Konvergensi Jawa Timur Konvergensi Wilayah

variabel lainnya yang tidak ada dalam model. Kecilnya nilai R-square ini disebabkan sedikitnya variabel independen yang signifikan dalam model, hanya variabel share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas yang memengaruhi variabel dependen. Ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga dalam penelitian ini hanya dipengaruhi oleh pendidikan tenaga kerja, dengan arah yang berlawanan dengan pendekatan PDRB. Kenaikan jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas justru meningkatkan ketimpangan dalam rumah tangga dengan elastisitas 0,70 artinya setiap kenaikan share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas sebesar 1 persen, akan meningkatkan ketimpangan pengeluaran rumah tangga sebesar 0,70 persen. Tenaga kerja dengan pendidikan yang lebih tinggi akan meningkatkan produktivitas dan penghasilan rumah tangga, selanjutnya pengeluaran rumah tangga. Pada level rumah tangga, peningkatan pendidikan akan memperlebar kesenjangan konsumsi.

4.4. Implikasi Kebijakan

Ketimpangan antar wilayah merupakan fenomena yang biasa terjadi di negara berkembang, namun pada tingkat yang lebih lanjut dapat mengakibatkan masalah-masalah ekonomi yang berkepanjangan dan juga tantangan sosial dan politik bahkan dapat memicu disintegrasi bangsa. Oleh karena itu pemerintah mempunyai tanggung jawab penting dalam mewujudkan pemerataan dan distribusi hasil-hasil pembangunan ke arah keseimbangan proporsional sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayahnya masing-masing. Setiap wilayah diharapkan dapat mencapai tingkat pembangunan ekonomi yang cukup untuk kesejahteraan masyarakatnya, tidak hanya peningkatan pendapatan regional secara makro, tetapi juga meso dan mikro. Pemenuhan kebutuhan pada tingkat mikro bertujuan untuk mengenali kebutuhan yang mendesak dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, membantu daerah dalam rangka mencapai kemandirian ekonomi dan meningkatkan daya saing, serta mendorong pengembangan potensi daerah agar mampu mengekspor hasil industri atau pertaniannya, untuk mendukung perekonomian nasional Soedjito, 1997. Pada tingkat meso dilakukan pengembangan wilayah dengan jalan mengaitkan antar-wilayah agar tercipta pusat-pusat pertumbuhan, yang seyogyanya diarahkan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut: 1. Memperjelas hierarki kota dengan menghindari dominasi kota inti terhadap daerah belakangnya sehingga timbul keserasian pembangunan dan arus urbanisasi dapat dikurangi. 2. Wilayah yang telah memiliki sarana dan prasarana lebih lengkap diharapkan dapat lebih menyebarkan hasil-hasil pembangunan agar tidak terjadi pengurasan sumber daya dan eksploitasi daerah-daerah di sekitarnya. 3. Alokasi dana pembangunan lebih diarahkan untuk pembangunan investasi yang mendorong perkembangan ekonomi jangka panjang, terutama pembangunan infrastruktur. Koordinasi pembangunan antar wilayah bukan berarti memperbesar wilayah metropolitan sebagai pusatnya, namun adanya interaksi saling menguntungkan yang tidak bertentangan dengan kebijakan di tingkat nasional sekaligus mewujudkan visi dan misi kebijakan regional. Kebijakan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 ternyata tidak berjalan sesuai dengan tujuan utama yaitu memeratakan pembangunan pada tingkat pemerintahan yang kecil yaitu kabupatenkota. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan wilayah kabupatenkota di Pulau Jawa masih sangat tinggi dan tidak mengalami proses konvergensi, artinya wilayah yang perekonomiannya tertinggal belum dapat mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang sudah lebih maju. Jika dilihat menurut provinsi, Jawa Timur mengalami masalah yang sama yaitu terjadinya proses divergensi, yang disebabkan adanya pusat pertumbuhan yang tidak mampu memberdayakan potensi ekonomi wilayah di sekitarnya. Masalah mendasar yang berhubungan dengan ketimpangan wilayah adalah adanya konsentrasi geografis dari perusahaan-perusahaan manufaktur, terutama industri pengolahan. Hal ini disebabkan adanya keuntungan yang diperoleh dengan adanya cluster beberapa kegiatan produksi di suatu wilayah yang disebut aglomerasi. Beberapa keuntungan aglomaerasi yang disebutkan dalam Sjafrizal 2008 dan Capello 2007 adalah: 1. Keuntungan skala besar, merupakan keuntungan yang diperoleh dalam bentuk penurunan biaya produksi rata-rata per unit karena produksi dilakukan dalam skala besar. Hal ini merupakan keuntungan eksternal yang menimbulkan daya tarik bagi investor untuk datang dan mengembangkan produksi di pusat pertumbuhan tersebut. 2. Keuntungan lokalisasi, merupakan keuntungan dalam bentuk penghematan ongkos angkut, baik untuk bahan baku dan hasil produksi, yang timbul karena berlokasi secara terkonsentrasi dengan perusahaan terkait lainnya di pusat pertumbuhan. 3. Keuntungan urbanisasi, merupakan keuntungan yang muncul karena penggunaan fasilitas dalam sebuah pusat pertumbuhan secara bersama seperti listrik, pergudangan, telepon, air minum dan fasilitas lainnya yang menunjang kegiatan operasional perusahaan. Keuntungan wilayah tersebut tidak dapat dipisahkan dari peranan jaringan. Sebuah jaringan usaha adalah hubungan kerja sama antara dua atau lebih perusahaan yang saling berkaitan untuk berbagi informasi, teknologi, pengetahuan pasar, pengembangan produk dan kualitas produk untuk melakukan kegiatan produksi. Kerja sama antar perusahaan terbukti sangat menguntungkan karena terjadi peningkatan kemampuan dan daya saing melalui akses pada pelanggan baru, pasar dan pengaruh imbas pengetahuan. Di sisi lain, aglomerasi akan mengarah pada pemusatan pertumbuhan di wilayah-wilayah tertentu dan selanjutnya dapat meningkatkan ketimpangan wilayah apabila tidak mampu direspon oleh wilayah-wilayah terbelakang dan jauh dari pusat pertumbuhan. Kebijakan yang lebih efektif sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan ketimpangan di Pulau Jawa dengan meningkatkan akses wilayah terhadap fasilitas-fasilitas yang menunjang kegiatan ekonomi dan kemajuan teknologi. Pembangunan infrastruktur yang merata ke seluruh wilayah merupakan salah satu cara penting yang dapat dilakukan, karena pemerataan pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk kebutuhan rutin dan operasional terbukti tidak mampu mengurangi ketimpangan wilayah. Alokasi pengeluaran pemerintah perlu dikaji ulang dengan mengutamakan pembangunan investasi jangka panjang yang lebih merata dan dapat dinikmati masyarakat luas, khususnya untuk fasilitas kesehatan dan pendidikan. Pemerataan pembangunan manufaktur terutama industri pengolahan dilakukan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan bukan di pusat pertumbuhan, dengan tetap melihat potensi lokal.