Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semua suku bangsa, betapapun sederhananya, memiliki kegiatan ekonomi demi menjaga dan memelihara kelangsungan hidupnya. Itulah sebabnya sistem mata pencaharian menjadi bagian universal dari unsur-unsur kebudayaan. Akan tetapi, secara konseptual sistem mata pencaharian atau sistem ekonomi yang sering manjadi perhatian para peneliti kebudayaan terbatas hanya pada sistem yang bersifat tradisional. Sistem tersebut meliputi: berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi Koentjaraningrat, 2009: 275 dan 277. Dari kelima sistem tersebut, peneliti kebudayaan pun hanya memperhatikan sistem produksi lokalnya termasuk sumber daya alam, cara mengumpulkan modal, cara pengerahan dan pengaturan tenaga kerja, teknologi produksi, sistem distribusi di pasar-pasar yang dekat, dan proses konsumsinya. Dalam perkembangan selanjutnya, peneliti kebudayaan mulai menaruh perhatian terhadap anggaran pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani. Belakangan ini, aktivitas-aktivitas pedagang di kota, tetapi membatasi diri pada aktivitas perdagangan berdasarkan volume yang terbatas, juga menjadi bagian dari kajiannya. Sistem ekonomi yang berdasarkan industri tidak menjadi perhatian peneliti kebudayaan atau antropolog. Antropolog hanya mempelajari hal-hal seperti: aspek kehidupan kaum buruh yang berasal dari daerah pedesaan dalam industri atau pengaruh industri terhadap daerah pedesaan di sekitatnya. Dikaitkan dengan konsep di atas, sistem mata percaharian masyarakat Sunda dewasa ini mengalami banyak perubahan, perkembangan, dan kecenderungan-kecenderungan antara lain: 1. Berburu dan meramu sudah tidak lagi menjadi bagian dari mata pencaharian utama. Kalaupun sekarang ini kegiatan berburu masih ada, itu lebih bersifat rekreatif, bukan sebagai mata pencaharian. Atau, dalam hal berburu, itu lebih berorientasi pada kepentingan pragmatis, di antaranya memburu binatang yang menjadi hama tanaman. 2. Seiring dengan meluasnya wilayah geografis perkotaan dan makin derasnya arus urbanisasi menjadikan aktivitas yang berkait dengan pertanian seperti beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan bercocok tanam menetap dengan irigasi yang teratur tidak lagi menjadi pilihan mata pencaharian hidup masyarakat Sunda. Namun demikian, mata pencaharian seperti itu belum sama sekali hilang dan sudah banyak yang menjadikannya sebagai kegiatan sampingan. 3. Terdapat kecenderungan pada masyarakat Sunda dewasa ini tidak bermata pencaharian tunggal. Sebagian masyakarat Sunda bermatapercaharian lebih dari satu; misalnya, selain sebagai pegawai negeri juga sekaligus berdagang, beternak, atau bertani, dan sebagainya. 4. Terdapat juga indikator pemolaan atau ”spesialisai” yang menghubungkan mata pencaharian hidup dengan aspek kewilayahan. Banyak contoh yang menunjukkan hal itu. Berkait dengan lokalitas Garut, misalnya, orang akan mengaitkannya dengan kegiatan ekonomi dodol, peternakan domba, jaket kulit, tukang cukur, tukang bajigur, dan tukang sol sepatu; Tasikmalaya dengan kiridit, anyaman bambu, dan bordir; Ciamis dengan perdagangan bahan bangunan matrial, tukang rongsokan, dan minyak keletik dengan galendo-nya; Kuningan dengan penjual bubur kacang hijau dan ketan hitam, tukang mie rebus, tape ketan; Majalengka dengan tukang kuli bangunan, kecap; Sumedang dengan tahu dan umbi Cilembu; Cipacing dengan perajin senjata; Cibaduyut dengan perajin sepatu; Cianjur dengan tauco dan manisan; Sukabumi dengan mocinya; Bandung khususnya Cimenyan dengan peuyeum-nya dikenal dengan sebutan peuyeum Bandung, dan sebagainya. Dalam banyak hal pengaitan mata pencaharian, komoditas, atau produktivitas dengan lokalitas itu ada rujukan sejarahnya. Meskipun image seperti itu demikian kuat, tapi dalam realitas kekinian pemolaan yang demikian tidak ketat lagi.

1.2 Rumusan Masalah