Konvergensi Jawa Barat Konvergensi Wilayah

mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen variabel instrumen valid, artinya instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan galat pada persamaan data panel dinamis. Sementara itu untuk melihat konsistensi hasil estimasi dilakukan dengan uji autokorelasi oleh statistik m 1 yang signifikan dan nilai statistik m 2 yang tidak signifikan. Tabel 12 Pengujian Validitas Instrumen dan Konsistensi Model Data Panel Dinamis FD-GMM dalam Estimasi Konvergensi KabupatenKota di Pulau Jawa Uraian Uji Validitas Uji Konsistensi Pendekatan PDRB Jawa valid konsisten Jawa Barat valid tidak konsisten Jawa Tengah valid konsisten Jawa Timur valid konsisten Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga Jawa tidak valid konsisten Jawa Barat valid konsisten Jawa Tengah valid konsisten Jawa Timur valid konsisten Perbedaan kecepatan pertumbuhan antar wilayah dapat menyebabkan ketimpangan wilayah apabila daerah yang telah maju tumbuh lebih cepat daripada daerah yang lebih tertinggal. Namun, ketimpangan akan berkurang apabila terjadi sebaliknya dan daerah yang kurang maju dapat mengejar ketertinggalannya dengan daerah yang sebelumnya lebih dahulu maju. Ketimpangan pendapatan wilayah di Pulau Jawa sangat tinggi dan proses konvergensi tidak terjadi, artinya wilayah yang kaya semakin besar pendapatannya dan yang miskin tidak mampu mengejar ketertinggalannya dengan wilayah yang telah maju. Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada level rumah tangga, ketimpangan kesejahteraan rumah tangga telah berkurang, dibuktikan dengan koefisien lag variabel pengeluaran rumah tangga yang positif dan menghasilkan konvergensi pada tingkat yang relatif besar dibandingkan dengan negara-negara lain. Proses konvergensi pendapatan kabupatenkota di Pulau Jawa tidak terjadi karena PDRB meliputi konsumsi, investasi dan semua aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh seluruh pelaku ekonomi, baik rumah tangga, perusahaan swasta maupun pemerintah. Sedangkan pendekatan pengeluaran hanya melibatkan unsur rumah tangga dalam penghitungannya. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan pembangunan akan lebih cepat terjadi apabila fokus pembangunan diarahkan pada level rumah tangga dan kesejahteraan masyarakat yang menyangkut kemampuan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tabel 13 Estimasi Tingkat Konvergensi Wilayah-wilayah di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Dinamis FD-GMM Uraian Koefisien y t-1 Implied λ Pendekatan PDRB Jawa 1,2722 NA Jawa Barat 0,7908 23,4694 Jawa Tengah 0,9691 3,1434 Jawa Timur 1,2961 NA Pendekatan Pengeluaran Jawa 0,3421 107,2755 Jawa Barat 0,2658 132,5194 Jawa Tengah 0,2892 124,0683 Jawa Timur 0,4466 80,6167 Berdasarkan Tabel 13 terlihat bahwa tingkat konvergensi pendapatan paling tinggi terjadi di Jawa Barat, selanjutnya Jawa Tengah. Tingkat konvergensi dalam provinsi ini lebih besar dibandingkan seluruh pulau karena spillover aktivitas ekonomi suatu wilayah akan lebih dirasakan wilayah lain dalam satu provinsi dibandingkan seluruh pulau. Hal ini didukung oleh kebijakan desentralisasi fiskal memberi dampak semakin besarnya kewenangan daerah untuk mengatur keuangan daerah sesuai dengan prioritas daerahnya. Provinsi Jawa Barat mempunyai tingkat konvergensi yang paling besar di antara wilayah lainnya, baik pendekatan pendapatan regional maupun pengeluaran rumah tangga. Ketimpangan yang terjadi di Jawa Barat juga merupakan yang terkecil dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur dilihat dari koefisien variasi Williamson. Walaupun koefisien variasi Williamson Jawa Tengah menunjukkan ketimpangan wilayah yang semakin meningkat, namun ada upaya untuk mengurangi tingkat pembangunan wilayahnya sehingga semakin merata, ditunjukkan dengan konvergensi yang terjadi. Selain itu struktur perekonomian Jawa Tengah yang relatif didominasi sektor pertanian daripada sektor manufaktur seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur menyebabkan perekonomian yang stabil karena persaingan antar wilayah belum mengarah pada sektor manufaktur. Tingkat konvergensi pendapatan per kapita Jawa Tengah sebesar 3,14 persen berada pada range penelitian Kholodilin et al. 2009 yang menghitung konvergensi provinsi-provinsi berpenghasilan tinggi yang letaknya berdekatan satu sama lain di Rusia 2,8 sampai dengan 3,8 persen.

4.3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah

Ketimpangan wilayah sering terjadi di negara-negara berkembang karena perbedaan kecepatan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kesempatan dan peluang pembangunan pada umumnya dimanfaatkan oleh daerah-daerah yang kondisinya sudah lebih baik. Sedangkan daerah-daerah yang masih sangat terbelakang tidak mampu memanfaatkan peluang ini karena keterbatasan prasarana dan sarana serta rendahnya kualitas sumber daya manusia Sjafrizal, 2008. Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi ketimpangan wilayah di Pulau Jawa dilakukan dengan menggunakan variabel dependen koefisien variasi Williamson PDRB per kapita. Model data panel statis yang terpilih untuk analisis ketimpangan ini adalah random effect berdasarkan uji Hausman dengan p-value sebesar 0,4780. R-square sebesar 0,8685 artinya variasi variabel independen dapat menjelaskan 86,85 persen variasi ketimpangan wilayah, sedangkan 13,35 persen sisanya dijelaskan oleh variabel lainnya yang tidak ada dalam model. Ketimpangan pembangunan antar wilayah di Pulau Jawa dipengaruhi oleh share manufaktur secara negatif, share tenaga kerja berpendidikan SMA ke atas secara negatif, jumlah puskesmas secara negatif, jumlah energi listrik yang terjual secara positif dan volume air bersih yang disalurkan secara positif. Peningkatan kegiatan ekonomi di sektor manufaktur dan peningkatan pendidikan tenaga kerja dapat menurunkan ketimpangan pendapatan. Demikian juga peningkatan infrastruktur sarana kesehatan puskesmas juga menurunkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Namun, peningkatan energi listrik yang terjual dan volume air bersih yang disalurkan kepada konsumen justru meningkatkan ketimpangan wilayah. Tingkat pembangunan ekonomi yang diproksi dengan share sektor ekonomi memengaruhi ketimpangan PDRB dengan elastisitas 0,78. Jika kontribusi manufaktur meningkat sebesar 1 persen, maka ketimpangan akan menurun sebesar 0,78 persen. Arah yang sama terjadi pada variabel pendidikan karena ketimpangan di Pulau Jawa dipengaruhi oleh kualitas sumber daya manusia. Jika kontribusi tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas meningkat sebesar 1 persen, maka ketimpangan pendapatan menurun 1,93 persen. Tabel 14 Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah KabupatenKota Antar Provinsi Pendekatan PDRB di Pulau Jawa dengan Model Data Panel Statis Variable Coefficient Std. Error Prob. C 8,7488 2,8058 0,0036 LOGGOVEXP 0,1269 0,0645 0,0569 LOGAGRI -0,4061 0,3800 0,2923 LOGMANU -0,7784 0,3277 0,0230 LOGEDU -1,9334 0,2660 0,0000 LOGPUSKES -1,6334 0,2713 0,0000 LOGELECTRIC 0,9488 0,2443 0,0004 LOGWATER 0,2696 0,1055 0,0150 LOGROAD 0,1382 0,1281 0,2880 R-squared 0,8924 Adjusted R-squared 0,8685 F-statistic 37,3326 ProbF-statistic 0,0000 Durbin-Watson stat 1,7757 Selanjutnya infrastruktur di Pulau Jawa menjadi penentu kesenjangan pembangunan wilayah, meliputi sarana kesehatan berupa puskesmas, listrik dan air bersih. Selain pendidikan, sarana kesehatan mempunyai elastisitas yang tinggi dalam upaya menurunkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Jika jumlah puskesmas di suatu provinsi naik sebesar 1 persen, maka ketimpangan Pulau Jawa dapat diturunkan sebesar 1,63 persen. Data yang digunakan untuk mengukur variabel kesehatan adalah jumlah puskesmas karena merupakan pelayanan kesehatan yang memasyarakat sampai di daerah terpencil tidak seperti rumah sakit yang secara relatif hanya berada di kota atau ibukota kabupaten saja,