Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sumber Air Panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

(1)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN

SUMBER AIR PANAS SIPOHOLON KECAMATAN SIPOHOLON

KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

DENI SIMARMATA

060805006

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN

SUMBER AIR PANAS SIPOHOLON KECAMATAN SIPOHOLON

KABUPATEN TAPANULI UTARA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai

gelar Sarjana Sains

DENI SIMARMATA

060805006

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

PERSETUJUAN

Judul : Keanekaragaman Makrozoobentos di aliran sumber air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

Kategori : Skripsi

Nama : Deni Simarmata

Nomor Induk Mahasiswa : 060805006

Program Studi : Sarjana (S-1) Biologi Departemen : Biologi

Fakultas : Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Komisi Pembimbing : Pembimbing 2,

Disetujui di

Medan, Agustus 2014

Pembimbing 1,

Mayang Sari Yeanny, S.Si, M,Si Prof. Dr. Ing. T. A. Barus, M.Sc NIP. 197211261998022002 NIP. 195810161987031003

Disetujui Oleh

Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,

Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc NIP. 19630123 199003 2 001


(4)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN SUMBER AIR

PANAS SIPOHOLON KECAMATAN SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang “ Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sumber Air Panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara ” telah dilakukan pada bulan Maret 2013. Titik sampel dipilih dengan metode Purposive Random Sampling. Sampel di ambil di 4 stasiun dan pada setiap stasiun dilakukan 5 kali ulangan. Sampel di ambil dengan menggunakan Ecman grabb dan jala surber. Identifikasi dilakukan dengan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Dari hasil penelitian didapatkan Makrozoobentos yang termasuk kedalam kelas Crustaceae, Gastropoda dan juga Insecta. Kedmudian dari ketiga kelas ini ditemukan 7 genus yaitu Chironomus, Ephidra, Pedicia, Limnea, Pleucera, Hidrobiomorpha dan Ghompus. Nilai kepadatan, kepadatan Relatif dan Frekwensi kehadiran tertinggi pada Chironomus dengan nilai masing- masing sebesar 190 ind/m2, 100% dan 80%. Nilai kepadatan relatif dan Frekwensi kehadiran yang terendah terdapat pada Ephydra dan Hidrobiomorpha masing masing sebesar 2 ind/m2, 4,4 % dan 20 %. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu 12,971 dan terendah terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 3 yaitu 1. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 15.93 dan terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3 yaitu 1. Pola keanekaragaman makrozoobentos dari setiap stasiun tergolong berkelompok dan tidak normal. Dari hasil Analisis korelasi menunjukkan bahwa Suhu berkorelasi positif pada keanekaragaman makrozoobentos. Semakin tinggi suhu dan semakin sedikit keanekaragaman makrozoobentos.

Kata Kunci : Air panas Sipoholon, Suhu, Makroozoobentos


(5)

DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS AT SIPOHOLON HOT SPRING SOURCE IN NORTH TAPANULI

ABSTRACT

Research on " DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS AT SIPOHOLON HOT SPRING SOURCE IN NORTH TAPANULI’’has been carried out in March 2013. The station of Sample selected by purposive random sampling method . The Samples were taken from four stations and each station do five repetitions . The Samples were taken using Eckman grabb and nets surber . The identification was did in the Laboratory of Natural Resources Management and Environment, Department of Biology , Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of North Sumatra . from the reseach was got the class of Macrozoobenthos Crustaceae , Gastropoda and Insecta . Then from the third class were found sevent genus namely Chironomus , Ephidra , Pedicia , Limnea , Pleucera , Hidrobiomorpha and Ghompus . The Value of density , relative density and the highest frequency in the presence of Chironomus with respective values of 190 ind/m2 , 100 % and 80 % . Value of the relative density and the presence of the lowest frequency found in Ephydra and Hidrobiomorpha which were 2 ind/m², 4,4 % and 20 % . The highest diversity index values found in station 4 is 12.971 and the lowest at station 1 and station 3 is 1. The highest index value uniformity was found at station 2 is 15.93 and the lowest at stations 1 and 3 is 1 . The Macrozoobenthos diversity patterns of each station belonging to a group and not normal . From the results of the correlation analysis showed that temperature was positive correlated to the diversity of macrozoobenthos . Higher the temperature, less diversity of macrozoobenthos

.


(6)

PENGHARGAAN

Segala Hormat, Syukur, dan penyembahan yang sebesar- besarnya kepada Yesus Kristus , Atas berkat dan kasihNYA penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN

SUMBER AIR PANAS SIPOHOLON KECAMATAN SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI UTARA” Yang akan dijadikan landasan utama dalam membahas

organisme perairan.

Pada kesempatan ini penulis juga tidak lupa mengucapkan Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus, M.Sc, dan Ibu Mayang Sari Yeanny S.Si, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak memberi arahan, dorongan serta waktu dalam menyelesaikan kajian ini. Ibu Dr. Hesti

Wahyuningsih M.Si, Bapak Drs. Nursal M.Sc, selaku Ketua dan sekretaris Penguji yang telah banyak memberikan arahan dan saran demi penyelesaian kajian ini. Bapak Prof. Dr. Erman Munir M.Sc selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis dalam masa perkuliahan. Ketua Departement Biologi Ibu Dr. Nursahara Pasaribu. M.Sc dan kepada Bapak Drs. Kiki Nurtjahja, M.Sc selaku Sekretaris Departemen Biologi, , Bapak Dr. Sutarman, M.Sc selaku Dekan FMIPA USU, Ibu Mizarwati, S.Si selaku Ketua Panitia Seminar Departemen Biologi FMIPA USU, dan seluruh staff pengajar dan juga staff Laboran dan Analis di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara dan kepada Ibu Roslina Ginting dan Bang Erwin Selaku Pegawai Administrasi

Departemen Biologi.

Teristimewa ungkapan serta Persembahan yang tak ternilai penulis ucapkan kepada kedua Orangtuaku tercinta J. Simarmata dan T. Hutasoit Atas deraian air mata yang tak terbatas dan tak henti- hentinya memberikan doa, harapan, dorongan dan dukungan baik dari segi moril dan material dalam menempuh masa depan penulis. Kepada kelima adik- adikku, Rico M. Simarmata, J. Sisri Simarmata, R. Fitri

Simarmata, R. Alfredo Simarmata, Nurmiah Simarmata, Abangku Subagio Simarmata dan Kakakku Ria Lambok Hutasoit Yang selalu memberikan doa baik dukungan moril kepada penulis. Keempat keponakanku (Agung Simarmata, Apri Simarmata dan Putra Simarmata, Rini Rahayu Simarmata) Serta ucapan terimakasih sebesar- besar nya kepada opung T. br Purba & Br Sihombing, Udaku Bangun Simarmata SPd & ibu D. Sihombing SH, Bapak B. Sianipar & Bou Bid.R. Sitanggang yang tak henti- hentinya memberikan dukungan doa dan juga moril yang selalu ada di saat penulis lagi dalam masalah. Dan kepada seluruh Keluarga Besar Simarmata dan Hutasoit yang sudah memberikan dukungan doa kepada penulis selama ini.

Serta terkhusus ucapan terimakasih saya kepada Ubasori Sigalingging S.Si, dan Boy Sandy yang telah mau meluangkan waktu dan pikirannya membantu dalam penelitian ini baik di lapangan maupun dalam Laboratorium. Kepada kelompok kecil Putri Syiar, kepada KTB A2I3 4God, rekan – rekan dan staff dalam pelayanan EE. Kepada adek asuhku Miduk Uliarta dan Destri Novitasari yang banyak memberikan dukungan dan juga bantuan kepada penulis dan seluruh adek-adek di Miracle Tim yang selalu ada menopang penulis dalam doa, terkhusus buat tari dan Warsein yang bahkan membantu dalam penyelesaian skripsi ini. kepada kepada Bang Juanda n kak


(7)

Ira, Delita, Meni, Jimmi, jelita, Purnama dan Rotua sahabat baik yang turut

mendukung di dalam doa dan kasih. Terkhusus buat sahabat hati sekaligus sahabat doa penulis Hengki Ferdinan Silaban yang tak pernah henti-henti berdoa mendukung dan mengingatkan serta memberikan semangat yang luar biasa kepada penulis selama perkuliahan sampai berakhirnya perkuliahan, terimakasih buat cinta dan kasih selama ini. Buat Rudi Bilopo Panjaitan terimakasih atas kesabaran mendampingi, dan

mengasihi serta doa yang tulus hingga skripsi ini selesai. Kepada sahabat baik penulis Deni Sorta Hutasoit yang turut setia menemani mulai dari survey penelitian hingga skripsi ini selesai selalu ada mendukung penulis thanks sobat. Dan kepada seluruh rekan seperjuangan Biologi USU 2006 dan semua adek jenior di Biologi USU, selamat berjuang di dunia Alumni dan perkuliahan.

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Penulis berharap karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, bagi penulis pada khususnya dan para pembaca serta bermanfaat bagi bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Sebelum dan sesudahnya penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Kasih-Nya beserta kita, Amin.

Medan, Januari 2015


(8)

DAFTAR ISI

Persetujuan Halaman

Pernyataan ii

Penghargaan iii

Abstrak iv

Abstract v

Daftar isi vi

Daftar Tabel vii

Daftar Lampiran viii

Daftar gambar ix

Bab 1. Pendahuluan 1

1.1 Latar belakang 1

1.2 Permasalahan 2

1.3 Tujuan Penelitian 2

1.4 Hipotesis 3

1.5 Manfaat Penelitian 3

Bab 2. Tinjauan Pustaka 4

2.1 Sumber dan Aliran Air Panas Sipoholon 4

2.2 Keaneragaman Benthos 5

2.3 Peranan Benthos 6

2.4 Pembagian Zoobenthos 7

2.5 Pengarus suhu terhadap keberadaan Makrozoobenthos 8 2.6 Makrozoobenthos sebagai Bioindikator 8

2.7 Faktor Fisika Kimia 10

2.7.1 Temperatur 10

2.7.2 Kekeruhan Air 10

2.7.3 Intensitas Cahaya 11


(9)

2.7.5 Arus Air 12

2.7.6 Salinitas 13

2.7.7 pH ( Derajat Keasaman ) 13

2.7.8 DO (Desolved Oxygen) 14

2.7.9.a COD ( Chemical Oxygen Demand) 14 2.7.9.b BOD ( Biological Oxygen Demand) 15

2.7.10 Substrat Dasar 15

Bab 3. Bahan dan Metoda 16

3.1 Waktu dan Tempat 16

3.2 Metoda Penelitian 16

3.3 Deskripsi Area 16

3.4 Alat dan Bahan 19

3.5 Pengambilan Makrozoobenthos 19

3.5.1 Pengukuran faktor fisik Kimia 19 3.6 Sumber dan Tehnik Pengambilan Data 22

3.7 Analisi Data 22

3.7.1 Indeks Keaneragaman Makrozoobenthos 23 3.7.2 Indeks Keseragaman Makrozoobenthos 24

3.7.3 Indeks Dominasi 24

3.7.4 Analisis Korelasi 25

Bab 4. Hasil dan Pembahasan 26

4.1 Faktor Fisik Kimia Perairan Sumber an Aliran Air

Panas Sipoholon 26

4.1.1 Suhu 26

4.1.2 Intensitas Cahaya 27

4.1.3 pH 28

4.1.4 DO 29

4.1.5 Kandungan Sulfida 30

4.1.6 Penetrasi Cahaya 31


(10)

4.2 Sifat Biologi Di Sumber dan Aliran Air Panas Sipoholon 33

4.3 Nilai Kepadatan K, KR dan FK 35

4.4 Nilai H’, E, dan C 36

4.5 Analisis Korelasi 37

Bab 5. Kesimpulan Dan Saran 40

5.1 Kesimpulan 40

5.2 Saran 40


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 2.1. Klasifikasi indikator benthos 9

Tabel 3.2 Parameter Fisika Kimia yang di ukur 22

Tabel 3.3 Indeks Keseragaman 24

Tabel 3.4 Indek Dominasi Odum 24

Tabel 4.1 Hasil Pengukuran faktor Fisika Kimia Perairan Aliran dan

Sumber air Panas Sipoholon 26

Tabel 4.2 Data Jumlah Individu Makrozoobentos yang Terperangkap 33

Tabel 4.3 Nilai K, KR, FK 35

Tabel 4.4 Nilai H’, E, C 36

Tabel 4.5 Nilai Korelasi Yang diperoleh antara Parameter Fisik Kimia

Perairan dengan Keanekragaman yang diperoleh dari setiap stasiun 37


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A . Bagan Kerja Metode Winkler untuk mengukur DO 40 Lampiran B. Bagak Kerja Mengukur Kadar Organik Substrat 41

Lampiran C. Foto- foto Sampel 42

Lampiran D. Foto Alat dan Bahan 44

Lampiran E. Foto- foto Kerja 47

Lampiran F. Data Mentah penelitian 49

Lampiran G. Contoh Perhitungan 50

Lampiran H. Hasil Analisis Sulfida 51

Lampiran I. Hasil Analisis Korelasi 52

Lampiran J. Hasil Analisis Substrat 53


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Chironomus sp 1

Gambar 2. Stasiun 1 17

Gambar 3. Stasiun 2 17

Gambar 4. Stasiun 3 18


(14)

KEANEKARAGAMAN MAKROZOOBENTOS DI ALIRAN SUMBER AIR

PANAS SIPOHOLON KECAMATAN SIPOHOLON KABUPATEN TAPANULI UTARA

ABSTRAK

Penelitian tentang “ Keanekaragaman Makrozoobentos di Aliran Sumber Air Panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara ” telah dilakukan pada bulan Maret 2013. Titik sampel dipilih dengan metode Purposive Random Sampling. Sampel di ambil di 4 stasiun dan pada setiap stasiun dilakukan 5 kali ulangan. Sampel di ambil dengan menggunakan Ecman grabb dan jala surber. Identifikasi dilakukan dengan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara.

Dari hasil penelitian didapatkan Makrozoobentos yang termasuk kedalam kelas Crustaceae, Gastropoda dan juga Insecta. Kedmudian dari ketiga kelas ini ditemukan 7 genus yaitu Chironomus, Ephidra, Pedicia, Limnea, Pleucera, Hidrobiomorpha dan Ghompus. Nilai kepadatan, kepadatan Relatif dan Frekwensi kehadiran tertinggi pada Chironomus dengan nilai masing- masing sebesar 190 ind/m2, 100% dan 80%. Nilai kepadatan relatif dan Frekwensi kehadiran yang terendah terdapat pada Ephydra dan Hidrobiomorpha masing masing sebesar 2 ind/m2, 4,4 % dan 20 %. Nilai indeks keanekaragaman tertinggi terdapat pada stasiun 4 yaitu 12,971 dan terendah terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 3 yaitu 1. Nilai indeks keseragaman tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu 15.93 dan terendah terdapat pada stasiun 1 dan 3 yaitu 1. Pola keanekaragaman makrozoobentos dari setiap stasiun tergolong berkelompok dan tidak normal. Dari hasil Analisis korelasi menunjukkan bahwa Suhu berkorelasi positif pada keanekaragaman makrozoobentos. Semakin tinggi suhu dan semakin sedikit keanekaragaman makrozoobentos.

Kata Kunci : Air panas Sipoholon, Suhu, Makroozoobentos


(15)

DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS AT SIPOHOLON HOT SPRING SOURCE IN NORTH TAPANULI

ABSTRACT

Research on " DIVERSITY OF MACROZOOBENTHOS AT SIPOHOLON HOT SPRING SOURCE IN NORTH TAPANULI’’has been carried out in March 2013. The station of Sample selected by purposive random sampling method . The Samples were taken from four stations and each station do five repetitions . The Samples were taken using Eckman grabb and nets surber . The identification was did in the Laboratory of Natural Resources Management and Environment, Department of Biology , Faculty of Mathematics and Natural Sciences, University of North Sumatra . from the reseach was got the class of Macrozoobenthos Crustaceae , Gastropoda and Insecta . Then from the third class were found sevent genus namely Chironomus , Ephidra , Pedicia , Limnea , Pleucera , Hidrobiomorpha and Ghompus . The Value of density , relative density and the highest frequency in the presence of Chironomus with respective values of 190 ind/m2 , 100 % and 80 % . Value of the relative density and the presence of the lowest frequency found in Ephydra and Hidrobiomorpha which were 2 ind/m², 4,4 % and 20 % . The highest diversity index values found in station 4 is 12.971 and the lowest at station 1 and station 3 is 1. The highest index value uniformity was found at station 2 is 15.93 and the lowest at stations 1 and 3 is 1 . The Macrozoobenthos diversity patterns of each station belonging to a group and not normal . From the results of the correlation analysis showed that temperature was positive correlated to the diversity of macrozoobenthos . Higher the temperature, less diversity of macrozoobenthos

.


(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Sumber air panas merupakan mata air yang di hasilkan akibat keluarnya air tanah dari kerak bumi setelah di panaskan secara gothermal. Air yang keluar suhunya 370C, namun sebagian mata air panas mengeluarkan air bersuhu tinggi di atas didih. Air panas lebih dapat mengencerkan padatan mineral, sehingga air dari mata air panas mengandung kadar mineral tinggi seperti kalsium, latium dan radium. Masyarakat sekitar banyak berendam di dalam air panas bermineral, karena di percaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Berdasarkan alasan tersebut orang membangun tempat pemandian air panas atau spa untuk tujuan pengobatan salah satunya adalah dari sumber air panas Sipoholon (Anonim, 2009).

Sumber air panas Sipoholon merupakan salah satu daerah yang terdapat di Sumatera Utara. Sumber air panas Sipoholon secara administratif berada di wilayah kecamatan Sipoholon dan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara. Suhu mata air panas Sipoholon Tarutung ialah berkisar antara 360 C – 590 C. Kandungan sulfur dan soda di tempat ini juga di percaya masyarakat sekitar dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit (Ardiwinata, dkk, 2005).

Pada sumber air panas sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara ditemukan organisme perairan yang dapat hidup pada suhu yang tinggi (geothermal) seperti bentos. Bentos merupakan organisme yang melekat dipermukaan dasar ataupun di dalam dasar perairan. Diantara bentos yang relatif mudah di identifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah termasuk kedalam kelompok invertebrata makro. Kelompok ini lebih dikenal dengan makrozoobentos (Ronsenber dan Resh, 1993 dalam Pararaja, 2008).


(17)

Makrozoobentos pada sumber dan aliran air panas di Indonesia telah banyak di teliti, seperti daerah Sumatera Barat, yakni daerah aliran air panas Angek Kota Baru, Kabupaten Tanah Datar (Izmiarti,1995), di Sumatera Utara yakni aliran air panas Tinggi Raja, di Pusuk Buhit dan di Sipoholon (Sinaga,1998). Pada penelitian sebelumnya di sumber dan aliran air panas Raja Berneh, Doulu telah ditemukan dua genera yaitu, Chironomus dan Spaniotoma, dan ordo yaitu Diptera atau kelas Insecta (Simbolon, 2000).

Biasanya perairan yang berkualitas baik, akan memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan sebaliknya pada perairan yang buruk atau tercemar keanekaragaman jenis akan sedikit termasuk jenis makrozoobentos yang ada di Sipoholon.. Sehubungan dengan belum diketahuinya keanekaragaman makrozoobentos ini maka dilakukan penelitian Keanekaragaman Makrozoobentos di sumber dan aliran air Panas Sipoholon, Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

1.2Permasalahan

Salah satu organisme air adalah makrozoobentos, makrozobentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan, hidup sesil, merayap atau menggali lubang. Keanekaragaman makrozoobentos ini juga hidup pada toleransi dan sensitivitasnya terhadap perubahan lingkungan, contohnya pada perubahan suhu perairan tersebut. Sejauh ini belum diketahui kenekaragaman Makrozoobentos di Sumber dan aliran air panas Sipoholon kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara yang bersuhu 390C – 590C dan hubungan keanekaragaman dengan faktor fisik kimia perairan. Sehingga perlu di lakukan penelitian.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui keanekaragaman makrozobentos di Sumber dan Aliran Air Panas di Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.


(18)

2. Untuk mengetahui hubungan antara faktor fisika kimia dengan keanekaragaman makrozoobentos di sumber dan aliran air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

1.4Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat sedikit keanekaragaman makrozoobentos di Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

2. Adanya hubungan antara faktor fisika kimia dengan keanekaragaman makrozoobentos di sumber dan aliran air panas Sipoholon kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

1.5Manfaat Penelitan

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Sebagai sumber informasi mengenai keanekaragaman, kelimpahan, keseragaman, dominasi Makrozoobentos Sumber dan Aliran Air Panas si Sipoholon, Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

2. Sebagai sumber informasi tambahan mengenai faktor fisika-kimia Sumber dan Aliran Air Panas di Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara.

3. Menambah data keanekaragaman, kelimpahan, keseragaman, dominasi Makrozoobentos, sehingga dapat di manfaatkan dalam memahami ekosistem air tawar yang bersumber dari air panas geothermal.

4. Sebagai sumber informasi bagi peneliti, selanjutnya akan melakukan penelitian lebih lanjut.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumber dan Aliran Air Panas Sipoholon

Air yang keluar dari mata air panas di panasakan oleh Geothermal (kerak bumi). sumber air panas di ketahui mengandung kadar mineral tinggi, seperti kalsium, litium, atau radium. Sumber air panas menyebar di berbagai tempat di Dunia dan Indonesia, seperti di Islandia, Selandia Baru, Chili, kanada, Taiwan, dan Jepang (Anonim, 2009).

Di dalam kulit bumi ada kalanya aliran air dekat sekali dengan batu-batuan panas dimana suhu bisa mencapai 1480 C. Air tersebut tidak menjadi uap karena tidak ada kontak dengan udara. Ketika air panas keluar ke permukaan bumi ada celah atau terjadi retakan dikulit bumi, maka timbul air panas yang di sebut dengan hot spring. Air yang keluar tersebut akan mengalir dan membentuk suatu aliran kecil dengan suhu air yang berbeda-beda (Lumbangaol, 2000). Air panas alam (hot spring) ini biasa di manfaatkan sebagai kolam air panas, dan banyak pula yang sekaligus menjadi tempat wisata (Teguh, 2007).

Sebagian dari sumber mata air tercipta sejak 20 sampai 45 juta tahun yang lalu akibat dari aktivitas vulkanik serta memiliki suhu hingga 3500 C ( 662 F) (Admin, 2009). Reservoir air panas diklasifikasikan ke dalam dua golongan yaitu yang bersuhu rendah dengan suhu < 150 C dan yang bersuhu tinggi dengan suhu di atas 150 C.

Faktor suhu pada mata air panas relatif konstan, namun sepanjang aliran keluar (out flow), suhu airnya bervariasi, karena adanya pelepasan panas oleh badan air dan disamping itu adanya pemasukan air dari luar. Adanya variasi suhu di sepanjang


(20)

aliran panas akan berpengaruh terhadap keberadaan hewan poikilothermis seperti Makrozoobentos (Welch, 1952)

Daerah panas bumi Sipoholon Tarutung secara administratif berada di wilayah Kecamatan Sipoholon dan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara pada posisi geografis antara 2° 04’ 30,1’’- 2° 04’ 34,9’’ LU dan 98° 56’ 39,2’’- 98°’56’ 45,3’’BT belahan bumi utara. Manifestasi panas bumi daerah Sipoholon Tarutung berupa pemunculan mata air panas dengan temperatur antara 360C – 59 °C. Sumber air panas Sipoholon yang terletak di perbukitan yang berkapur. Kandungan sulfur dan soda di tempat ini juga di percaya masyarakat sekitar dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Jika naik ke atas bukit, maka akan terlihat air panas yang menggelegak dan membentuk ukiran batu kapur. Masyarakat sekitar juga memanfaatkan bukit ini sebagai tempat penambangan kapur. Selain itu, penduduk juga menggunakan sumber air panas untuk membuat kolam permandian air panas (Silaban, 2009)

2.2 Keanekaragaman Bentos

Berdasarkan ukuran tubuhnya, hewan bentos dibedakan atas dua kelompok besar, yaitu mikrozoobentos dan makrozoobentos. Mikrozoobentos adalah hewan bentos yang ukuran tubuhnya kecil dari 0,6 mm, sedangkan makrozoobentos ialah hewan bentos yang ukuran tubuhnya lebih besar 0,6 mm (Hynes, 1978). Menurut Howkes (1975) makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuhnya sekurang-kurangnya 3-5 mm pada saat pertumbuhan maksimum.

Makrozoobentos mempunyai peranan penting dalam mempercepat proses dekomposisi materi organik. Pada sisi lain struktur komunitas makrozoobenthos sering digunakan untuk mengevaluasi kualitas air dan tekanan ekosistem perairan. Hal ini disebabkan oleh sifat makrozoobentos yang memiliki siklus hidup yang relatif panjang, gerakan lambat menempati posisi pusat pada rantai makanan akuatik dan toleran terhadap kondisi lingkungan yang bervariasi. Serta besarnya populasi


(21)

makrozoobentos sangat ditentukan oleh kecepatan air, temperatur, kekeruhan zat-zat terlarut, substrat makanan, debit air dan kompetiti spesies (Hyines, 1978).

Odum (1993) menjelaskan bahwa komponen biotik dapat memberikan gambaran mengenai kondisi fisika, kimia, dan biologi dari suatu perairan. Sebagai organisme yang hidup dalam perairan, hewan makrozoobentos sangat peka terhadap perubahan kualitas air tempat hidupnya sehingga akan berpengaruh terhadap komposisi dan kelimpahannya.

Bentos merupakan organisme air yang hidup pada substrat dasar suatu perairan, baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan siklus hidupnya bentos dapat di bagi menjadi :

a. Holobentos, yaitu kelompok bentos yang seluruh siklus hidupnya bersifat bentos.

b. Merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat bentos pada fase- fase tertentu dari siklus hidupnya.

Berdasarkan sifat hidupnya , bentos di bedakan antara lain : a. Fitobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat tumbuhan

b. Zoobentos, yaitu organisme bentos yang bersifat hewan (Fachrul, 2007), Berikut ini adalah peranan dan pembagian zoobentos.

2.3 Peranan Zoobentos

Zoobentos membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. Hewan bentos, terutama yang bersifat herbivor dan detrivor, dapat menghancurkan makrofil akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk kedalam perairan menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan. Berbagai jenis zoobentos ada yang berperan sebagai konsumen primer dan ada pula sebagai konsumen sekunder atau konsumen yang menempati tempat yang lebih tinggi. Pada umumnya, zoobentos merupakan makanan alami pada ikan- ikan pemakan di dasar (“botton feeder”) (Pennak, 1978; Tudorancea, Green dan Hubner, 1978, dalam Ardi, 2002).


(22)

2.4 Pembagian Zoobentos

Berdasarkan ukurannya, zoobentos dapat di golongkan kedalam kelompok zoobentos mikroskopik atau mikrozoobentos dan zoobentos makroskopik yang disebut juga dengan makrozoobentos. Menurut Cummins (1975), makrozoobentos dapat mencapai ukuran tubuh sekurang-kurangnya 3 – 5 mm pada saat pertumbuhan maksimum.

Barnes and Hughes (1999) dan Nybakken (1997) menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan di sebut epifauna, seperti Crustacea dan larva serangga. Dan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan infauna, misalnya Bivalve dan Polychaeta.

Menurut Hynes (1978), organisme yang termasuk makrozoobentos di antaranya adalah ; Crustacea, Isopoda, Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida.

contoh jenis makrozoobentos di perairan air panas adalah

Chironomus sp


(23)

( Sumber:www.sunsite.ualberta.ca)

Dari kelas insecta yang bisa bertahan hidup pada suhu 590C, merupakan anggota Arthopoda terdiri atas caput, toraks dan abdomen, memiliki 2 pasang sayap, 3 pasang kaki. Respirasi insecta dewasa menggunakan trakea yang bercabang dan terbuka pada sepasang spirakulum pada sisi tubuh sedangkan pada insekta air bernafas dengan insang trakea. Selain di udara, insekta di air tawar juga banyak terutama pada stadium muda dari perkembangannya.

2.5 Pengaruh Suhu Terhadap Keberadaan Makrozoobentos

Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktifitas serta memacu atau menghambat perkembang biakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembangbiakan organisme perairan. Klein (1972) dalam Pararaja (2008), menyatakan bahwa suhu air yang tinggi dapat menambah daya racun senyawa-senyawa beracun seperti NO3, NH3 dan NH3N terhadap hewan akuatik, serta dapat mempercepat kegiatan metabolisme hewan akuatik.

Setiap organisme mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap suhu. Odum (1971), mengemukakan hasil studi di sumber air panas di ketahui bahwa batas toleransi beberapa kelompok organisme terhadap suhu berbeda-beda. Seperti Pada penelitian tentang keberadaan Makrozoobentos di sumber air panas Afrika telah ditemukan makrozoobentos dari family Bathynellacea pada suhu 550C.

Sumber : Odum (1971).

2.6 Makrozoobentos Sebagai Bioindikator

Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga di kenal dengan bioindikator makrozoobentos seperti Polycaeta merupakan bioindikator yang baik untuk kualitas air lingkungan laut karena respon mereka terhadap polutan dapat di bandingkan terhadap sistem air tawar. Polycaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan


(24)

(seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka di gunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan.

Pemilihan bentos sebagai indikator kualitas di suatu ekosistem air dengan beberapa alasan, yaitu :

a. Pergerakannya yang sangat terbatas sehingga memudahkan dalam pengambilan sampel

b. Ukuran tubuh relatif besar sehingga relatif mudah di identifikasi

c. Hidup di dasar periran serta relatif diam sehingga secara terus menerus terdedah oleh kondisi air sekitarnya

d. Pendedahan yang terus menerus mengakibatkan bentos sangat terpengaruh oleh berbagai perubahan lingkungan yang mempengaruhi kondisi air tersebut e. Perubahan faktor- faktor lingkungan ini akan mempengaruhi keanekaragaman

komunitas bentos.

Beberapa oganisme makrozoobentos sering di pakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat di bandingkan pengujian secara fisika- kimia (Hynes, 1978). Kelemahnnya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).

Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Montagna et all. (1989) menyatakan bahwa dalam ekosistem perairan, makrozoobentos berperan sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi.

Tabel 2.1, Klasifikasi Indikator bentos (Richardson, dalam Wilhm, 1975)

Kelompok Contoh-contoh organisme Jenis yang akan dan yang sangat tahan

terhadap polusi

Cacing-cacing Tubificid, lintah, larva nyamuk, siput yang tahan teristimewa Musculium sp, dan Psidium sp


(25)

Studi Ekologi pengukuran faktor lingkungan abiotik penting dilakukan untuk mengetahui faktor yang besar pengaruhnya terhadap keberadaan dan kepadatan populasi Makrozoobentos yang diteliti. Faktor fisika di air antara lain adalah temperatur, cahaya, kecerahan, arus dan daya hantar listrik. Adapun faktor kimia air antara lain kadar oksigen terlarut, pH, alkalinitas, kesadahan, BOD, COD, unsur-unsur dan zat organik terlarut (Suin, 2002).

2.7.1 Temperatur

Dalam setiap penelitian ekosistem aquatik pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas didalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis didal;am ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Kenaikan temperatur sebesar 10ºC akan meningkatkan laju metabolisme dari organisme sebesar 2-3 kali lipat (Barus, 1996). Selanjutnya Fardiaz (1992), menyatakan bahwa kenaikan temperatur air akan menimbulkan beberapa akibat terhadap ekosistem air antara lain: Jumlah oksigen terlarut didalam air, kecepatan reaksi kimia meningkat, kehidupan ikan dan hewan air lainnya yang terganggu, dan jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya akan mati.

2.7.2 Kekeruhan Air

Kekeruhan air terjadi disebabkan oleh adanya zat koloid, yaitu berupa zat yang terapung serta zat yang terurai secara halus sekali, jasad renik, lumpur, tanah liat dan zat-zat koloid yang tidak mengendap dengan segera (Mahida,1993, dalam Suriawiria, 1996). Kekeruhan air dapat dihubungkan dengan hadirnya pencemarannya melalui buangan (Suriawiria, 1996). Menurut Koesbiono (1979), pengaruh utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara drastis ke dalam badan air. Sehingga menurunkan aktivitas fotosintesis fitoplankton dan algae yang akan mengakibatkan turunnya produktivitas primer perairan.

Adanya sedimen dalam air akan mengurangi penetrasi cahaya masuk kedalam air sehingga mengurangi kecepatan fotosintesis pada ekosistem perairan (Fardiaz,


(26)

1992). Beberapa hewan akuatik yang akan menyebabkan kekeruhan air dan sebaliknya dapat juga menjernihkan air. Dengan demikian kekeruhan membatasi pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada keadaan air yang tidak tercemar ataupun jernih (Michael, 1984).

2.7.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran ikan. Intensitas cahaya bagi organisme akuatik berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Apabila intensitas berkurang maka proses fotosintesis akan terhambat sehingga oksigen dalam air akan berkurang, dimana oksigen dibutuhkan organisme untuk metabolismenya (Barus, 1996).

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air, intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda (Barus, 2004).

2.7.4 Penetrasi Cahaya

Penetrasi cahaya adalah kecerahan atau sebagian cahaya yang diteruskan ke dalam air. Dengan mengetahui kecerahan cahaya suatu perairan, kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh, dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton. Nilai kecerahan yang baik untuk kehidupan ikan adalah lebih dari 45 cm


(27)

atau lebih. Karena bila kecerahan kurang dari 45 cm, batas pandangan ikan berkurang (Kordi, 2004).

Penetrasi cahaya sering kali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, lumpur, potongan tamanan yang mengendap dan populasi organisme misalnya fitoplankton sehingga membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman (Odum, 1994). Sedangkan menurut Arie (1991), warna suatu perairan umumnya disebabkan oleh bahan terlarut seperti tanin, asam humus, plankton dan gambut. Dominasi bahan terlarut ini dapat dibedakan dari warna airnya. Air yang tercemar oleh limbah industri tentunya dapat mengakibatkan kematian pada ikan.

2.7.5 pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen yang menunjukkan suasana asam suatu perairan. Air dikatakan basa apabila pH > 7 dan dikatakan asam apabila pH < 7. Secara ilmiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa yang bersifat asam (Arie, 1991). Derajat keasaman (pH) merupakan parameter penera banyaknya ion hidrogen yang terkandung dalam air. Nilai pH di sungai dipengaruhi oleh karakteristik batuan dan tanah di sekelilingnya. Effendi (2003) menjelaskan bahwa sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7-8,5. Nilai pH sangat mempengaruhi proses kimia perairan. Menurut Pescod (1973), pH yang ideal untuk kehidupan nekton berkisar antara 6,5-8,5. Sedang Sastrawidjaya (1991) menyatakan bahwa pH turut mempengaruhi kehidupan ikan, pH air yang mendukung bagi kehidupan ikan berkisar 6,5- 7,5. pH air kurang dari 6 atau lebih dari 8,5 perlu diwaspadai karena mungkin ada pencemaran, hal ini juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi ikan.


(28)

Disolved Oxygen (DO) banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan faktor yang sangat penting di dalam ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi terutama oleh suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air dengan suhu 00 C yaitu sebesar 14,16 mg/l O2. Oksigen terlarut bersumber terutama dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan dari proses fotosintesis. Selanjutnya air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke atmosfer dan melalui aktivitas respirasi dari organisme akuatik (Barus, 2004).

Oksigen diperlukan oleh ikan untuk menghasilkan energi yang sangat penting bagi pencernaan dan asimilasi makanan, pemeliharaan keseimbangan osmotik dan aktivitas lainnya. Jika persediaan oksigen terlarut di perairan sangat sedikit maka perairan tersebut tidak baik bagi ikan dan makhluk hidup lainnya yang hidup di air, karena akan mempengaruhi kecepatan makan dan pertumbuhan ikan (Beveridge, 1987). Menurut Wardhana (1995), kandungan oksigen terlarut minimum 2 mg/ O2 sudah cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal.

2.7.7 Kandungan sulfida

Sulfida merupakan gas asam belerang. Pada air limbah sulfida merupakan hasil pembusukan zat organik berupa hidrogen sulfida (H2S). Hidrogen sulfida yang diproduksi oleh mikroorganisme pembusuk dari zat-zat organik bersifat racun terhadap gangguan dan mikroorganisme lainnya, tetapi hidrogen sulfida dapat digunakan oleh bakteri fotosintetik sebagai donor elektron/hidrogen untuk mereduksi karbondioksida (CO2). Hasil pembusukan zat-zat organik tersebut menimbulkan bau busuk yang tidak menyenangkan pada lingkungan sekitarnya. Sulfur terdapat secara luar di alam sebaga unsur H2S dan SO2, dalam biji sulfida logam dan dalam sulfat seperti gifs dan anhidrit. Hidrogen sulfida adalah gas yang tidak berwarna, beracun, mudah terbakar dan berbau seperti telur busuk. Gas ini bisa timbul dari faktor biologis ketika bakteri mengurai bahan organis dalam keadaan oksigen seperti di rawa dan saluran pembuangan kotoran. Gas ini juga timbul pada gas aktivitas gunung berapi


(29)

dan gas alam. Hidrogen sulfida juga dikenal dengan nama sulfana, gas limbah. IUPAC menerima penamaan hidrogen sulfida dan sulfana, kata akhir digunakan lebih eksklusif ketika menamakan campuran yang lebih kompleks. Kimiawi hidrogen sulfida merupakan hibrida kovalen yang secara kimia terkait dengan air. Karena oksigen dan sulfur berada dalam golongan yang sama (Mahida, 1984).

2.7.8 Substrat Dasar

Substrat dasar merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan perkembangan dan keanekaragaman makrozoobenthos (Michael, 1984). Menurut Seki (1982), komponen organik utama yang terdapat di dalam air adalah asam amino, protein, karbohidrat dan lemak. Komponen lain seperti asam organik, hidrokarbon, vitamin, dan hormone juga ditemukan di perairan. Hanya 10% dari materi organik tersebut yang mengendap sebagai substrat ke dasar perairan. Di samping adanya senyawa organik, substrat dasar yang berupa batu-batu pipih dan batu kerikil merupakan lingkungan hidup yang baik bagi makrozoobenthos (Odum, 1994).

Menurut Sumich(1992), Nybakken (1997) dan Barnes & Hughes (1999) substrat daerah pesisir terdiri dari bermacam-macam tipe, antara lain: lumpur, lumpur berpasir, pasir dan berbatu. Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak di huni oleh kehidupan mikroskopik. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1- 10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1- 1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi . organisme yang dominan adalah polichaeta , bivalvia dan crustacea.


(30)

BAB III

BAHAN DAN METODA

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret-April 2013 disumber air panas dan aliran air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara Sumatera Utara sebagai tempat pengambilan sampel makrozoobentos dan analisis sampel air. Kemudian analisis dan pengidentifikasian jenis makrozoobentos di kerjakan di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara, Medan.

3.2 Metoda Penelitian

Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi sampling untuk pengambilan sampel Makrozoobentos adalah “Purpossive Random Sampling” dengan menentukan 4 (empat) stasiun pengamatan berdasarkan gradien suhu.

3.3 Deskripsi Area

Sampel dalam penelitian ini adalah makrozoobentos yang terambil dengan alat surber-net dan eckman grab di tempat stasiun titik sampling Air Panas dan Aliran Air Panas Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara. Pengambilan sampel makrozoobentos dan analisis air akan di lakukan pada 4 (empat) stasiun titik sampling berdasarkan gradien suhu, rona lingkungan dan substrat dasar perairan.


(31)

3.3.1 Stasiun 1

Pada sumber air panas dengan suhu 590C, rona lingkungan terbuka dan substrat perairan kerak belerang.

3.3.2 Stasiun 2

Pada kumpulan aliran yang berasal dari sumber air panas yang mengumpul menjadi suatu genangan dengan suhu 420C, rona lingkungan terbuka, tepi genangan terdapat tumbuhan hijau dan substrat lumpur belerang.


(32)

3.3.3 Stasiun 3

Pada genangan aliran air panas dengan suhu 380C rona lingkungan terbuka, substrat berbatu dan berpasir

.

3.3.4.Stasiun4

Kumpulan aliran air panas dengan air hujan dengan suhu 360C dengan substrat dasar lumpur belerang yang di tumbuhi oleh vegetasi dan tepian lumut dan rumput.


(33)

3.4 Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah, Eckman grabb, jala surber, termometer, lux meter, pH meter, DO meter, saringan tingkat, kayu, bola pingpong, stopwatch, kamera, water sampler, kertas label, tali plastik, pensil, catatan dan buku identifikasi, formalin 10 % dan mikroskop.

3.5 Pengambilan makrozoobentos

a) Stasiun pengambilan makrozoobentos ditentukan berdasarkan gradien suhu, rona lingkungan dan substrat yang berbeda. Ditetapkan 4 stasiun tempat pengambilan sampel makrozoobentos tersebut.

b) Pengambilan makrozoobentos dilakukan dengan mengambil contoh substrat dasar perairan ( lumpur, pasir ) dengan menggunakan eckman grab untuk perairan yang dalam. dengan menggunakan jala surber untuk perairan dangkal dengan substrat berbatuan dan air mengalir

c) Pengambilan sampel dilakukan 5 kali ulangan secara acak.

d) Sampel yang telah di ambil dimasukkan kedalam kantong plastik dan diberi label.

e) Sampel yang di kumpulkan diawetkan dengan formalin 10%.

3.5.1 Pengukuran faktor fisika kimia perairan

Pengukuran faktor fisika kimia di lakukan langsung di lapangan dengan menggunakan:

a. Temperatur (0C)

Pengukuran temperatur dilakukan dengan menggunakan alat termometer, di ambil 1 ember sampel air, kemudian dimasukkan termometer kedalamnya, biarkan beberapa saat lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat.


(34)

b. Penetrasi cahaya (m)

Penetrasi cahaya di ukur dengan menggunakan keping sechii yang dimasukkan kedalam badan air sampai keping sachii tidak terlihat lagi dari permukaan, kemudian diukur panjang tali yang dimasukkan kedalam air.

c. Intensitas Cahaya

Intesitas caya di ukur dengan menggunakan Lux meter yang diletakkan kearah datangnya cahaya, kemuadian dibaca angka yang tertera pada Lux meter tersebut.

d. pH (Derajat Keasaman)

Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH meter kedalam sampel air yang di ambil kemudian dibaca angka konstan yang tertera pada pH meter tersebut.

e. DO (Disolved Oxygen)

Disolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan Metode Winkler. Sampel air diambil dari dasar perairan dan di masukkan ke dalam botol winkler, kemudian dilakukan pengukuran oksigen terlarut.

f. Kandungan Sulfida

Kedalam erlenmeyer 250 ml di tambahkan 3 tetes larutan Zn-asetat 2 N, kemudian menuangkannya kedalam 200 ml sampel air. Selanjutnya menambahkan 2 tetes larutan NaOH 6 N, ditutup dan dikocok. Jika pH belum mencapai 9 ditambahkan kembali NaOH sehingga nilai pH 9 tercapai. Larutan tersebut di biarkan sehingga koloid mengendap serta ikut terbawa. Selanjutnya ditambahkan sejumlah larutan iodine secukupnya dan dicatat iodine ditambahkan 2 ml HCL 6 N dan di encerkan larutan tersebut dengan aquades menjadi 200 ml. Kelebihan larutan iodine dititrasi dengan larutan Tio sulfat, dan di pergunakan larutan kanji sebagai indikator. Hasilnya dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

(a-b)

S = ───────


(35)

Dimana :

a = ml iodine 0,025 N b = ml Tiosulfat

g. Kandungan Organik Substrat

Pengukuran organik substrat dilakukan dengan metode analisis abu, dengan cara substrat diambil, ditimbang sebanyak 100 gram dan dimasukkan kedalam oven dengan temperatur 45oC sampai beratnya konstan (2-3 hari), substrat yang kering digerus di lumpang dan dimasukkan kembali kedalam oven dan dibiarkan selama 1 jam pada temperatur 45oC agar substrat benar-benar kering. Kemudian ditimbang 25 gram dan diabukan dalam tanur dengan temperatur 600oC selama 3,5 jam. Kemudian substrat yang tinggal ditimbang berat akhirnya, dan dihitung kandungan organik substrat dengan rumus:

% 100 X A

B A

KO = −

dengan:

KO = kandungan organik A = berat konstan substrat B = berat abu

Secara keseluruhan pengukuran faktor fisik kimia beserta satuan dan alat yang digunakan dapat dilihat pada tabel 3.2.

Tabel 3.2 Parameter Fisika Kimia yang di ukur

Parameter Alat Satuan Tempat


(36)

1. 2. 3. 1. 2. 3. 4 Fisika Suhu air Intensita cahaya Kecerahan air Kimia pH air

Oksigen terlarut (DO) kandungan sulfida Substrat Termometer Lux meter Keping secci pH meter Metoda Winkler Tetrimetrik iodine dengan iodine 0,025 N Eckman Grabb Metoda Abu 0 c Lux Cm/m pH Mg/l Mg/l % Insitu Insitu Insitu Insitu Insitu Exsitu insitu

3.6Sumber dan Teknik pengumpulan data

Sumber data diperoleh dari hasil pengamatan langsung ( purposive sampling) dan pengukuran setiap parameter yang ditentukan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik observasi karena data diperoleh dari hasil pengamatan secara langsung.

3.7Analisis Data

Data yang diperoleh dari 4 stasiun dimasukkan kedalam tabel dan selanjutnya di lakukan perhitungan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan rumus-rumus sebagai berikut :

a. Kepadatan Populasi (K)

area luas spesies suatu individu Jumlah KP=

b. Kepadatan relative (KR)

X100% jenis seluruh kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan KR=


(37)

c. Frekuensi Kehadiran (FK) % 100 ulangan total jenis suatu ditempati yang ulangan Jumlah

FK= ×

Dimana, FK : 0-25%: sangat jarang 25%-50%: jarang 50%-75%: banyak

75%-100%: sangat banyak

d. Indeks Similaritas (IS)

100% x b a 2c IS + = Dimana, IS = Indeks Similaritas

a = Jumlah spesies pada lokasi A b = Jumlah spesies pada lokasi B

c = Jumlah spesies yang sama pada lokasi A dan B Bila IS = 75-100% sangat mirip

50-75% mirip 25-50% tidak mirip ≤ 50 sangat tidak mirip

3.7.1 Indeks Keanekaragaman Makrozoobentos

Untuk menganalisis fauna makrozoobentos, digunakan indeks keanekaragaman shannon winer dengan rumus berikut :

=

= s

pi

In

pi

H

1 1

.

.

'

N

Ni

pi

)

=

(

Dimana :


(38)

H’ = Indeks keanekaragaman Shannon

Pi = Proporsi jumlah individu spesies ke-i terhadap jumlah total individu dari keseluruhan spesies (Ni/N).

Ni = Jumlah individu spesies ke-i N = Jumlah total individu In = Logaritme natural

3.7.2 Indeks Keseragaman Makrozoobentos

Untuk mengetahui indeks keseragaman populasi makrozoobentos, dapat diketahui dengan menggunakan rumus menurut Brown-zaar, yaitu :

maks H H' E =

Dimana : E = Indeks keseragaman Shannon H’ = Indeks keanekaragaman Shannon H maks = Ln S (spesies)

Tabel 3.3. Indeks Keseragaman brown-zarr

Indeks keseragaman Keterangan

E ˂ 0,4 nilai keseragaman rendah

0,4 ≤ E ˂ 0,6 nilai keseragaman sedang

E > 0,6 nilai keseragaman tinggi Sumber : Sinaga dan Riwayati (2008)

3.7.3 Indeks Dominansi Makrozoobentos

Untuk melihat dominasi di dalam suatu populasi digunakan indeks dominansi yang dihitung dengan menggunakan rumus, menurut Odum (1994), yaitu :

= N Ni) ( C

Dimana : C = Indeks dominasi, berkisar antara 0-1 Ni = Jumlah individu spesies ke-i


(39)

Tabel 3.4. Indeks Dominasi Odum

Indeks Dominasi Keterangan

C < 0,4 Nilai dominasi rendah

0,4 ≤ C < 0,6 Nilai dominasi sedang

C > 0,6 Nilai dominasi tinggi

3.7.4 Analisis Kolerasi

Analisis kolerasi pearson (SPSS) versi 16.00 digunakan untuk mengetahui hubungan antara faktor fisika kimia dengan indeks keanekaragaman makrozoobentos di perairan Air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara. Tingkat hubungan nilai indeks kolerasi dinyatakan sebagai berikut:

Interval Koefisien Tingkat Hubungan 0,00 – 0,199 Sangat rendah 0,20 – 0,399 Rendah 0,40 – 0,599 Sedang 0,60 – 0,799 Kuat 0,80 – 1,00 Sangat kuat


(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Faktor Fisika Kimia Aliran Sumber Air Panas Sipoholon

Data hasil pengukuran faktor fisika kimia selama penelitian yang dilakukan di lokasi pengambilan sampel di Sumber dan Alira Air Panas Sipoholon dari 4 stasiun yang berbeda adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1. Hasil pengukuran Faktor Fisika Kimia di Sumber dan Aliran Air Panas Sipoholon dari Empat Stasiun yang Berbeda

Parameter

Fisik – Kimia Satuan

Stasiun

1 2 3 4

Suhu 0C 59 42 38 36

Penetrasi Cahaya Cm 28 170 33 35

Intensitas Cahaya Candela 812 517 536 721

pH Air - 4,2 4,4 4,7 4,8

DO Mg/L 0,2 3,6 4,6 4,7

Kandungan sulfida Mg/L 0,073 0,089 0.124 0,143

Substrat % 7,68 6,14 6,52 8,64

Keterangan:

a. stasiun 1 : Sumber air panas dengan titik koordinat 02004’30,3’’LU dan 0980 056’ 43,3’’BT

b.stasiun 2 : kumpulan air yang berasal dari sumber air panas dengan tepi genangan ditumbuhi

vegetasi dengan titik koordinat 020 04’ 34,9’’ LU dan 0980 56’ 40,3’’ BT

c. stasiun 3 : genangan aliran air panas dengan titik koordinat 020 04’ 31,5’’ LU dan 0980 56’ 39,2’’

BT

s. stasiun 4 : kumpulan air panas dan air hujan dengan titik koordinat 020 04’ 30,1’’ LU

dan 0980 56’ 45,3’’ BT

4.1.1 Suhu

Suhu yang di amati dalam 4 stasiun, berkisar antara 360C – 590C. Suhu tertinggi pada stasiun I sebesar 590C pada sumber air panas karena dekat perbukitan dengan kondisi yang terbuka. Pada stasiun IV merupakan suhu yang paling rendah disebabkan stasiun ini merupakan kumpulan aliran air panas dengan suhu sebesar 360C. Substrat dasar lumpur belerang yang ditumbuhi oleh vegetasi, tepian lumut dan rumput yang telah bercampur dengan air hujan yang menggenang, sehingga air panas dan air dingin bercampur dan membuat suhu terendah pada stasiun ini. Air yang


(41)

mengalir mengalami pelepasan panas air sehingga temperatur air alirannya mengalami kenaikan tergantung semakin jauhnya jarak stasiun yang lainnya dari sumber air panas.

4.1.2 Penetrasi Cahaya ( Kecerahan Air)

Kecerahan perairan pada stasiun pengamatan berkisar antara 28 cm-170 cm. Tingkat kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun II sebesar 170 cm. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya bahan organik yang tinggi akibat keadaan daerah yang memang banyak di tumbuhi vegetasi di sekitar stasiun sehingga membuat cahaya matahari sulit untuk sampai ke badan perairan. Sementara pada stasiun I sebesar 28 cm merupakan penetrasi yang paling rendah terdapat padatan tersuspensi yang mempengaruhi warna air, pengurangan penetrasi cahaya masuk ke dalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis

4.1.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya berkisar antara 517-812 lux. Tingginya intensitas pada stasiun I dikarenakan daerah ini lebih terbuka dan tidak ditutupi oleh apapun, sehingga cahaya yang di pancarkan langsung diserap oleh permukaan perairan dan selain itu pada saat pengukuran cahaya matahari tepat berada di atas kepala sehingga tingkat cahaya matahari lebih banyak terserap dalam permukaan perairan.

Di stasiun II intensitas cahaya lebih rendah karena perairan tersebut tertutup oleh dinding parit sehingga cahaya yang dipancarkan tidak langsung sepenuhnya diserap oleh permukaan perairan serta waktu pengukuran, matahari sudah mulai jauh dari atas kepala. Tingkat rendahnya intensitasnya cahaya terukur tergantung pada waktu dilakukan pengukuran.

4.1.4 pH Air

Nilai pH pada seluruh stasiun berkisar antara 4,2-4,8 dan pH tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 4,8. Nilai pH terendah terdapat pada stasiun I sebesar pH 4,2


(42)

dalam keadaan asam yang diakibatkan tingkat kekeruhan atau kelarutan bahan tersuspensi sangat kecil pada stasiun ini.

Menurut Barus (2004, hlm:61), menjelaskan bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan mempengaruhi kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme berbagai senyawa logam berat terutama ion aluminium.

Nilai pH di bawah 5 atau di atas 9 sangat tidak menguntungkan bagi kebanyakan bentos. Kondisi pH perairan yang asam dapat merugikan seluruh organisme perairan termasuk makrozoobentos karena akan mengganggu metabolisme dan respirasi organisme tersebut (Hynes, 1978). Dengan hasil yang diperoleh maka sumber dan aliran air panas Sipoholon tidak mendukung kehidupan organisme perairan termasuk beberapa makrozoobentos.

4.1.5 Oksigen terlarut ( Disolved Oxygen)

Kandungan oksigen terlarut berkisar antara dari 0,2 – 4,7 mg/l. Oksigen terlarut tertinggi pada stasiun IV diakibatkan suhu yang sangat rendah. Stasiun I (sumber air panas), kadar oksigen terlarut terendah sebesar 0,2 mg/l disebabkan suhu yang sangat tinggi, Semakin tinggi suhu maka kadar oksigen akan semakin sedikit. Oksigen terlarut tergantung pada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung pada kedalaman, kekeruhan air dan jumlah bahan organik yang akan diuraikan dalam air tersebut. Suhu yang tinggi akan menjadikan kelarutan oksigen akan berkurang. Dan sangat mempengaruhi makrozoobentos atau organisme yang hidup di dalamnya

Menurut Sastrawijaya (1991) bahwa suhu sangat berkaitan erat dengan O2 terlarut pada suatu perairan. Semakin tinggi suhu suatu perairan maka kadar oksigen terlarutnya akan semakin rendah, dan apabila sebaliknya semakin rendah suhu suatu perairan maka kadar oksigen terlarutnya semakin tinggi. kandungan oksigen terlarut


(43)

dapat di hubungkan dengan kualitas suatu perairan. Berdasarkan penggolongan kualitas air, kandungan oksigen terlarut >6,5 mg/l maka perairan tersebut tidak tercemar atau tercemar sangat ringan. Kandungan oksigen terlarut <2,0 tergolong tercemar berat.

.4.1.6 Kandungan Sulfida

Kandungan sulfida di Sumber dan Aliran Air Panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara berkisar antara 0,073-0,143 mg/l. Kandungan sulfida yang tertinggi terdapat pada stasiun IV karena daerah atau stasiun tersebut yang menampung air dari aliran air panas bercampur dengan air hujan bertahan dan membusuk, mengakibatkan warna kehitam-hitaman dan berbau busuk. Penguapan di stasiun ini tidak tinggi sehingga perombakan senyawa organik menjadi hidrogen sulfida tinggi. Kandungan sulfida yang terendah pada stasiun I karena di pengaruhi oleh suhu yang sangat tinggi dan rona lingkungan yang bebas tanpa di tutupi oleh pohon sehingga sinar matahari bisa secara langsung menembus perairan.

4.1.7 Substrat Dasar perairan

Substrat dasar di sumber dan aliran air panas berupa kepingan belerang, lumpur belerang, berbatu dan berpasir. Substrat tertinggi terdapat pada stasiun IV sebesar 8,64. Hal ini disebabkan oleh dasar lumpur belerang yang di tumbuhi oleh vegetasi dan tepian lumut dan rumput sehingga kuat mempengaruhi keanekaragaman makrozoobentos. Substrat terendah ditemukan pada stasiun II sebesar 6,14, rendahnya kandungan substrat di daerah ini adalah adanya substrat dasar lumpur belerang yang di tumbuhi oleh vegetasi dan juga lumut-lumutan.

Nybakken (1992) menyatakan bahwa keberadaan lumpur di dasar perairan sangat di pengaruhi oleh banyaknya partikel tersuspensi yang dibawah oleh air tawar serta faktor-faktor yang mempengaruhi penggumpalan, pengendapan bahan tersuspensi, jenis substrat dan ukurannya relatif besar dan berat sehingga dapat mengendap dengan sendirinya. Keadaan inilah yang mempengaruhi faktor organik dan distribusi bentos dalam perairan


(44)

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat di jelaskan bahwa fauna makrozoobentos yang di temukan di air panas Sipoholon sebanyak 7 taksa. Ketujuh taksa tersebut adalah genus Chironomus, Hidrobiomorpha, Gomphus, Pleucera, Lymnea polyrhytis, Pedicia, Ephyridra.

Kepadatan tertinggi terdapat pada Stasiun I sebesar 162, 2 merupakan sumber air panas yang berasal dari pemanasan air secara geotermal yang tanah kerak bumi dan juga disebabkan tidak adanya naungan vegetasi (kanopi) disekitar sumber air sehingga badan air langsung terkena cahaya matahari. Setiap organisme hanya dapat hidup dengan baik pada suhu tertentu. Hanya makrozoobentos yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap suatu faktor dalam lingkungannya yang bisa bertahan seperti Chironomus. Chironomus berasal dari kelas insekta dengan sub famili chironomidae. Memiliki ciri khas tersendiri, tubuh larva memanjang dan berbentuk silindris, memiliki sepasang proleg pada segmen toraks pertama dan segmen abdomen terakhir, terdapat insang anal pada permukaan lantroventral, berwarna putih, kekuningan, kehijauan, kebiruan atau kemerahmudaan dan merah tua. Makrozoobenthos ini hidup pada pH 4,4-8,8, kadar oksigen terlarut berkisar antara 3-14ppm, amonium antara <0,01-1,10ppm, nilai BOD 0,2-4,4ppm, nitrat antara 0,05-1,3ppm. Sehingga pada stasiun ini tidak memiliki keanekaragaman karena suhu yang terlalu tinggi. Hal tersebut sesuai dengan Odum (1994), menyatakan bahwa spesies mempunyai batas toleransi terhadap suatu faktor yang ada dilingkunganitu sendiri.

Kepadatan terendah ditemukan pada stasiun III sebesar 68,8 pada daerah yang memiliki substrat dasar perairan dan sangat tidak mendukung pada kehidupan makrozoobentos. Kerak- kerak lapisan belerang yang telah mengeras sangat mempengaruhi kehidupan makrozoobentos. Makrozoobentos yang mampu bertahan dalam kondisi sperti ini juga adalah Chironomus

Frekwensi kehadiran tertinggi terdapat pada stasiun IV selain suhu yang sangat rendah juga faktor fisika kimia perairan lainnya termasuk oksigen terlarut tinggi sangat mempengaruhi jumlah spesies karena rona lingkungan dengan substrat


(45)

lumpur belerang yang di tumbuhi oleh vegetasi tepian lumut dan rumput, mengakibatkan banyak jumlah individu mampu mempertahankan hidup.

4.3 Nilai Indeks Similaritas (IS) Pada setiap Stasiun Penelitian

Dari penelitian yang dilakukan diperoleh nilai indeks similaritas (IS) pada setiap stasiun penelitian seperti pada tabel berikut 4.4 berikut :

Tabel 4.3 Nilai Indeks Similaritas (IS) Pada Stasiun Penelitian

Stasiun 1 2 3 4

1 - 66,6 100 25

2 - - 66,66 44,44

3 - - - 25

4 - - - -

Dari Tabel 4.4 dapat kita ketahui bahwa indeks similaritas stasiun 1 dan2 berkisar 50-75% mirip, stasiun 1 dan 3 berkisar 75-100% sangat mirip Hal ini disebabkan oleh kondisi stasiun tersebut hampir sama sehingga jenis makrozoobentos yang mampu bertahan hidup adalah organisme yang sama, misalnya Chironomus , kemudian kategori stasiun yang sangat tidak mirip adalah 1 dan 4, 3 dan 4 karena faktor fisik dalam stasiun ini sangat berbeda, sengat jelas dilihat dan mencolok bila di bandingkan dengan stasiun lainnya.

4.4 Nilai Indeks Kenekaragaman Makrozoobentos (H’), Indeks Keseragaman Brown-zaar (E), Indeks Dominasi Makrozoobentos (C)

Dari hasil penelitian yang dilakukan pada masing- masing penelitian diperoleh Nilai Indeks Kenekaragaman Makrozoobentos (H’), Indeks Keseragaman Brown-zaar (E), Indeks Dominasi Makrozoobentos (C).

Tabel 4.4 Indeks Kenekaragaman Makrozoobentos (H’), Indeks Keseragaman Brown-zaar (E), Indeks Dominasi Makrozoobentos (C).

Stasiun H’ E C

I 0 0 0

II 0,690 0,996 0,96

III 0 0 0


(46)

Berdasarkan faktor fisika kimia semua stasiun relatif sama, ini disebabkan oleh tinggi rendahnya suhu pada stasiun ini. Data tersebut dapat dilihat bahwa indeks keanekaragaman tertinggi di temukan pada stasiun IV sebesar 1.430 karena faktor fisika kimia stasiun tersebut masih sangat mendukung kehidupan makrozoobentos. Zajic (1971) dalam Simamora, bahwa perairan berkualitas baik biasanya mempunyai nilai keanekaragaman tinggi dan kelimpahan individu tiap jenis yang rendah dan sebaliknya pada perairan buruk. Jumlah individunya sedikit tetapi keanekaragamannya banyak dikarenakan jumlah spesies dalam satu stasiun hanya sedikit. Jika kategori keanekaragamannya tinggi maka kelimpahan sedikit dikarenakan tersebarnya banyak jenis makrozoobentos mengakibatkan kelimpahan individu pada suatu spesies rendah. Semakin besar nilai indeks keanekaragaman jenis makrozoobentos maka semakin besar juga tingkat komunitas makrozoobentos pada perairan tersebut.

Indeks keseragaman tertinggi di temukan pada stasiun II sebesar 0,996. Menurut Riwayati (2008) jika nilai keseragaman lebih besar dari 0,6 maka nilai keseragaman tersebut dikatakan tinggi. artinya indeks keseragaman pada lokasi penelitian ini tergolong tinggi.

Indeks dominasi nilai keanekargaman makrozoobentos dalam lokasi penelitian ini berkisar antara 0,95 – 0,95. Menurut Odum (1994) jika indeks dominansi lebih besar dari 0,6 maka nilai dominasi tersebut dikatakan tinggi. Tapi pada lokasi penelitian tidak ada yang mendominasi.

4.5 Analisis Korelasi

Nilai korelasi yang di peroleh antara parameter fisik-kimia perairan dengan keanekaragaman Makrozoobentos dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut :


(47)

Tabel 4.5 Nilai Korelasi Yang Diperoleh dari Antara Parameter Fisik-Kimia Perairan Dengan Keanekaragaman Makrozoobentos di Setiap Stasiun Penelitian

Suhu Penetrasi cahaya

Intensitas cahaya

pH air DO Kand.

sulfida

Substrat

H’ +1 -0,153 +0,622 -0,911 -0.998** -0,861 +0.54

Keterangan : Nilai - = Korelasi negatif (berlawanan) Nilai + = Korelasi Positif ( Searah)

Tanda ** = Berkorelasi sangat nyata

Dari Tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa DO, penetrasi cahaya, pH air dan kandungan sulfida berkorelasi berlawanan dengan keanekaragaman Makrozoobentos yaitu berkisar 0,153-0,998, yang berarti semakin tinggi nilai DO, pH, penetrasi cahaya dan kandungan sulfida maka semakin rendah juga nilai keanekaragaman dan sebaliknya. Menurut Wardhana (2004, hal: 10) kehidupan mikroorganisme ikan atau hewan air lainnya, tidak terlepas dari kandungan oksigen yang terlarut di dalam air. Air yang tidak mengandung oksigen tidak akan memberikan kehidupan pada mikroorganisme dan hewan lainnya. Pada umumnya lingkungan air tercemar kandungan oksigennya rendah.

Suhu merupakan tingkat hubungan yang sangat kuat. Kenaikan temperatur air akan menimbulkan beberapa akibat terhadap ekosistem air antara lain : jumlah oksigen terlarut dalam air, kecepatan reaksi kimia meningkat,kehidupan ikan dan hewan lainnya akan terganggu, dan jika suhu melampaui batas suhu yang mematikan maka ikan dan hewan lainnya akan mati, Fardiaz(1992).

pH menentukan keberadaan makrozoobentos, setiap jenis makrozoobentos memiliki toleransi terhadap pH. Apabila pH terlalu tinggi atau terlalu rendah maka makrozoobentos akan memiliki toleransi sempit dan menyebabkan makrozoobentos akan mati.

DO berkolerasi negatif pada keanekaragaman makrozoobentos atau memiliki arah berlawanan terhadap keanekaragaman makrozoobenthos artinya naiknya nilai faktor fisik kimia perairan justru akan menyebabkan turunnya keanekaragaman makrozoobentos.


(48)

Kandungan sulfida berkolerasi negatif pada keanekaragaman makrozoobentos. Hidrogen sulfida yang diproduksi oleh mikroorganisme pembusuk dari zat-zat organik bersifat racun terhadap keanekaragaman makrozoobentos.

Berdasarkan Uji Korelasi pearson di atas, dapat juga dilihat bahwa faktor fisik kimia yang berkorelasi searah dengan keanekaragaman adalah Intensitas cahaya dan substrat. Menurut sarwono (2006), koefisien korelasi ialah pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1s/d -1. Koefisien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif maka kedua veriabel mempunyai hubungan searah. Artinya nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Dan begitu pula sebaliknya, jika koefisien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai Keanekaragaman makrozoobentos di Aliran Sumber Air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanauli Utara, diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Kepadatan populasi (K) tertinggi pada stasiun I yaitu 162,2 ind/m2 dan terendah terdapat pada stasiun III yaitu 68,8 ind/m2

b. Keanekaragaman makrozoobentos (H’) tertinggi di stasiun IV sebesar 1,430 dan terendah pada stasiun I dan III yaitu 0

Indeks Keseragaman (E) tertinggi dalam stasiun II yaitu 0,996 dan terendah pada stasiun I dan III yaitu 0.

Indeks Dominasi (C) Makrozoobentos tertinggi di temukan pada stasiun IV yaitu 0,96 dan terendah pada stasiun I dan III yaitu 0,95

c. Suhu, derajat keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), dan kandungan sulfida berpengaruh sangat kuat terhadap Keanekaragaman Makrozoobentos di aliran sumber air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara

5.2Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi tentang keanekaragaman makrozoobentos di aliran dan sumber air panas Sipoholon Kecamatan Sipoholon Kabupaten Tapanuli Utara, Propinsi Sumatera Utara.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Arie, S.T. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. hlm: 101,108. Anonim., (2009) , Mata Air Panas: http://id.wikipedia.org/wiki/Mata Air Panas tanggal

16 Maret 2009

Admin, (2009), Sumber Air Hot terkenal Dunia: http://main.man3 malang.com tanggal 24 Februari 2009

Ardi, (2002), Pemanfaatan Makrozoobentos Sebagai Indikator Kualitas Perairan

Pesisir

Ardiwinata, N.,Setiawa., Asngari., Supardjo, E., Kurniawan, S., (2005) Penyelidikan Biokimia Panas Bumi Daerah Sipoholon Tapanuli Utara Sumatera Utara:

Barus, T.A. 1996. Metoda Ekologi Untuk Menilai Kualitas Suatu Perairan Lotik. Medan: FMIPA USU. Hlm: 43.

Barus, T.A., (2004) Pengantar Limnologi: Studi tentang Ekosistem Sungai Dan Danau. FMIPA-USU,Medan

Beveridge, M. C. 1987. Cage Aquaculture. England: Finishing News Book Ltd.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm: 155

.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jilid 1. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Howkes, H.A., (1998), Biologi Aspect of river pollution, In L, Klein (ed) River

pollution 2: Causes and effect, Butter Whorts London

Hynes, H.B.N., (1978), The Ecology of Running Water, Liverpool University Press, Liverpool


(51)

Koesbiono. 1979. Dasar Dasar Ekologi Umum. Bagian IV (Ekologi Perairan). Bogor: Pasca Sarjana Program Studi Lingkungan IPB. hlm: 25-26.

Kordi, K. M. G. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Cetakan I. Jakarta: Rineka Cipta. hlm: 176-177, 181-182.

Lumbangaol, A.,(2000), Inventaris Organisme Plankton Pada Sumber dan Airan Air Panas Geotermal di Lau Debu-debuk Kabupaten Karo Untuk Menunjang Perkuliahan Ekologi Perairan. FMIPA, Unimed, Medan

Mahida.U.N.1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Jakarta: Penerbit Rajawali

Michael, P, (1984) Metode Ekologi Untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium, UI Jakarta

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia Pustaka, Jakarta. Hlm: 290.

Odum, E,P., (1994), Fundamental Of Ecology. Philadelphia.WB. Saunders Company ___________ 1994. Dasar Dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta. hlm: 34,94, 368, 385-389.

Pescod, N. B.1973. Investigation of Rational Effluent and Stream for Tropical Countries. Bangkok: Asian Institute of Technology.

Pararaja, A., (2008), Makrozoobentos Indikator Perairan Air Tawar: hhtp://sma3ae,Wordpress,com tanggal 07 Februari 2009

Rifai, S.A. Sukaya, N. & Nasution, Z. 1983. Biologi Perikanan. Edisi 1. Jakarta: Departemen Pendididkan dan Kebudayaan. hlm: 23.

Sastrawijaya, A.Tresna., (1991) Pencemaran Lingkungan . Penerbit Rineka Cipta. Jakarta

Sarwono.2006.Diakses 09 mei 2009. Teori Analisis Mengenal AnalisiS korelasi. www.jonathansarwono.info/korelasi.htm-94k-.


(52)

Simbolon, C. D., (2000), Inventarisasi Organisme Makrozoobentos Pada Sumber Dan Aliran Air Panas Raja Berneh Doulu Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo. Skripsi, FMIPA, Unimed, Medan

Sinaga, A dan Rawati., (1998) Ekologi Perairan. FMIPA, Unimed. Medan

Silaban, C., (2009). Wisata Rohani Tarutung:

Seki, H. 1982. Organic Materials in Aquatic Ecosystem. Florida: CRC Press, Inc. hlm: 56.

Suin, N, M. 2002. Metode Ekologi. Padang: Universitas Andalas Press. hlm: 2.

Sumich, J.L. 1992. An Introduction to The Biology of Marine Life. Fifth Edition. USA: Wm.C. Brown Publisher

Soemarwoto. I. 1990. Biologi Umum 2. Jakarta: Gramedia. hlm: 73-76.

Suriawiria, U. 1996. Air dalam Kehidupan dan Lingkungan yang Sehat. Edisi I. Bandung: Alumni. hlm: 6.

Teguh.,(2007)Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi: http//www.fulkd.web.id tanggal 07 Februari 2009

Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit ANDI. hlm: 90.


(53)

Lampiran A. Bagan Kerja Metoda Winkler untuk Mengukur Kelarutan Oksigen (DO)

Sampel Air

1 ml MnSO4 1 ml KOHKI Dikocok Didiamkan

Sampel Endapan Puith/Cokelat

1 ml H2SO4 Dikocok Didiamkan

Larutan Sampel Berwarna Cokelat

Diambil 100 ml

Dititrasi Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Berwarna Kuning Pucat

Ditambah 5 tetes Amilum

Sampel Berwarna Biru

Dititrasi dengan Na2S2O3 0,00125 N

Sampel Bening

Dihitung volume Na2S2O3 yang terpakai


(54)

Hasil

(Barus, 2004)

Lampiran B. Bagan Kerja Pengukuran Kadar Organik Substrat

Substrat dasar pada titik pengamatan

Dihomogenkan

100 gram substrat dasar

Dikeringkan dalam oven 450C

Berat konstan tanah

Dihaluskan dengan lumpang

Dikeringkan dalam oven 450C

5 Gram tanah

Dibakar di dalam tungku

pembakar pada suhu 6000C

Abu

Hasil


(55)

Lampiran C. Foto- foto Makrozoobentos

Hidrobiomorpha Chironomus


(56)

Pedicia

Limnea polyrhytis Ephydra


(57)

Lampiran D. Foto Alat dan Bahan


(58)

Pipet Tetes


(59)

Surber Net MnSO4

Luxmeter KOH-KI


(60)

Refraktometer Keping Sechi

Botol alkohol Botol film

pH meter Termometer


(61)

Lampiran E. Foto- foto Kerja

Sampling Sampling

Pengukuran Suhu Air Pengukuran pH air


(62)


(63)

Lampiran I. Data Mentah Penelitian

=Ulang

an Taksa

Stasiun

1 2 3 4

1 Chironomus 7 - 17 -

2 4 14 14 -

3 4 3 - -

4 58 2 - 11

5 - 3 - 12

Jumlah 73 22 31 23

1 Hidrobiomorpha - 4 - -

2 - 4 -

3 - 11 - 2

4 - - - -

5 - - - -

Jumlah 19 2

1 Ephyridae - - - -

2 - - -

3 - - - -

4 - - - 2

5 - - - -

Jumlah 2

1 Gomphus - - - 3

2 - - - 3

3 - - - 4

4 - - - 3

5 - - - 3

Jumlah 16

1 Pedicia - - - -

2 - - - 2

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - 2

Jumlah 4

1 Pleucera - - - -

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - 1

5 - - - -

Jumlah 2

1 Limnea Polyrhytis - - - 1

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - 1


(64)

Lampiran J. Contoh Perhitungan

1. Menghitung kepadatan Chironomus pada stasiun I

area luas spesies suatu individu Jumlah KP= 73/5

KP = ──── = 162,2 ind/m2 0,09

2. Menghitung kepadatan relatif (KR)Chironomus pada stasiun I

X100% jenis seluruh kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan KR= 162,2

KR = ───── X 100 % = 100 % 162,2

3. Menghitung Frekwensi Relatif (FK) Chironomus pada Stasiun I

% 100 ulangan total jenis suatu ditempati yang ulangan Jumlah

FK= ×

4

FK = ──── X 100% = 80% 5


(65)

=

= s PiInpi H 1 1 . . ' N Ni pi)= (

Stasiun I = Ni/ N = 16, 2/ 169,2 = 1

H’ = -1 Ln 1 = -1 (Ln 1) = -1 (0) = 0

5. Menghitung Indeks Similaritas Keanekaragaman/ Equitabilitas (E) Pada Stasiun I maks H H' E =

H max = Ln(S) = Ln ( 0,558) = -0,583 0

E = ──── = 0

-0,583

6. Menghitung Indeks Similaritas (IS) pada stasiun 1:2

100% x b a 2c IS + = 2.1

= ───── X 100% 1+2

= 66,6%

7. Menghitung Indeks Dominasi (C) pada stasiun I

= N Ni) ( C

= 22/ 41+19/41 = 0,96


(1)

Refraktometer Keping Sechi

Botol alkohol Botol film

pH meter Termometer


(2)

Lampiran E. Foto- foto Kerja

Sampling Sampling

Pengukuran Suhu Air Pengukuran pH air


(3)


(4)

Lampiran I. Data Mentah Penelitian

=Ulang

an Taksa

Stasiun

1 2 3 4

1 Chironomus 7 - 17 -

2 4 14 14 -

3 4 3 - -

4 58 2 - 11

5 - 3 - 12

Jumlah 73 22 31 23

1 Hidrobiomorpha - 4 - -

2 - 4 -

3 - 11 - 2

4 - - - -

5 - - - -

Jumlah 19 2

1 Ephyridae - - - -

2 - - -

3 - - - -

4 - - - 2

5 - - - -

Jumlah 2

1 Gomphus - - - 3

2 - - - 3

3 - - - 4

4 - - - 3

5 - - - 3

Jumlah 16

1 Pedicia - - - -

2 - - - 2

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - 2

Jumlah 4

1 Pleucera - - - -

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - 1

5 - - - -

Jumlah 2

1 Limnea Polyrhytis - - - 1

2 - - - -

3 - - - -

4 - - - -

5 - - - 1


(5)

Lampiran J. Contoh Perhitungan

1. Menghitung kepadatan Chironomus pada stasiun I

area luas spesies suatu individu Jumlah KP= 73/5

KP = ──── = 162,2 ind/m2 0,09

2. Menghitung kepadatan relatif (KR)Chironomus pada stasiun I

X100% jenis seluruh kepadatan Jumlah jenis suatu Kepadatan KR= 162,2

KR = ───── X 100 % = 100 % 162,2

3. Menghitung Frekwensi Relatif (FK) Chironomus pada Stasiun I

% 100 ulangan total jenis suatu ditempati yang ulangan Jumlah

FK= ×

4

FK = ──── X 100% = 80% 5


(6)

= −

= s PiInpi

H 1 1 . . ' N Ni pi)= (

Stasiun I = Ni/ N = 16, 2/ 169,2 = 1

H’ = -1 Ln 1 = -1 (Ln 1) = -1 (0) = 0

5. Menghitung Indeks Similaritas Keanekaragaman/ Equitabilitas (E) Pada Stasiun I maks H H' E =

H max = Ln(S) = Ln ( 0,558) = -0,583 0

E = ──── = 0 -0,583

6. Menghitung Indeks Similaritas (IS) pada stasiun 1:2

100% x b a 2c IS + = 2.1

= ───── X 100%

1+2

= 66,6%

7. Menghitung Indeks Dominasi (C) pada stasiun I

= N Ni) ( C