BAB III HAK ASUH DAN PEMELIHARAAN ANAK DI BAWAH UMUR
SEBAGAI AKIBAT DARI PERCERAIAN
A. Pengertian Hak Asuh Anak Di Bawah Umur
Anak menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak Pasal 1 dapat diurakan sebagai berikut, Anak adalah mereka yang belum mencapai usia 21
tahun dan belum pernah kawin Bagi mereka yang belum berusia 21 tetapi sudah melakukan perkawinan maka diangap bukan anak-anak lagi, mereka yang sudah
berusia 21 tahun atau belum berusia 21 tahun tetapi sudah melakukan perkawinan dianggap telah mempunyai kematangan sosial, kematangan rpibadi dan juga
kematangan mental. Batas usia yang dimaksud dapat dikesampingkan sepanjang ditentukan oleh ketentuan perundang-undagam yang bersifat khusus serta
mendasarkan pada kenyataan, bahwa seseorang dianggap mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya.
31
Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002, Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 tahun termasuk di dalamnya adalah anak yang masih ada di dalam kandungan .
32
Dalam Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan “Belum dewasa ialah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu
tahun dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkam sebelum
31
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
32
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian.”
33
Sedangkan menurut Undang-undang Perkawinan pengertian anak tidak dijelaskan secara jelas, tetapi pada Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No.1 Tahun
1974 seorang pria diizinkan kawin dianggap sudah dewasa dan layak untuk kawin sesudah mencapai 19 Sembilan belas tahun dan pihak wanita yang sudah
mencapai umur 16 enam belas tahun. Penyimpangan terhadap hal ini hanya dapat dimintakan dispensasi.
34
Terdapat berbagai pengertian anak dilihat dari aspek hukum sebagai akibat dari tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri
mengenai umur seorang anak yang dinyatakan belum dewasa. Ketentuan seorang anak dikatakan di bawah umur atau belum dewasa, atau
disebut sebagai anak-anak adalah tergantung masalah atau perbuatan dalam bidang hukum yang mana dan dalam keperluan apa, karena berbeda undang-undang maka
berbeda pula penetapan istilah anak-anak. Kata anak dibawah umur sering dipergunakan untuk menunjukkan anak
yang usianya masih sangat muda atau beberapa tahun di bawah batas usia terendah untuk dinyatakan dewasa secara hukum.
Dalam sebuah rumah tangga kehadiran seorang anak merupakan suatu yang tidak bernilai harganya , baik bagi kedua orang tua anak tersebut maupun bagi
33
Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
34
Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Universitas Sumatera Utara
anggota masyarakat yang lain, sebab anak merupakan asset masa depan sekaligus penerus generasi yang akan datang.
Tetapi terkadang kehadiran seorang anak tidak menjadi suatu pengikat dalam mempertahankan keharmonisan rumah tangga seseorang. Suatu perkawinan
tidaklah selalu berjalan mulus dan diliputi berbagai persoalan yang dapat berujung kepada hancurnya rumah tangga tersebut. Perceraian diperbolehkan apabila sudah
terjadi pelanggaran terhadap hal-hal yang sangat prinsip di dalam rumah tangga. Akibat dari perceraian atau boleh dikatakan dampak dari perceraian adalah
munculnya masalah baru yaitu hak asuh anak,hak asuh anak merupakan salah satu bagian penting dari sebuah peristiwa hukum akibat perceraian selain masalah harta
bersama. Pada prakteknya mengenai permintaan hak asuh terhadap anak-anak ini
biasanya diajukan oleh suami atau istri bersamaan dengan Permohonan Talak apabila suami beragama Islam dan Gugatan Perceraian oleh pihak istri melalui
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri jika para pihak yang berperkara beragama selain Islam.
Apakah yang dimaksud dengan Hak asuh anak. Baik Undang-undng No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tidak
memberikan definisi secara jelas atau pengertian sahih mengenai hal tersebut. Di dalam kedua pasal tersebut disebutkan sebagai berikut: Pasal 41 Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi “ Akibat putusnya perkawinan karena perceraian” a Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
Universitas Sumatera Utara
perselisihan mengenai penguasaan anak, Pengadilan memberi keputusannya; b Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam BAB IV Tentang
pemeliharaan anak, pasal 98 berbunyi : 1 Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik
maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan, 2 Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar
pengadilan, 3 Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak
mampu. Pengertian hak asuh anak atau Kuasa Asuh dapat kita temukan dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, yaitu BAB I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 11 yang berbunyi :”Kuasa Asuh, adalah
kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuh kembangkan anak sesuai dengan agama yang
dianutnya dan kemampuan, bakat serta minatnya”.
35
Dalam KUH Perdata, dengan adanya perceraian maka kekuasaan orang tua terhadap anak-anak yang lahir dari perkawinan itu akan berkahir dan anak-anak
diletakkan di bawah perwalian. Tetapi orang tua yang tidak menjadi wali tetap harus memberikan tunjangan untuk pemeliharaan dan pendidikan. Tentang siapa-
35
Solahudin Pugung, Op.cit, Hal. 37-38
Universitas Sumatera Utara
siapa yang berhak menjadi wali anak-anak akan diputus oleh Hakim ketika persidangan.
Pengadilan bebas memberikan ketetapannya dalam memberikan hak asuh anak setelah mendengar keterangan-keterangan para pihak-pihak lain yang terlibat
secara langsung misalnya keluarga sedarah atau keluarga terdekat yang mengetahui permasalahan rumah tangga pihak yang bercerai.
Dalam hal ini tidak merupakan keharusan bahwa anak diserahkan pada salah seorang dari orang tua. Pengangkatan orang ketiga sebagai wali
dimungkinkan bilamana kedua orang tuanya dibebaskan dari kekuasaan orang tua. Hal ini diakibatkan karena orang tuanya dinilai tidak mampu menjalankan
kewajibannya sebagai orang tua. Biasanya dalam mengambil keputusan siapa yang berhak mengurus anak-anaknya dilihat siapa yang cakap dijadikan wali. Pihak
suami atau istri dapat mengajukan permohonan perubahan keputusan hakim agar keputusan tersebut ditinjau kembali.
Berbeda pandangan dengan KUH Perdata, dalam Undang-Undang Perkawinan tidak terjadi status perwalian terhadap kedudukan anak. Bapak dan Ibu
tetap berkewajiban mengurus masa depan anak-anak dan dalam pelaksanaan pengurusannya dilakukan oleh salah satu pihak.Kewajiban orang tua ini tetap
berlaku meskipun kekuasaan orang tua dicabut. Kewajiban ini berlaku sampai anak-anak itu telah kawin atau dapat berdiri sendiri.
36
Dalam perkara perceraian melalui Pengadilan Agama, maka pengajuan hak asuh terhadap anak-anak oleh pihak isteri biasanya menggunakan ketentuan-
ketentuan hukum sebagaimana diatur di dalam KHI. Sedangkan bagi yang
36
Hapy Marpaung , Masalah Perceraian, Bandung : Penerbit Tonis, 1983, Hal. 57
Universitas Sumatera Utara
berperkara di Pengadilan Negeri yaitu yang bukan beragama Islam, ketentuan hak asuh anak diberikan oleh Hakim melihat kepentingan anak tersebut.
Secara hukum Islam seorang ibu lebih diutamakan karena dialah yang berhak melakukan pengasuhan dan menyusui anak, mengingat ikatan batin di
antara seorang ibu dengan anaknya adalah teramat dekat sekali. Jadi dengan demikian, walaupun Undang-undang menghendaki hak asuh
anak yang belum mumayyiz belum dewasa jatuh ke tangan ibunya, namun hal itu bukanlah suatu hal yang mutlak, karena Majelis Hakim bisa saja menjatuhkan
hak asuh anak yang belum dewasa kepada bapaknya sesuai dengan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Misal, karena ibunya
berkelakuan buruk, seperti judi, zinah, boros dan lain hal sebagainya. Dengan demikian menurut pertimbangannya, jika sang ibu tidak mampu
memberikan jaminan dalam hal pemenuhan kepentingan akan pemeliharaan anak, maka wajar halnya apabila hak asuh anak tersebut diberikan kepada bapak. Secara
legalitaspun hal ini telah dijamin sehingga kedudukan hukum anak tersebut tetap dilindungi. Cakap atau tidaknya seorang ayah atau ibu untuk mendapatkan hak
asuh anak selalu menjadi perdebatan di Pengadilan karena sampai saat ini belum ada standar yang pasti mengenai hal kecakapan tersebut. Kemudian hakim
meminta pendapat atau keterangan dari anak saudara terdekat yang mengetahui perihal perceraian orangtua tersebut, untuk nantinya diputuskan oleh Hakim siapa
yang berhak mendapatkan hak asuh anak tersebut. Pasal 3 Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention On The Rights Of The Child Konvensi Tentang Hak-hak Anak
Universitas Sumatera Utara
menyatakan : “Dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial pemerintah atau swasta, lembaga
peradilan,lembaga pemerintah atau legislative, kepentingan anak adalah merupakan pertimbangan utama.”
37
Menurut hukum positif Negara, bisa saja hak asuh anak di bawah umur yang seharusnya diberikan kepada ibu jatuh ke tangan bapaknya, melalui proses
pengadilan yang sah. Kondisi ini diatur di dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana hak asuh anak hanya bisa diberikan kepada pihak ibu atau
bapaknya saja.
B. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak yang Masih Di Bawah