Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi: Studi Komparatif Negara-Negara ASEAN+6

(1)

1.1. Latar Belakang

Proses integrasi di berbagai belahan dunia telah terjadi selama beberapa dekade terakhir, terutama dalam bidang ekonomi. Proses integrasi ini penting dilakukan oleh masing-masing kawasan untuk bisa bersaing dengan kawasan lainnya dalam menghadapi arus globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia (Achsani, 2008). Pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ini dilandasi karena manfaat yang akan diperoleh dari integrasi lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin dihadapi oleh masing-masing negara dalam kawasan tersebut (Sholihah dan Saichu, 2007). Dalam perkembangannya, berbagai konsep terkait integrasi keuangan dan moneter terus mengalami perkembangan. Inisiatif kerjasama mulai dikembangkan untuk dapat meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan bersama yaitu menciptakan stabilitas keuangan regional (BI, 2000).

Sejak terjadinya krisis ekonomi di Thailand yang menyebar menjadi krisis Asia tahun 1997 sebagai dampak dari globalisasi dan integrasi ekonomi serta keuangan dunia, semakin meningkatkan kesadaran negara-negara anggota ASEAN mengenai pentingnya memulai kerjasama regional dalam memelihara stabilitas kawasan ASEAN. Faktor lainnya yang memengaruhi perlunya integrasi di kawasan ASEAN didasari oleh kesuksesan Uni Eropa yang membentuk suatu single market dengan mata uang tunggal Euro, dimana perdagangan dilakukan secara bebas, tanpa


(2)

dibebankan adanya pajak. Hal ini mendorong tumbuh pesatnya perekonomian di wilayah Uni Eropa.

Gaya regionalisme Asia yang dinamis dan berorientasi ke luar dapat memberikan dampak yang cukup penting dalam era globalisasi. Regionalisme dapat menjadi faktor stabilisasi ketika timbul kejutan (shock) baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan. Regionalisme membawa tanggung jawab akan pengelolaan yang benar, komunikasi yang efektif untuk membantu pasar menyesuaikan diri dan beradaptasi saat munculnya krisis atau potensi krisis.

Negara-negara Asia pada prinsipnya dihubungkan melalui pasar, perdagangan internasional, arus keuangan, investasi langsung, dan bentuk-bentuk lain dari pertukaran ekonomi dan sosial. Para pemimpin Asia telah memiliki komitmen untuk bekerja sama lebih erat dan telah mengambil langkah konkret di beberapa tempat. Pencapaian ASEAN Community semakin kuat dengan ditandatanganinya, Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) terbentuk pada tanggal 15 Januari 2007 di Cebu. Kesepakatan tersebut dibentuk oleh para pemimpin negara-negara ASEAN dan enam tambahan negara-negara yaitu Australia, China, India, Jepang, Korea Selatan, dan New Zealand. Tujuan CEPEA adalah untuk meningkatkan integrasi ekonomi di Negara ASEAN+6 dan memperkecil gap pembangunan di antara negara-negara tersebut guna mencapai pembangunan yang berkesinambungan (Toh, 2009). Diharapkan dengan tambahan enam negara yang perekonomiannya cukup berpengaruh terhadap perekonomian ASEAN dapat membuat ASEAN Economic Community menjadi single market yang lebih besar, mengingat bahwa


(3)

populasi CEPEA besarnya 49,6% dari populasi dunia dan tujuh kali lebih besar dari populasi EU (CEPEA report, 2008)

Pusat gravitasi ekonomi global kini tengah berpindah ke Asia. Produk Domestik Bruto (PDB) Asia sudah hampir sebesar PDB Eropa dan Amerika Utara, dan pengaruhnya ke dunia terus meningkat. Keberhasilan Asia yang luar biasa telah membawa tantangan baru, sementara pertumbuhan ekonomi yang pesat tetap menjadi prioritas. Asia kini sungguh penting bagi ekonomi dunia sehingga Asia juga harus memainkan peranan yang lebih besar dalam kepemimpinana ekonomi global.

Hubungan perdagangan internasional yang tumbuh dan hubungan keuangan dapat ditafsirkan menjadi saling ketergantungan ekonomi makro. Implikasinya bahwa pemerintahan nasional suatu negara kian perlu mendasarkan kebijakan mereka pada kebijakan yang dilakukan oleh negara tetangga di dalam kawasan tersebut. Implikasi lainnya adalah bahwa manfaat pengelolaan kebijakan secara bersama-sama untuk memaksimalkan kinerja bersama menjadi lebih besar. Dari berbagai alasan yang menunjukkan bahwa saling ketergantungan yang lebih besar akan menyebabkan variabel-variabel ekonomi makro ASEAN+6 bergerak bersama-sama lebih erat.

Asia yang lebih terintegrasi telah menjadi kian sensitif terhadap shock Asia seiring semakin meningkatnya saling ketergantungan makro. Pada saat yang sama, kepekaan kawasan ini terhadap shock global juga tetap tinggi. Krisis ekonomi Asia tahun 1997 dan krisis keuangan global tahun 2008 memberi pelajaran kepada negara-negara yang tergabung dalam ASEAN+6 bahwa indikator-indikator ekonomi makro yang memuaskan belum menjadi jaminan bahwa kondisi perekonomian ASEAN+6 memang kuat. Pada saat ekonomi dirasakan berjalan terlalu lambat dari yang


(4)

seharusnya dimana ditandai dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi dan tingginya tingkat pengangguran, maka kebijakan fiskal dan moneter yang tepat diharapkan dapat mendorong perekonomian tumbuh lebih cepat dan pengangguran dapat ditekan. Sedangkan pada saat perekonomian dianggap terlalu tinggi (overheating) yang ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi dan tingkat inflasi yang juga tinggi, kebijakan fiskal dan moneter diharapkan dapat mengarahkan perekonomian agar terhindar dari dampak negatif.

Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil kebijakan harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa menyebabkan gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon suatu kebijakan ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting.

Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan serangkaian kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang relatif stabil merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi makroekonomi.

1.2. Perumusan Masalah

Perkembangan perekonomian yang semakin dinamis dan terintegrasi dengan perekonomian dunia memberikan implikasi penting bagi para pelaku ekonomi terutama dalam pengambilan kebijakan makroekonomi. Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter merupakan bagian integral dari kebijakan maroekonomi yang


(5)

memiliki target yang harus dicapai baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter melalui koordinasi yang baik akan memberikan sinyal positif bagi pasar dan menjaga stabiltas makroekonomi (Indrawati, 2007).

Krisis keuangan global yang bermula dari bencana subprime mortgage di Amerika Serikat telah menekan pertumbuhan ekonomi global dari 5,2 persen pada tahun 2007 menjadi 3,0 persen pada tahun 2008, dan menyusut sebesar 0,6 persen pada tahun 2009. Krisis perekonomian ini berpengaruh terhadap keberhasilan perekonomian suatu negara terutama bila diukur dari kinerja makro ekonominya. Krisis global ini, sempat mengguncang beberapa negara ASEAN+6 diantaranya negara Singapura dan Jepang. Namun dukungan domestik yang besar dalam permintaan produk, membuat beberapa negara ASEAN+6 tetap bertahan dan sedikit terkena dampak krisis global (Lee dan Hong, 2010). Standar hidup suatu bangsa di negara maju dan negara berkembang sangat tergantung pada kebijakan makro ekonomi yang dipilih dan dijalankan oleh pemerintahnya.

Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global, meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja (Santoso dkk, 2008).


(6)

Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang telah siap menerima globalisasi. Negara yang belum siap bersaing dengan negara yang berada dalam integrasi hanya akan menjadi negara konsumsi produk negara lain, sehingga konvergensi akan sulit dicapai. Selanjutnya integrasi ekonomi hanya akan menciptakan negara-negara yang semakin divergen (Achsani, 2008).

Hasil studi yang telah dillakukan ADB pada tahun 2008 menununjukkan hasil bahwa meskipun ada konvergensi dalam hasil ekonomi makro regional, hanya ada sedikit bukti akan konvergensi kebijakan ekonomi makro. Kebijakan moneter telah mengikuti tren luas yang serupa, tetapi divergen dalam rincian. Setelah konvergen hingga tahun 2004, kebijakan kawasan ini sejak itu (hingga awal 2008) menjadi beragam. Pengetatan moneter yang terus-menerus di RRC dan Taipei (Cina), hingga pengetatan yang makin tajam yang diikuti dengan pelonggaran moneter di Indonesia dan Malaysia, serta pengetatan bertahap di Thailand dan Republik Korea. Strategi yang dilkukan juga berbeda: Indonesia, Republik Korea, Thailand, dan Fhilipina yang mengikuti kebijakan yang lebih bervariasi dan pada beberapa kasus khusus lebih mentargetkan kestabilan nilai tukar. Perbedaan kebijakan itu turut menyebabkan inflasi dan suku bunga menjadi sangat beragam di kawasan ini.

Kebijakan fiskal juga beragam, meskipun tak seberagam kebijakan moneter. Tingkat hutang publik di sebagian besar negara Asia telah turun sejak tahun 2000, tetapi konsolidasi fiskal kurang berhasil di India dan terutama di Jepang, yang hutang publiknya mencapai titik kritis. Tahun 2008, posisis fiskal masih berkisar dari defisit


(7)

sekitar 6 persen dari PDB untuk India dan Jepang hingga surplus 10 persen di Singapura (ADB, 2008).

Selain itu, perlu disadari adanya perbedaan karakteristik antar negara anggota ASEAN+6. ASEAN+6 sebagai bentuk dari integrasi ekonomi masih memiliki keragaman antar anggotanya. ASEAN+6 merupakan gabungan negara ASEAN dan beberapa negara Asia Timur yang terdiri dari negara maju dan negara berkembang. Keragaman antar negara maju dan berkembang cukup besar, sehingga akan berisiko apabila menyamaratakan kondisi negara-negara yang berbeda tersebut. Perbedaan antara negara maju dan negara berkembang dapat dilihat dari struktur politik, struktur pendapatan, standar hidup, produktivitas, pertumbuhan penduduk, dan lain sebagainya.

Dengan adanya potensi pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 adanya ancaman divergensi pertumbuhan ekonomi, perbedaan karakteristik antar negara anggota ASEAN+6 tentunya hal ini mencerminkan akan kebijakan makroekonomi yang berbeda pula. Perbedaan ini, juga mencerminkan variasi dalam tingkat pembangunan di kawasan ini dan tujuan kebijakan nasional.

Perdebatan mengenai efektivitas kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam menstimulasi pertumbuhan ekonomi masih berlangsung. Perspektif ekonomi arus utama, terutama dari sudut pandang klasik, stimulus fiskal dan kebijakan moneter bukan metode efektif dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi riil. Di sisi lain, terutama pandangan Keynes bahwa stimulus fiskal dan pelonggaran moneter dapat mencegah penurunan output riil. Peningkatan permintaan agregat, yang berasal


(8)

dari stimulus fiskal dan pelonggran moneter di tengah-tengah kekakuan harga dan kurangnya lapangan kerja, dapat berhasil meningkatkan output riil.

Berdasarkan kajian beberapa literatur terbaru, disamping perdebatan mengenai efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kebijakan yang perlu dikaji selanjutnya yaitu kebijakan perdagangan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Peran perdagangan luar negeri (kegiatan ekspor-impor) pada perekonomian di negara-negara ASEAN+6 semakin mendapat perhatian secara intensif, terutama oleh para peneliti dan pengambil kebijakan. Adanya sebaran pola interaksi yang berbeda-beda antarnegara menjadi salah satu alasan perlunya penelitian dilakukan di berbagai negara. Lebih lanjut, pemberlakuan liberalisasi perdagangan yang disertai oleh penguatan kerjasama di tingkat regional diharapkan dapat memberi manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan penduduk setiap negara yang terlibat didalamnya, diantaranya melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan peneyerapan tenaga kerja yang seluas-luanya.

Identifikasi dan pemahaman yang baik mengenai dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi mutlak diperlukan agar kebijakan-kebijakan tersebut dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Berdasarkan latar belakang dan uraian diatas maka permasalahan pokok yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi seluruh negara di kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang serta kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?


(9)

2. Bagaimanakah pengaruh relatif kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter, dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di seluruh negara kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6.

2. Mengidentifikasi pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang dan maju di kawasan ASEAN+6.

1.4. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Memperluas wawasan mengenai bukti empiris pengaruh relatif dari kebijakan fiskal, kebiakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6.


(10)

2. Sebagai bahan referensi dan acuan para pembuat kebijakan di negera-negara ASEAN+6 agar dapat menyesuaikan kebijakan-kebijakan makroekonominya sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang selaras. 3. Sebagai media implikasi penerapan teori-teori yang telah dipelajari selama

perkuliahan serta menambah khazanah ilmu pengetahuan bagi kalangan akademisi sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara ASEAN+6. Kawasan ASEAN yang diamati dalam penelitian ini hanya meliputi lima negara yaitu, Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Adanya keterbatasan data menyebabkan penelitian ini tidak memasukkan seluruh Negara anggota ASEAN. Serta enam negara yang tergabung dalam Comprehensive Economic Partnership in East Asia (CEPEA) yaitu Cina, Jepang, Korea Selaatan, India, Australia, dan New Zealand. Periode data yang digunakan dalam analisis ini adalh tahun 2000 sampai 2010.


(11)

2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

2.1.1. Teori Pertumbuhan Neoklasik Tradisional

Dalam argumen pasar bebas neoklasik merupakan keyakinan bahwa liberalisasi pasar-pasar nasional akan merangsang investasi, baik itu investasi domestik maupun yang berasal dari luar negeri, sehingga dengan sendirinya akan memacu tingkat akumulasi modal. Bila diukur berdasarkan satuan tingkat pertumbuhan Gross National Product (GNP), hal tersebut sama dengan penambahan tingkat tabungan domestik, yang pada gilirannya akan meningkatkan rasio modal-tenaga kerja (capital-labor ratios) dan pendapatan per kapita negara-negara berkembang yang pada umumnya miskin modal. Model-model pertumbuhan neoklasik tradisional sesungguhnya bertolak secara langsung dari model Harrod-Domar dan Solow.

Model pertumbuhan Harrod-Domar menjelaskan mekanisme perekonomian yang mengandalkan peningkatan investasi dalam mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model ini menyarankan bahwa setiap perekonomian pada dasarnya harus senantiasa mencadangkan atau menabung sebagian tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau menggantikan barang-barang modal (gedung, alat-alat, dan bahan baku) yang telah susut atau rusak. Namun, untuk memacu pertumbuhan ekonomi dibutuhkan investasi baru yang merupakan tambahan neto terhadap cadangan atau stok modal (capital stock).


(12)

Y s

Y k

... (2.1) Persamaan diatas merupakan versi sederhana dari persamaan teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar. Persamaan tersebut menjelaskan bahwa tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (ΔY/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh tabungan nasional (s) serta rasio modal-output nasional (k).

Model pertumbuhan neoklasik selanjutnya yaitu model pertumbuhan neoklasik Solow. Pada intinya, model ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan faktor kedua, yakni tenaga kerja, serta memperkenalkan variabel independen ketiga, yaitu teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan. Berbeda dengan model Harrod-Domar yang mengasumsikan skala hasil tetap (constant return to scale) dengan koefisien baku, model pertumbuhan neoklasik Solow berpegang pada konsep skala hasil yang terus berkurang (diminishing returns) dari input tenaga kerja dan modal jika keduanya dianalisis secara terpisah; jika keduanya dianalisis secara bersamaan atau sekaligus, Solow juga memakai asumsi skala hasil tetap tersebut. Kemajuan teknologi ditetapkan sebagai faktor residu untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang, dan tinggi rendahnya pertumbuhan itu sendiri oleh Solow maupun para teoretisi lainnya diasumsikan bersifat eksogen atau tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lain.

Dalam bentuk yang lebih formal, model pertumbuhan neoklasik Solow memakai fungsi produksi agregat standar, yakni:

 

1

YKAL 


(13)

Pada persamaan tersebut Y adalah Produk Domestik Bruto (PDB), K adalah stok modal fisik dan modal manusia, L adalah tenaga kerja, dan A adalah produktivitas tenaga kerja, yang pertumbuhannya ditentukan secara eksogen. Adapun simbol α melambangkan elastisitas output terhadap modal. Karena tingkat kemajuan teknologi ditentukan secara eksogen, model neoklasik Solow terkadang juga disebut sebagi model pertumbuhan “eksogen”.

Menurut teori pertumbuhan neoklasik tradisional pertumbuhan output bersumber dari satu atau lebih dari tiga faktor, yaitu kenaikan kuantitas dan kualitas tenaga kerja, penambahan modal, dan penyempurnaan teknologi. Kenaikan kuantitas dan kualitas dari tenaga kerja dapat dilihat dari pertumbuhan jumlah penduduk dan juga perbaikan pendidikan. Faktor penambahan modal dapat dilihat melalui tabungan dan investasi.

2.1.2. Model Pertumbuhan Endogen

Konsep pertumbuhan yang lainnya yaitu konsep pertumbuhan endogen. Konsep ini sering pula disebut dengan teori pertumbuhan baru (new growth theory). Model pertumbuhan endogen mempunyai kemiripan struktural dengan teori pertumbuhan neoklasik, namun berbeda dalam hal asumsi yang mendasarinya dan kesimpulan yang ditarik darinya. Teori ini berupaya untuk menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antarnegara. Teori pertumbuhan endogen (theory of endogenous growth) dirintis oleh Romer (1986) dan Lucas (1989). Salvatore (1997) mengatakan bahwa teori ini mampu menyajikan suatu ulasan analitis yang lebih menyeluruh dan meyakinkan mengenai hubungan antara perdagangan internasional dengan


(14)

pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Secara spesifik, teori baru pertumbuhan ekonomi endogen ini menyatakan bahwa pendapatan penurunan hambatan-hambatan perdagangan dalam berbagai bentuk, baik tarif maupun non-tarif, akan mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di suatu negara dalam jangka panjang.

Aspek yang paling menarik dari model pertumbuhan endogen adalah bahwa model tersebut membantu menjelaskan keanehan aliran modal internasional yang memperparah ketimpangan antara negara maju dengan negara berkembang. Potensi tingkat pengembalian investasi yang tinggi yang ditawarkan oleh negara berkembang yang mempunyai rasio modal-tenaga kerja yang rendah berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer (complementary investments) dalam sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (R & D).

2.2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal merupakan satu instrumen dari kebijakan makroekonomi. Kebijakan makroekonomi tersebut bertujuan untuk mencapai output yang tinggi dengan laju pertumbuhan yang cepat, kesempatan kerja yang tinggi, stabilitas harga serta keseimbangan dalam neraca pembayaran. Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai kebijakan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan teori klasik tradisional (Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Alasannya adalah kebijakan fiskal mampu


(15)

meningkatkan permintaan agregat secara langsung. Samuelson (1997), mendefinisikan kebijakan fiskal sebagai salah satu proses pembentukan perpajakan dan pengeluaran pemerintah atau publik. Proses tersebut merupakan upaya menekan fluktuasi siklus ekonomi, dan ikut berperan menjaga ekonomi yang tumbuh dengan penggunaan tenaga kerja penuh dimana tidak terjadi laju inflasi yang tinggi dan berubah-ubah. Berdasarkan definisi tersebut terdapat dua instrumen pokok di dalamnya, yaitu belanja negara dan perpajakan. Dengan kedua instrumen tersebut, pemerintah dapat menetapkan program pengeluaran publik serta penerimaannya yang sebagian besar adalah pajak.

Kondisi anggaran merupakan cerminan dari kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah pada periode tersebut. Pada saat anggaran defisit, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan fiskal ekspansif. Kebijakan ini ditujukan untuk meningkatkan daya beli masyarakat. Kebijakan ini dilakukan pada saat perekonomian mengalami resesi/depresi dan tingkat pengangguran tinggi. Sebaliknya, pada saat anggaran surplus, ini berarti pemerintah mengambil kebijakan kontraktif.


(16)

Kebijakan ekspansif dilakukan dengan cara menaikkan pengeluran pemerintah (G) atau menurunkan pajak (T) untuk meningkatkan output (Y), adapun mekanisme peningkatan pengeluaran pemerintah ataupun penurunan pajak (T) terhadap output. Gambar 2.1. dapat dijelaskan bahwa pada saat pengeluaran pemerintah (∆G) naik atau selisih pajak (∆T) turun makan akan menggeser kurva pengeluaran agregat keatas sehingga pendapatan akan naik dari (Y1) menjadi (Yf).Kebijakan Fiskal Kontraktif adalah kebijakan pemerintah dengan cara menurunkan belanja negara dan menaikkan tingkat pajak. Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan daya beli masyarakat dan mengatasi inflasi. Kebijakan anggaran surplus sebaiknya dilaksanakn ketika perekonomian pada kondisi yang mulai memanas (overheating) untuk menurunkan tekanan permintaan. Pada saat munculnya ekspansionary gap. Ekspansionary gap adalah suatu kondisi dimana output potensial (Yf) lebih kecil dibandingkan dengan output aktual (Y1).

Gambar 2.2. Kurva Kebijakan Fiskal Kontraktif

Pada Gambar 2.2. di atas ini dapat dijelaskan bahwa disaat pengeluaran pemerintah (∆G) turun atau selisih pajak (∆T) naik maka akan menggeser kurva pengeluaran agregat kebawah sehingga pendapatan akan turun dari (Y1) menjadi (Yf).


(17)

Adapun mekanisme penurunan pengeluaran pemerintah (G) ataupun kenaikan pajak (T) terhadap output (Y).

2.2.1. Teori Perkembangan Pengeluaran Pemerintah

Salah satu instrumen kebijakan fiskal adalah pengeluaran pemerintah. Pengeluaran pemerintah adalah seluruh pembelian atau pembayaran barang dan jasa untuk kepentingan nasional. Pengeluaran pemerintah juga merupakan instrumen pengukur dimana pemerintah menentukan seberapa besar peran sektor pemerintah dan sektor swasta. Di samping itu, pengeluaran pemerintah dapat menjadi penentu pokok jumlah pengeluaran agregat, dan penentu pertumbuhan GNP riil jangka pendek. Teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah dikemukakan oleh para ahli ekonomi dan dapat digolongkan menjadi tiga golongan (Mangkoesoebroto, 1997), yaitu:

2.2.2. Model Pembangunan tentang Perkembangan Pengeluaran Pemerintah Model ini dikembangkan oleh Rostow dan Musgrave yang menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah, dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, prosentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar, sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti pendidikan, kesehatan, prasarana transportasi, dan sebagainya. Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin membesar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, karena peranan swasta yang semakin besar akan menimbulkan


(18)

banyak kegagalan pasar dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa publik dalam jumlah yang lebih banyak.

Musgrave (1983) berpendapat bahwa dalam suatu proses pembangunan, investasi pemerintah terhadap PDB akan semakin kecil. Pada tingkat ekonomi lebih lanjut, Rostow mengatakan bahwa aktivitas pemerintah dalam pembangunan ekonomi beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran untuk aktivitas sosial seperti program kesejahteraan hari tua dan pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

2.2.3. Hukum Wagner

Wagner mengemukakan suatu teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah yang semakin besar dalam prosentase terhadap PDB. Wegner mengemukakan pendapatnya bahwa dalam suatu perekonomian apabila pendapatan perkapita meningkat maka secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Wagner mengemukakan pendapatnya dalam bentuk suatu hukum Wagner, sebagai berikut : Dalam suatu perekonomian, apabila pendapatan perkapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Hukum Wagner dikenal dengan “ The δaw of Expanding State Expenditure”. Dasar hukum tersebut adalah pengamatan empiris di negara-negara maju yaitu, Amerika Serikat, Jerman, Jepang. Wagner menerangkan mengapa peranan pemerintah menjadi semakin besar, terutama disebabkab karena pemerintah harus mengatur hubungan timbal balik dalam masyarakat. Kelemahan hukum Wagner adalah karena hukum tersebut tidak didasarkan pada suatu teori mengenai pemlilihan barang-barang publik. Wagner menadasarkan pandangannya dengan suatu teori organis mengenai


(19)

pemerintah (organic theory of the state) yang menganggap pemerintah sebagai individu yang bebas bertindak, terlepas dari anggota masyarakat lainnya.

2.2.4. The Displacement Effect

Dari ketiga teori mengenai perkembangan pengeluaran pemerintah tersebut, teori Peacock & Wiseman dianggap sebagai teori dan model yang terbaik (Mangkoesoebroto, 1993; 173). Teori mereka sering disebut sebagai The Displacement Effect, dimana teori ini didasarkan pada suatu pandangan bahwa pemerintah senantiasa memperbesar pengeluaran sedangkan masyarakat tidak suka membayar pajak yang semakin besar untuk membiayai pengeluaran pemerintah yang semakin besar tersebut. Dalam Mangkoesoebroto (1993; 173). Peacock dan Wiseman mendasarkan teori mereka pada suatu teori bahwa masyarakat mempunyai suatu tingkat toleransi pajak, suatu tingkat dimana masyarakat dapat memahami besarnya pungutan pajak yang dibutuhkan oleh pemerintah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Tingkat toleransi ini merupakan kendala bagi pemerintah untuk menaikkan pungutan pajak. Teori Peacock dan Wiseman adalah sebagai berikut: pertumbuhan ekonomi (PDB) menyebabkan pemungutan pajak semakin meningkat walaupun tarif pajak tidak berubah, dan meningkatnya penerimaan pajak menyebabkan pengeluaran pemerintah juga semakin meningkat. Peningkatan pada PDB dalam keadaan normal menyebabkan penerimaan penerimaan pemerintah yang semakin besar, begitu juga dengan pengeluaran pemerintah. Apabila keadaan normal tersebut terganggu, misalnya karena adanya perang, maka pemerintah harus memperbesar pengeluarannya untuk membiayai perang. Salah satu cara umtuk meningkatkan penerimaannya tersebut dengan menaikkan tarif paajk sehingga dana


(20)

swasta untuk investasi dan konsumsi menjadi berkurang. Keadaan ini disebut efek pengalihan (Displacement effect) yaitu adanya gangguan sosial menyebabkan aktivitas swasta dialihkan pada aktivitas pemerintah.

2.3. Kebijakan Moneter

Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan makro melalui pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya peningkatan output keseimbangan. Kebijakan moneter berlangsung melalui mekanisme transmisi untuk menggeser permintaan agregat, sehingga akan mengubah keseimbangan tingkat pendapatan nasional. Kenaikan JUB (Jumlah Uang Beredar) bersifat ekspansif, sedangkan penurunan JUB bersifat kontraktif dan besarnya pergeseran permintaan agregat sebagai reaksi atas kenaikan JUB tergantung pada besarnya kenaikan investasi dan perubahan JUB akan menyebabkan perubahan yang besar pula pada pengeluaran untuk investasi. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada perkembangannya, dengan munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran klasik, perbedaan pendapat dengan neo-keynesian tidak lagi berkisar pada kemiringan kurva IS dan LM. Demikian kebijakan fiskal dapat mempengaruhi pendapatan nasional, hanya saja kebijakan moneter lebih besar serta dapat diperkirakan lebih cepat efeknya.

Para ahli ekonomi sepakat tentang penting dan sentralnya uang dalam perekonomian modern. Tidaklah mengherankan jika studi tentang dampak perubahan


(21)

jumlah uang beredar terhadap kinerja perekonomian makro mendapat perhatian yang sangat besar. Dewasa ini studi-studi dalam bidang keterkaitan jumlah uang beredar dengan kinerja makro sudah semakin luas dan dalam. Bidang studi yang mempelajari tentang pengaruh jumlah uang beredar (dan juga tingkat bunga) terhadap kinerja perekonomian makro dikenal sebagai bidang kajian moneter atau lebih sering disebut dengan teori ekonomi moneter.

2.3.1. Jenis Kebijakan Moneter

Dari sudut ekonomi makro maka kebijakan moneter dapat dibedakan menjadi dua yaitu kebijakan moneter ekspansif dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan moneter ekspansif adalah suatu kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang beredar. Pada saat munculnya kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan moneter ekspansif. Dari Gambar 2.3. dibawah ini dapat dilihat kondisi awal penawaran uang (MS1) dan tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkat suku bunga yang peka terhadap pengeluaran adalah I, rencana pengeluaran agregat menjadi AE1 dan produk domestik bruto adalah (Y1).

Selain itu kurva PDB pada Y1 membantu menentukan posisi kurva permintaan uang pada kurva L(R, Y1) dimana bersama-sama dengan kurva (MS1) menentukan tingkat suku bunga (R1). Ketika MS1 meningkat menjadi MS2 maka tingkat suku bunga turun karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi (R1), AE1 (R1) dan Y1.


(22)

Gambar. 2.3. Kurva Kebijakan Moneter Ekspansif

Kebijakan moneter kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka mengurangi jumlah beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open Market Operation), Fasilitas Diskonto (Discount Rate), Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio), Himbauan Moral (Moral Persuasion).

2.3.2. Teori Kuantitas Uang

Teori kuantitas uang dikembangkan oleh Irving Fisher pada awal abad ke 20. Teori kuantitas uang disampaikan dalam bukunya The Purchasing Power of Money pada tahun 1911. Teori ini berpandangan bahwa uang hanya sebagai alat tukar, uang akan berputar atau berpindah-pindah tangan dari satu pihak ke pihak lainnya selama satu periode tertentu (biasanya satu tahun) dikenal dengan sebutan velositas uang beredar (velocity of money). Faktor yang mempengaruhi velositas uang adalah faktor


(23)

kelembagaan, utamanya mekanisme pembayaran yang digunakan (tunai atau cek). Dalam jangka pendek aspek kelembagaan sulit berubah, karena itu dalam jangka pendek velositas uang akan konstan. Dalam persamaan matematis yang sederhana, dapat dinyatakan sebagai:

M.V = P.T……….………(2.3)

dimana:

M = Jumlah uang beredar untuk transaksi, dalam praktik dapat dinyatakan M2,

V = Velositas uang, dalam jangka pendek diasumsikan konstan,

P = Harga rata-rata output, dalam praktik merupakan tingkat harga umum, T = Jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat full employment

Berdasarkan persamaan di atas, dapat dikatakan bahwa perubahan jumlah uang beredar dikalikan denga velositasnya akan sama dengan jumlah produksi dikalikan harga jualnya. Karena output yang dihasilkan adalah pada kondisi full employment dan velositas uang diasumsikan tidak berubah, maka dalam jangka pendek jumlah uang beredar untuk transaksi berubah, maka harga rata-rata output akan berubah juga. Konsekuensinya adalah perubahan harga rata-rata output karena perubahan jumlah uang beredar mempunyai hubungan searah dan proposional.

Uraian paragraf di atas dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan yang sangat sederhana, seperti di bawah ini:

M = kPY...(2.4) Karena velositas uang dianggap konstan, maka pendapatan nasional dalam jangka pendek ditentukan oleh jumlah jumlah uang beredar. Hubungan antara jumlah uang


(24)

beredar dengan tingkat produksi adalah proporsional. Pertumbuhan jumlah uang beredar akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

2.4 Efektivitas Relatif pada Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal beroperasi secara langsung terhadap pengeluaran agregat. Kebijakan moneter mempengaruhi pengeluaran agregat hanya secara tidak langsung, dengan cara mengubah jumlah uang beredar dan tingkat suku bunga. Jika bank sentral mengubah jumlah uang beredar, maka sama saja dengan menggeser kurva permintaan agregat melalui mekanisme transmisi. Pandangan-pandangan yang mempelajari hubungan perilaku utama diubah menjadi pandangan mengenai kekuatan relatif yang ada pada kebijakan moneter dan fiskal. Akibat dari kedua kebijakan tersebut akan tergantung pada sudut kemiringan kurva SRAS dan bagaimana pengaruh kebijakan tersebut pada kurva AD. Bagaimanapun bentuk sudut kemiringan kurva SRAS, hal itu berlaku bagi kedua kebijakan ini. Perbedaan antara kedua kebijakan ini dapat dilihat dari kemampuannya dalam menggeser kurva AD.

Dalam melihat efektivitas kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah yaitu daerah klasik, intermediate range, dan daerah Keynes . Daerah liquidity trap merupakan daerah yang idenya pertama sekali dikemukakan oleh Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity trap. Daerah klasik memiliki kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan pemahaman kaum klasik bahwa teori permintaan uang, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak ada hubungannya dengan suku bunga,


(25)

maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Intermediate range adalah daerah yang menunjukkan kurva LM dipengaruhi oleh suku bunga. Gambar 2.4. menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal sangat efektif pada daerah Keynesian dan efektif pada daerah intermediate. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan nasional didaerah keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan pendapatan nasional tidak berubah.

Gambar 2.4. Kurva Efektivitas Kebijakan Fiskal

Kebijakan moneter yang ekspansif ditandai dengan bergesernya kurva LM dari LM0 ke LM1. Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif di daerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu, kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.


(26)

.

Gambar 2.5. Kurva Efektivitas Kebijakan Moneter

2.5. Teori Perdagangan Internasional

Keterbukaan perdagangan merupakan indikator untuk memperlihatkan seberapa besar tingkat ekspor impor suatu negara. Keterbukaan perdagangan dapat diartikan pula sebagai volume perdagangan internasional. Keterbukaan perdagangan dapat dijelaskan dengan penjumlahan nilai ekspor dan impor. Perdagangan internasional memiliki sejumlah argumen yang mendukung serta menolaknya, dengan beragam alasan yang mendasarinya. Namun argumen yang mendukung ataupun menolak tidak ada yang memiliki kebenaran absolut. Manfaat yang diperoleh suatu negara dengan adanya perdagangan internasional bergantung pada struktur perekonomian negara itu sendiri (Lindert dan Kindleberger, 1986).

Teori pertumbuhan ekonomi dalam hubungannya dengan perdagangan dapat ditelusuri kembali pada teori keunggukan absolut oleh Adam Smith pada tahun 1776 dan teori keunggulan komparatif oleh David Ricardo pada tahun 1817 (Salvatore, 1997). Menurut teori keunggulan absolut (absolut advantage theory), jika sebuah


(27)

negara lebih efisien daripada negara lain dalam memproduksi sebuah komoditas (memiliki keunggualan absolut), namun kurang efisien dibanding negara lain dalam memproduksi komoditas lainnya (memiliki kerugian absolut) maka kedua negara tersebut dapat memperoleh keuntungan dengan cara masing-masing melakukan spesialisasi pada komoditas yang memiliki kerugian absolut.

Menurut Damanhuri (2010), perdagangan luar negeri memiliki peranan yang sangat penting bagi pertumbuhan dan pembangunan di suatu negara. Model pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh Keynes, perdagangan internasional merupakan salah satu determinan bagi pendapatan suatu negara. Secara sederhana, pemikiran Keynes tersebut dapat dijelaskan dalam persamaan di bawah ini:

Y    C I G NX

... (2.5) Dalam persamaan tersebut, Y adalah pendapatan sebuah negara, C merupakan pengeluaran yang dikeluarkan oleh rumah tangga, I adalah simbol untuk investasi atau pengeluaran modal yang dilakukan oleh sektor produsen, G adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, X merupakan ekspor yang dilakukan oleh negara, sementara M adalah simbol untuk impor yang dilakukan oleh sebuah negara. Dalam persamaan tersebut, perdagangan internasional disimbolkan dengan (X-M).

Perdagangan internasional mempunyai dua hal penting yang berperan dalam membantu proses pembangunan ekonomi sebuah negara, khususnya negara berkembang, yaitu:


(28)

a. Adanya pergerakan modal dari negara maju ke negara berkembang. Dengan adanya perdagangan internasional tersebut, diharapkan terjadi perpindahan modal dari negara maju ke negara berkembang yang kekurangan modal. Mengingat salah satu faktor utama rendahnya produktivitas di negara berkembang adalah kurangnya modal yang dimiliki mereka.

b. Transfer of technology and know how lewat perusahaan multinasional (Multi National Corporation/MNC).

Perdagangan internasional sering pula dikatakan sebagai “mesin

pertumbuhan” (engine of growth). Menurut Salvatore (1997), sekalipun perdagangan

internasional tidak bisa menjadi “mesin pertumbuhan” yang efektif bagi negara -negara berkembang, namun bukan berarti perdagangan internasional tidak ada kegunaannya. Para ekonom seperti Haberler mengatakan keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh dari perdagangan internasional, diantaranya:

1. Perdagangan dapat meningkatkan pendayagunaan sumber-sumber daya domestik di suatu negara berkembang.

2. Perdagangan internasional dapat menciptakan pembagian kerja dan skala ekonomi (economies of scale) yang lebih tinggi, melalui peningkatan ukuran pasar.

3. Perdagangan internasional juga berfungsi sebagai wahana transmisi gagasan-gagasan baru, teknologi yang lebih baik, serta kecakapan manajerial, dan bidang-bidang keahlian lainnya yang diperlukan bagi kegiatan bisnis.

4. Perdagangan antar negara juga merangsang dan memudahkan mengalirnya arus modal internasional dari negara maju ke negara berkembang.


(29)

5. Impor produk-produk baru dapat merangsang permintaan domestik serta dapat memberikan inspirasi dan membuka lahan bisnis baru yang menguntungkan bagi para produsen setempat.

6. Perdagangan internasional merupakan instrumen yang efektif untuk mencegah monopoli karena perdagangan pada dasarnya dapat merangsang peningkatan efisiensi setiap produsen domestik agar mampu menghadapi persaingan dari negara lain.

2.6. Penelitian Terdahulu

Ajisafe dan Folorunso (2002) menguji secara empiris perbandingan efektivitas kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria pada periode tahun 1970-1998. Dengan menggunkan variabel penelitian narrow money, board money, pendapatan pemerintah, pengeluaran pemerintah, dan budget deficit dengan metode estimasi yang digunakan adalah kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan moneter lebih efektif daripada kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Nigeria.

Rahman (2005) meneliti efektivitas relatif antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dalam pertumbuhan output riil di Bangladesh pada tahun 1973-2005. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan moneter secara tunggal berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap pertumbuhan output ril di Bangladesh. Hal ini memperkuat temuan Model St. Louis bahwa kebijakan moneter relatif lebih efektif


(30)

daripada kebijakan fiskal yang disimulasikannya. Variabel yang digunakan dalam penelitian terdiri dari Real Government Expenditure, Real Money, Real Interest Rate, Real GDP dengan menggunakan metode estimasi SVAR. Hsing (2005) melakukan penelitian tentang pengaruh kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan penurunan nilai mata uang terhadap output di Venezuela. Penelitian ini menggunakan metode IS-LM model dan Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasiticity (GARCH). Dengan menggunakan data tahunan selama tahun 1959-2001. Hasil penelitian menunjukkan bahwa output riil berhubungan positif dengan jumlah uang beredar (M2), pengeluaran pemerintah, depresiasi mata uang Bolivar, tingkat inflasi dan harga minyak.

Hastuti (2007) menganalisa dampak kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan nilai tukar terhadap pendapatan nasional, periode sebelum dan sesudah krisis di Indonesia. Metode yang digunakan adalah VAR, dengan variabel yang diteliti adalah jumlah uang beredar, pengeluaran pemerintah, nilai tukar, dan PDB. Data merupakan data triwulanan dari triwulan I tahun 1990 sampai triwulan IV tahun 2006. Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dan pengeluaran pemerintah memiliki dampak positif terhadap PDB, sedangkan dampak nilai tukar adalah negatif, dengan kata lain, kebijakan moneter dan kebijakan fisklal memiliki dampak yang ekspansif, sedangkan dampak nilai tukar adalah kontraktif. Indrawati (2007) melihat interaksi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di Indonesia menggunakan pendekatan VAR. Variabel yang digunakan adalah suku bunga, pengeluaran pemerintah, IHK dan PDB. Data yang digunakan data tahunan dari 1970-2006. Hasilnya memperlihatkan shock kebijakan fiskal bersifat permanen dan


(31)

negative terhadpa inflasi dan direspon dengan kebijakan moneter yang ketat. Shock kebijakan moneter menyebabkan pengaruh permanen negatif pada menrunnya pertumbuhan ekonomi.

Katsimi dan Sarantidies (2008) meneliti dampak kebijakan fiskal pada 19 negara maju selama tahun 1975-2000. Penelitian ini menggunakan metode fixed effect model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan pengeluaran barang modal mempunyai dampak yang positif terhadap keuntungan. Pajak langsung dan tidak langsung menurunkan keuntungan. Penelitian yang dilakukan oleh Ali et al. (2008) bertujuan untuk mengkaji dampak efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter di negara-negara Asia Selatan. Dengan periode penelitian dari tahun 1990 – 2007, hal ini dilakukan untuk membuktikan pandangan Monetarist dan Keynesian serta untuk menemukan kebijakan yang lebih efektif dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Uji Im, Pesaran, dan Shin serta Levin, Lin, dan Chu digunakan untuk menguji integrasi. Hubungan jangka pendek dan jangka panjang diestimasi dengan model Autoregressive Distributed Lag (ARDL) yaitu untuk menguji kointegrasi pada panel dan Error Correction Method (ECM). Hasil penelitian menunjukkan jumlah uang beredar memiliki pengaruh yang signifikan baik jangka pendek maupun jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, keseimbangan fiskal tidak memiliki pengaruh yang signifikan pada jangka pendek dan jangka panjang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan moneter lebih memiliki kekuatan dibandingkan kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Selatan.


(32)

Kubo (2008) meneliti dampak shock dari kebijakan moneter terhadap perekonomian, pengalaman Thaland. Variabel yang digunakan yaitu indeks Harga Konsumen (IHK). Indeks Produksi, Indeks Harga Produsen (IHP), suku bunga pinjaman dan agregat kredit swasta, dengan menggunakan metode VAR. dari penelitian ini diperoleh bahwa mekanisme transmisi moneter di Thailand mempunyai dampak terhadap dimensi internasional. Kontraksi moneter mempunyai efek yang negative dan cukup kuat pada permintaan impor dalam jangka pendek walaupun harga impor turun.

Afonso dan Sousa (2009) meneliti efek dari kebijakan fiskal menggunakan metode Bayesian Structural Vector Autoregression (BSVAR) dengan menganalisis Negara Inggris, Amerika, Jerman dan Italy. Secara umum dapat disimpulkan bahwa shock pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh: (i) efek yang kecil terhadap PDB, (ii) tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap konsumsi swasta, (iii) mempunyai efek negatif terhadap investasi swasta, (iv) mempunyai efek yang bervariasi terhadap harga rumah, (v) mendorong jatuhnya harga saham, (vi) tidak berdampak signifikan terhadap tingkat harga, (vii) efek positif dan kecil terhadap pertumbuhan tingkat agregat moneter dan (viii) mempunyai pengaruh positif terhadap produktivitas. Sementara itu shock penerimaan pemerintah berpengaruh pada (i) efek positif terhadap PDB dan investasi, (ii) efek positif terhadap harga rumah dan harga saham dan (iii) secara umum tidak ada dampak terhadap tingkat harga.

Chang et al. (2009) menyatakan bahwa dampak keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi menjadi berarti apabila disertai oleh perbaikan-perbaikan pada infrastruktur publik, sektor finansial, kualitas modal manusia,


(33)

fleksibilitas pasar tenaga kerja, serta stabilitas perekonmian dan harga. Perbaikan-perbaikan tersebut akan menjadikan keterbukaan perdagngan dapat berlangsung efektif sehingga meningatkan pengalokasian sumber daya, memungkinkan diseminasi pengetahuan dan teknologi, serta mendorong persaingan di pasar domestik dan internasional.

Selain dipengaruhi oleh kondisi dari setiap negara, pola interaksi yang terjadi antarvariabel dalam suatu perekonomian juga tidak seragam. Sebagaimana penelitian oleh Miankhel et al. (2009) tentang keterkaitan PMA, ekspor, dan pertumbuhan ekonomi di enam negara berkembang yang memiliki tahap pertumbuhan berbeda-beda, yaitu India dan pakistan di Asia Selatan, Malaysia dan Thailand di Asia Tenggara, serta Mexico dan Chile di Amerika lain. Hasil penelitiannya mendukukng hipotesis bahwa ekspor akan mendorong pertumbuhan ekonomi (exsport led growth), khususnya di Asia Selatan. Dalam jangka panjang pertumbuhan ekonomi akan mendorong perkembangan variabel-variabel lainnya, yaitu mendorong ekspor di Pakistan dan mendorong PMA di India. Hubungan yang berbeda terlihat dalam jangka pendek di Amerika Latin, yaitu PMA memengaruhi pertumbuhan melalui ekspor (PMA Ekspor PDB) di Chile dan PMA memengaruhi pertumbuhan secara langsung di Mexico.Ekspor memengaruhi pertumbuhan dan PMA di kedua negara tersebut dalam jangka panjang. Sementara itu, kasus di Asia Tenggara ditemukan hubungan kausalitas dua arah antara PDB dan PMA di Thailand, dan sebaiknya keduanya tidak memiliki hubngan sebab-akibat di Malaysia.

Mobolaji dan Adefeso (2010) melakukan penelitian mengenai efektivitas relatif kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di


(34)

Nigeria dengan menggunakan data tahunan dari 1970-2007. Error Correction Mechanism (ECM) dan teknik kointegrasi dilakukan untuk mengestimasi data penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan dan konsisten dengan penelitian sebelumnya bahwa kebijakan moneter lebih memiliki kekuatan dibandingkan kebijakan fiskal dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Nigeria. Penelitian ini merekomendasikan kebijakan moneter sebagai alat stabilitas perekonomian.

Jawaid, Qadri, dan Ali (2011) meneliti pengaruh kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi Pakistan dengan menggunakan data tahunan dari 1981-2009. Dengan menggunakan metode estimasi VECM dimana variabel penelitiannya adalah money supply (proksi kebijakan moneter), government expenditure (proksi kebijakan fiskal), share ekspor dan impor terhadap GDP (proksi kebijakan perdagangan). Hasilnya adalah kebijakan moneter dan kebijakan fiskal berimplikasi positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang, sebaliknya untuk kebijakan perdagangan . Dimana kebijakan moneter lebih efektif daripada kebijakan fiskal.

2.7. Kerangka Pemikiran

Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara. Integrasi ekonomi dan keuangan akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6. Integrasi ekonomi dapat membuat pertumbuhan ekonomi menjadi konvergen maupun divergen. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi dan selaras di kawasan ASEAN+6 diperlukan serangkaian kebijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah di masing-masing negara. Ada


(35)

tiga alternatif utama dalam mencapai tujuan kebijakan yaitu, kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan. Kawasan integrasi ekonomi ASEAN+6 yang terdiri dari negara berkembang dan negara maju. Masing-masing kelompok negara tersebut memiliki perbedaan karakteristik yang mendasar sehingga tidak dapat diterapkan perlakuan yang sama diantara keduanya. Selanjutnya, analisis pertumbuhan ekonomi ASEAN+6 akan dilakukan dengan memisahkan antara negara berkembang dan negara maju untuk melihat dampak dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi. Berikut adalah gambaran kerangka pemikiran dari penelitian ini:


(36)

Gambar 2.6. Kerangka Pemikiran

ASEAN (Indonesia,Malaysia, Singapore,Thailand,Philipina)

China, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, New Zealand

Integrasi Ekonomi ASEAN+6

Pertumbuhan Ekonomi ASEAN+6

Negara Berkembang

Negara Maju

Kebijakan Makroekonomi

Kebijakan Fiskal

 Pengeluaran Pemerintah

Kebijakan Moneter

 Jumlah Uang Beredar (M2)

Kebijakan Perdagangan

 Keterbukaan Perdagangan

Metode Panel Data Dinamis dengan Pendekatan GMM (Generalized Method of Moments)


(37)

3.1. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari beberapa sumber. Adapun data diperoleh dari badan statistik dunia World Development Indicator (WDI), World Bank, CEIC, serta beberapa jurnal dan literatur yang relevan dengan penelitian ini.

Tabel 3.1. Variabel-variabel yang Digunakan dalam Penelitian

No. Variabel Keterangan Sumber Satuan

1. Y GDP Riil World

Development Indicator 2011

Milyar LCU Konstan 2005

2. GEXP General Government Final Consumption Expenditure (GGFCE) sebagai proksi kebijakan fiskal World Development Indicator 2011 Milyar LCU Konstan 2005

3. M2 Broad Money, sebagai proksi kebijakan moneter

CEIC Milyar LCU Konstant 2005 4. OPNESS Keterbukaan Perdagangan ,

(Trade) World Development Indicator 2010 Persentase ( share ekspor and impor of GDP)


(38)

Data-data yang diperlukan dalam permodelan penelitian ini yaitu GDP (Gross Domestik Product), General Government Final Consumption Expenditure (GEXP), Broad Money (M2), dan keterbukaan perdagangan (OPNESS). Data yang dikumpulkan merupakan data panel dengan time series 2000-2010 dan cross section 11 negara ASEAN+6, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand, Jepang, Korea Selatan, China, India, Australia, dan New Zealand.

3.2. Model Penelitian

Metode yang digunakan untuk melihat dampak relatif antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap output riil di negara kawasan ASEAN+6 diukur dengan menggunakan model yang merupakan gabungan dari model Ali et al. (2008), Adefeso dan Mobolaji (2010), dan Jawaid et al. (2011)

Ali et all (2008) meneliti efektivitas relatif antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Negara-Negara Asia Selatan dengan menggunakan metode estimasi OLS, Panel data, Autoregressive Distributed Lag model ARDL a co integration (panel) test dan Error Correction Method (ECM). Ali et all membangun model penelitian tersebut sebagai berikut:

0 it 1 2it it

Yit   FB M  ……….…….………..(3.1)

dimana,

Yit = GDP growth rate

FBit = Fiscal Balance (defisit fiskal) M2it = Broad Money


(39)

μit = Error term

Adefeso dan Mobolaji (2010) meneliti efektivitas relatif kebijakan fiskal dan kebijakan moneter terhadap pertumbuhan ekonomi di Nigeria menggunakan metode estimasi Error Correction Mecahanism dan kointegrasi. Adapun model penelitian yang dibangun dalam Adefoso dan Mobolaji (2010) adalah sebagai berikut:

2

( t, t, t)

Ytf DOPNESS M GEXP ………(3.2)

Persamaan (3.2) diatas diturunkan dengan menggunakan log linear, didapat persamaan baru sebagai beriut:

0 1 2 3 4

lnYt  b b lnM tb lnGEXPtb lnDOPNESStet…………...………...(3.3)

dimana,

Yt = GDP

M2t = Broad Money

GEXPt = Government Expenditure DOPNESSt = Degree of Openness ln = logaritma natural et = error term

Sedangkan Jawaid et al. (2011) meneliti secara empirik dampak kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan kebijakan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di Pakistan dengan data time series dari 1981-2009. Dengan menggunakan metode estimasi kointegrasi dan Error Correction Model (ECM). Model penelitiannya adalah

0 1 2 3

t t t t t


(40)

dimana,

GDPt = Pertumbuhan ekonomi pada tahun ke t

MSt = Money Supply tahun ke t sebagai proksi dari kebijakan moneter GEt = Government Expenditure tahun ke t sebagai proksi kebijakan fiskal TOt = Share ekspor dan impor terhadap GDP pada tahun ke t sebagai proksi kebijakan perdagangan

t

 = Error term

Berdasarkan persamaan-persamaan diatas berikut adalah persamaan baru yang dimodifikasi, yang selanjutnya akan digunakan dalam penelitian ini:

1 2 3

lnYitb lnGEXPitb lnM2itb OPNESSit it…………..………....(3.5)

dimana,

lnYit = GDP Riil negara i pada tahun ke t

lnGEXPit = Pengeluaran Pemerintah (Government Expenditure) sebagai proksi kebijakan fiskal negara i pada tahun ke t

lnM2it = Jumlah uang beredar (Broad Money) sebagai proksi kebijakan moneter negara i pada tahun ke t

DOPNESSit = Keterbukaan Ekonomi (Degree of Openness) sebagai proksi kebijakan perdagangan negara i pada tahun ke t


(41)

3.3. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode panel data dinamis dengan teknik estimasi model menggunakan pendekatan GMM (Generalized method of moments) yang mengacu pada metodologi Verbeek (2004). Tujuan menggunakan metode panel dinamis dengan pendekatan GMM bertujuan untuk mengontrol bias yang berkaitan dengan simultanitas dan individual special effect setiap negara.

3.3.1. Data Panel

Menurut Gujarati (2003), data panel (pooled data) merupakan gabungan antara data cross section dan data time series. Data cross section adalah data yang dikumpulkan dalam satu waktu terhadap banyak individu sedangkan data time series merupakan data yang dikumpulkan dari waktu ke waktu terhadap suatu individu. Kriteria data panel yang baik adalah ketika N cross section relatif lebih besar bila dibandingkan dengan jumlah T time series. Dalam data panel, data cross section yang sama di observasi menurut waktu. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series yang sama maka disebut balanced panel. Sebaliknya jika jumlah observasi berbeda untuk setiap unit cross section, maka disebut unbalanced panel.

Terdapat dua keuntungan penggunaan data panel dibandingkan data time series atau cross section saja (Verbeek 2004). Pertama, dengan mengombinasikan data time series dan cross section dalam data panel membuat jumlah observasi


(42)

menjadi lebih besar. Dengan menggunakan model data panel marginal effect dari peubah penjelas dilihat dari dua dimensi (individu dan waktu) sehingga parameter yang diestimasi akan lebih akurat dibandingkan dengan model lain. Secara teknis menurut Hsio (2004), data panel dapat memberikan data yang informatif, mengurangi kolinieritas antarpeubah serta meningkatkan derajat kebebasan yang artinya meningkatkan efisiensi. Kedua, keuntungan yang lebih penting dari penggunaan data panel adalah mengurangi masalah identifikasi. Data panel lebih baik dalam mengidentifikasi dan mengukur efek yang secara sederhana tidak dapat diatasi dalam cross section atau time series murni. Data panel mampu mengontrol heterogenitas individu. Dengan metode ini estimasi yang dilakukan dapat secra eksplisit memasukkan unsur heterogenitas individu. Data panel juga lebih baik untuk studi dynamics of adjustment. Hal ini berkaitan dengan observasi pada cross section yang sama secara berulang, sehingga data panel lebih baik dalam mempelajari perubahan dinamis.

Baltagi (2005), penggunaan data panel memberikan banyak kelebihan, yaitu: 1. Mampu mengontrol heterogenitas individu atau unit cross section.

2. Dapat memberikan informasi lebih banyak, mengurangi kolinieritas antar variabel, meningkatkan degree of freedom, dan lebih efisien.

3. Panel data lebih baik untuk studi yang bersifat dinamis atau dynamics of adjustment.

4. Dapat mengidentifikasi dan mengukur efek yang sederhana yang tidak dapat dideteksi dalam model data cross section maupun time series murni.


(43)

5. Mampu menguji dan membangun model prilaku (behavioral models) yang lebih kompleks.

3.3.1.1Data Panel dinamis

Firdaus (2011), Sejak awal tahun 1990-an, perkembangan metode data panel memasuki babak baru dengan dipublikasikannya tulisan Arellano dan Bond (1991). Seiring dengan populernya model time series pada saat itu, muncul pula pemikiran untuk merumuskan model data panel yang memasukkan lag dari peubah dependen sebagai regresor dalam regresi. Hal ini berakibat munculnya masalah endogeneity, sehingga bila model diestimasi dengan pendekatan fixed effect maupun random effects akan menghasilkan penduga yang bias dan tidak konsisten (Verbeek 2008). Untuk memecahkan masalah ini, Arellano dan Bond mengusulkan pendekatan method of moments atau yang biasa disebut dengan Generalized Method of Moments (GMM).

Indra (2009), relasi antara variabel-variabel ekonomi pada kenyataannya banyak yang bersifat dinamis. Analisis dapat digunakan sebagai model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag variabel dependen diantara variabel-variabel regresor. Sebagai ilustrasi, perhatikan model data panel dinamis sebagai berikut:


(44)

dengan δ menyatakan suatu skalar, '

x it menyatakan matriks berukuran 1 x K dan β

matriks berukuran K x 1. Dalam hal ini, uit diasumsikan mengikuti model one way error component sebagai berikut

uit = i + υit ...(3.7) dengan i ~IID

0, 2

menyatakan pengaruh individu dan υit ~IID

0, 2

menyatakan gangguan yang saling bebas satu sama lain atau dalam beberapa literature disebut transient error.

Dalam model data panel statis, dapat ditunjukkan adanya konsistensi dan efisiensi baik pada Fixed Effect Model (FEM) maupun Random Effect Model (REM) terkait perlakuan terhadap i. Dalam model dinamis, situasi ini secara substansi sangat berbeda, karena yit merupakan fungsi dari i maka yi,t-1 juga merupakan fungsi dari i. Karena i adalah fungsi dari it, hal ini akan menyebabkan penduga least squares (sebagaimana digunakan pada model data panel statis) menjadi bias dan inkonsisten, bahkan bila υit tidak berkorelasi serial sekalipun.

Untuk mengilustrasikan kasus tersebut diberikan data panel Autoregresive (AR (1)) tanpa menyertakan variabel eksogen

, 1

it i t it

y y  u ; |δ| < 1 ; t =1, …, T ...(3.8) dengan uit = i + υit dimana i ~ IID (0, σ2 ) dan υit ~ IID (0, σ2υ) saling bebas satu

sama lain. Penduga fixed effect bagi δ diberikan oleh

, 1 , 1 1 1

2 , 1 , 1 1 1

(

)(

)

N T

it i i t i t i t

FE N T

i t i i t

y

y

y

y

y

y

        

 


(45)

dengan 1 1/ T it t t

y T y

  dan , 1 , 1

1 1/ T i t i t

y   T y  . Untuk menganalisis sifat dari FE

 , dapat disubstitusi persamaan (3.8) ke (3.9) untuk memperoleh:



, 1 , 1 1 1

, 1 , 1 1 1

1

1/

N T

i

it i t i

i t

FE N T

i t i

i t

y

y

NT

NT

y

y

       

  

 

 

………(3.10)

Penduga ini bersifat bias dan inkonsisten untuk N  dan T tetap, bentuk pembagian pada persamaan diatas tidak memiliki nilai harapan nol dan tidak konvergen menuju nol bila N . Secara khusus, hal ini dapat ditunjukkan (Nickel (1981) dalam Verbeek (2004) bahwa



2

, 1 , 1 2 2

1 1 1 1 lim 0 1 T N T v i

it i t i

i t N

T T

p v v y y

NT T                     ...(3.11)

Sehingga, untuk T tetap, akan dihasilkan penduga yang inkonsisten.

Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan method of moments dapat digunakan. Arellano dan Bond (1991) dalam Verbeek menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM). Pendekatan GMM merupakan salah satu yang popular. Setidaknya ada dua alasan yang mendasari, pertama, GMM merupakan common estimator dan memberikan kerangka yang lebih bermanfaat untuk perbandingan dan penilaian. Kedua, GMM memberikan alternatif yang sederhana terhadap estimator lainnya, terutama terhadap maximum likelihood.

Namun demikian, penduga GMM juga tidak terlepas dari kelemahan. Adapun beberapa kelemahan metode ini, yaitu: (i) GMM estimator adalah asymptotically efficient dalam ukuran contoh besar tetapi kurang efisien dalam ukuran contoh yang


(46)

terbatas (finite); dan (ii) estimator ini terkadang memerlukan sejumlah implementasi pemrograman sehingga dibutuhkan suatu perangkat lunak (software) yang mendukung aplikasi pendekatan GMM.

Terdapat dua prosedur estimasi yang lazim digunakan dalam kerangka GMM untuk mengakomodir permasalah di atas, yaitu: First-Differences GMM (FD-GMM) dan System GMM (SYS-GMM)

1. First Differences GMM (AB-GMM)

|α| y

it

= αy

i,t-1

+ η

i

+

υt Misalkan terdapat persamaan autoregressive dengan satu beda kala atau AR (1) disertai dengan unobserved individual-spesific effects yaitu dengan < 1

E [υit] = 0, E [ηi] = 0, E [υitηi] = 0 pada persamaan diatas untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T serta ηi + υit = uit mempunyai struktur standard error components sebagai berikut Untuk i = 1, ..., N dan t = 2, ..., T

Asumsikan transient errors tidak berkorelasi antar waktu E [υitυis] = 0 untuk i = 1,..., N dan s ≠ t

dan kondisi semula y i1 adalah predetermined E [

y

i1

υ

i] = 0 untuk i = 1, ..., N dan t = 2, …, T

Secara bersama-sama asumsi tersebut berimplikasi adanya m = 0.5 (T-1) x (T-2) moment restrictions

E [

y

i,t-s

υ

i] = 0 untuk t = 3,...,T dan s ≥ 2


(47)

1

1 2

1 , 2

0 0 ... 0 ... 0

0 ... 0 ... 0

. . . ... . . .

0 0 0 ... ...

i

i i i

i i T

y y y Z y y           

dan

υ

i adalah (T - 2) vektor (

υ

i 3

,

υ

i 4

, ...,

υ

i T)„. Ini merupakan kerangka GMM, dimana digunakan lag dari peubah dependen mulai dari t-2, atau disebut FD-GMM. Pendekatan ini akan menghasilkan estimator yang konsisten dari α manakala N → ∞ dengan T relatif kecil.

Terdapat keterbatasan dari FD-GMM estimator, terutama bila terjadi korelasi antar lag dari pembeda pertama, sehingga instrumen yang digunakan lemah (Blundell dan Bond 1998). FD-GMM estimator bahkan akan lebih bias ke bawah daripada fixed-effects, terutama bila jumlah periode waktu terbatas. Untuk itu, penggunaan baik nilai sekarang maupun lag dari regresor sebagai instrumen akan dapat memperbaiki FD-GMM estimator.

Dalam praktik, keterbatasan FD-GMM tersebut dapat dideteksi dengan membandingkan koefisien dari peubah lag yang diperoleh dari pendekatan pooled least squares, fixed-effects dan FD-GMM. Diketahui bahwa model panel data dengan AR (1) bila diestimasi dengan teknik pooled least squares akan menghasilkan koefisien yang bias ke atas, sedangkan bila diestimasi dengan pendekatan fixed-effects atau within group akan menghasilkan koefisien yang bias ke bawah. Dengan demikian koefisien yang konsisten akan diperoleh bila nilainya berada antara keduanya.


(48)

2. System GMM (SYS-GMM)

Ide dasar dari penggunaan metode System GMM adalah untuk mengestimasi sistem persamaan baik pada pembedaan pertama maupun pada level, dimana instrumen yang digunakan pada level adalah lag first-differences dari deret (Indra, 2009). Blundell dan Bond (1998) menyatakan pentingnya pemanfaatan initial condition dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis tanpa regresor eksogenus sebagai berikut:

, 1

it i t i it

y

y

 

...(3.12)

dengan E ( i) = 0, E ( it) = 0, dan E ( i it) = 0 untuk i = 1,2,...,N ; t = 1,2,...,T Matriks instrumen untuk SYS-GMM adalah sebagai berikut:

...(3.13)

dengan kondisi momen (moment conditions) derajat kedua dapat dinyatakan sebagai:

*' *

0

i i

E Z u  ...(3.14)

dimana *

3 3

( ,..., , ,..., )

i i iT i iT

u  vv u u . Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh E (yi1∆ i3) sedemikian sehingga δ tepat teridentifikasi (just identified).


(49)

Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan ∆yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari (3.12) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua sisi persamaan ini, menjadi

2 1 ,1 2

i i i i

yy  

     ………...………....…(3.15)

Dikarenakan ekspektasi E (yi,1 i) > 0, maka, maka (δ – 1) akan bias ke atas (upward biased) dengan

plim

2 2 1 1 u c c                

 ………..(3.16)

dengan c 

1 

 

/ 1

. Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrument yi1 mendekati nol. Selain itu, nilai F-statistik dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke 2

1

 dengan parameter non-centrality

 

2 2

2 2 0

u u c c       

 ,dengan δ→ 1...(3.17) Karena  0maka penduga variabel instrument menjadi lemah. Di sisni, Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrument yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi  .

Dengan demikian, SYS-GMM estimator mengkombinasikan gugus persamaan first-difference dengan nilai level sebagai instrumennya ditambah gugus persamaan level dengan first-difference sebagai instrumen. Validitas dari tambahan


(50)

instrumen dapat diketahui dengan menggunakan uji-Sargan untuk over-identifying instrument.

3.3.2. Prosedur Analisis dengan Metode Panel Dinamis

Untuk menduga parameter model data panel dinamis pada persamaan akan digunakan meode Arellano-Bond Generalized Method of Moments (AB-GMM). Dari hasil estimasi AB-GMM, kemudian dilihat apakah instrumen yang digunakan valid. Apabila tidak, kemudian digunakan pendekatan SYS-GMM untuk mengatasi validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM. Untuk menguji validitas instrumen pada pendekatan AB-GMM, dapat digunakan uji Sargan. Uji Sargan untuk overidentyfing restriction merupakan suatu pendekatan untuk mendeteksi apakah ada masalah dengan validitas instrumen. Hipotesis untuk uji ini menyatakn bahwa tidak ada masalah dengan validitas instrumen dalam artian bahwa instrumen tersebut tidak berkorelasi dengan error pada persamaan AB-GMM. Nilai statistik Sargan dihitung sebagai

………...(3.18)

Pada kondisi kondisi hipotesis nol, nilai statistik di atas memiliki sebaran , dengan q menyatakan jumlah instrumen dikurangi jumlah parameter yang digunakan dalam model.

Untuk melihat konsistensi dari hasil estimasi yang dihasilkan dari model AB-GMM akan dilakukan uji autokorelasi dengan menggunakan statistik Arellano-Bond


(51)

nilai statistik yang tidak signifikan (Arellano, 2003). Hal yang sama juga akan dilakukan uji validitas instrumen dengan menggunakan uji Sargan serta uji Arellano-Bond dan untuk melihat konsistensi estimator yang diperoleh. Pada tahap berikutnya, model yang lebih valid di antara ketiga pendekatan dalam model data panel statis, selanjutnya hasil estimasi akan dikomparasi dengan hasil estimasi model data panel dinamis untuk kemudiaan ditelaah dan dianalisis lebih lanjut.

Selain pemilihan dan komparasi model, dari hasil yang diperoleh juga akan diuji tingkat signifikansi serta tanda setiap koefisien estimasi yang diperoleh. Tanda koefisien estimasi ini kemudian dianalisis apakah relevan dengan teori yang ada. Dari hasil estimasi kedua pendekatan tersebut selanjutnya akan dilakukan telaah dan analisis untuk menjawab dan hipotesis penelitian.

Firdaus (2011), Secara ringkas, beberapa kriteria yang digunakan untuk menemukan model dinamis atau GMM terbaik adalah:

1. Tidak Bias. Estimator dari pooled least squares bersifat biased upwards dan estimator dari fixed-effects bersifat biased downward. Estimator yang tidak bias berada di antara keduanya.

2. Instrumen Valid. Validitas ini diperiksa dengan menggunakan Uji Sargan. Instrumen akan valid bila uji Sargan tidak dapat menolak hipotesis nol.

3. Konsisten. Sifat konsistensi dari estimator yang diperoleh dapat diperiksa dari sttistik Arellano-Bond m1 dan m2, yang dihitung secara otomatis pada beberapa perangkat lunak. Estimator akan konsisten bila statistic m1 menunjukkan hipotesis nol ditolak dan m2 menunjukkan hipotesis nol tidak ditolak.


(1)

Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)

_cons .3120792 .0869459 3.59 0.001 .1378358 .4863226 opness -.0000216 .0001483 -0.15 0.885 -.0003189 .0002757 lnm2 .0038355 .0091192 0.42 0.676 -.0144398 .0221108 lngexp .1441692 .0346515 4.16 0.000 .0747261 .2136124

L1. .8611424 .0285643 30.15 0.000 .8038982 .9183867 lny

lny Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total 416.125109 59 7.05296796 Root MSE = .03552 Adj R-squared = 0.9998 Residual .069378041 55 .001261419 R-squared = 0.9998 Model 416.055731 4 104.013933 Prob > F = 0.0000 F( 4, 55) =82457.88 Source SS df MS Number of obs = 60 . reg lny l.lny lngexp lnm2 opness

Hasil Estimasi Fixed Effect

F test that all u_i=0: F(5, 50) = 3.39 Prob > F = 0.0103 rho .96924989 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .0321926 sigma_u .18073845

_cons -.1882848 .2467454 -0.76 0.449 -.6838875 .307318 opness .000975 .0004016 2.43 0.019 .0001683 .0017818 lnm2 .1496131 .0568488 2.63 0.011 .035429 .2637972 lngexp .2331993 .0616402 3.78 0.000 .1093914 .3570073

L1. .6198262 .100569 6.16 0.000 .4178274 .8218249 lny

lny Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = 0.6665 Prob > F = 0.0000 F(4,50) = 724.54 overall = 0.9977 max = 10 between = 0.9978 avg = 10.0 R-sq: within = 0.9830 Obs per group: min = 10 Group variable: country Number of groups = 6 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 60 . xtreg lny l.lny lngexp lnm2 opness, fe


(2)

100

Lampiran 4. Hasil Estimasi Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter, dan Keterbukaan Perdagangan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Negara-Negara Maju ASEAN+6 (Model 3)

Hasil Estimasi GMM

H0: no autocorrelation 2 -.89832 0.3690 1 -2.5285 0.0115 Order z Prob > z

Arellano-Bond test for zero autocorrelation in first-differenced errors . estat abond

Standard: D.lngexp D.lnm2 D.opness GMM-type: L(2/.).lny

Instruments for differenced equation

opness .0007038 .0003643 1.93 0.053 -.0000102 .0014178 lnm2 .2851412 .1142142 2.50 0.013 .0612854 .5089969 lngexp -.0596399 .1068164 -0.56 0.577 -.2689961 .1497164

L1. .5726663 .1426933 4.01 0.000 .2929925 .8523401 lny

lny Coef. Std. Err. z P>|z| [95% Conf. Interval] One-step results

Prob > chi2 = 0.0000 Number of instruments = 38 Wald chi2(4) = 532.38 max = 9 avg = 9 Obs per group: min = 9 Time variable: tahun

Group variable: country Number of groups = 5 Arellano-Bond dynamic panel-data estimation Number of obs = 45 . xtabond lny lngexp lnm2 opness, noconstant

Prob > chi2 = 0.1408 chi2(34) = 42.90296

H0: overidentifying restrictions are valid Sargan test of overidentifying restrictions


(3)

Hasil Estimasi Pooled Least Square (PLS)

_cons -.0559084 .1596507 -0.35 0.728 -.3774614 .2656447 opness -.0000227 .0001315 -0.17 0.864 -.0002875 .0002422 lnm2 -.0016528 .0189889 -0.09 0.931 -.0398985 .0365929 lngexp -.0571422 .0757693 -0.75 0.455 -.2097495 .095465

L1. 1.056541 .0707485 14.93 0.000 .9140459 1.199036 lny

lny Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] Total 720.567452 49 14.7054582 Root MSE = .03809 Adj R-squared = 0.9999 Residual .065289671 45 .001450882 R-squared = 0.9999 Model 720.502162 4 180.125541 Prob > F = 0.0000 F( 4, 45) = . Source SS df MS Number of obs = 50 . reg lny l.lny lngexp lnm2 opness

Hasil Estimasi Fixed Effect

.

F test that all u_i=0: F(4, 41) = 5.09 Prob > F = 0.0020 rho .99844091 (fraction of variance due to u_i)

sigma_e .03262147 sigma_u .8255224

_cons -.8137771 .4531233 -1.80 0.080 -1.728878 .101324 opness .0007213 .0003453 2.09 0.043 .0000239 .0014186 lnm2 .3148603 .1032688 3.05 0.004 .1063047 .5234158 lngexp -.0874048 .0987348 -0.89 0.381 -.2868039 .1119942

L1. .5639035 .1380736 4.08 0.000 .2850582 .8427488 lny

lny Coef. Std. Err. t P>|t| [95% Conf. Interval] corr(u_i, Xb) = 0.9409 Prob > F = 0.0000 F(4,41) = 136.93 overall = 0.9956 max = 10 between = 0.9957 avg = 10.0 R-sq: within = 0.9304 Obs per group: min = 10 Group variable: country Number of groups = 5 Fixed-effects (within) regression Number of obs = 50 . xtreg lny l.lny lngexp lnm2 opness, fe


(4)

(5)

RINGKASAN

VEVI RETNO MARETHA. Dampak Kebijakan Fiskal, Kebijakan Moneter dan Keterbukaan Perdagangan terhadap Pertumbuhan Ekonomi : Studi Komparatif Negara – Negara ASEAN+6. (dibimbing oleh NOER AZAM ACHSANI).

Integrasi ekonomi berdampak pada pertumbuhan ekonomi suatu negara. Beberapa studi empiris menyatakan bahwa faktor eksternal memberikan dampak yang lebih signifikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Secara teori, integrasi ekonomi dapat meningkatkan daya saing regional terhadap perekonomian global, meningkatkan pangsa pasar, mendorong adanya efisiensi ekonomi, memperbesar tingkat mobilisasi tenaga kerja dan modal hingga mempermudah perolehan modal serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Namun tidak sedikit pula yang meragukan keberhasilan integrasi ekonomi. Integrasi ekonomi hanya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara yang telah siap menerima globalisasi. Pertumbuhan ekonomi merupakan tolak ukur kinerja perekonomian suatu negara. Untuk mencapai tujuan pendapatan nasional yang tinggi diperlukan serangkaian kabijakan khususnya kebijakan makroekonomi oleh pemerintah. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan tingkat inflasi dan nilai tukar yang relatif stabil merupakan salah satu komponen penting dari setiap kebijakan stabilisasi makroekonomi. Perkembangan ekonomi yang terkadang sulit diprediksi, pengambil kebijakan harus benar-benar mampu mencermati setiap variabel yang bisa menyebabkan gejolak pada pertumbuhan ekonomi. Pengetahuan terhadap respon suatu kebijakan ekonomi terhadap kebijakan lainnya menjadi sangat penting.

Penelitian ini membahas dampak kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan terhadap pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN+6 dengan membandingkan antara kelompok negara-negara berkembang dan kelompok negara-negara maju. Adapun kawasan ASEAN yang diamati dalam penelitian ini meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina karena keterbatasan data untuk negara anggota ASEAN lainnya. Sedangkan enam negara tambahan lainnya yang tergabung dalam ASEAN+6 adalah China, Korea Selatan,Jepang, Australia serta New Zealand.

Variabel pengeluaran pemerintah, jumlah uang beredar (M2) dan trade openness merupakan proksi masing-masing dari kebijakan fiskal, kebijakan moneter dan keterbukaan perdagangan. Model dalam penelitian ini terbagi menjadi tiga, yaitu model untuk keseluruhan negara di kawasan ASEAN+6, model untuk kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 serta model untuk kelompok negara-negara maju di kawasan ASEAN+6. Masing-masing model diestimasi dengan metode panel data dinamis pendekatan GMM (Generalized Method of Moments) dengan periode penelitian dari tahun 2000-2010.

Hasil estimasi dari ketiga model terlihat bahwa dampak kebijakan moneter dan kebijakan perdagangan bagi seluruh negara di kawasan ASEAN+6, kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6 dan kelompok negara-negara maju


(6)

bersifat ekspansif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sedangkan dampak kebijakan fiskal yang ekspansif hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi di seluruh negara ASEAN+6 dan kelompok negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Berdasarkan perbandingan nilai koefisien dari ketiga variabel yang diteliti tersebut menunjukkan bahwa kebijakan fiskal melalui peningkatan pengeluaran pemerintah relatif lebih cepat dibandingkan kebijakan moneter maupun keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di kawasan ASEAN+6. Hal ini menunjukkan bahwa peranan pemerintah sangat dominan di negara-negara berkembang dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter melalui peningkatan jumlah uang beredar (M2) relatif lebih cepat daripada kebijakan fiskal maupun keterbukaan perdagangan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju kawasan ASEAN+6. Jumlah uang beredar memainkan peranan penting di negara maju dalam meningkatkan pertumbuhan ekonominya, hal ini karena di negara maju peranan sektor swasta melalui pasar finansial lebih dominan daripada intervensi pemerintah langsung.