Ali keluar dan melihat Anton, sahabatnya, berdiri di tempat yang sebelumnya adalah ruangan tamu.
”Aku Cuma mampir sebentar,” kata Anton. ”Aku mau main sepak bola.”
Ali dan Anton biasanya pergi bermain sepak bola bersama-sama. Mereka berdua berdiri di dekat pintu. Ali jadi pemdiam, ia tidak ingin
bicara apapun kepada Anton. ”Sekolah barumu nanti seperti apa ya, Li?” tanya Anton.
”Nanti aku kasih tahu,” jawab Ali lirih. ”Aku mau ke lapangan dulu,” kata Anton. ”Sudah dulu ya, Li?”
”Ya,” jawab Ali sedih. Ali duduk di teras depan rumahnya. Ia memandang kepergian
sahabatnya dengan sedih. Dalam hati Ali berkata, ”Aku tidak tahu apakah aku bisa bertemu Anton lagi. Ia sahabat terbaikku.” Rasanya Ali ingin
menangis.
”Sudah siap, anak-anak?” tanya ayah Ali mengahampiri mereka. ”Kita tunggu ibumu sebentar lagi. Ibumu sedang pamit ke tetangga
sebelah.” Ali hanya menjawab dengan anggukan kepala. ”He... kalian kenapa?” tanya ayah Ali heran.
”Kami tidak ingin pindah, ayah,” jawab Ali. ”Ayah mengerti maksudmu,” kata ayah Ali. ”Ayah juga sedih.”
”Siapa yang paling kalian rindukan nanti?” tanya ayah Ali sambil
ikut duduk di lantai karena kursi di teras itu sudah diangkut semua. ”Aku akan rindu dengan Anton dan teman-teman sekolahku,” jawab
Ali. ”Ayah akan rindu dengan rumah ini,” kata ayah Ali. ”Dan semua
teman kerja Ayah. Ayah senang tinggal di sini.” ”Tapi, kita juga bisa bersenang-senang di rumah kita yang baru.
Iya, kan?” kata ayah Ali sambil tersenyum. ”Kita akan punya banyak teman baru” Ali menimpali lagi.
”Bukankah ini pengalaman yang mengasyikkan?” tanya ayah Ali. Akhirnya, ibu Ali datang dan mereka segera bersiap-siap untuk
berangkat ke rumah baru. Mereka masuk ke mobil. Ayah Ali duduk di belakang kemudi, ibu Ali duduk di samping ayah Ali, dan Ali duduk di
belakang.
”Kita akan merindukan rumah ini,” kata ibu Ali sedih. Ibu Ali menoleh ke belakang dan tersenyum kepada Ali. Ibu Ali
senang karena Ali tidak sedih lagi. ”Kita bisa mengunjungi Anton pada waktu libur,” kata ibu Ali.
”Mereka juga bisa mengunjungi kita kan, Bu?” tanya Ali. Ibu Ali mengangguk sambil tersenyum.
”Mereka nanti bisa berkenalan dengan teman baru kita,” kata Ali kemudian.
Sumber: Sad Sedih Janine Amos, Kanisius.
Yogyakarta 14 – 21
Hari III. Menjadi Juara
A. Jadwal Kegiatan N
Kegiatan Belajar Mata Pelajaran
o
1 2
3 4
5
6
Pembukaan: Menyanyi
Inti: Mengungkapkan perasaan
Membuat kalimat Melengkapi kalimat
Mengurangkan dua bilangan Penutup
Mendengarkan cerita SBK
B. Indonesia B. Indonesia
B. Indonesia Matematika
B. Indonesia
B. Teknis Pelaksanaan 1. Menyanyi
Guru mengajak siswa untuk membaca syair “Lagu Gembira” Guru membimbing siswa untuk menyanyikan lagu “Lagu Gembira”
Guru mengajak siswa untuk bertanya jawab sesuai isi lagu.
2. Mengungkapkan perasaan Guru mengajak siswa untuk mengamati gambar.
Guru mengajak siswa untuk bertanya jawab sesuai gambar. Guru menugasi siswa untuk mengungkapkan perasaan senang
terhadap suatu hal. Guru menugasi siswa untuk mengungkapkan perasaan tidak
senang terhadap suatu hal. 3. Membuat kalimat
Guru mengajak siswa untuk mengamati gambar tentang peristiwa menyenangkan dan menyedihkan.
Guru membimbing siswa untuk membuat kalimat yang mengungkapkan perasaan senang atau tidak senang terhadap
suatu hal sesuai gambar. 4. Melengkapi kalimat
Guru menjelaskan kegunaan kata depan di, ke, atau dari. Guru menugasi siswa untukmelengkapi kalimat dengan kata depan
di, ke, atau dari.
5. Mengurangkan dua bilangan Guru mengajak siswa untuk membaca percakapan yang berkaitan
dengan pengurangan. Guru membimbing siswa untuk mengurangkan dua bilangan dua
angka dengan cara bersusun panjang Guru menugasi siswa untuk mengurangkan dua bilangan dua angka
dengan cara bersusun panjang 6. Mendengarkan cerita
Guru mengajak siswa untuk mendengarkan cerita.
C. Catatan
”Tidak ada catatan”.
D. Tugas Rumah.
Kerjakan dengan teliti 1. 48 – 13 = ...
2. 79 – 25 = ... 48 = ... + ...
79 = ... + ... 13 = ... + ... _
25 = ... + ... _ = ... + ... = ...
= ... + ... = ...
3. 58 – 46 = ... 4. 95 – 45 = ...
58 = ... + ... 95 = ... + ...
46 = ... + ... _ 45 = ... + ... _
= ... + ... = ... = ... + ... = ...
5. 48 – 13 = ... 48 = ... + ...
13 = ... + ... _ = ... + ... = ...
E. Cerita Penutup
Aku Rindu Ayah Saudaraku ada tujuh orang. Ditambah aku, ayah, dan ibu
jumlahnya jadi sepuluh orang. Banyak ya... Iya, makanya, suasana rumah kami selalu riuh rendah. Gelak tawa, rengek tangis, omelan, atau
nyanyian, silih berganti. Suasana rumah tidak pernah lengang, kecuali bila ayah di rumah.
”Titi, turunkan sikutmu dari meja” perintah ayah sewaktu makan bersama.
”Ya, Ayah,” jawab Titi kakakku dengan manis. ”Jangan bicara selagi makan, Oni” tegur ayah padaku.
”Baik, Ayah,” jawabku dengan patuh. Itu sebagian aturan yang
diberlakukan ayah di meja makan. Aturan yang membuat suasana saat makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di sekolah.
Belum lagi aturan-aturan rumah lainnya. Makanya, kalau ayah di rumah, rumah jadi lengang.
Ayah punya adik perempuan, kupanggil tante Dita. Tante Dita tinggal di Semarang. Suasana rumah Tante Dita sangat berbeda dengan
suasana rumahku. Soalnya, penghuni rumah Tante Dita tidak banyak. Anaknya Cuma satu. Sebaya denganku, namanya Tati.
”Sabtu ini, Ibumu mau ke Semarang, menengok nenek di rumah Tante Dita. Kamu temani Ibu, mau?” tanya ayah padaku, seusai makan
malam. Aku terkesiap. Adikku protes, ”Kok, Kak Oni boleh ke Semarang, aku tidak?”
”Kak Oni ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah,” jawab ayah dengan tenang. Adikku Eti cemberut.
”Kamu tidak mau, Oni?” tanya ayah. ”Eh, mau, mau, Ayah” jawabku cepat-cepat. Ah, ayah Kalau aku
tidak segera menjawab, bukan karena aku menolak, tetapi aku terlalu gembira. Sudah lama aku ingin berlibur ke Semarang, di rumah Tante
Ditaku ini. Ohoho..., di sana tak ada macam-macam aturan ketat.
Semula kami berencana hanya tinggal dua hari di Semarang, hari Sabtu dan Minggu. Ternyata, nenek masih rindu padaku. Nenek meminta
kami tinggal dua hari atau tiga hari lagi. ”Lho, Oni harus sekolah, Bu” Ibu memberi alasan.
”Aku masih ingin bersama cucuku. Minta izin pada Bu Guru untuk bolos sehari lagi saja,” ujar nenek ringan. Ibuku kelihatan hendak
membantah. Wah, apa kata ayah nanti? Aku tidak berani komentar. Aku sih, mau saja berapa lama pun tinggal di rumah Tante Dita. Soalnya,
segalanya serba menyenangkan. Tidak ada aturan begini begitu Mana mungkin ibu menolak permintaan nenekku yang sudah hampir delapan
puluh tahun itu? Jadilah, kami memperpanjang tinggal di rumah Tante Dita.
Ternyata, perpanjangan tinggal bukan Cuma satu dua hari seperti permintaan nenek semula. Sekarang ini sudah memasuki hari keempat.
Wah, wah, bagaimana sekolahku? Ibu bolak-balik telepon ke rumah, tapi ayah masih dinas di luar kota. Duh-duh, aku mulai resah. Perlahan,
kegembiraanku surut. Tetapi, aku tidak berani mengeluh pada ibu. Sebab, kulihat setiap hari ibu keletihan merawat nenek. Hebatnya, ibu tidak
pernah mengeluh. Malah, ibu berkata, ”Begitulah kalau sudah tua. Kita harus maklum, makin tua, orang cenderung bertingkah seperti kanak-
kanak.” Oh, begitukah?
Perlahan juga aku merasakan ada sesuatu yang hilang dari keseharianku. Sebelum makan, aku terpaksa berdoa sendiri.Padahal, aku
biasanya berdoa bersama adik dan kakakku. Tati berdoa juga sebelum makan. Tetapi, dia lebih suka makan di kamar tidur, atau di teras rumah
sendiriran. Yang tidak enaknya lagi, sewaktu lidah menyentuh makanan lezat, tak ada teman yang bisa diajak bertukar pandang girang. Begitu
pun saat kecewa dengan makanan yang tidak enak rasanya. Tak ada teman untuk saling bertoleh dan mencibirkan bibir. Belum lagi
kerinduankupada teman-teman sekelas. Hoi, aku rindu bermain bersama mereka. Rinduu...
Ah, ternyata ibu tahu persaanku. Siang itu, waktu aku duduk di bawah pohon mangga di halaamn depan rumah Tante Dita, ibu
mendekati. ”Tak usah sedih, besok kita pulang,” kata ibu sambil mengelus
rambutku. ”Oh?” aku menatap ibu.
”Terima kasih, kamu bersedia berkorban, Oni. Mau bersabar ikut menunggui nenek. Ayah sudah memberitahu wali kelasmu,” kata ibu.
Kudekap ibu lekat-lekat. Ibu membalas dekapanku dengan mesra. Dekapan yang menunjukkan bahwa ibu mengerti kegelisahan dan
kerinduanku. ”Ya, ya, di rumah selalu ramai dan gaduh,” kata ibu. ”Kamu selalu
punya seseorang untuk bercanda dan tertawa, menangis atau saling menggoda. Di sini, semua serba sendiri. Bagaimanapun, kalau ada
banyak orang, harus ada aturan... supaya segalanya berjalan tertib...” ibu tersenyum manis.
Ah..., ya... ya Aku menarik napas. Lega. Begini rupanya perbedaan rumahku dengan rumah Tante Dita, batinku. Tante Dita dan keluarganya
memang baik padaku. Tetapi, sosok seperti ayah? Yang disiplin dan tegas, yang bisa menciptakan suasana lengang atau gaduh tak terkira, hanya
ada di rumahku.
”Oh, aku ingin cepat pulang, Bu. Aku rindu ayah,” kataku sambil mendekap ibuku sekali lagi.
oleh: Santi Hendrawati Bobo No. 33XXXI2003
Hari IV. Mendapat Hadiah
A. Jadwal Kegiatan N