Data Panel Dinamis Metode Analisis

dapat dimasukkan dalam analisis karena bukan merupakan daerah otonomi. Keuangan daerah bahkan sampai pada tingkat kabupatenkota di DKI Jakarta ditentukan oleh pemerintah pusat.

3.3.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Ketimpangan Wilayah

Permasalahan ketiga penelitian ini dijawab menggunakan dua model dengan variabel independen yang sama namun variabel dependennya berbeda, dilihat dari dua pendekatan yaitu pendekatan pendapatan regional dan pengeluaran rumah tangga. Model penelitian dinyatakan dengan: ln �� = + � ln �� + � ln �� + � ln �� + � ln �� + � ln �� + � ln �� + � ln �� + � ln �� + �� 3.76 Dimana: y : koefisien variasi Williamson, yang dihitung dengan menggunakan dua pendekatan: i cvpdrb : PDRB per kapita atas dasar harga konstan 2000 ii cvcons : pengeluaran rumah tangga yang telah dideflasi menggunakan harga tahun 2000 govexp : pengeluaran rutin pemerintah agri : share pertanian terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000 manu : share manufaktur terhadap PDRB atas dasar harga konstan 2000 edu : share jumlah tenaga kerja yang berpendidikan SMA ke atas terhadap jumlah tenaga kerja puskes : jumlah puskesmas electric : jumlah energi listrik yang terjual kepada konsumen water : volume air bersih PDAM yang disalurkan kepada konsumen road : panjang jalan yang kondisinya baik dan sedang, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun jalan kabupatenkota yang berada di masing-masing provinsi i : provinsi di Pulau Jawa kecuali DKI Jakarta t : tahun penelitian, yaitu dari 2001 – 2009.

3.4. Prosedur Analisis

Parameter model pada persamaan 3.76 akan diestimasi dengan menggunakan data panel statis. Pemilihan model yang terbaik dilakukan dengan uji Hausman. Ide dasar uji Hausman adalah pengomparasi dua penduga, yaitu penduga FEM dan REM. Hipotesis nol menyatakan bahwa X it dan α i tidak berkorelasi dan hipotesis alternatif menyatakan yang sebaliknya berkorelasi. Uji Hausman mengasumsikan bahwa �� �� = 0 untuk setiap s dan t sedemikian sehingga penduga REM � �� akan konsisten dan efisien jika X it dan α i tidak berkorelasi dan penduga penduga FEM � �� konsisten bagi β jika kondisi penduga REM � �� yang konsisten tidak berlaku. Pendugaan uji Hausman dilakukan dengan pembedaan difference antara penduga FEM dan penduga REM yang dinyatakan sebagai vektor difference � �� − � �� . Suatu kovarian bagi vektor difference tersebut diperlukan untuk mengevaluasi signifikansinya. Secara umum, hal ini memerlukan suatu estimasi kovarian antara � �� dan � �� . Karena penduga bersifat efisien jika kondisinya seperti pada hipotesis nol, dapat ditunjukkan bahwa matriks kovarian bagi vektor difference � �� − � �� adalah: � �� − � �� = � � �� � − � �� ...................................................3.77 Nilai statistik uji Hausman menggunakan statistik Wald sebagai berikut: � = � �� − � �� ′� �� � �� � − �� � �� �� �� � �� − � �� ......................3.78 dengan � menyatakan penduga bagi matriks kovarian. Pada kondisi hipotesis nol, statistik � mengikuti sebaran Chi-square χ 2 dengan derajat bebas k, dimana k merupakan jumlah parameter dalam β. Analisis model pada persamaan 3.75 dilakukan dengan menggunakan data panel dinamis pendekatan First Difference Generalized Method of Moment FD- GMM. Kriteria pemeriksaan model yang dilakukan adalah validitas dan konsistensi model. Uji Sargan untuk overidentifying restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi masalah validitas instrumen. Hipotesis nol menyatakan bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen instrumen valid, artinya variabel instrumen yang digunakan tidak berkorelasi dengan error pada persamaan FD-GMM. Nilai statistik uji Sargan dihitung sebagai berikut: = � � � � ∑ � ′∆ � �� � ��� � � �� � � � ∑ � ′∆ � �� � ��� � ................................3.79 Pada kondisi hipotesis nol, nilai statistik tersebut mengikuti sebaran Chi-square � � � , dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model. Uji autokorelasi untuk melihat konsistensi hasil estimasi yang dihasilkan FD-GMM dilakukan dengan statistik Arellano-Bond AB m 1 dan m 2 . Model yang konsisten ditunjukkan dengan p-value m 1 yang signifikan dan p-value m 2 yang tidak signifikan Arellano dalam Verbeek, 2000.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Ketimpangan Wilayah Berdasarkan Koefisien Variasi Williamson

Ketimpangan pembangunan antar wilayah merupakan sesuatu yang wajar pada awal proses pembangunan baru dimulai terutama di negara berkembang. Perbedaan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga terjadi karena adanya perbedaan sumber daya . Demikian pula ketimpangan pembangunan di Pulau Jawa masih sangat tinggi. Secara umum, koefisien variasi Williamson Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,94 sampai dengan 0,98, artinya pendapatan antar wilayah kabupatenkota di Pulau Jawa sangat timpang. Angka ini menunjukkan kecenderungan menurun selama periode penelitian Tabel 2. Ketimpangan kabupatenkota dalam provinsi relatif lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan kabupatenkota Pulau Jawa. Ketimpangan paling tinggi terjadi di Banten, berada pada range yang paling lebar di antara provinsi-provinsi lainnya, yaitu pada kisaran antara 0,77 sampai 0,92. Angka ini sangat menyolok karena mengalami peningkatan yang cepat dari tahun ke tahun. Provinsi Banten merupakan pemekaran dari Jawa Barat pada tahun 2000, sehingga masih dalam proses awal pembangunan. Kabupatenkota di wilayah ini masih sedikit, terdiri dari 4 kabupaten dan 4 kota pada tahun 2009 dan masing- masing memiliki sumber daya yang berbeda. Tangerang merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek Jakarta – Bogor – Tangerang – Bekasi yang mempunyai potensi ekonomi yang besar pada sektor industri dan perdagangan. Kemajuan wilayah ini tidak dapat dilepaskan dari pintu gerbang transportasi baik udara Bandar Udara Internasional Soekarno – Hatta maupun laut pelabuhan Merak. Ketimpangan terendah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta, berada pada kisaran antara 0,38 sampai dengan 0,42 dan memiliki kecenderungan menurun. Angka ini menunjukkan perbedaan kecepatan pembangunan antar wilayah Daerah Tingkat II semakin kecil. Hal ini berbeda dengan wilayah terdekatnya. Koefisien variasi Williamson Jawa Tengah berada pada kisaran antara 0,71 sampai dengan 0,76 dan mengalami tren meningkat. Tabel 2 Koefisien Variasi Williamson PDRB Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa 0,97 0,98 0,95 0,95 0,95 0,94 0,95 0,95 0,95 Jawa Barat 0,68 0,67 0,67 0,66 0,65 0,65 0,65 0,65 0,65 Jawa Tengah 0,72 0,73 0,73 0,74 0,75 0,76 0,76 0,75 0,75 DIY 0,41 0,42 0,43 0,43 0,40 0,40 0,40 0,40 0,40 Jawa Timur NA NA NA NA NA NA NA NA NA Banten 0,78 0,79 0,81 0,82 0,84 0,85 0,85 0,91 0,91 Kontribusi sektor pertanian di Jawa Tengah merupakan yang terbesar dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya di Pulau Jawa. Jawa Tengah memainkan peranan penting sebagai pemasok hasil pertanian, dengan kontribusi sebesar 34,12 persen dibandingkan dengan produksi pertanian Pulau Jawa secara keseluruhan pada tahun 2009. Oleh karena itu kegiatan industri di Jawa Tengah lebih banyak yang mengandalkan aktivitas yang berhubungan dengan pertanian dan agribisnis dengan bentuk usaha IKRT Industri Kerajinan Rumah Tangga. Gambar 14 Tren Kontribusi Sektor Pertanian Wilayah-wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Persen Selanjutnya ketimpangan antar wilayah kabupatenkota di Jawa Barat berada pada kisaran antara 0,64 sampai dengan 0,69 dan mengalami tren yang menurun. Angka ini masih tergolong tinggi, karena pertumbuhan kawasan- 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DIY Jawa Timur Banten kawasan industri yang besar berada di Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat merupakan wilayah penting yang mendukung perekonomian DKI Jakarta. Sebagai dampaknya, perekonomian wilayah ini pun semakin cepat berkembang, ditandai dengan pemekaran wilayah, munculnya kawasan perkotaan dan metropolitan. Pemekaran provinsi terjadi pada tahun 2000 dengan adanya Provinsi Banten, sedangkan pemekaran kabupatenkota sejak tahun 2001 antara lain Kabupaten Bandung Barat dan Kota Cimahi dari Kabupaten Bandung, Kota Tasikmalaya dari Kabupaten Tasikmalaya, Kota Banjar dari Kabupaten Ciamis. Gambar 15 Tren Koefisien Variasi Williamson Wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Jawa Barat mempunyai tiga kawasan metropolitan, yang merupakan kawasan perkotaan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa publik dan pemerintahan, pelayanan sosial serta kegiatan ekonomi Pontoh dan Kustiawan, 2008. Dominasi kegiatan kota-kota di Jawa Barat adalah industri, pemukiman, perdagangan dan jasa. Kawasan metropolitan Bandung Raya terdiri dari Kabupaten Bandung, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi Bodebek merupakan bagian dari kawasan metropolitan Jabodetabek. Selanjutnya kawasan metropolitan Cirebon difungsikan sebagai pusat 0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa Jawa Barat Jawa Tengah DIY Banten pertumbuhan Jawa Barat bagian timur. Pertumbuhan perkotaan diharapkan mampu menciptakan aglomerasi yang berdampak positif terhadap wilayah- wilayah di sekitarnya. Tingginya ketimpangan di Pulau Jawa didominasi oleh ketimpangan antar kota, dipicu oleh pembangunan kota sebagai pusat pertumbuhan. Apalagi dengan adanya desentralisasi fiskal, daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam menentukan pembangunan di wilayahnya dan berlomba membangun pusat pertumbuhan. Koefisien variasi Williamson antar kota di Pulau Jawa berada pada kisaran antara 0,84 sampai dengan 0,88, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan antar kabupatenkota. Ketimpangan antar kabupaten lebih rendah lagi, berada pada kisaran antara 0,65 sampai dengan 0,68. Namun angka ini masih relatif tinggi dalam range penghitungan koefisien variasi Williamson. Gambar 16 Tren Koefisien Variasi Williamson KabupatenKota di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Besaran ketimpangan antar kota dan antar kabupaten lebih kecil dibandingkan dengan ketimpangan kabupatenkota seluruh Pulau Jawa, artinya perbedaan kabupaten dan kota meningkatkan ketimpangan wilayah di Pulau Jawa. Pendapatan per kapita yang tinggi di perkotaan disebabkan semakin meningkatnya perusahaan-perusahaan industri yang besar serta kegiatan perdagangan, akomodasi dan jasa. Namun penghitungan ini masih dalam skala makro, karena 0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000 1,2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Kabupaten di Pulau Jawa Kota di Pulau Jawa KabupatenKota di Pulau Jawa dihitung secara agregat dari pendapatan wilayah termasuk perusahaan asing yang berada dalam wilayah tersebut. Pendapatan yang diterima oleh masyarakat di wilayah tersebut bias, artinya tidak sebesar pendapatan rata-rata jika dihitung secara makro. Hal ini dibuktikan dengan koefisien variasi yang dihitung dari data pengeluaran rumah tangga. Tabel 3 Koefisien Variasi Williamson Pengeluaran Rumah Tangga Wilayah- wilayah di Pulau Jawa, Tahun 2001 – 2009 Wilayah 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jawa 0,39 0,35 0,29 0,30 0,39 0,33 0,33 0,44 0,37 Jawa Barat 0,34 0,32 0,30 0,29 0,27 0,31 0,32 0,40 0,31 Jawa Tengah 0,22 0,25 0,17 0,23 0,26 0,25 0,28 0,32 0,29 DIY 0,29 0,37 0,30 0,31 0,35 0,34 0,31 0,30 0,27 Jawa Timur 0,29 0,30 0,25 0,26 0,37 0,29 0,24 0,40 0,26 Banten 0,39 0,32 0,28 0,22 0,37 0,28 0,29 0,36 0,37 Ketimpangan wilayah yang dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita menunjukkan angka yang tidak jauh berbeda, tidak seperti pada penghitungan ketimpangan dengan menggunakan PDRB per kapita. Ketimpangan tertinggi dan terendah pada setiap tahun berada pada wilayah yang berbeda-beda. Artinya, perbedaan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar wilayah dan dalam wilayah di Pulau Jawa tidak jauh berbeda, berada pada kisaran 0,16 sampai dengan 0,44. Ketimpangan dalam wilayah selama periode penelitian relatif lebih fluktuatif dibandingkan dengan ketimpangan dalam penghitungan dengan menggunakan data PDRB per kapita. Berdasarkan hasil penghitungan ketimpangan wilayah dengan menggunakan koefisien variasi Williamson tersebut, pendekatan PDRB dan pengeluaran rumah tangga dapat dibandingkan menurut wilayah. Secara umum, tingkat ketimpangan wilayah dengan pendekatan PDRB jauh lebih tinggi dibandingkan ketimpangan wilayah dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga Gambar 17. Hal ini menunjukkan bahwa produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh kabupatenkota di Pulau Jawa hanya sedikit yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Artinya, pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi masih banyak yang digunakan oleh penduduk di luar wilayah, mungkin DKI Jakarta, luar Jawa, atau luar negeri. Gambar 17 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson KabupatenKota di Pulau Jawa dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 Tingkat ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga lebih banyak dipengaruhi keadaan perekonomian dan harga barang-barang kebutuhan pokok, meskipun dalam penghitungannya inflasi sudah dihilangkan dengan mendeflasi data berdasarkan harga tahun 2000. Hal ini dibuktikan dengan adanya peningkatan ketimpangan pada tahun 2005 dan tahun 2008. Kenaikan harga minyak dunia pada tahun 2005 menyebabkan harga-harga kebutuhan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang berpenghasilan rendah menurun tajam. Di sisi lain, masyarakat yang berpenghasilan tinggi tetap dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan primer yang mereka anggap penting. Akibatnya ketimpangan yang dihitung dengan pendekatan pengeluaran rumah tangga meningkat. Fenomena ini terjadi juga di seluruh provinsi di Pulau Jawa yang termasuk dalam penelitian, kecuali Jawa Barat. Dampak kenaikan harga minyak terhadap kegiatan ekonomi di wilayah yang didominasi oleh sektor manufaktur terhadap peningkatan ketimpangan baru dirasakan pada tahun sesudahnya, terus meningkat sampai dengan tahun 2008, dan baru dapat diturunkan pada tahun berikutnya. Krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2008 juga berdampak terhadap peningkatan ketimpangan yang dapat menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat di Pulau Jawa. Namun, 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga ketimpangan di D.I. Yogyakarta justru dapat diturunkan dari tahun sebelumnya karena struktur perekonomian yang didominasi oleh sektor jasa, hingga mencapai 57,70 persen pada tahun 2009, yang menyebabkan sedikitnya pengaruh kenaikan harga minyak dalam kegiatan ekonomi. Gambar 18 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson KabupatenKota di Jawa Barat dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 Gambar 19 Perbandingan Koefisien Variasi Williamson KabupatenKota di Jawa Tengah dengan Pendekatan PDRB dan Pengeluaran Rumah Tangga, Tahun 2001 – 2009 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga 0,00 0,10 0,20 0,30 0,40 0,50 0,60 0,70 0,80 0,90 1,00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pendekatan PDRB Pendekatan Pengeluaran Rumah Tangga