi
yang diikuti oleh perubahan dalam struktur dan corak kegiatan ekonomi. Para ahli
ekonomi mempunyai keterkaitan terhadap masalah perkembangan pendapatan
nasional riil, juga kepada moderenisasi kegiatan ekonomi, misal: usaha merombak
sektor pertaniaan yang tradisional, masalah percepatan pertumbuhan ekonomi dan
masalah pemerataan pendapatan per kapita secara terus-menerus. Sedangkan
pertumbuhan ekonomi belum tentu diikuti kenaikan pendapatan per kapita.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi terjadi ketika terdapat lebih
banyak output dan dapat meliputi penggunaan input lebih banyak dan lebih
efisien. Pembangunan ekonomi terjadi saat lebih banyak output juga
perubahan-perubahan dalam kelembagaan dan pengetahuan teknik dalam menghasilkan
output yang lebih banyak. Pembangunan ekonomi menunjukkan
perubahan-perubahan dalam struktur output dan alokasi input pada berbagai sektor
perekonomian di samping kenaikan output. Pada umumnya pembangunan selalu
disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan
pembangunan.25
24
Boediono.1982. Teori Pertumbuhan Ekonomi: Seri Sinopsis pengantar Ilmu Ekonomi No.4
(Yogyakarta: Balaksumur,1982), h. 55.
25
(47)
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi adalah istilah yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi lebih mengacu pada
proses peningkatan produksi barang dan jasa. Sedangkan pembangunan ekonomi
memiliki arti yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi
masyarakat secara keseluruhan.26
Menurut Todaro ada tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan
ekonomi dari setiap bangsa. Ketiga faktor tersebut adalah :
1. Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik, dan modal atau sumber daya manusia.
Akumulasi modal terjadi apabila sebagian dari pendapatan ditabung dan
diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di
kemudian hari.
2. Pertumbuhan penduduk yang pada akhirnya akan memperbanyak jumlah
angkatan kerja. Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja
(yang terjadi beberapa tahun setelah pertumbuhan penduduk) secara
tradisional dianggap sebagai salah satu faktor yang memacu pertumbuhan
ekonomi. Jumlah tenaga kerja yang lebih besar berarti akan menambah
jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar
berarti meningkatkan ukuran pasar domestik.
3. Kemajuan teknologi yang terjadi karena ditemukannya cara baru atau
perbaikan atas cara-cara lama dalam menangani pekerjaan-pekerjaan
tradisional. Dalam hal ini dikenal ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi,
yaitu :
26
(48)
Kemajuan teknologi yang bersifat netral, terjadi apabila teknologi tersebut memungkinkan kita mencapai tingkat produksi yang lebih tinggi dengan
menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama. Inovasi yang
sederhana, seperti pembagian tenaga kerja yang lebih spesifik yang dapat
meningkatkan output, adalah contohnya.
Kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja, terjadi apabila kemajuan teknologi dapat menghemat pemakaian modal atau tenaga kerja. Dengan
kata lain penggunaan teknologi tersebut memungkinkan kita memperoleh
output yang lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja atau modal yang
sama.
Terakhir adalah kemajuan teknologi yang hemat modal, merupakan fenomena yang cukup langka di negara yang relatif maju. Hal tersebut
dikarenakan dalam penelitian di dunia pengetahuan dan teknologi di
negara-negara maju yang merupakan tujuan utama adalah menghemat
pekerja, bukan menghemat modal. Tetapi di negara berkembang kemajuan
teknologi yang hemat modal sangat diperlukan. Kemajuan yang ini akan
menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien.27
Salah satu teori yang memberikan perhatian khusus pada peranan kapital
yang dapat diprensentasikan dengan kegiatan investasi yang ditanamkan pada
suatu daerah untuk menarik kapital ke dalam daerahnya adalah teori pertumbuhan
Harrod-Domar. Hal ini jelas akan berpengaruh pada kemampuan daerah untuk
tumbuh sekaligus menciptakan perbedaan dalam kemampuan menghasilkan
pendapatan. Investasi akan lebih menguntungkan apabila dialokasikan pada
27
(49)
daerah-daerah yang dinilai mampu menghasilkan return (pengembalian) yang besar dalam jangka waktu yang relatif cepat. Mekanisme pasar justru akan
menyebabkan ketidakmerataan dimana daerah-daerah yang relatif maju akan
tumbuh semakin cepat sementara daerah yang kurang maju tingkat
pertumbuhannya relatif lambat. Jadi, dalam model ini tingkat pertumbuhan daerah
berbeda-beda, maka ketidakmerataan ini akan cenderung semakin melebar jika
tidak ada faktor yang menyeimbangkan, misalnya pembangunan infrastruktur dan
mobilitas tenaga kerja. Sehingga dalam teori ini, pertumbuhan ekonomi
memerlukan investasi baru ditambah stok kapital yang telah ada dengan asumsi
perekonomian dalam keadaan full employment.28
Untuk memperjelas pendapat Harrod-Domar bahwa dalam penanaman
modal akan mempercepat proses pertumbuhan ekonomi dapat diterangkan dengan
menggunakan pertolongan gambar. Dalam Gambar 2.1, fungsi S adalah fungsi
tabungan. Karena teori ini memisalkan tingkat tabungan masyarakat adalah
proposional dengan pendapatan nasional, maka fungsi tersebut dimulai dari titik
O. Kemudian dimisalkan pula bahwa pada permulaannya perekonomian telah
mencapai tingkat pengunaan sepenuhnya barang-barang modal yang tersedia.
Tingkat tersebut adalah pada titik Ys =Y , dimana Ys adalah jumlah keseluruhan
kapasitas barang-barang modal pada tahun permulaan dan Y adalah pendapatan
pada waktu tersebut. Karena pemisahan ini, maka pada tahun tersebut penanaman
modal haruslah mencapai sebesar tabungan pada tingkat kapasitas penuh dari
barang-barang modal. Maka haruslah I = S .29
28
Ibid., h. 129.
29
(50)
Penanaman modal tersebut akan menaikkan kapasitas barang-barang modal
pada masa berikutnya. Menurut teori Harrod-Domar penanaman modal sebesar I
menyebabkan pada masa berikutnya kapasitas barang-barang modal sebesar
ΔYs =ΔI. Pada gambar kenaikan tersebut berarti kenaikan kapasitas barang-barang modal dari Ys menjadi Ys . Agar kapasitas barang-barang-barang-barang modal yang
telah menjadi Ys tersebut sepenuhnya digunakan, penanaman modal dalam tahun
tersebut haruslah mencapai I + ΔI. 30
S,I
S
I+ ΔI
ΔI
I
S
Y
Ys = Y Ys
Sumber: Sukirno, Sadono. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. 2006. Hal 261.
Gambar 2.1 Teori Harrod-Domar dalam Grafik
Dalam analisis teori-teori pertumbuhan mengenai proses pembangunan
menekankan kepada peramalan akhir dari proses pembangunan ekonomi.
Teori-teori pertumbuhan sebelum Neo-Klasik memberikan pandangan yang sangat
pesimis mengenai keadaan proses pembangunan dalam jangka panjang. Menurut
pandangan ahli-ahli ekonomi Klasik, kelebihan penduduk akan menyebabkan
masyarakat mengalami kemunduran kembali dalam pembangunannya. Sedangkan
30
(1)
120
Jawa Timur 7816300 36895600 0.170357 937836.8 8.79538E+11 1.49836E+11
Bali 6417700 3479800 0.016067 -460763.2 2.12303E+11 3411108165
Nusa Tenggara Barat 3758300 4292500 0.019820 -3120163.2 9.73542E+12 1.92953E+11
Nusa Tenggara Timur 2467600 4448900 0.020542 -4410863.2 1.94557E+13 3.99655E+11
Kalimantan Barat 6126400 4178500 0.019293 -752063.2 5.65599E+11 10912260589
Kalimantan Tengah 7490000 2028300 0.009365 611536.8 3.73977E+11 3502378383
Kalimantan Selatan 7423100 3396700 0.015683 544636.8 2.96629E+11 4652183522
Kalimantan Timur 16531400 3024800 0.013966 9652936.8 9.31792E+13 1.30137E+12
Sulawesi Utara 6536600 2186800 0.010097 -341863.2 1.1687E+11 1180047255
Gorontalo 2397100 960300 0.004434 -4481363.2 2.00826E+13 89045684019
Sulawesi Tengah 5399700 2396200 0.011064 -1478763.2 2.18674E+12 24193905816
Sulawesi Selatan 5303200 7700300 0.035554 -1575263.2 2.48145E+12 88226602229
Sulawesi Barat 3321500 1016700 0.004694 -3556963.2 1.2652E+13 59393268451
Sulawesi Tenggara 4432500 2031500 0.009380 -2445963.2 5.98274E+12 56118017529
Maluku 2556300 1302000 0.006012 -4322163.2 1.86811E+13 1.12305E+11
Maluku Utara 2583600 944300 0.004360 -4294863.2 1.84458E+13 80425601664
Papua 7886300 2015600 0.009307 1007836.8 1.01574E+12 9453017167
Papua Barat 6669500 716000 0.003306 -208963.2 43665613301 144357132.9
Indonesia non DKI Jakarta 6878463 216578000 5.43787E+12
(2)
121 Lampiran 34. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2008
Provinsi
PDRB per Kapita (Rp)
Jumlah Penduduk
(Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n
Aceh 6150800 4293900 0.019573 -1082640.6 1.17211E+12 22941903955
Sumatera Utara 8286100 13042300 0.059452 1052659.4 1.10809E+12 65877761379
Sumatera Barat 7437600 4763100 0.021712 204159.4 41681057828 904976577
Riau 8219600 5189200 0.023654 986159.4 9.7251E+11 23004010001
Kepulauan Riau 23043800 1453100 0.006624 15810359.4 2.49967E+14 1.65572E+12
Jambi 4651300 2788300 0.012710 -2582140.6 6.66745E+12 84743848038
Sumatera Selatan 6217300 7121800 0.032464 -1016140.6 1.03254E+12 33520176284
Kep. Bangka Belitung 8417400 1122500 0.005117 1183959.4 1.40176E+12 7172472163
Bengkulu 4475300 1641900 0.007484 -2758140.6 7.60734E+12 56936191582
Lampung 4568700 7391100 0.033691 -2664740.6 7.10084E+12 2.39237E+11
Jawa Barat 6801900 40918300 0.186520 -431540.6 1.86227E+11 34735201677
Banten 6814300 9602400 0.043771 -419140.6 1.75679E+11 7689678374
Jawa Tengah 4886200 32626400 0.148723 -2347240.6 5.50954E+12 8.19395E+11
DI Yogyakarta 5662400 3468500 0.015811 -1571040.6 2.46817E+12 39023428839
Jawa Timur 8235100 37094800 0.169092 1001659.4 1.00332E+12 1.69653E+11
Bali 6660200 3516000 0.016027 -573240.6 3.28605E+11 5266616160
Nusa Tenggara Barat 3821100 4363800 0.019892 -3412340.6 1.16441E+13 2.31621E+11
Nusa Tenggara Timur 2535500 4534300 0.020669 -4697940.6 2.20706E+13 4.56178E+11
Kalimantan Barat 6345600 4249100 0.019369 -887840.6 7.88261E+11 15267779090
Kalimantan Tengah 7815200 2057300 0.009378 581759.4 3.38444E+11 3173900746
Kalimantan Selatan 7757700 3446600 0.015711 524259.4 2.74848E+11 4318095385
Kalimantan Timur 16940100 3094700 0.014107 9706659.4 9.42192E+13 1.32913E+12
Sulawesi Utara 7157300 2208000 0.010065 -76140.6 5797392005 58349970.82
Gorontalo 2526900 972200 0.004432 -4706540.6 2.21515E+13 98167593243
(3)
122
Sulawesi Selatan 5652400 7805000 0.035578 -1581040.6 2.49969E+12 88934007530
Sulawesi Barat 3626800 1032300 0.004706 -3606640.6 1.30079E+13 61209745008
Sulawesi Tenggara 4659800 2075000 0.009459 -2573640.6 6.62363E+12 62650249999
Maluku 2592800 1320700 0.006020 -4640640.6 2.15355E+13 1.29649E+11
Maluku Utara 2673500 959600 0.004374 -4559940.6 2.07931E+13 90953102562
Papua 7381400 2056500 0.009374 147959.4 21891982033 205221427.3
Papua Barat 7028200 730200 0.003329 -205240.6 42123706683 140209459.6
Indonesia non DKI Jakarta 7233441 219377000 5.86388E+12
CVw = 0,335
Lampiran 35. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2009
Provinsi
PDRB per Kapita (Rp)
Jumlah Penduduk
(Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n
Aceh 6258200 4363500 0.019642 -1238495.4 1.53387E+12 30129039722
Sumatera Utara 8620800 13248400 0.059638 1124104.6 1.26361E+12 75359563037
Sumatera Barat 7657300 4828000 0.021733 160604.6 25793832232 560589081.1
Riau 8460200 5306500 0.023887 963504.6 9.28341E+11 22175695055
Kepulauan Riau 22772200 1515300 0.006821 15275504.6 2.33341E+14 1.59166E+12
Jambi 4854500 2834200 0.012758 -2642195.4 6.9812E+12 89068033896
Sumatera Selatan 6416200 7222600 0.032513 -1080495.4 1.16747E+12 37957790439
Kep. Bangka Belitung 8486900 1138100 0.005123 990204.6 9.80505E+11 5023330935
Bengkulu 4686900 1666900 0.007504 -2809795.4 7.89495E+12 59240736391
Lampung 4759200 7491900 0.033725 -2737495.4 7.49388E+12 2.52732E+11
Jawa Barat 6951700 41501500 0.186821 -544995.4 2.9702E+11 55489523545
Banten 6944000 9782800 0.044038 -552695.4 3.05472E+11 13452295641
Jawa Tengah 5146400 32864600 0.147941 -2350295.4 5.52389E+12 8.17212E+11
(4)
123
Jawa Timur 8581200 37286200 0.167845 1084504.6 1.17615E+12 1.97411E+11
Bali 6870600 3551000 0.015985 -626095.4 3.91995E+11 6266040874
Nusa Tenggara Barat 4235900 4434000 0.019960 -3260795.4 1.06328E+13 2.12229E+11
Nusa Tenggara Timur 2592000 4619700 0.020796 -4904695.4 2.4056E+13 5.00264E+11
Kalimantan Barat 6592600 4319100 0.019443 -904095.4 8.17389E+11 15892173463
Kalimantan Tengah 8104300 2085800 0.009389 607604.6 3.69183E+11 3466380621
Kalimantan Selatan 8019500 3496100 0.015738 522804.6 2.73325E+11 4301541543
Kalimantan Timur 17402200 3164800 0.014246 9905504.6 9.8119E+13 1.39785E+12
Sulawesi Utara 7623300 2228900 0.010033 126604.6 16028720556 160824031.3
Gorontalo 2658600 984000 0.004430 -4838095.4 2.34072E+13 1.03682E+11
Sulawesi Tengah 6021800 2480300 0.011165 -1474895.4 2.17532E+12 24287799417
Sulawesi Selatan 5937600 7908500 0.035600 -1559095.4 2.43078E+12 86536835722
Sulawesi Barat 3746800 1047700 0.004716 -3749895.4 1.40617E+13 66318814972
Sulawesi Tenggara 4912800 2118300 0.009536 -2583895.4 6.67652E+12 63664719750
Maluku 2660600 1339500 0.006030 -4836095.4 2.33878E+13 1.41024E+11
Maluku Utara 2768100 975000 0.004389 -4728595.4 2.23596E+13 98136469925
Papua 8600900 2097500 0.009442 1104204.6 1.21927E+12 11512312313
Papua Barat 7300600 743900 0.003349 -196095.4 38453412383 128768888.4
Indonesia non DKI Jakarta 7496695 222146000 6.02567E+12
(5)
124 Lampiran 36. Perhitungan Nilai Ketimpangan Williamson antar Provinsi di Indonesia Tanpa DKI Jakarta Tahun 2010
Provinsi
PDRB per Kapita (Rp)
Jumlah Penduduk
(Jiwa) fi/n Yi-Y (Yi-Y)2 (Yi-Y)2*fi/n
Aceh 6461900 4486600 0.019675 -1321266.1 1.74574E+12 34347753367
Sumatera Utara 9081700 12985100 0.056944 1298533.9 1.68619E+12 96017915302
Sumatera Barat 8017500 4846000 0.021251 234333.9 54912373498 1166954761
Riau 8782700 5543000 0.024308 999533.9 9.99068E+11 24285123903
Kepulauan Riau 23438600 1685700 0.007392 15655433.9 2.45093E+14 1.8118E+12
Jambi 5068100 3088600 0.013544 -2715066.1 7.37158E+12 99844208461
Sumatera Selatan 6750600 7446400 0.032655 -1032566.1 1.06619E+12 34816289697
Kep. Bangka Belitung 8737900 1223000 0.005363 954733.9 9.11517E+11 4888679121
Bengkulu 4855900 1713400 0.007514 -2927266.1 8.56889E+12 64384831850
Lampung 4985300 7596100 0.033311 -2797866.1 7.82805E+12 2.60762E+11
Jawa Barat 7266300 43021800 0.188664 -516866.1 2.67151E+11 50401687881
Banten 7177000 10644000 0.046677 -606166.1 3.67437E+11 17150964958
Jawa Tengah 5440800 32380700 0.141999 -2342366.1 5.48668E+12 7.79105E+11
DI Yogyakarta 6086500 3452400 0.015140 -1696666.1 2.87868E+12 43582713986
Jawa Timur 9088700 37476000 0.164344 1305533.9 1.70442E+12 2.80111E+11
Bali 7133900 3891400 0.017065 -649266.1 4.21546E+11 7193690249
Nusa Tenggara Barat 4456900 4496900 0.019720 -3326266.1 1.1064E+13 2.18186E+11
Nusa Tenggara Timur 2675500 4679300 0.020520 -5107666.1 2.60883E+13 5.35336E+11
Kalimantan Barat 6890900 4393200 0.019266 -892266.1 7.96139E+11 15338050465
Kalimantan Tengah 8493800 2202600 0.009659 710633.9 5.05001E+11 4877843513
Kalimantan Selatan 8328600 3626100 0.015902 545433.9 2.97498E+11 4730689177
Kalimantan Timur 18639000 3550600 0.015570 10855833.9 1.17849E+14 1.83497E+12
Sulawesi Utara 8076100 2265900 0.009937 292933.9 85810265780 852668817.9
Gorontalo 2804800 1038600 0.004555 -4978366.1 2.47841E+13 1.12881E+11
(6)
125
Sulawesi Selatan 6358400 8032600 0.035225 -1424766.1 2.02996E+12 71506197842
Sulawesi Barat 4094700 1158300 0.005080 -3688466.1 1.36048E+13 69105568673
Sulawesi Tenggara 5218200 2230600 0.009782 -2564966.1 6.57905E+12 64355453347
Maluku 2763400 1531400 0.006716 -5019766.1 2.51981E+13 1.69222E+11
Maluku Utara 2923800 1035500 0.004541 -4859366.1 2.36134E+13 1.07228E+11
Papua 7983500 2852000 0.012507 200333.9 40133668761 501948057.3
Papua Barat 7546600 760900 0.003337 -236566.1 55963522891 186738138
Indonesia non DKI Jakarta 7783166 228034000 6.84193E+12